Oleh Indro Suprobo
Karya seni dan karya sastra, seringkali dapat dibaca sebagai cermin keprihatinan terhadap suatu kondisi kehi-dupan pada suatu masa. Keprihatinan, pada umumnya mengungkapkan gambaran, kecenderungan dan pola umum kehidupan yang terjadi, sekaligus menawarkan suatu (per)ingatan tentang nilai dasar yang semestinya menjadi acuan visioner bagi gerak hidup masyarakat dalam suatu ideal dan cita-cita tatanan.
Salah satu karya seni yang mencerminkan hal ini adalah sebuah lagu yang digubah oleh seniman Jogjakarta bernama Encik Sri Krishna sebagai respon atas lukisan karya Joko pekik berjudul Berburu Celeng. Lagu itu berjudul Celeng Dhegleng [1]. Kutipan syairnya demikian:
Celeng di mana-mana,
Celeng merajalela,
memakan apa saja,
yang penting hatinya suka,
Lengji...Lengbeh...Celeng Siji...Celeng Kabeh
Manusia seperti celeng,
Menebar nafsu angkara,
Menjarah apa saja,
yang penting hatinya suka,
Langji...Lengbeh...Celeng Siji...Celeng Kabeh
Reff:
Celeng si babi hutan
Celeng dhegleng namanya
selalu diburu manusia
Hingga akhirnya tersiksa
Hingga matinya terhina
Dalam nada yang kurang lebih sama, ada karya sastra berupa puisi yang mengungkapkan keprihatinan dan kege-lisahan tentang realitas hidup sehari-hari yang menyedihkan dan memilukan hati. Karya puisi yang dimaksudkan adalah dua penggalan pusi karya Sindhunata berikut ini [2].
Celeng Dhegleng
Manusia bersorak
celeng dhegleng sudah modar!
Tapi langit masih kelabu
dari sana terdengar teriak tersembunyi
belum, celeng dhegleng belum mati
Lihatlah!
Nafsu ketamakannya masih sedalam laut
Kelobaannya setinggi langit
Kekuasaannya seluas bumi.
Menguak Selendang Maya
Tapi kenapa sejak celeng itu dilepas
di atas kanvas
di mana-mana malah berkeliaran
celeng-celeng buas?
Yang seharusnya bijak ternyata menceleng
menipu dan berbohong lebih daripada dulu.
Yang dititipi kuasa malah menceleng
menindas dan menggusur lebih daripada dulu.
Yang sudah berpunya makin menceleng
mengeruk harta dan serakah lebih daripada dulu.
Yang seharusnya suci malah menceleng
pura-pura murni dan makin munafik lebih daripada dulu.
Encik Krishna dan Sindhunata menggambarkan realitas hidup yang dihadapi sebagai realitas yang diwarnai oleh perilaku seperti celeng. Keserakahan, ketidakpedulian, ketamakan, haus kuasa, penipuan, kebohongan, manipulasi, penindasan, penggusuran, pengerukan harta dan kemunafikan merajalela. Semua itu mengakibatkan mereka yang disebut sebagi pejabat publik tak lagi peduli terhadap penegakan etika dan pelaksanaan integritas. Segala bentuk tindakan manipulasi, dirasionalisasi dan dilegitimasi melalui konstruksi pengetahuan dan wacana yang memengaruhi sebagian masyarakat, sehingga mereka menerimanya seolah-olah justru menjadi tindakan yang mulia. Perilaku celeng ini tidak hanya mewabah di dalam kehidupan para elit dan pejabat publik, namun juga menyebar di kalangan rakyat banyak. "Lengji....lengbeh......celeng siji....celeng kabeh......" begitu metafora yang digunakan dalam lagu gubahan Encik Sri Krishna.
Lebih menyedihkan lagi, berbagai bentuk keprihatinan dan kritik yang diajukan seringkali justru dipelintir lalu ditempatkan dan dikategorikan sebagai ekspresi dari rasa iri dan kecemburuan karena subyek yang mengajukan kritik dan keprihatinan, dianggap tidak mendapatkan bagian keuntungan. Pihak yang mengajukan kritik secara argumentatif berdasarkan analisis dan data yang tersedia, dikonstruksi sebagai pihak yang merasa iri dan cemburu karena tidak mendapatkan keuntungan dan dirugikan oleh kebijakan yang dikeluarkan. Lebih memprihatinkan lagi, mereka yang mengajukan kritik terhadap perilaku celeng ini, seringkali justru dikucilkan, dipinggirkan, atau disingkirkan, dan dianggap sebagai ganjalan. Demikianlah, pada jaman celeng ini, perilaku utamanya secara metaforis disebut sebagai perilaku dhegleng.
