Penerbitan buku Berpijak di Dunia Retak
memiliki dua tujuan utama. Pertama, penulisan buku ini dimaksudkan
sebagai upaya internal bagi keluarga penyintas untuk menyembuhkan
luka-luka batin akibat stigma dan ketidakadilan yang telah ditanggung
selama bertahun-tahun. Kedua, penerbitan buku ini dimaksudkan sebagai
upaya untuk mengungkapkan ingatan-ingatan tentang kebenaran dan
ketidakadilan dari perpektif penyintas yang diharapkan dapat
menumbuhkan kepedulian generasi sekarang terhadap martabat
kemanusiaan, sehingga tragedi besar sebagaimana terjadi pada tahun
1965 tidak terulang lagi.
Dialog Antar-Memoria sebagai
Penyembuhan
Seluruh kisah dalam buku ini bergerak
di antara dua memoria utama yakni memoria passionis (ingatan
akan penderitaan) dan memoria dignitatis (ingatan akan
martabat). Dialog antara dua memoria ini melahirkan apa yang disebut
sebagai nilai-nilai resiliensi (daya tahan). Nilai-nilai
resiliensi (daya tahan) inilah yang pada akhirnya mampu menumbuhkan
rasa syukur bagi penulis dan keluarga penyintas karena telah mampu
mengatasi seluruh kepahitan hidup tanpa harus kehilangan martabat
dasar sebagai manusia. Secara gamblang buku ini mengisahkan bahwa
meskipun telah terpuruk dalam penderitaan dan kemelaratan yang
ekstrim, keluarga penyintas ini tak pernah jatuh dalam tindakan yang
dapat merendahkan martabatnya (mencuri, mengambil hak orang lain,
korupsi dsb). Almarhun YB. Mangunwijaya pernah menggambarkan kondisi
masyarakat yang berjuang menjagai harkat semacam ini dalam sebuah
kata "melarat tapi ningrat". Masyarakat semacam inilah yang
menjadi teman, sahabat serta inspirasi hidup Alm. YB. Mangunwijaya.
Yang muncul secara tegas dalam kisah penyintas tragedi 1965 ini
adalah kisah resiliensi, keyakinan terhadap martabat diri, energi
yang besar untuk mengatasi situasi batas daya, energi yang besar
untuk setia kepada nilai-nilai kebaikan.
"Dalam ketidakberayaan yang
menimpa keluarga kami, ibu selalu menekankan prinsip hidupnya kepada
kami. Bagaimanapun kami harus nrima ing pandum (menerima
keadaan ini apa adanya). Sikap menerima ini harus lurus dalam
berpikir, jujur dalam bertindak, tak pernah melik duweking liyan
(ingin memiliki hak orang lain), pantang menyakiti hati sesama, tetap
berbuat baik kepada siapapun dan tidak mudah menyerah" (hlm.33)
Mengisahkan kembali ingatan akan daya
hidup yang bertahan dalam dialektika memoria passionis dan
memoria dignitatis ini merupakan aktivitas yang menyembuhkan.
Terjadi sebuah campuran aktivitas psikologis antara katarsis
(menggelontorkan seluruh beban yang mampat) dan savoring
(menghidupkan pengalaman "kepenuhan" dalam keterjagaan
martabat) yang memberikan titik keseimbangan jiwa.
Setelah menuliskan kisah, keluarga
penyintas ini masih tetap perlu membaca ulang kisah yang ditulisnya
agar proses penyembuhan terus semakin bertumbuh karena membaca
kembali dinamika hidup pribadi merupakan proses "menemukan"
yang terus-menerus.
Memoria Passionis (Ingatan
akan Penderitaan) dan Compassion (Beladaya)
Sebuah pesan religius kuno yang
diadopsi dan dirawat oleh dua agama besar Islam dan Kristen untuk
menggambarkan inti dasar dari perwujudan relasi keberimanan manusia
kepada Yang Ilahi tertulis demikian: "Sebab ketika Aku lapar,
engkau memberi Aku makan, ketika Aku haus, engkau memberi Aku minum,
ketika Aku telanjang, engkau memberi Aku pakaian, ketika Aku sakit,
engkau merawat Aku, dan ketika Aku berada di dalam penjara, engkau
mengunjungiKu".
Religiositas atau keberimanan tidak
semata-mata diukur oleh kedisiplinan ritual melainkan juga (dan
terutama) diukur oleh kedisiplinan tindakan kepedulian. Penderitaan
dan pengalaman batas daya, terutama penderitaan dan pengalaman batas
daya orang lain, menjadi undangan nyata bagi kedisiplinan tindakan
kepedulian. Johann Baptis Metz, seorang teolog politik katolik Jerman
menyatakan bahwa penderitaan orang lain merupakan undangan bagi orang
beriman untuk membebaskan diri dari segala bentuk ketidakpedulian.
Terbebas dari ketidakpedulian itulah yang disebut sebagai compassion
atau bela daya.
Di sini secara sengaja tidak digunakan
istilah "bela rasa", melainkan "bela daya", untuk
menekankan keterlibatan, keberpihakan dan pembelaan terhadap daya
juang yang masih tersimpan, yang sedang menghadapi halangan besar.
