“Tersentak oleh penderitaan
ribuan manusia perahu (dari Vietnam) dan pengungsi, saya merasa bertanggung
jawab untuk mengirimkan telegram kepada 20 pembesar Serikat Yesus di seluruh
dunia. Setelah menceritakan kepedihan hati saya kepada mereka, saya bertanya
apa yang dapat mereka lakukan di tiap negara dan dalam Serikat universal,
sekurang-kurangnya untuk meringankan beban pengungsi dalam situasi yang tragis
ini.” Itulah
petikan surat yang ditulis oleh Pater Pedro Arrupe SJ kepada para pembesar
Serikat Yesus tertanggal 14 November 1980, yang berisi keputusan untuk memulai Jesuit
Refugee Service (JRS). Tragedi “manusia perahu”
yang melahirkan JRS sampai saat ini masih berlangsung di lintasan Asia-Pasifik
dan menjadi panggilan tiada henti bagi Serikat Yesus untuk menjawab salah satu
krisis terbesar zaman ini.
Di dunia saat ini
terdapat sekitar 45,2 juta pengungsi lintas batas negara (refugee) pencari
suaka (asylum
seekers) dan pengungsi internal, menurut badan PBB urusan Pengungsi [Lihat data]
Indonesia kini
menampung sekitar 8.000 pencari suaka dan hampir 2.000 pengungsi. Sebagian
besar pencari suaka dan pengungsi tinggal di wilayah perkotaan dan terlupakan.
Mereka kehilangan hak-hak dasar sebagai manusia yang bebas dan dikriminalisasi
sebagai “imigran gelap”.
“Saya
bukan penjahat, tetapi mengapa saya dipenjara di tempat seperti ini?” keluh
pengungsi yang dikurung di balik jeruji besi Rudenim.
Kehadiran
yang Komunikatif
Dalam situasi
dunia yang tidak ramah terhadap pengungsi, JRS hadir secara langsung dan
personal untuk menemani dan
mendengarkan mereka sebagai sahabat. Jalinan persahabatan tersebut membuka
jalan bagi JRS untuk melayani para
pengungsi dengan membantu memulihkan martabat hidup dan memenuhi kebutuhan
manusiawi mereka, baik material maupun spiritual. Hadir sebagai sahabat dan
pelayan, JRS membela hak-hak
para pengungsi dengan beragam cara. Misi untuk menemani, melayani, dan membela
para pengungsi lahir dari kekayaan spiritualitas Ignasian yang menggerakkan
orang untuk semakin dekat mereka yang miskin kapabilitas.
Kini JRS
Indonesia menemani para pengungsi dan pencari suaka yang dipenjara di Rumah
Detensi Imigrasi (Rudenim) Belawan dan Pasuruan. JRS membantu menumbuhkan
dialog yang terbuka antara petugas Rudenim dan para pengungsi agar terwujud
perlakuan yang lebih manusiawi bagi para pengungsi.
JRS juga menemani
para pencari suaka yang tinggal di tengah masyarakat, seperti di Cisarua.
Mereka berasal dari negara-negara di Timur Tengah, Sri Lanka, Myanmar, dan
Afrika. Kehidupan mereka rawan akan penyisiran, penangkapan, dan penolakan. JRS
membantu mereka agar memiliki akses pada pelayanan pendidikan dan
kesehatan. Selain itu, bersama jaringan pengacara pro
bono, JRS mendampingi pencari suaka dalam proses Penentuan Status
Pengungsi di UNHCR Jakarta.
Di Yogyakarta,
JRS bersama para mahasiswa Universitas Sanata Dharma dan sukarelawan muda
lainnya menyelenggarakan kursus bahasa Inggris bagi mereka yang sudah
mendapatkan status pengungsi (refugee) dan sedang menunggu
negara yang mau menerima mereka.
JRS mengangkat
suara dan kisah para pengungsi dan pencari suaka yang mencari keadilan melalui
newsletter Refuge yang
terbit tiga bulan sekali, website JRS (www.jrs.or.id), film dokumenter, dan penerbitan buku. Diskusi
dan dinamika kelompok bersama komunitas Gerejani, mahasiswa, guru, pelajar, dan
kelompok kategorial lainnya diselenggarakan untuk menggugah kesadaran bersama
akan pentingnya perlindungan bagi para pengungsi.
“Saya
meninggalkan anak-anak di Afghanistan. Saya merindukan mereka setiap hari. Saya
melakukan semua ini demi keluarga saya karena saya mencintai mereka”, kata
salah seorang pencari suaka yang dikejar-kejar oleh tentara Afghanistan dan
tidak ingin membahayakan keluarganya.
Dalam derita dan
harapan pencari suaka dan pengungsi, Allah mengusik hati kita dan memanggil
kita untuk berjumpa dengan-Nya, sebagaimana ungkapan iman Pedro Arrupe SJ: ”God
is calling us through these people”.
Indro
Suprobo
Publikasi awal di JRS Indonesia
No comments:
Post a Comment