Runtuhnya Pertimbangan Etis dan Integritas
Di dalam hiruk-pikuk perilaku celeng dhegleng pada jaman yang sedang kita hadapi ini, salah satu hal yang fundamental untuk dicermati adalah runtuhnya pertimbangan atau refleksi etis dan hancurnya integritas. Yang dimaksud sebagai pertimbangan atau refleksi etis adalah kesanggupan seseorang untuk mencermati dan mempertimbangkan nilai-nilai kebaikan dan keburukan, kepantasan dan ketidakpantasan, benar dan tidak benar, dalam suatu perilaku, keputusan maupun tindakan. Ini merupakan kesanggupan dan keterampilan budi untuk melakukan refleksi atas moralitas, atas nilai-nilai baik dan buruk, serta dampaknya bagi kehidupan bersama. Kesanggupan untuk melakukan refleksi dan pertimbangan etis ini akan memengaruhi seseorang dalam menilai apakah suatu tindakan itu tidak hanya benar atau baik dan sah secara prosedural, tidak hanya legal secara hukum, namun juga benar, baik dan dapat dipertanggungjawabkan secara etis. Tindakan yang benar, baik dan dapat dipertanggungjawabkan secara etis, pada umumnya disebut sebagai tindakan yang secara substansial berkualitas dan bernilai bagi kehidupan banyak orang.
Yang mau dicapai dari suatu pertimbangan atau refleksi etis adalah terjaganya dan terwujudnya nilai yang menjadi visi dan orientasi dari kehidupan bersama. Nilai-nilai itu meliputi keadilan, kesetaraan, tidak adanya konflik kepentingan, kejujuran, imparsialitas, keterbukaan, penghormatan terhadap martabat dan hak asasi manusia, perdamaian, dan sebagainya. Terjaganya, terwujudnya atau dilaksanakannya nilai di dalam tindakan inilah yang disebut sebagai integritas. Secara sederhana integritas adalah pelaksanaan nilai di dalam tindakan. Integritas adalah konsistensi antara nilai yang hendak dituju dan tindakan nyata.
Yang sedang kita hadapi di jaman celeng dhegleng ini adalah runtuhnya pertimbangan dan refleksi etis itu dan hancurnya integritas. Ini berarti perilaku individu dan masyarakat tidak lagi disertai kesanggupan untuk merefleksikan, mencermati, dan menimbang tentang benar-salah, baik-buruk, maupun pantas-tak pantas. Nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam kehidupan bersama dan semestinya menjadi orientasi, tak lagi dikenali dan tak dipedulikan. Akibatnya, dalam banyak perilaku dan tindakan, tidak lagi dapat ditemukan konsistensi antara nilai dan perbuatan. Dengan demikian, perilaku dan tindakan tidak lagi menunjukkan integritas. Semua nilai yang sejatinya menjadi orientasi dan visi kehidupan, rantas sampai tuntas. Kedheglengan, ketidakpedulian, kengawuran, merajalela dan menghancurkan tatanan kehidupan. Akibatnya, kehidupan memasuki kekacauan. Perlu diwaspadai, ketika kekacauan ini melahirkan ketidakadilan dan pende-ritaan bagi sebagian besar orang, maka ia menjadi kejahatan.
Putusan MK dan Bansos Pemilu
Perilaku dhegleng di jaman celeng ini tentu saja banyak sekali contohnya. Dalam tulisan ini hanya dipilih dua contoh kontemporer yang dianggap memiliki dampak sangat serius terhadap demokrasi. Yang pertama adalah Putusan MK dengan perkara no 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang menyebutkan, capres-cawapres yang pernah terpilih melalui pemilu, baik sebagai DPR/DPD, Gubernur, atau Walikota dapat mencalonkan diri meskipun belum berusia 40 tahun [3]. Yang kedua adalah gelontoran bantuan sosial menjelang pemilihan umum Presiden dan wakil Presiden.
