Oleh Indro Suprobo
"Saya hanya menyebutkan dua kegagalan umat manusia saat ini, Ukraina dan Palestina,
di mana ada penderitaan, di mana kesombongan penjajah menang atas dialog."
(Paus Fransiskus, 25 November 2024)
Pernyataan Paus Fransiskus tentang kesombongan penjajah yang menang atas dialog itu disampaikan dalam pertemuannya dengan para diplomat di Vatikan pada bulan November 2024.[1] Pernyataan itu menegaskan adanya kegagalan manusia dalam menata kehidupan sehingga mengakibatkan penderitaan, terutama di Ukraina dan di Palestina. Kegagalan yang dimaksudkan adalah tindakan penjajahan yang dilandasi kesombongan, yang menggilas ruang-ruang untuk dialog dan komunikasi yang empatik. Menghadapi penjajahan yang penuh kesombongan dan mengakibatkan penderitaan bagi manusia itu, secara tegas, Paus Fransiskus menunjukkan sikapnya. Ia berseberangan secara frontal terhadapnya. Paus Fransiskus sama sekali tidak memilih sikap netral, melainkan mengambil posisi keberpihakan yang sangat tegas, terutama kepada mereka yang lebih menanggung penderitaan. Dalam hal ini ia berpihak kepada semua yang menanggung penderitaan di Ukraina dan Palestina. Karena menimbang durasinya yang sangat panjang, kehancurannya yang sangat luas, dan penderitaannya yang sangat dalam, serta kualitas kejahatan yang harus ditanggungnya yang sangat parah, refleksi Natal sederhana ini lebih berfokus kepada penderitaan manusia Palestina, sebagaimana secara simbolik telah dihadirkan oleh Paus Fransiskus dalam rupa patung bayi Yesus beralaskan kain lampin keffiyeh Palestina di Vatikan. Bayi Yesus yang dibalut kain lampin keffiyeh adalah simbol kelahiran bagi perlawanan sekaligus gugatan terhadap kesombongan dan ketidakadilan yang melahirkan penderitaan. Ini merupakan simbol perlawanan terhadap kejahatan.
Kehancuran Palestina sebagai Fakta
Terutama sejak tahun 1948, yakni sejak peristiwa Nakba, manusia Palestina terus-menerus menghadapi penghancuran, pendudukan, dan pengusiran. Protes dan perlawanannya terhadap kejahatan itu senantiasa menghadapi pembalasan yang semakin lama semakin brutal dan kejam. Setelah lahirnya beragam kelompok perlawanan dan pembebasan yang berjuang untuk mempertahankan martabat kemanusiaan dan kebebasan mereka, manusia Palestina harus menghadapi arus kekuatan dan kekuasaan baru dalam rupa konstruksi pengetahuan atau wacana diskriminatif berupa stigma sebagai teroris. Bagi orang-orang yang tak berpikir kritis, konstruksi pengetahuan dalam rupa stigma ini diterima mentah-mentah sebagai kebenaran, sehingga melahirkan seluruh dukungan dan legitimasi bagi sustainabilitas kejahatan dan penghancuran terhadap manusia Palestina. Stigma teroris bagi manusia Palestina adalah wujud nyata dari persekongkolan antara pengetahuan, kekuasaan dan kepentingan. Ini merupakan konstruksi pengetahuan yang mengabdi kepada kepentingan kelompok dominan yang memberikan keabsahan bagi berlangsungnya penindasan. Di dalam konstruksi pengetahuan yang demikian ini, tersembunyi kesombongan, egoisme, ilusi, prasangka, paranoia, ketergelinciran pengenalan (meconnaissance), trauma, dan manipulasi yang menghilangkan seluruh martabat manusia Palestina dan memaksa mereka untuk memasuki titik terendah dalam kehidupan.
Pantas dinyatakan bahwa apa yang dikutuk oleh kaum Zionis Israel atas peristiwa 7 Oktober 2023, yakni kejahatan terorisme, substansinya justru telah dijalankannya tanpa henti, terus-menerus, dan dengan kualitas dan skala kejahatan yang jauh lebih besar. Kaum Zionis Israel mengutuk terorisme namun pada saat yang sama ia menjalankan terorisme berkelanjutan (sustainable terorrism) dalam wujud pendudukan dan genosida, bahkan dalam perasaan bangga dan menempatkannya sebagai tindakan yang penuh makna serta mulia, yang setiap keberhasilannya dirayakan dengan pesta pora.
