Oleh Indro Suprobo
Pada tahun 2013 lalu, Pondok Pesantren Al Fallah di desa Tinggarjaya, di wilayah Banyumas menyiarkan kabar duka.
Sang ibu dari pengasuh Pondok tersebut wafat dalam usia senja.
Seluruh keluarga besar sangat kehilangan dan berkabung duka. Uskup Purwokerto, Mgr. Julianus Sunarko, SJ, pemimpin tertinggi Gereja Katolik Keuskupan Sufragan Purwokerto, yang kebetulan memiliki
hubungan dekat dengan keluarga Pondok tersebut, turut hadir untuk
melayat, memberikan doa, dan peneguhan kepada keluarga besar Pondok.
Dengan jubah resmi, Uskup tersebut duduk tenang di antara ratusan
pelayat yang lain, sambil sesekali ikut melafalkan doa-doa dalam
bahasa Arab yang ia hafal, atau dengan khusuk hanya ikut menjawab
“Amin” ketika ia tak hafal doa-doa yang dilantunkan itu.
Kehadirannya dengan
pakaian yang sangat khas tentu saja mengundang perhatian orang karena
ia menjadi sangat berbeda di antara ratusan pelayat yang lain. Namun
dengan tenang dan biasa, ia tetap duduk hening mengikuti lantunan doa
yang didaraskan. Sesekali ia mengulurkan tangannya untuk berjabat
tangan dengan orang-orang yang hadir dan mengajaknya bersalaman.
Yang lebih mengherankan
dan mengejutkan banyak orang adalah peristiwa sesudah itu. Ketika
tiba saatnya untuk secara bergiliran melakukan shalat jenazah di
hadapan almarhumah yang disemayamkan di dalam Masjid, Uskup yang
mengenakan pakaian resmi pemimpin tertinggi Gereja Katolik itu,
bangkit dari tempat duduknya dan berjalan khidmat memasuki Masjid.
Dengan tenang ia berdiri di antara pelayat yang hendak melakukan
shalat di hadapan almarhumah. Tak pernah terbayangkan oleh semua yang
hadir saat itu bahwa seorang Uskup berkenan menyatukan diri di antara
jamaah shalat jenazah, sementara sang pengasuh Pondok berdiri di
depan sebagai imam, pemimpin shalat. “Allahu Akhbar....Allahu
Akhbar.....Allahu Akhbar...”, terdengar khidmat ketika sang Uskup
ikut melakukan shalat. Setelah usai, ia berjabat tangan dengan
keluarga Pondok sambil mendoakan semoga almarhumah diterima di sisi
Allah.
Tindakan Empatik
Apa yang dilakukan oleh
sang Uskup di tengah suasana duka yang sedang dialami oleh keluarga
Pesantren desa itu adalah pilihan tindakan yang sangat empatik dan
rendah hati. Ia sangat memahami konteks dan situasi yang sedang ia
hadapi. Melalui tindakan ini, Uskup sedang mengejawantahkan sikap
“saya menjadi bagian dari Anda, berada di dalam pihak Anda, secara
tulus dan jujur berdoa kepada Tuhan bagi almarhumah sesuai dengan
cara dan kebiasaan Anda”. Semuanya itu tak lain dan tak bukan
hanyalah untuk menghadirkan peneguhan dan kedamaian di tengah
keluarga yang sedang dirundung duka.
Empati, sebagaimana
diwujudkan dalam tindakan Uskup ini, adalah sikap yang sangat
dibutuhkan dalam membangun perdamaian. Hanya melalui empati,
seseorang dapat memasuki ruang terdalam sesamanya untuk menemukan
sesuatu yang bernilai dan terhormat di dalam diri dan pengalaman
sesamanya meskipun ia sangat berbeda. Kesanggupan untuk menemukan
sesuatu yang bernilai, yang terhormat, yang baik, yang suci dan yang
membangkitkan syukur di dalam diri orang lain inilah yang akan
mendorong orang untuk mampu berdamai dengan
orang lain.