Bagi penulis, keputusan MK itu sendiri tentu saja dapat dicarikan argumentasi dan landasan pertimbangan hukumnya yang valid, dan secara substansial dapat dinyatakan sebagai legal, serta dapat dipertanggungjawabkan, namun dengan syarat utama, yakni jika di antara Presiden yang sedang menjabat, calon wakil Presiden yang diajukan, dan pimpinan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan perkara, tidak terdapat relasi yang memungkinkan terjadinya konflik kepentingan dalam perkara pokok yang diputuskan. Penulis meyakini, jika ketiga pihak ini, yakni Presiden, calon wakil Presiden yang diajukan, dan pimpinan Mahkamah Konstitusi tidak memiliki hubungan kekeluargaan, keputusan MK terkait perkara yang diajukan itu tidak akan menimbulkan persoalan etik serius sebagaimana akhirnya disidangkan. Keputusan ini menjadi persoalan etik yang berat dan krusial justru karena melibatkan subyek-subyek yang memiliki hubungan kekeluargaan dan dengan demikian membuka ruang sangat luas bagi terjadinya konflik kepentingan. Seandainya yang berada dalam posisi sebagai Presiden itu adalah seseorang yang memiliki kejernihan dalam refleksi dan pertimbangan etis, maka sudah sejak awal orang itu akan menyatakan penolakan terhadap pencalonan wakil presiden yang berasal dari keluarganya sendiri. Prinsip etis yang semestinya ditegakkan demi menjaga integritas, yakni terwujudnya nilai dalam tindakan nyata, adalah ketika seseorang menjabat sebagai Presiden, maka tak seorangpun dari anggota keluarganya boleh mengajukan diri dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, bahkan dalam pemilihan kepala daerah. Anggota keluarga dapat mengajukan diri dalam pencalonan kepala daerah atau calon Presiden dan wakil Presiden, jika seseorang itu sudah tidak lagi menjabat sebagai Presiden. Dengan demikian, tidak akan terbuka ruang bagi terjadinya konflik kepentingan, manipulasi penggunaan anggaran dan akses kekuasaan, sehingga proses demokrasi tetap terjaga secara lebih sempurna. Maka tak akan muncul pula istilah politik dinasti. Integritas semacam ini memang membutuhkan kejelian dan kejernihan tingkat tinggi. Hanya orang-orang yang benar-benar cerdas dan berkualitas, yang dapat melakukannya.
Persoalan etik ini menjadi semakin parah ketika pada proses pemilu Presiden dan wakil Presiden, Presiden incumbent sangat aktif terlibat dalam kampanye dan penggalangan suara, terutama melalui aktivitas penggelontoran bantuan-bantuan sosial kepada masyarakat. Bagi semua orang yang berpikir distinct dan kritis, penggelontoran bantuan sosial menjelang pemilihan Presiden dan wakil Presiden oleh Presiden incumbent yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan calon wakil Presiden yang diajukan, akan dengan mudah dan jelas dibaca sebagai suatu bentuk politik genthong babi (pork barrel) yang tidak pantas dilakukan. Dalam tindakan ini sangat terbuka ruang dan kemungkinan untuk memanipulasi sumberdaya dan kekuasaan hanya demi kepentingan sekelompok golongan, bukan kepentingan publik. Dengan demikian, keputusan MK dan penggelontoran bantuan sosial menjelang Pemilu sangat mudah dibaca sebagai satu kesatuan rangkaian proses dan tindakan yang tak terpisahkan, yang bertujuan memuluskan jalan bagi dukungan dan terpilihnya calon yang diusung oleh Presiden incumbent, yang jelas-jelas terbaca sebagai konflik kepentingan. Presiden incumbent memanfaatkan akses terhadap seluruh sumberdaya negara dan kekuasaannya, yang semestinya dimanfaatkan untuk memenuhi kepentingan publik, justru dimanfaatkan untuk kepentingan sekelompok kecil golongan, yang kebetulan adalah keluarganya sendiri. Semua itu lalu dapat dibaca sebagai sebuah praktik kedheglengan, ketidakpedulian, penerabasan, dan penghan-curan dasar-dasar etika politik yang pada gilirannya meng-hancurkan pondasi demokrasi. Meskipun mau dibela dan diargumentasikan dengan konstruksi wacana seperti apapun juga, yang menjadikan praktik itu seolah-olah merupakan sebuah praktik yang mulia dan bernilai, bagi semua orang yang berpikir distinct, jernih, kritis, berjarak dan berintegritas, praktik ini tetap akan dikenali sebagai praktik penghancuran dasar-dasar etika politik yang meruntuhkan konsistensi antara nilai yang diperjuangkan dan tindakan yang dilaksanakan, sehingga praktik ini adalah penghancuran etika dan bukti runtuhnya integritas yang sangat parah dan menjijikkan. Itulah praktik dan perilaku dhegleng di jaman celeng.
Runtuhnya Refleksi Etis dan Hancurnya Integritas dalam Perspektif Psikoanalisis
Seorang filsuf dan psikoanalis dari Perancis, bernama Jacques Emile Lacan, menyediakan kerangka pemikiran yang barangkali dapat membantu kita untuk memahami apa yang terjadi di balik perilaku kedheglengan ini. Jacques Lacan mendasarkan diri pada pemikiran psikoanalisis Sigmund Freud, namun ia mengembangkannya dengan menggunakan ilmu-ilmu bahasa, filsafat dan strukturalisme antropologi.