Jika demikian halnya, pantaslah disetujui apa yang dinyatakan oleh Paus Fransiskus akhir-akhir ini bahwa yang terjadi di Palestina bukanlah perang melainkan kekejaman.[2] Secara jelas Paus Fransiskus menyatakan:
”Kemarin, mereka (militer Israel) tidak mengizinkan Uskup Jerusalem masuk sesuai perjanjian. Kemarin, anak-anak dibom. Ini bukan perang, melainkan kekejaman. Saya ingin mengatakannya karena ini menekan batin.”[3]
Beberapa waktu sebelumnya, Paus Fransiskus juga menyatakan perlunya penyelidikan serius atas apa yang terjadi di Gaza karena jangan-jangan itu sudah masuk dalam kriteria dari apa yang disebut sebagai genosida. Secara tegas Paus Fransiskus menyatakan demikian:
“Kita harus menginvestigasi secara saksama apakah ini sesuai dengan definisi teknis (dari genosida) yang dirumuskan oleh para ahli hukum dan organisasi internasional.”[4]
Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebut apa yang dilakukan oleh Israel adalah domisida, yakni gabungan dari kata domisili dan genosida. Pasukan Israel menyerang rumah-rumah warga sipil dan mengakibatkan banyak korban jiwa. Serangan terhadap pemukiman warga sipil ini dilakukan oleh pasukan Israel dengan melandaskan diri pada doktrin Dahiyeh yang dibuat oleh Jenderal Gadi Eizenkot pada tahun 2006. Doktrin ini memberikan alasan bagi penyerangan terhadap pemukiman warga sipil karena menganggap pemukiman warga sipil itu menjadi tempat persembunyian musuh. Penyerangan juga dapat dilakukan terhadap sarana-sarana umum sipil yang dianggap sebagai tempat penyimpanan senjata.[5] Tentu saja dampak berupa jatuhnya korban sipil yang sangat banyak tidak dapat dihindari lagi. Penyerangan terhadap rumah sakit, tempat-tempat pengungsian warga sipil, ambulance dan tenaga kesehatan, adalah beberapa contoh dari wujud nyatanya. Terhadap hal itu, Israel sama sekali tak menunjukkan penyesalan, melainkan banyak sekali rasionalisasi dan legitimasi. Sangatlah berbahaya ketika pertimbangan pemberlakuan doktrin Dahiyeh ini didasari oleh paranoia, ilusi, prasangka, yang seluruhnya hanya merupakan pembenaran terhadap tindakan kejahatan dan penghancuran terhadap kemanusiaan. Sungguh, semua itu adalah kebiadaban yang tak tertanggungkan.
Ilan Pappe, sejarawan dan aktivis sosialis ekspatriat Israel serta direktur Pusat Eropa untuk Kajian Palestina, menyebut tindakan Israel terhadap Palestina ini sebagai kolonialisme pemukim. Kolonialisme pemukim terjadi ketika para pemukim baru dari luar daerah berdatangan dan menghancurkan populasi lokal dengan berbagai cara terutama genosida, untuk membentuk kembali diri mereka sendiri sebagai pemilik negara dan menjadikan diri mereka sendiri sebagai penduduk aseli.[6] Selain di Palestina, kolonialisme pemukim ini juga terjadi di Amerika, ujung selatan Afrika, Australia, dan Selandia Baru di mana pemukim kulit putih menghancurkan populasi lokal. Meskipun merupakan keturunan Yahudi, Ilan Pappe sangat anti terhadap gerakan zionisme yang dalam pandangannya merupakan tindakan kolonialisme karena melakukan perampasan tanah Palestina yang disertai dengan pengusiran penduduk aseli sehingga orang Palestina terpaksa menjadi pengungsi di berbagai tempat. Menurutnya, kolonialisme oleh Zionis ini dalam praktik nyatanya merupakan pembersihan etnis yang sekaligus merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.[7] Pembersihan etnis ini juga merupakan dehumanisasi terhadap orang Palestina. Dehumanisasi ini merupakan buah dari korupsi moral yang dilahirkan oleh militerisasi masyarakat Yahudi di Israel. Orang Palestina menjadi target militer. Mereka didehumanisasi demi menetapkan kemurnian etnis Israel, dengan mengusir atau membantai orang Palestina, termasuk anak-anak, menempatkan mereka sebagai objek militer dan menganggap mereka bukan sebagai manusia. Karena dehumanisasi ini, ketika melihat bayi orang Palestina, tentara Israel tidak melihatnya sebagai bayi, melainkan sebagai musuh. Dengan demikian, penderitaan manusia Palestina menjadi sedemikian hebatnya karena yang mereka hadapi bukan lagi manusia melainkan monster yang sudah sama sekali kehilangan imajinasi tentang liyan.