Di dalam konteks yang
unik dan dengan caranya yang unik pula, sang Uskup sedang
mengejawantahkan sikap empati sebagaimana diamanatkan oleh Konsili
Vatikan II melalui pernyataan Nostra Aetate, yakni pernyataan
tentang hubungan Gereja dengan Agama-agama bukan Kristen. “....Gereja
Katolik tidak menolak apapun, yang dalam agama-agama itu serba benar
dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara
bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang
dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya
sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang
menerangi semua orang....” (Nostra Aetate, Artikel 2).
Dalam kajian teologi
dan psikologi spiritual, empati adalah sebuah tindakan incarnatio
(mengambil rupa daging – menjadi manusia – menjadi yang lain) dan
kenosis (pengosongkan diri). Empati berarti masuk ke dalam dan
mendarah daging dalam diri dan pengalaman orang lain sekaligus
mengosongkan dirinya agar menjadi serupa dengan diri dan pengalaman
orang lain itu. Tindakan pengosongan diri itu memiliki dua aspek.
Pertama, tindakan ini berarti menanggalkan seluruh “kemuliaan
identitas dirinya” beserta seluruh kecenderungan kepentingan
egoisnya. Kedua, mengosongkan diri berarti menyediakan ruang
yang luas di dalam batinnya sehingga leluasa menerima kehadiran orang
lain dengan penuh keramahtamahan. Dalam tiadanya kecenderungan akan
kepentingan identitas diri dan dalam ruang batin yang luas itulah
seseorang dapat secara leluasa dan ramah menerima “yang lain”
sehingga yang lain itu dapat menghadirkan diri dengan seluruh
eksistensinya yang serba benar dan suci.
Melalui tindakan
empatiknya yang unik, Uskup ini sebenarnya sedang mewujudkan tindakan
“memuliakan” orang lain atau “menempatkan orang lain
dan seluruh pengalamannya di tempat yang terhormat”. Kesaksian
dalam bahasa Banyumasan sang pengasuh Pondok sebagai bagian dari
keluarga yang berduka menguatkan hal ini.
“Coba bayangna,
nganti rama pastur bae kersa nyolati biyunge. Kaya ngapa rasa
mongkoge inyong. Kiye tandha nek biyunge kuwe dihormati dening wong
liya. Ya muga-muga shalate rama pastur mau ditampa dening Allah.”
(Coba bayangkan, sampai seorang Pastor pun sudi melakukan shalat bagi
ibu. Saya sungguh merasa tersanjung. Ini menjadi tanda bahwa ibu
dihormati oleh orang lain. Semoga shalat yang dilakukan oleh Pastor
itu diterima oleh Allah)
Tantangan Empati
Global
Sayangnya, dunia kita
sekarang ini sedang menghadapi kemerosotan empati yang luar biasa.
Perang dan konflik disertai kekerasan menelan banyak korban dan
menciptakan tragedi kemanusiaan. Situasi ini tampak nyata dari
meningkatnya jumlah orang yang terpaksa mengungsi meninggalkan
kampung halaman demi mencari keselamatan dan hidup yang lebih damai.
Komisi Tinggi PBB urusan Pengungsi (United Nations High
Commissioner for Refugees/UNHCR) melaporkan bahwa sampai dengan
akhir tahun 2013 jumlah total Pengungsi dan Pencari Suaka di seluruh
dunia mencapai angka 51,2 juta orang (UNHCR Global Trend Report
2014). Mereka terpaksa mengungsi karena menghindari penganiayaan,
konflik, kekerasan masal, maupun pelanggaran terhadap Hak Asasi
Manusia. Jumlah itu cenderung meningkat setiap tahunnya. Pada bulan
Juni 2015 yang akan datang, secara resmi akan dirilis jumlah
Pengungsi sampai akhir tahun 2014. Tak dapat dibayangkan bahwa
sementara ini, dalam setiap menit, 8 sampai 10 orang di seluruh dunia
ini terpaksa mengungsi sebagai akibat dari konflik, penganiayaan dan
kekerasan.