Lacan menyatakan bahwa subyek manusia adalah subyek ketaksadaran. Artinya, dalam berperilaku, subyek manusia lebih banyak dilandasi oleh sisi ketaksadaran yang ada di dalam dirinya. Di dalam kehidupan manusia, struktur ketidaksadaran ini berperan besar di dalam cara manusia memikirkan sesuatu, cara manusia memahami realitas, cara manusia mengambil keputusan, dan cara manusia memilih tindakan. Oleh Lacan, wilayah ketaksadaran ini dinyatakan sebagai diskursus dari Yang Lain. Wilayah tak sadar adalah Yang Lain itu sendiri, yang asing, dan tak terpahami. Wilayah tak sadar ini memperlihatkan hasrat yang dimiliki oleh seseorang, yang bersifat asing, dan tak terpahami. Melalui peran psikoanalis, wilayah tak sadar ini difasilitasi untuk menampilkan diri [4]. Dalam pemikiran Lacan, ada tiga tatanan ketidaksadaran yakni tatanan imajiner, tatanan simbolik dan tatanan real. Namun dari ketiga tatanan itu, tatanan simbolis adalah yang paling penting dan menentukan serta memengaruhi perilaku dan tindakan subyek. Untuk kepentingan tulisan ini penulis hanya akan membicarakan tatanan simbolik.
Tatanan simbolik adalah tatanan yang berkaitan dengan bahasa, penandaan dan pemaknaan. Dengan mengem-bangkan konsepsi Oedipus Complex dari Sigmund Freud, dan menempatkannya dalam pemaknaan simbolis, Jacques Lacan menempatkan "phallus" sebagai penanda yang penting dan menentukan. Dalam pemikiran Freud, Oedipus Complex mengisyaratkan bahwa anak menginginkan untuk memiliki phallus karena phallus itu menjadi obyek hasrat sang Ibu. Namun nyatanya phallus yang menjadi obyek hasrat sang Ibu adalah phallus sang Ayah. Anak mengimajinasikan memiliki phallus itu agar ia menjadi bagian dari obyek yang dihasrati oleh sang Ibu. Dihasrati oleh sang ibu itu menghasilkan pengalaman kebersatuan dan kepenuhan (enjoyment), kepastian (certainty) dan pengakuan (recognition). Namun senyatanya, sang anak menyadari bahwa ia tak memiliki phallus yang menjadi obyek hasrat sang Ibu itu karena phallus yang menjadi obyek hasrat sang Ibu adalah phallus milik sang Ayah. Pengalaman ini melahirkan keterpecahan dalam diri sang anak di mana ia mengharapkan memiliki obyek hasrat sang Ibu namun pada saat yang sama ia menyadari bahwa ia tak memilikinya. Ia mengalami kehilangan (lost) dan perasaan berkekurangan (lack).
Dalam pemikiran Lacan, "phallus" tidak dimaknai sebagai penis atau organ genital manusia, melainkan dimaknai secara simbolis sebagai penanda penting dalam proses pemaknaan. Dalam pemikiran Lacan, "phallus" adalah objek hasrat utama yang telah hilang dan selalu kita cari namun tidak pernah kita miliki sejak awal [5]. Dengan demikian "phallus" secara simbolik dipahami sebagai hasrat yang tak pernah dapat dipenuhi. Dalam istilah lain, Lacan menyatakan bahwa "phallus" ini secara simbolik merupakan suatu gambaran tentang kepenuhan, ketercapaian, kenikmatan (enjoyment), kepastian (certainty), dan pengakuan (recognition), namun pada saat yang sama secara simbolik ia juga menghadirkan gambaran tentang kekurangan (lack), yang tak pernah dapat dipenuhi dan dicapai, ketidakpastian (uncertainty), keterpecahan (split), tiadanya pengakuan (lack of recognition), dan melambangkan perasaan kehilangan (lost). Pada saat yang sama, subyek mengakui bahwa yang memiliki "phallus" itu adalah pihak lain, yang oleh Lacan dirumuskan sebagai "the name of the Father" atau Ayah, namun bukan dalam pengertian figur fisik, melainkan dalam pemaknaan simbolis sebagai pihak yang memiliki otoritas. Dalam pemikiran Lacan, istilah hasrat dan phallus sama sekali tak dimengerti dalam kaitannya dengan seksualitas, melainkan berkaitan dengan proses pemaknaan atau signifikansi. Karena bersifat simbolis, baik "phallus" maupun "Father" ini dalam pemaknaanya dapat diisi oleh berbagai hal yang memengaruhi seluruh proses pemaknaan seseorang. Secara sederhana, konsepsi Lacan tentang "phallus" dan "Father" ini mau menyatakan bahwa setiap subyek di dalam ketaksadarannya senantiasa menghasrati sesuatu, namun apa yang ia hasrati itu sebenarnya tak pernah dimiliki, bahkan dimiliki oleh Yang Lain, yakni "Father", sehingga sebenarnya hasrat itu tak pernah dapat dipenuhi dan membawa subyek selalu memasuki pengalaman berkekurangan dan kehilangan. Maka setiap subyek itu senantiasa berhasrat terhadap pengalaman kepenuhan (enjoyment) namun sekaligus selalu menghadapi pengalaman berkekurangan (lack) atau kehilangan (lost). Pengalaman berkekurangan dan kehilangan ini kadang-kadang oleh subyek diilusikan sebagai akibat dari pihak lain yang memiliki kepenuhan (enjoyment) itu secara berlebihan, sehingga lahirlah pengalaman yang disebut sebagai ilusi tentang tercurinya kepenuhan oleh pihak lain (the theft of enjoyment).