Imajinasi tentang liyan adalah suatu kemampuan berpikir, yakni membayangkan bahwa orang lain yang kita lukai adalah orang seperti diri kita sendiri. Kemampuan membangun imajinasi tentang liyan ini merupakan satu-satunya pertahanan manusia yang berarti untuk menghadapi fiksi beracun yang mereduksi dunia keragaman menjadi ideologi tunggal dan sama. Karena ideologi yang paling berbahaya bergantung pada upaya menciptakan musuh yang tetap, imajinasi yang bijak tentang orang lain sebagai yang sama dengan diri kita sendiri, merupakan pertahanan yang paling penting untuk melawan dorongan manusia yang keras untuk melakukan kejahatan.[8] Maka hilangnya imajinasi tentang liyan ini, merupakan hilangnya pertahanan untuk melawan dorongan melakukan kejahatan. Akibatnya, yang terjadi di Palestina adalah terwujudnya tindakan kejahatan oleh Zionis Israel.
Connivance dan Problem Etika
Ada godaan yang sangat besar yang dialami oleh sebagian orang ketika menghadapi penindasan dan penghancuran terhadap Palestina oleh Israel. Godaan itu adalah hasrat untuk bersikap netral. Sikap netral ini menjadi hasrat karena dua alasan yakni pertama, karena tidak melihat relasi Palestina-Israel sebagai relasi kuasa dan penindasan, melainkan menempatkannya semata-mata sebagai relasi perang atau konflik biasa antar pihak yang setara. Kedua, karena sikap netral pada umumnya dicitrakan sebagai cerminan dari kebijaksanaan. Dua alasan itu tentu saja merupakan kekeliruan besar.
Dalam konteks Palestina-Israel, sikap netral ini sesungguhnya melahirkan dampak yang sangat besar, yakni berlangsungnya penindasan dan penghancuran kemanusiaan Palestina tanpa henti. Ini perlu dikemukakan karena sejatinya relasi Palestina-Israel bukanlah relasi setara melainkan relasi penindasan. Dalam konteks penindasan, mengutip pernyataan Gustavo Gutierrez, teolog pembebasan dari Amerika Latin, menolak kenyataan perjuangan kelas (menolak perjuangan kelas tertindas), dalam praktiknya sama dengan mengambil posisi pada pihak para penindas. Sikap netral dalam hal ini adalah mustahil. Ketika kita memihak perjuangan kaum tertindas, pada saat itu kita tidak sedang membenci para penindas. Kita justru ingin membebaskan mereka juga dari keterasingan mereka sendiri, dari nafsu serakah mereka, dari hasrat mementingkan diri sendiri, membebaskan mereka dari situasi tidak manusiawi sebagai penindas. Namun ini semua bisa dicapai hanya dengan berpihak kepada kaum tertindas dan melawan kaum penindas. Perlawanan yang nyata dan efektif terhadap kaum penindas ini bukanlah kebencian. Ini justru merupakan tantangan dari perintah Injil "cintailah musuhmu". Mencintai musuh bukanlah menghapus ketegangan, melainkan justru menantang seluruh sistem dan menjadi suatu formula subversif. Mengambil bagian dan bersolidaritas dalam perjuangan kaum tertindas bukan hanya tidak bertentangan dengan kasih universal, melainkan justru merupakan yang penting dilakukan pada saat ini dan merupakan cara untuk mewujudkan cinta kasih secara konkret. Partisipasi dan pemihakan terhadap perjuangan kaum tertindas ini justru mengarahkan kepada terwujudnya masyarakat tanpa kelas, tak ada lagi kelas pemilik dan kelas yang dirampas, tak ada lagi penindas dan yang tertindas.[9]
Persoalan etika muncul ketika orang mengetahui bahwa yang terjadi di Palestina adalah kejahatan, penindasan, apartheid, dan genosida yang menghancurkan kemanusiaan, namun karena prasangka atau kepentingan dirinya, seseorang mengambil sikap netral yang sama artinya dengan menguntungkan kaum penindas dan membiarkan penindasan itu terus berlangsung, maka secara etis orang yang mengambil pilihan demikian ini termasuk ke dalam perilaku yang disebut sebagai connivance, yakni mengetahui suatu kejahatan namun membiarkan kejahatan itu tetap terjadi dan sama sekali tidak melakukan pencegahan atau upaya apapun untuk mengurangi kejahatan itu. Dengan demikian, orang yang mengambil pilihan tindakan connivance di hadapan suatu kejahatan, ia termasuk ke dalam orang yang terlibat secara diam-diam di dalam tindak kejahatan.