Bela daya berarti memasuki, hadir, mengalami dan terlibat di dalam
daya yang dihalangi itu untuk bersama-sama menjadikannya semakin
bekerja dan melahirkan gerak.
Hal besar yang menghalangi daya-daya
hidup para penyintas tragedi 1965 adalah kesewenang-wenangan,
ketidakadilan, ketidakpedulian, keuntungan serta keamanan diri.
Ingatan yang
Membahayakan1
Ingatan-ingatan yang dikisahkan dalam
buku ini boleh disebut sebagai ingatan-ingatan yang membahayakan.
Meskipun dikisahkan secara santun dan tanpa kemarahan sedikitpun,
jika dibaca secara mendalam, ingatan-ingatan yang dikisahkan itu
senyatanya berifat "menggugat" kesewenangan, ketidakadilan,
ketidakpedulian dan rasa aman. Ingatan yang mendorong gugatan dan
mengundang keterlibatan dalam compassion (bela daya) adalah
ingatan yang membahayakan (bagi mereka yang kepentingannya terusik).
Ingatan-ingatan semacam ini sangat
diperlukan untuk membongkar ketidakpedulian yang mapan, mengakhiri
kecenderungan kesewenangan-wenangan yang terus beranjut, dan untuk
meruntuhkan mitos dan mantra politik yang melumpuhkan sikap kritis
serta melanggengkan kebohongan.
Perempuan-perempuan Berdaya
Meskipun ada banyak aktor yang
dikisahkan dalam buku ini, pantas dicatat bahwa di dalamnya ditemukan
banyak aktor perempuan yang berdaya. Ibu Nafisah adalah salah satunya
dan cukup sentral. Bagi keluarga ini, ibu Nafisah dengan seluruh
kekuatan yang dimilikinya memiliki peran yang luar biasa terutama
untuk menjagai diri tetap berada dalam kemanusiaan yang bermartabat.
Ibu bidan Rakitem adalah perempuan yang lain. Jika tak memiliki sikap
dan keberanian yang luar biasa, tentu saja ia tak akan berani
melayani ibu Nafisah dalam proses melahirkan bayinya karena dalam
kondisi waktu itu, banyak orang cenderung tak mau berurusan dengan
keluarga yang masuk dalam kategori "terlarang oleh negara".
Ibu Siswadi (istri pak Siswadi) yang datang membawakan surat dari
pak Sayid untuk ibu Nafisah adalah perempuan pemberani yang lain
lagi. Nasibnya sama dengan bu Nafisah karena suaminya juga ditahan di
dalam penjara Ambarawa. Mak Rawi yang setia menemani keluarga karena
yakin bahwa pak Sayid adalah orang benar adalah perempuan lain lagi.
Perempuan-perempuan berdaya inilah yang
seringkali justru harus menanggung akibat panjang dari tragedi
kesewenangan dan ketidakadilan. Kaum perempuan ini bersama
anak-anaknya, harus bergulat dalam banyak kesusahan dan berupaya
menjagai "harapan" terus-menerus demi bertahan hidup
semaksimal mungkin dalam kemartabatan yang masih tersisa.
Tampaknya, perspektif perempuan dan
anak-anak ini tak pernah masuk dalam nalar dan dunia batin kaum kuasa
yang cenderung menikmati gegap gempita dominasi dan kekuasaan.
Akibatnya, upaya banyak kalangan untuk menjadi teman yang berpihak
dan teribat membela para korban dan penyintas tragedi 1965 senantiasa
disikapi dengan kekawatiran, ketakutan dan sikap terancam. Siapapun
yang berada dalam kekuasaan saat ini, baik laki-laki maupun
perempuan, barangkali perlu lebih banyak menyelami "pengalaman
dan ingatan kaum perempuan dan anak-anak korban serta penyintas
tragedi 1965" ini. Dibutuhkan lebih banyak kontemplasi tentang
memoria passionis kaum perempuan dan anak-anak
korban/penyintas tragedi 1965. Ini memang tidak mudah karena
sungguh-sungguh membutuhkan "keheningan", sementara dunia
semakin serba cepat dan hiruk pikuk. Dalam dunia yang serba cepat dan
hiruk pikuk, keheningan merupakan hal yang "menyakitkan".
Semoga ingatan-ingatan para penyintas
tragedi 1965 dan kekerasan masa lalu semakin menjadi milik banyak
orang dan menjadi ingatan yang menggugat serta melahirkan
keterlibatan untuk memperbesar daya-daya dan harapan yang ada di
dalamnya. Terhadap ingatan-ingatan itu, tak ada netralitas. ***
___________
1Bagian
ini mengambil inspirasi dari artikel Johann Baptis Metz, teolog
Katolik Jerman, “Communicating a
Dangerous Memory”, dalam Communicating a Dangerous
Memory, Sounding in Political Theology, Supplementary
Issue of the Lonergan Workshop Journal,
Volume 6, Fred Lawrence,
Editor, Scholars Press, Atlanta, Georgia, Boston Collage, 1987, hlm.
37-54
No comments:
Post a Comment