Meskipun tampaknya merupakan tindakan yang dilandasi oleh pemikiran, pertimbangan, perencanaan matang dan kesadaran otonom, keputusan MK dan penggelontoran bantuan sosial menjelang pemilu, sebagai satu kesatuan rangkaian tindakan yang tak terpisahkan, tetap dapat dianalisis sebagai rangkaian tindakan yang lebih banyak dilandasi oleh ketaksadaran, yakni motif-motif tak sadar yang berupa hasrat akan suatu kepenuhan (enjoyment), yang tak bisa tidak, harus dipenuhi dan dicapai dengan berbagai macam cara yang dapat diusahakan. Seluruh tindakan itu secara tak sadar digerakkan dan dilandasi oleh hasrat untuk memiliki "phallus" dan mencapai enjoyment, namun sambil berilusi bahwa enjoyment itu justru akan dimiliki oleh pihak lain dan bahkan akan dimiliki oleh pihak lain secara berlebihan. Maka beragam cara musti dilakukan agar enjoyment itu benar-benar dapat diraih. Begitu hebatnya enjoyment itu menjadi obyek hasrat dan pada saat yang sama begitu kuatnya ilusi bahwa enjoyment itu akan dicuri oleh pihak lain (the theft of enjoyment), ini membuat seluruh rangkaian tindakan itu dilakukan tanpa mempedulikan rasa malu, tanpa mempedulikan ketidakpantasan, disertai dengan begitu banyak rasionalisasi, dan semuanya dijalankan secara vulgar tanpa tedheng aling-aling. Hasrat yang sedemikian hebat atas enjoyment sekaligus ketakutan dan perasaan terancam oleh tercurinya enjoyment yang sedemikian dahsyat itu telah mengakibatkan subyek justru cenderung kehilangan akal dan pertimbangan, mengambil keputusan dan memilih tindakan-tindakan yang brutal, yang merampas segala kemungkinan kesempatan, merebut seluruh akses dan mengonsentrasikannya pada dirinya sendiri, menerjang dan menjarah apa saja, yang penting hatinya suka.
Phallus yang menjadi obyek hasrat dan menghasilkan enjoyment ini dalam struktur ketaksadaran, yakni dalam wilayah simbolik, dapat diisi atau diidentifikasikan oleh apa saja. Ia bisa berupa perasaan berkuasa, kesempatan untuk mengumpulkan kekayaan dan harta dalam jangka panjang, perasaan unggul atau superior sebagai balas dendam atas perasaan direndahkan atau perasaan tidak dihargai pada masa lalu, hasrat untuk memiliki apapun sebanyak-banyaknya dan sebesar-besarnya sebagai dendam atas kemiskinan masa lalu, perasaan memiliki citra tentang keberhasilan atau sukses, perasaan lebih berkualitas dalam hal tertentu sebagai kompensasi atas tiadanya kualitas dalam hal yang lain, perasaan memiliki kecerdasan yang lebih dibandingkan orang lain, perasaan sebagai bukan orang sembarangan (bahasa Jawanya, dudu wong baen-baen), perasaan sebagai orang yang tidak gampang ditundukkan dan diatur, perasaan sebagai yang paling dicintai dan disenangi oleh rakyat, dan berbagai macam penanda penting lainnya. Dalam pemahaman Lacan, seluruh hasrat ini merupakan cerminan dari hasrat subyek akan suatu kepastian (certainty), akan pengakuan (recognition), dan kepenuhan (enjoyment). Subyek yang berhasrat ini adalah subyek yang mencari kepastian (certainty) dan pengakuan (recognition). Semuanya itu menghasilkan perasaan berkepenuhan atau kenikmatan (enjoyment).
