Saat
ini, Mebratu Selam tinggal sementara di Indonesia dan telah mendapatkan status
“Refugee” dari UNHCR. Duapuluh enam tahun silam, ia lahir di sebuah kota kecil
di Ethiopia dalam sebuah keluarga dari etnis minoritas. Setelah lulus SMA ia
sempat belajar di sebuah Akademi Teknik namun tak menyelesaikannya. Beruntung
sekali, setelah mengikuti pelatihan di bidang teknik konstruksi dengan hasil
yang baik, ia direkrut oleh sebuah perusahaan dan bekerja sebagai petugas
konstruksi. Namun sayang, hidupnya yang selalu menghadapi ancaman dan tidak
aman, memaksanya untuk meninggalkan kampung halaman demi mencari keselamatan.
“Pemerintah yang berkuasa sering melakukan
tindakan berupa ancaman, kekerasan, pemaksaan, dan bahkan tindakan yang
mengakibatkan kematian,” katanya.
Keluarga
Mebratu merupakan pendukung sebuah organisasi yang bersikap kritis terhadap
Pemerintah. Ketidakadilan dan diskriminasi yang dialami oleh etnis minoritas,
memotivasi mereka untuk melakukan pendidikan politik dan mengkritik penguasa. Pada
bulan Januari 2011, aparat pemerintah yang berkuasa mendatangi rumahnya dan
memaksa ayahnya untuk menyerahkan seluruh tanah yang dimilikinya. Menghadapi
pemaksaan yang tidak adil ini, ayahnya tetap bertahan pada pendiriannya dan
menolak permintaan penguasa.
“Mereka menyeret dan membawa ayah saya ke
lahan luas milik ayah saya. Mereka memaksanya untuk menyerahkan lahan itu
kepada pemerintah. Karena tetap menolak, mereka memukuli dan menganiaya ayah
saya secara sangat kejam sampai ia tergeletak di atas tanah dalam kondisi tak
sadarkan diri. Akibat penganiayaan itu, sebulan kemudian ayah saya meninggal,”
kenangnya penuh kesedihan.
Pada
saat pemakaman, pemerintah melarang orang-orang untuk menghadiri pemakaman
ayahnya dengan alasan bahwa pemakaman seorang penentang pemerintah tidak perlu
dihadiri. “Pada saat pemakaman itu,
tentara datang untuk mencegah kehadiran orang yang melayat. Saya marah dan
bertengkar dengan para tentara itu. Karena itu saya dipukuli dan ditangkap oleh
mereka, lalu dimasukkan dalam penjara selama tiga bulan,” paparnya.
Sejak
peristiwa itu, pemerintah selalu mengawasi seluruh kegiatan Mebratu. Meskipun
demikian, secara sembunyi-sembunyi ia masih tetap melakukan pendidikan politik
kritis kepada sesama kaum muda. Ketidakadilan dan penganiayaan terhadap
minoritas yang disaksikan dan dialaminya, membuatnya tak bisa tinggal diam. “Kadang-kadang kami berkumpul untuk
berdiskusi tentang apa yang telah dilakukan oleh pemerintah terhadap minoritas dan
apa yang harus kami perjuangkan.”
Pada
suatu malam di bulan Agustus, dua orang tentara menjemputnya paksa di rumah dan
memasukkannya ke sebuah ruang sekap rahasia. “Mereka memasukkan saya ke sebuah ruang gelap. Kaki dan tangan saya
diikat. Dalam posisi meringkuk, saya dipukuli dan ditendangi. Mereka menganiaya
saya sepanjang malam,” kenang Mebratu penuh kesedihan dan kemarahan. “Jika kamu atau saudaramu tidak berhenti
menentang Pemerintah, aku akan membunuhmu,” tambahnya menirukan ancaman
para tentara. Mereka memaksa saya menandatangani sebuah surat pernyataan yang
berisi kesanggupan untuk mendukung partai pemerintah. Saya terpaksa
menandatanganinya karena tak tahan dengan aniaya mereka. Lalu mereka melepaskan
saya.
Pada
tengah malam di pertengahan bulan Agustus, tiga orang tentara kembali
mendatangi rumah saya. Malam itu, saya berhasil melarikan diri, sementara kakak
lelaki saya tertangkap dan dipenjara sampai sekarang.
Pemberlakuan
Undang-undang Anti Terorisme semakin menyulitkan kelompok minoritas yang bersikap
kritis terhadap Pemerintah. Undang-undang itu menjadi legitimasi untuk menuduh
siapa pun yang tidak setuju dengan
kebijakan Pemerintah sebagai teroris. Terhadap teroris, Pemerintah akan
bertindak sewenang-wenang: menangkap, memukul, menganiaya, bahkan membunuhnya. “Itulah ketakutan-ketakutan dan ancaman yang
saya hadapi sehingga saya terpaksa melarikan diri ke Kenya dan sampai ke
Indonesia,” kata Mebratu.
Meskipun
berada dalam pengungsian, ia merasa tetap menemukan saudara. “Bagi saya, JRS adalah keluarga yang
sewaktu-waktu mau datang berkunjung, menanyakan kabar, mengajak ngobrol, dan
mendengarkan cerita. JRS memberi bantuan finansial dan biaya kontrak kamar. Bahkan
JRS mau datang dan menunggui kami ketika sakit di rumah sakit sampai-sampai
mereka sendiri lupa makan siang. Saya sangat berterima kasih atas semua itu,”
katanya.
Sambil
menunggu proses penempatan ke negara ketiga, ia membangun harapan dengan
mengikuti kursus gratis secara online.
Ia mengambil kursus tentang Manajemen Proyek sebagai bekal untuk bekerja di
masa depan. Ia mau ditempatkan di negara mana pun, yang penting
aman dan damai. “Ditempatkan di mana pun
saya mau, yang penting saya dapat hidup sebagaimana layaknya manusia.”
Mebratu
Selam adalah satu dari jutaan orang yang terpaksa meninggalkan orang-orang
tercinta demi merajut masa depan yang lebih aman dan manusiawi. Persahabatan
dan solidaritas dari orang-orang yang peduli telah menjadi salah satu penyulut
harapan baginya karena ia merasa tetap memiliki saudara dan merasa dibela di
tengah segala kesulitan. ***
Indro Suprobo
Publikasi awal di JRS Indonesia
No comments:
Post a Comment