Dalam derajat yang
berbeda, kemerosotan empati terjadi dalam penyempitan cara pandang
terhadap orang atau kelompok lain, menguatnya prasangka, meningkatnya
penolakan dan kecurigaan terhadap orang asing/imigran, semakin
mudahnya orang menilai orang lain yang berbeda sebagai musuh yang
mengancam atau sebagai kelompok yang sesat, semakin mudahnya orang
untuk memberikan cap atau stigma negatif kepada orang lain, serta
semakin abainya para pemimpin publik dan pengambil kebijakan terhadap
hak-hak warga masyarakat.
Media, sebagai penyedia
jasa informasi publik seringkali juga turut serta menjadi salah satu
aktor yang justru menyuburkan kemerosotan itu. Contoh paling nyata
dalam konteks Indonesia adalah begitu mudahnya media televisi maupun
cetak menyebut para Pengungsi dan Pencari Suaka yang ada di Indonesia
sebagai “imigran gelap”. Sebutan “imigran gelap” adalah
sebutan yang bermakna negatip, yakni orang-orang yang memasuki
wilayah negara lain secara illegal. Secara serampangan dan
semena-mena, media di Indonesia menempatkan mereka sebagai “orang
yang melanggar hukum”. Padahal, senyatanya, mereka adalah
orang-orang yang “secara terpaksa” pergi mencari keselamatan jiwa
dan kedamaian. Mereka terpaksa menempuh bahaya mengarungi lautan yang
ganas dengan menumpang perahu sederhana yang tak layak tanpa sempat
membawa serta dokumen keimigrasian yang dibutuhkan. Pada gilirannya,
informasi yang tidak empatik ini diterima oleh masyarakat seolah-olah
sebagai kebenaran sehingga menimbulkan sikap negatif terhadap para
pencari damai yang terpaksa meninggalkan negeri mereka sendiri.
Dalam konteks relasi
agama-agama, kecenderungan agama-agama besar untuk memandang dan
menempatkan agama-agama serta keyakinan lokal dalam posisi yang lebih
rendah, yang kurang sempurna, dan yang mengandung benih penyakit,
juga merupakan contoh lain dari kemerosotan empati. Akibatnya
agama-agama besar itu menganggap diri mereka memiliki otoritas lebih
untuk mengangkat, menyempurnakan dan menyembuhkan agama atau
keyakinan lokal itu seturut cara berpikirnya sendiri.
Mewujudkan
Keadilan
Di tengah merosotnya
empati dan solidaritas, kehadiran Uskup dengan pilihan tindakannya
yang empatik dan rendah hati di antara keluarga pesantren desa yang
sedang berduka, menjadi kritik, inspirasi sekaligus harapan. Berbagai
upaya, kreativitas dan terobosan untuk menumbuhkan, mengembangkan,
dan membiasakan empati dalam kehidupan bersama sangatlah dibutuhkan.
Meskipun mengembangkan empati itu merupakan syarat sangat penting
dalam menghadirkan perdamaian, mewujudkan keadilan merupakan
pekerjaan yang jauh lebih penting lagi. Kesanggupan berempati akan
mengakibatkan seseorang mampu melihat kebaikan, keluhuran dan
martabat orang lain. Dari situlah seseorang melangkah kepada upaya
menghadirkan keadilan dalam kehidupan bersama sehingga setiap orang
sungguh-sungguh menemukan kedamaian.
Semoga tindakan unik
dan sederhana di tengah suasana duka sebuah pesantren desa ini,
membangkitkan inspirasi bagi semakin banyak hati untuk seturut
kesanggupannya dan melalui berbagai macam cara, menghadirkan empati
dan keadilan dalam kehidupan bersama. ***
No comments:
Post a Comment