Namun pada saat yang sama, sebenarnya subyek itu mengetahui bahwa ia tak memiliki semuanya itu. Atau apa yang dianggapnya dapat diraih, dicapai dan dimilikinya serta dipenuhinya itu sebenarnya sangat rentan karena semua itu sebenarnya justru dimiliki oleh pihak lain, dan pihak lain itu dapat memilikinya secara berlebihan. Maka pada saat yang sama, subyek itu mengalami perasaan terancam bahwa kenikmatan dan kepenuhan yang hendak dicapainya itu sangat rentan direbut dan dicuri oleh pihak lain. Perasaan dan ilusi tentang ancaman ini mendorong subyek untuk melakukan apapun agar kepenuhan, kenikmatan (enjoyment) itu benar-benar dapat diraihnya. Ilusi tentang adanya ancaman itulah yang mengaburkan seluruh pertimbangan, membiaskan cara pandang, membelokkan motivasi, menyempitkan pemikiran, menutup seluruh kemampuan mendengarkan, membutakan mata terhadap keadilan, melemahkan kemampuan berefleksi, memburamkan perbedaan antara baik-buruk, benar-salah, dan pantas-tak pantas. Semuanya ini sejatinya merupakan tanda sangat bahaya bahwa ia sudah sangat dekat kepada pintu-pintu palang kejahatan. Yang dominan dan menguasai seluruh diri subyek adalah sebuah ketakutan akan perasaan kehilangan (lost), ketakutan akan keterpecahan (the split), ketakutan akan ketidakpastian (uncertainty), dan ketakutan akan tiadanya pengakuan (lack of recognition).
Pihak lain atau Yang Lain dalam ketaksadaran ini juga dapat diisi atau diidentifikasikan dengan subyek, figur, atau agensi lain di luar dirinya sendiri. Ia dapat berupa pimpinan partai, partai lain, pesaing politik, mantan pendukung, mantan koalisi, mantan pimpinan, orang tua, kandidat lain dalam pemilihan umum, dan sebagainya.
Sekali lagi, pantas ditegaskan bahwa dalam pemikiran Jacques Lacan, seluruh ketidaksadaran ini bekerja di dalam diri subyek secara tak diketahui. Semuanya ini beroperasi dalam ketidaksadaran subyek sebagai sesuatu yang asing dan tak dikenali.
Dalam perspektif psikoanalisis ini, seluruh hasrat akan kepastian (certainty), kepenuhan (enjoyment), dan pengakuan (recognition) di satu sisi dan seluruh ancaman ilusif akan ketidakpastian (uncertainty), kehilangan (lost), dan kekurangan (lack) di sisi yang lain, yang secara spesifik dialami sebagai tercurinya kepenuhan oleh pihak lain (the theft of enjoyment), memengaruhi seluruh kinerja refleksi dan pertimbangan etis seseorang. Karena semuanya itu beroperasi dalam ketidaksadaran, dalam ketidaktahuan, dalam keterasingan, maka refleksi dan pertimbangan etis benar-benar kabur, luntur, runtuh, macet, bengkok, bias, buram, kacau, atau sama sekali tak bekerja. Secara ringkas dan sederhana, seluruh dinamika ketidaksadaran yang tak difasilitasi untuk menampakkan dirinya, sebagaimana diuraikan ini, mengakibatkan runtuhnya pertimbangan dan refleksi etis serta hancurnya integritas.
Persoalannya menjadi sangat serius ketika semua ini berdampak kepada rusaknya sistem yang memfasilitasi proses-proses demokrasi dan mengakibatkan runtuhnya fondasi bagi tegaknya demokrasi karena jaring-jaring nilai dan prinsip-prinsip utama yang menyokongnya telah hancur berkeping-keping. Perilaku dhegleng menabrak dan menyerudug apa saja, yang penting hatinya suka.
Menjalankan Pendidikan Kritis
Untuk menghadapi jaman yang sedemikian ini, tak ada cara lain dan tak boleh merasa bosan, kecuali melakukan kerja-kerja untuk melatih dan mengaktifkan cara berpikir kritis melalui beragam model pendidikan. Pendidikan kritis terutama adalah pendidikan untuk membangun sikap kritis di dalam diri setiap individu dan masyarakat. Sikap kritis yang dibangun ini adalah kemampuan untuk mempertimbangkan, mempertanyakan, mengambil jarak, menunda persetujuan, mengevaluasi dan meneliti suatu pengetahuan, informasi, cara berpikir, sikap, maupun tindakan yang pada umumnya begitu saja diterima sebagai kebenaran (taken for granted) sehingga menemukan kepentingan atau ideologi yang tersembunyi di dalamnya, yang dalam bahasa psikoanalisis adalah menemukan phallus yang menjadi obyek hasrat di balik produksi pengetahuan, informasi, keputusan maupun tindakan. Informasi, bahasa, rumusan, pengetahuan, tuturan, pernyataan, cara berpikir, penggunaan istilah, maupun gambar-gambar visual selalu merupakan sebuah konstruksi dari produsennya dan mengonstruksi orang lain untuk memercayai dan menyetujuinya serta menggunakannya. Produk bahasa itu tidak pernah netral sehingga senantiasa perlu disikapi secara kritis agar ditemukan unsur kepentingan dan kekuasaan yang tersembunyi di dalamnya [6]. Bahasa dan perilaku perlu disikapi secara kritis agar dapat diidentifikasi kira-kira hasrat tak sadar dan ancaman ilusif seperti apakah yang tersembunyi di baliknya dan memengaruhinya. Di balik semua bahasa, ungkapan, tuturan, bahkan perilaku atau tindakan senantiasa tersembunyi obyek hasrat (phallus) yang menggerakkannya.