Dengan demikian, ketika kejahatan dan penindasan terus berlangsung di Palestina, sementara berbagai macam pihak terus-menerus memberikan berbagai bentuk dukungan terhadap kebijakan Israel, dan dengan segala rasionalisasi atau alasan itu mereka tetap menilai bahwa dukungan yang mereka berikan terhadap kebijakan Israel adalah tindakan yang bermakna dan mulia, apalagi memberikan banyak keuntugan bagi mereka, maka sebenarnya dunia kita sedang menghadapi keruntuhan etika dan sensitivitas terhadap kemanusiaan yang sangat parah. Ini juga merupakan runtuhnya kemanusiaan.
Solidaritas Natal di Tengah Kehancuran Fatal
Di tengah kehancuran kemanusiaan dan penindasan yang terus-menerus terjadi di Palestina, apa yang dapat direfleksikan dari peristiwa Natal sehingga peringatan tentangnya berkontribusi secara positif terhadap penghentian kehancuran dan penindasan itu, supaya peringatan Natal itu tidak menjadi skandal sebagaimana kemeriahan, pesta pora dan kekayaan yang tanpa fungsi sosial adalah skandal di antara penderitaan, perjuangan hidup-mati, dan kemiskinan yang mematikan?
Kitab Nabi Yesaya 9:1-6 menyuguhkan sebuah pengharapan di masa depan tentang lahirnya raja damai di antara situasi jaman yang menghimpit. Tidak selamanya akan ada kesuraman untuk negeri yang terhimpit. Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: penasihat ajaib, sang pembela ulung, penolong dan pelindung, raja damai. Pengharapan nabi Yesaya adalah pengharapan semua orang yang berada dalam penindasan dan menjadi undangan bagi solidaritas semua orang beriman. Lahirnya seorang putera yang disebut Raja Damai adalah penanda kosong yang dapat dimaknai sebagai siapapun oleh kelompok manapun. Tradisi kekristenan memaknai penanda kosong itu sebagai pribadi Yesus yang kelahirannya diperingati sebagai Natal.
Penasihat ajaib adalah pribadi dengan kualitas discernment yang mumpuni sehingga dapat menemukan kebijaksanaan. Discernment juga berarti praktik nyata dari sikap kritis, kesanggupan menimbang-nimbang dan mengambil jarak terhadap fenomena dan fakta. Penasihat adalah orang yang berhikmat, yakni orang yang senantiasa mengacu kepada nilai-nilai utama di dalam kehidupan, terutama keadilan. Dalam konteks kehancuran kemanusiaan Palestina saat ini, semua orang diundang untuk menghadirkan kualitas itu. Merayakan Natal adalah undangan untuk menghadirkan sikap kritis terhadap kejahatan, penindasan dan penghancuran manusia Palestina. Merayakan Natal berarti mempertanyakan dan menggugat seluruh konstruksi wacana diskriminatif yang diusung oleh beragam media tentang Palestina, yang melegitimasi sustainabilitas penghancuran itu. Merayakan Natal berarti diundang menjadi penasihat bagi publik untuk menyampaikan kebenaran dan menyuarakan keprihatinan yang berpihak kepada mereka yang tertindas, sebagai wujud nyata cinta kasih sebagaimana diungkapkan oleh Gustavo Gutierrez.
