Di hadapan para Kardinal di dalam kapel
Sistina, Roma, dalam homilinya yang pertama kali setelah terpilih sebagai Paus,
Bapa Fransiskus menegaskan bahwa hidup adalah perjalanan. Oleh karena itu,
sebagai Umat Allah yang berada dalam perjalanan, Gereja perlu terus-menerus
berubah dan memperbaharui diri. Homili Bapa Suci ini dilandasi oleh bacaan
kitab suci dari Kisah Para Rasul 2:1-11 yang dibacakan pada Hari Raya
Pentakosta.
Kisah Para Rasul 2;1-11 itu menceritakan bagaimana
para murid dipenuhi oleh Roh Kudus dan sanggup berkata-kata dalam beragama
bahasa namun semuanya dapat memahaminya dalam bahasa masing-masing. Penulis
Kisah mengajak para pembaca untuk kembali ke Yerusalem di mana para murid
sedang berkumpul. Hal pertama yang pantas diperhatikan adalah adanya suara yang
tiba-tiba datang dari langit seperti tiupan angin keras yang memenuhi seluruh
ruangan di mana para murid sedang berkumpul. Hal kedua adalah lidah-lidah
seperti nyala api yang hinggap pada diri para murid. Suara dan lidah seperti
nyala api adalah tanda yang nyata dan jelas yang menyentuh diri para Rasul
bukan hanya dari luar melainkan juga dari dalam hati dan pikiran mereka,
sehingga mereka mengalami situasi penuh dengan Roh Kudus dan menimbulkan daya luar
biasa dalam diri para murid serta menimbulkan konsekuensi yang tak bisa
disangkal, yakni mereka semua dapat berbicara dalam banyak bahasa. Akibat
lanjutnya, orang banyak yang berasal dari beragam daerah itu berkumpul di
sekitar mereka dan dapat saling memahami bahasa yang mereka gunakan. Ini
menunjukkan bahwa semua orang itu mengalami sesuatu yang “baru” dalam diri mereka, yang belum pernah mereka alami sebelumnya.
Dari kisah Para Rasul ini, Bapa Fransiskus
merefleksikan tiga hal penting berkaitan dengan karya Roh Kudus, yaitu
kebaharuan, harmoni, dan perutusan.
Sesuatu yang baru pada umumnya menimbulkan
rasa takut dan khawatir dalam diri kita. Kebaharuan itu seolah memaksa kita
untuk keluar dari zona nyaman yang telah terbangun dan berada dalam kontrol
kita. Dalam hidup beriman, di mana kita mengikuti panggilan Tuhan, seringkali
kita juga membatasi diri pada hal-hal yang sudah aman dan pasti. Kita takut
untuk bersikap terbuka dan sungguh-sungguh percaya kepada tuntunan Tuhan,
akibatnya seringkali kita tidak terbuka kepada kebaharuan yang ditunjukkan oleh
Tuhan melalui Roh Kudus yang menuntun dan membimbing kita untuk mengambil
pilihan dan keputusan baru dalam pejalanan hidup. Kita seringkali merasa takut
ketika Tuhan mengajak kita untuk mengambil lintasan jalan baru yang berbeda dan
meninggalkan jalan lama dengan segala perspektif kita yang sempit, tertutup dan
mementingkan diri sendiri. Kita sering mengalami kesulitan dan ketakutan untuk
senantiasa terbuka dan sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan, serta mengandalkan
pertolongan-Nya. Kita musti berani belajar dari sejarah iman kita bahwa pada
saat Tuhan hadir dan menyatakan diri-Nya, Ia selalu membawa kebaharuan dan
menuntut kepercayaan kita yang penuh kepada-Nya. Nabi Nuh telah berani
meninggalkan semuanya, membangun bahtera dan percaya kepada Tuhan sehingga ia
diselamatkan. Abraham berani meninggalkan tanah asalnya dan mengandalkan janji
Tuhan. Musa berani meninggalkan Mesir dan bersama Tuhan menuju kepada
pengalaman pembebasan. Dan para rasul sendiri yang berani meninggalkan
ketakutan mereka untuk keluar dan memberikan kesaksian tentang kabar gembira
kepada banyak orang. Kita tak perlu merasa takut karena kebaharuan yang
dianugerahkan oleh Tuhan itu akan membawa kepenuhan dan kebahagiaan sejati bagi
kita, sebab Tuhan sungguh-sungguh mengasihi kita.