Sikap kritis adalah cara berpikir yang mampu menyingkapkan fenomena-fenomena tersembunyi atau melampaui asumsi-asumsi yang hanya berdasarkan “common sense” (anggapan umum) dalam istilah Antonio Gramsci (1971)[7] dan membantu subyek untuk memfasilitasi agar wilayah ketidaksadarannya menampakkan diri. Langkah pertama sikap kritis adalah “menunda persetujuan” terhadap segala macam informasi, dan mempertanyakan asal-usul atau konteks sebagai langkah verifikasi. Sikap kritis mengedepankan “proses berpikir rasional”, mengutamakan informasi berbasis data, siap mempertanyakan setiap informasi dan menunda keyakinan terhadapnya (constant self-questioning, move outside the framework), dan berupaya membedakan antara constructed-fictional-reality dan factual-reality. Bagian paling akhir ini menjadi sangat penting terutama pada era revolusi 4.0 di mana teknologi semakin canggih dan maju sehingga mendukung proses konstruksi realitas.
Dalam konteks runtuhnya refleksi dan pertimbangan etis yang menyebabkan hancurnya integritas, sikap kritis ini terutama diarahkan kepada argumentasi-argumentasi manipulatif dan wacana hegemonik yang dapat memengaruhi cara berpikir masyarakat, yang menyebabkan masyarakat dengan mudahnya menyetujui suatu keputusan, perilaku atau tindakan tertentu, bahkan menganggapnya sebagai keputusan dan tindakan yang sah, benar, dan tak perlu dipertanyakan lagi. Sikap kritis adalah landasan utama bagi kesanggupan seseorang atau masyarakat untuk menjalankan refleksi dan pertimbangan etis, untuk menunda persetujuan terhadap suatu keputusan, untuk mempertanyakan apakah nilai-nilai dasar yang dijunjung tinggi dalam suatu tatanan kehidupan bersama itu benar-benar dijaga dan dicapai melalui keputusan atau tindakan tertentu. Sikap kritis akan membantu setiap subyek untuk lebih dapat mengenali wilayah ketidaksadarannya dengan terus-menerus memfasilitasi agar wilayah ketidaksadaran itu semakin sering menampakkan dirinya. Semakin sering ia menampakkan dirinya, semakin ia dikenali dan semakin tidak menjadi asing. Dengan demikian, subyek akan menjadi lebih sanggup mengenali phallus yang menentukan dan memengaruhi seluruh proses pemaknaan dirinya. Pengenalan melalui sikap kritis itu, akan membantu subyek untuk menjadi lebih sensitif terhadap refleksi dan pertimbangan etis di dalam setiap keputusan dan tindakannya. Semuanya ini membutuhkan latihan, pembiasaan atau habituasi.
Modalitas yang Menjagai Integritas
Agar sikap kritis yang mendasari refleksi dan pertimbangan etis itu benar-benar dapat membantu mewujudkan nilai di dalam tindakan nyata, tidaklah memadai jika ia hanya diandaikan bekerja di dalam agensi individu. Lebih jauh ia perlu distrukturisasi di dalam suatu sistem, mekanisme, tatanan, kode atau peraturan yang memungkinkan nilai-nilai yang dipertimbangkan dan direfleksikan secara etis itu terlaksana di dalam tindakan.
Pantas diakui bahwa apa yang diketahui dan diyakini di dalam pikiran, tidak selalu dengan sendirinya akan terwujud di dalam tindakan atau pelaksanaan. Seringkali ada gap antara apa yang diketahui dan apa yang dilakukan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa mengetahui sesuatu itu tidak secara serta merta menjamin bahwa pengetahuan itu akan dipraktikkan di dalam tindakan nyata. Dalam bahasa teknis filsafat moral atau etika, upaya mempertajam makna tanggung jawab (pengetahuan tentang baik/buruk) itu tidak serta merta menjamin terwujudnya pengorganisasian tanggung jawab (praksis tindakan etis)[8]. Agar perubahan di tingkat cara berpikir (pengetahuan/kognisi) dan perubahan di tingkat cara bersikap itu benar-benar dapat diwujudkan dan dipraktikkan di dalam tindakan, dibutuhkan apa yang disebut sebagai modalitas.
