“Dengan kepak-Nya
Ia akan menudungi engkau,
di bawah
sayap-Nya engkau akan berlindung...
engkau tak usah
takut terhadap kedasyatan malam...”
Kutipan kitab
Mazmur 91:4-5 tentang perlindungan Tuhan ini sungguh-sungguh berdaya dan
menjadi nyata dalam kehidupan para Pengungsi dan Pencari Suaka di perbukitan
Cipayung, Jawa Barat. Apa yang diyakini oleh penulis Mazmur, dialami juga oleh
Pencari Suaka yang terpaksa meninggalkan kampung halaman dan orang-orang
tercinta, demi menemukan kehidupan damai yang didamba.
Adalah Otang
Sukarna*, lelaki 50 tahun, warga sebuah desa di perbukitan Cipayung, Jawa
Barat, yang dengan ketulusan hatinya, menghadirkan ayat Mazmur ini dalam
kehidupan sehari-hari. Ia adalah orang desa yang menjadi sahabat bagi para
Pengungsi dan Pencari Suaka. Melalui cara-cara yang sederhana dan nyata, ia
memotivasi warga desa, ibu-ibu serta anak-anak, untuk bersikap ramah dan
bersahabat kepada Pengungsi dan Pencari Suaka yang tinggal di sana.
Persahabatan yang tulus dan sikap saling membantu sebagai saudara, adalah
keramahtamahan yang nyata, sekaligus wujud perlindungan yang memberi rasa aman
bagi mereka.
Ketika di tempat
lain Pengungsi dan Pencari Suaka menghadapi penolakan, kecurigaan, stigma
negatif, pengusiran dan pengasingan, Otang Sukarna dan warga di desanya justru
menawarkan rumah sederhana dan nyaman untuk tinggal, suasana pergaulan yang
akrab dan bersahabat, kegiatan bersama yang bermanfaat, dan
pertolongan-pertolongan nyata yang membesarkan jiwa.
“Para imigran ini adalah orang-orang baik. Mereka bukan penjahat dan
tidak berbuat onar. Mereka ke sini untuk mencari rasa aman karena negaranya
kacau,” begitu kata Otang memaparkan pemahamannya.
Meskipun belum pernah membaca dokumen internasional tentang Pengungsi, ia mampu
menggambarkan pemahamannya dalam rumusan paling sederhana dan komunikatif, yang
paling mudah diterima dan dimengerti oleh semua warga desa.
Kesadaran Empatik
Otang Sukarna
memiliki alasan mendasar mengapa ia bersikap ramah dan bersahabat dengan para
Pengungsi dan Pencari Suaka. “Mereka
adalah orang-orang yang memiliki anak seperti saya juga. Mereka juga mengalami
kesusahan yang sama seperti saya. Jadi sudah semestinya saya bersikap baik dan
membantu mereka. Bahkan kalau bisa, saya melindungi mereka karena sama-sama
sebagai manusia biasa,” jelasnya. Menyelami, memahami dan membiarkan diri
disentuh oleh pengalaman orang lain, adalah sebuah olah kesadaran yang empatik.
Kesadaran ini melahirkan keterlibatan yang konkret.
Ketika media massa
memberitakan adanya ancaman penolakan dan pengusiran terhadap para Pencari
Suaka, Otang Sukarna dan Kepala Desa berkeliling kampung memberikan peneguhan
kepada mereka. “Saya berkeliling bersama pak Lurah, mengunjungi mereka satu
demi satu dan meyakinkan mereka beserta pemilik kontrakan untuk tidak merasa
takut karena di wilayah ini situasinya dijamin aman,” katanya penuh
semangat. Bahkan Kepala Desa sendiri menegaskan perlindungannya,”Nanti jika
terpaksa memang ada orang luar yang datang ke sini untuk menganggu mereka,
suruh mereka semua pindah ke rumah saya. Saya sendiri yang akan melindungi,”
lanjutnya menirukan pernyataan Kepala Desa.
Saling
Berbagi
Otang Sukarna
memiliki cara jitu dan sederhana untuk semakin mempererat hubungan antara warga
desa dan Pencari Suaka. Hidup sehari-hari adalah medianya. “Saya sering
mengajak mereka untuk ikut menghadiri acara pernikahan dan kematian. Bahkan
mereka juga ikut mengangkat keranda jenasah sampai ke makam,” katanya.
Hadir dan terlibat dalam kebiasaan-kebiasaan warga adalah tanda, sarana serta
wujud kesediaan untuk menjadi bagian. Hal itu membuat hubungan mereka semakin
dekat dan akrab. Mereka menjadi bagian dari warga, dan bukan lagi orang asing. “Karena
dekatnya hubungan itu, salah satu imigran bahkan dibujuk oleh warga untuk
menikah dengan orang sini dan menjadi keluarga mereka,” lanjut Otang.
Peringatan hari
keagamaan juga menjadi sarana untuk saling berbagi. Pada peringatan 10 Muharram
[Assyura], warga dan Pencari Suaka menyelenggarakan upacara keagamaan
bersama. “Bahkan pak Lurah menyumbangkan satu ekor kambing. Mereka senang
sekali.”
Pada masa awal
kehadiran Pencari Suaka, selama beberapa waktu pernah diselenggarakan kegiatan
belajar bahasa Inggris untuk anak-anak. Melalui kegiatan itu warga dan Pencari
Suaka dapat saling belajar. Anak-anak belajar bahasa Inggris, sementara para
Pencari Suaka belajar tentang kebiasaan hidup sehari-hari. “Wah dulu banyak
sekali anak yang ikut belajar bahasa Inggris. Hampir tiga kelas penuh jumlah
pesertanya.”
Berkat hubungan
yang akrab ibu, tak mengherankan apabila di beberapa sudut jalan atau di dekat
warung, terdengar kelakar dan canda tawa antara Pencari Suaka dan warga desa
yang sedang mengisi waktu senggang mereka. Otang Sukarna dan warga desa di
perbukitan Cipayung, bagaikan sayap-sayap Tuhan yang memberikan keramahan,
perlindungan dan rasa aman bagi para Pencari Suaka. Melalui mereka, Tuhan
sungguh-sungguh menudungi para Pengungsi dan Pencari Suaka dengan kepak-Nya.***
Indro Suprobo
-----------
* Bukan Nama
sebenarnya
Publikasi awal di JRS Indonesia
No comments:
Post a Comment