Hal kedua, beragam karunia dan karisma yang
berbeda dalam kehidupan Gereja, tak perlu menimbulkan kekhawatiran dan
ketakutan karena itu merupakan karya Roh Kudus, dan oleh Roh Kudus pula, segala
macam karunia dan perbedaan itu disatukan dalam harmoni, karena Roh Kudus
sendiri pada hakekatnya adalah harmoni, yang menyatukan. Harmoni dan kesatuan
itu bukanlah penyeragaman. Karya Roh Kudus menghasilkan beragam karunia dan
kharisma yang berbeda dalam Gereja, namun Roh Kudus pula yang menyatukan
semuanya itu, namun tidak menyeragamkan dan tidak menciptakan standarisasi.
Apabila kita sungguh-sungguh dipimpin dan dipenuhi oleh Roh Kudus, segala
keanekaragaman, perbedaan, pluralitas, dan perbedaan, tak akan pernah menjadi
sumber pertentangan. Jika kita dapat berjalan bersama sebagai komunio dalam
seluruh perbedaan karunia dan kharisma yang sangat kaya itu, itu merupakan
tanda nyata bahwa kita berjalan di dalam tuntunan Roh Kudus. Maka sangatlah
penting bagi kita untuk senantiasa terbuka kepada Roh Kudus yang sanggup
menyatukan kita dalam perbedaan.
Yang ketiga, Roh Kudus adalah jiwa dari
perutusan kita. Pengalaman Pentakosta yang terjadi di Yerusalem adalah
pengalaman awal yang terus-menerus terjadi sampai dengan hari ini di dalam
pengalaman hidup kita. Pengalaman Pentakosta bukanlah pengalaman yang jauh di
Yerusalem sana, melainkan pengalaman yang sangat dekat dan berada dalam hati
dan budi kita. Yesus pernah berkata,”Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang
Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya” (Yoh 14:16). Ia, Penolong
yang lain itu, yakni Roh Kebenaran, akan menganugerahkan keberanian kepada kita
untuk terus berjalan di tengah dunia ini dan memberitakan kabar gembira.
Oleh karena itu, seluruh hidup kita adalah
sebuah perjalanan, yang harus terus-menerus dilalui dalam keterbukaan dan
keberanian, karena kita percaya bahwa Roh Kudus menyertai kita selamanya,
menuntun kita, dan menyediakan kebaharuan. Di dalam dan bersama Roh Kudus,
seluruh perjalanan kita akan menjadi perjalanan untuk memberikan kesaksian
tentang kabar gembira, tentang perjumpaan kita dengan kristus, perjalanan yang
selalu terbuka dan mengarah kepada kebaharuan, serta senantiasa ditandai oleh
harmoni dan persatuan meskipun dipenuhi oleh begitu banyak perbedaan dan
pluralitas.
Perjalanan adalah sebuah seni, maka janganlah
terburu-buru supaya tidak mudah lelah. Perjalanan itu sendiri selalu mengandung
resiko lelah dan sulit, maka hadapilah. Jangan takut jika suatu saat kita
keliru atau terjatuh. Yang paling penting dalam seni perjalanan untuk bertemu
Tuhan bukanlah tanpa bersalah atau tanpa jatuh, melainkan jangan pernah takut
untuk senantiasa bangkit kembali dan melanjutkan perjalanan.***