Modalitas, yang dalam bahasa Latin berakar dari kata modus, yang arti aselinya adalah cara atau mode, dipahami sebagai metode atau prosedur yang khusus, atau dapat juga dipahami sebagai cara atau sarana [9]. Dalam kaitannya dengan relasi konsisten antara refleksi etis, cara bersikap dan keterwujudannya di dalam praksis atau tindakan, modalitas dimengerti sebagai prosedur atau syarat-syarat yang memungkinkan nilai-nilai yang dipahami, direfleksikan, dipertimbangkan dan ketahui itu benar-benar dijalankan di dalam tindakan. Dalam istilah yang sederhana juga, modalitas adalah apa yang menjembatani antara nilai atau norma dan tindakan nyata. Modalitas adalah jembatan yang memungkinkan nilai atau norma itu terwujud dalam tindakan nyata [10]. Modalitas adalah jembatan yang menjembatani niat baik atau nilai-nilai dan pengetahuan tentang nilai-nilai, menjadi tindakan nyata. Modalitas ini bentuknya bisa berupa aturan, sistem, atau fasilitas. Ketika peraturan atau sistem diubah, perilaku juga berubah. Menurut Anthony Giddens, sosiolog dari Inggris, modalitas ini memegang peranan penting karena ia sangat menentukan di dalam interaksi sosial, terutama ia menjadi syarat atau prosedur yang memungkinkan perubahan paling mendasar itu terjadi.
Dengan demikian, selain pendidikan kritis, modalitas sangat dibutuhkan agar nilai-nilai yang dipertimbangkan dan direfleksikan benar-benar dapat diwujudkan dan dijalankan di dalam tindakan. Karena memungkinkan dan menjagai terlaksananya nilai di dalam tindakan, maka modalitas merupakan penjaga integritas.
Belajar dari kasus spesial Keputusan MK dan praktik penggelontoran bantuan sosial yang telah dibicarakan, agar praktik serupa tidak terulang lagi, pantas diciptakan modalitas berupa sistem atau kode perilaku yang lebih tegas dan jelas demi terjaganya integritas. Misalnya, dalam pemilihan umum, baik pemilihan kepala daerah maupun presiden dan wakil presiden, anggota keluarga inti atau sanak kerabat dari mereka yang sedang memiliki jabatan aktif, tidak dapat mengajukan diri untuk menjadi calon apapun dalam pemilu. Ini dimaksudkan untuk benar-benar menghindari kemungkinan terjadinya konflik kepentingan dan manipulasi kekuasaan serta akses sumberdaya negara sebagaimana telah terjadi dalam pengalaman mutakhir negeri ini. Dengan formulasi-formulasi modalitas yang lebih tegas, jelas, dan tandas, diharapkan perilaku pejabat publik dan masyarakat akan lebih mencerminkan apa yang disebut sebagai integritas.
Catatan Kaki
[1] Ulasan singkat tentang peluncuran lagu dan makna yang terkandung di dalamnya dapat dibaca di https://impessa.id/read/587/feature/gitaris-jogja-sri-krishna-luncurkan-album-celeng-dhegleng.html (diakses 21 Oktober 2024).
[2] Kutipan puisi-puisi ini diambil dari tulisan Bandung Mawardi di laman https://langgar.co/celeng/ (diakses 21 Oktober 2024).
[3] Lih. https://ugm.ac.id/id/berita/pandangan-pakar-ugm-terkait-putusan-mk-soal-batas-usia-capres-cawapres/
[4] Lih. Lisa Lukman, Proses Pembentukan Subyek, Antropologi Filosofis Jacques Lacan, Kanisius 2011, hlm.46-47
[5] Lih. Sean Homer, Jacques Lacan, Routledge 2005, hlm.57
[6] Bdk. J. Haryatmoko, Critical Discourse Analysis, Landasan Teori, Metodologi dan Penerapan, Rajawali Pers, 2016
[7] Bdk. Agus Nuryatno, Mazhab Pendidikan Kritis, Menyingkap Relasi Pengetahuan, Politik, dan Kekuasaan, Resist Book 2008, hlm.2
[8] Lih. Haryatmoko, Etika Publik untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi, Kanisius, Yogyakarta 2015, hlm.22
[9] Lih. Haryatmoko, Etika Publik untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi, Kanisius, Yogyakarta 2015, hlm.20
[10] Lih. Video Jurnal Perempuan (VJP) Membangun Budaya Etika dalam Organisasi Pemerintahan, dalam https://www.youtube.com/watch?v=NwAkrQJorVQ (diakses 05-08-2023).
No comments:
Post a Comment