Manusia yang disebut sang pembela ulung (el-gibor) adalah manusia dengan kualitas kepahlawanan. Ia memiliki komitmen untuk memperjuangkan nilai dan membela orang lain yang mengalami penindasan. El-gibor juga mengandung makna keberanian, sang pembela, sang pejuang, yang dengan segala komitmen memperjuangkan nilai-nilai keadilan, compassion kepada yang tertindas dan terpinggirkan serta mengalami ketidakadilan dan terus-menerus menghadapi kekuatan yang menghancurkan. Dalam bahasa gerakan sosial, ini adalah kualitas dan karakter advokasi. Merayakan Natal adalah undangan untuk mengadvokasi perjuangan kaum tertindas. Mengadvokasi perjuangan kaum tertindas adalah wujud nyata membebaskan diri dari connivance, dari pembiaran terhadap penindasan.
Sang Penolong dan Pelindung adalah kualitas seseorang yang menunjukkan kesanggupan untuk memberikan kasih sayang dan perlindungan seperti seorang Bapa kepada anak-anaknya. Ia akan dengan segala cara memberikan perlindungan dan kasih sayang. Kasih sayang itu tidak sama dengan memanjakan seluruh keinginan, melainkan dengan tegas memberikan teguran, kritik, bahkan yang paling pedas sebagai langkah edukatif untuk mengingatkan bahwa ada nilai-nilai yang harus menjadi acuan dalam seluruh tindakan. Kasih sayang adalah juga keberpihakan kepada keadilan dan menghardik seluruh tindakan ketidakadilan. Sekali lagi, sebagaimana diungkapkan oleh Gustavo Gutierrez, menghardik tindakan ketidakadilan sebagai subversi bagi kemapanan bukanlah kebencian dan tidak bertentangan dengan cinta kasih universal karena ia justru merupakan nilai penting yang tak dapat dielakkan sebagai satu-satunya cara melahirkan pembebasan dari struktur penindasan.
Raja damai mencerminkan kepemimpinan berbasis nilai keadilan. Kedamaian hanyalah mungkin ketika keadilan dihadirkan di dalam kehidupan. Tanpa keadilan, tak ada kedamaian. Dalam kontek kehancuran Palestina, menghadirkan keadilan dan perdamaian sangat membutuhkan upaya kritis untuk mengidentifikasi solusi-solusi manakah yang benar-benar disebut adil dan menghadirkan perdamaian. Ini berarti, perspektif korban, perspektif kaum tertindas perlu ditempatkan sebagai perspektif utama. Dalam upaya menemukan keadilan dan perdamaian di tengah situasi penindasan, sekali lagi sikap netral tak ada artinya. Yang dibutuhkan adalah preferential option, keberpihakan, terutama terhadap mereka yang tertindas. Maka pertanyaan penting yang dapat diajukan adalah, apakah solusi dua negara sebagaimana ditawarkan terutama oleh pihak negara-negara barat sungguh-sungguh mencerminkan keadilan dan menjanjikan perdamaian? Ilan Pappe dan Noam Chomsky memberikan argumentasi bahwa menawarkan solusi dua negara itu sama dengan meminta orang Palestina untuk menerima apapun yang bersedia diberikan oleh Israel kepada mereka. Ini sebenarnya tak ada hubungannya dengan perdamaian, melainkan merupakan sebuah upaya yang membuat penduduk aseli Palestina yang kehilangan tanah akibat serbuan Zionis yang menyerobot wilayahnya pada abad 19, harus menyerah dengan nyaman.[10] Ini adalah upaya untuk memaksa orang Palestina mengakui bahwa tanah milik yang telah diserobot oleh Zionis itu adalah tanah yang sah bagi Zionis. Ini bukanlah keadilan dan tak akan pernah mendatangkan perdamaian. Oleh karena itu, untuk menghadirkan keadilan dan perdamaian, sangat dibutuhkan sikap kritis dan kewaspadaan terhadap semua istilah yang selama ini seolah lazim digunakan untuk menggambarkan relasi Palestina-Israel, seperti proses perdamaian, solusi dua negara, tanggung jawab bersama dan sebagainya karena semua istilah itu dikategorikan sebagai newspeak, yakni istilah-istilah manipulatif yang tampaknya baik namun sebenarnya menyimpan kepentingan-kepentingan dan ideologi dominatif sehingga sejatinya menunjuk kepada realitas yang menipu.[11]
Sementara itu, Surat Rasul Paulus kepada Titus 2:11-14 menegaskan bahwa Kasih karunia Allah mendidik manusia untuk meninggalkan kefasikan dan keinginan duniawi agar mencapai hidup yang bijaksana, adil dan beribadah (tunduk dan hormat kepada Allah). Manusia yang terbuka kepada kasih karunia Allah adalah mansia yang senantiasa mendidik diri dan menjadikan pribadi Yesus sebagai teladan yang telah membebaskan dari segala perbuatan jahat. Gelar juru selamat yang oleh tradisi Kristen disematkan kepada Yesus, pada dasarnya merupakan fungsi, karakter, atau peran yang bermakna manusiawi, yakni memfasilitasi, memudahkan, mengarahkan dan membawa sesama manusia kepada keselamatan sebagai lawan dari kehancuran. Juru selamat adalah peran manusiawi yang mencerminkan kualitas sebagai pemandu menuju kepada keselamatan. Salah satu wujud keselamatan yang paling nyata dalam kehidupan manusia adalah keadilan. Manusia dipanggil untuk meneladan perilaku yang membawa kepada keselamatan (keadilan), bukan kehancuran (ketidakadilan).
Injil Lukas 2:1-14 menegaskan karakter dan peran Yesus itu. Penampakan malaikat kepada para gembala bukanlah peristiwa faktual historis melainkan sebuah metafora mitologis yang berfungsi untuk menegaskan refleksi dan keyakinan kristiani tentang peran visioner Yesus yang baru lahir itu sebagai juru selamat, yakni pribadi yang memiliki kualitas untuk memberikan teladan, membawa, mengarahkan, memotivasi, mendorong, menarik, dan membangkitkan komitmen serta kemauan dalam diri setiap orang untuk mencapai semua kualitas hidup yang dikategorikan sebagai selamat. Sekali lagi, dalam kehidupan antar manusia, keselamatan yang paling nyata adalah ketika keadilan itu hadir di tengah-tengahnya. Dalam keadilan itu setiap manusia memiliki ruang dan kesempatan yang sama untuk bertumbuh, berkembang dan bertransformasi sesuai dengan martabatnya sebagai manusia. Dalam keadilan itu manusia dapat menghayati kebebasan untuk diakui, dikenali, didukung, diberi ruang untuk berkontribusi, diberi kesempatan untuk membangun makna dalam kehidupan, serta berbagi kepada sesama dengan segala potensi dan kompetensi yang dimiliki.
Maka menjadi sangat jelaslah bahwa merayakan Natal di tengah kehancuran manusia Palestina yang nyata, adalah undangan untuk meneladan guru dan junjungan dalam mengupayakan seluruh proses penyelamatan (soteriologi) baik melalui cara berpikir, sikap maupun tindakan nyata, yakni keberpihakan kepada mereka yang terpaksa menghadapi kehancuran dan terus-menerus berjuang meraih martabat kehidupan.
Dalam situasi kehancuran dan penghancuran sistematis manusia Palestina yang sangat jelas dan gamblang, merayakan Natal sambil tetap mengagung-agungkan sikap netral, sangatlah pantas untuk disebut sebagai skandal. Apa yang dilakukan dan dinyatakan secara terbuka oleh Paus Fransiskus dalam penghayatan Natal tahun ini tampaknya pantas disebut sebagai teladan pilihan keberpihakan, sebagai gugatan di tengah kebungkaman, dan sebagai subversi di antara rasa nyaman dan ketenteraman diri yang tak peduli. Kelahiran Yesus di atas lampin Keffiyeh Palestina yang dihadirkan oleh Paus Fransiskus di Vatikan, adalah kelahiran manusia yang menggugat ketidakadilan dan penghancuran kemanusiaan. Dalam penghayatan Natal tahun ini, pesan Paus Fransiskus sangat tegas bahwa yang terjadi di Palestina adalah kejahatan.
No comments:
Post a Comment