Konflik dan kekerasan bersenjata di berbagai belahan dunia
telah melahirkan banyak korban jiwa dan pengungsian. Anak-anak dan orang-orang
biasa yang tak bersalah seringkali harus menanggung derita yang sulit
dimengerti atau mengalami kematian. Banyak orangtua tersayat jiwanya
menyaksikan anak-anak terenggut oleh kekejaman perang. Banyak anak harus
mengalami kesepian dan keterasingan karena kehilangan ayah atau ibu yang pernah
mendekap mereka dalam kasih sayang. Derita dan kematian yang tampak sia-sia ini
menggoreskan luka yang dalam. Mereka yang terpaksa mengungsi, meninggalkan
kampung halaman dengan segenap luka yang mereka sandang. Mereka berharap dapat
menemukan kehidupan yang damai dan masa depan yang cerah.
Para
Pengungsi merindukan bahwa kisah hidup mereka didengarkan dengan penuh
perhatian. Dengan berkisah tentang kehidupan mereka, Pengungsi ingin
menyampaikan pesan-pesan kemanusiaan yang mengundang kita untuk bertindak bagi
terwujudnya perdamaian dan keadilan secara konkret dan sederhana. Pesan ini
akan sampai bila kita bersedia menyambut para Pengungsi dengan keramahtamahan.
Adolfo Nicolás SJ menggambarkan keramahtamahan sebagai pancaran nilai
kemanusiaan yang mengakui hak seseorang, bukan karena ia adalah bagian dari
keluarga, komunitas, ras, atau keyakinan kita, melainkan semata-mata karena ia
adalah sesama manusia yang layak diterima dan dihormati.[1]
Keramahtamahan
ibarat menyambut seorang asing untuk tinggal di rumah yang telah kita bangun untuk seseorang yang
kita kasihi.[2] Dalam keramahtamahan, Pengungsi yang menjadi
tamu di negara kita disambut sebagai tamu dan sahabat yang dikasihi. Sambutan
yang hangat tersebut membesarkan hati dan membangkitkan semangat hidup yang
pernah memudar. Di sinilah, mereka yang terlunta-lunta akibat pengungsian menemukan
suasana yang mendorong mereka untuk tumbuh kembali sebagai pribadi yang
bermartabat. Keramahtamahan menyalakan rasa saling percaya dan saling hormat
yang menuntun “pemilik rumah” dan “tamu yang disambutnya” pada pengenalan yang
semakin dalam. Dalam suasana inilah, JRS yang mengalami saat-saat berahmat
untuk menyambut Pengungsi, belajar menemukan apa saja yang dibutuhkan para
Pengungsi untuk memulihkan martabat hidup mereka.
Keramahtamahan
terhadap orang asing seperti Pengungsi adalah wujud nyata sikap pemerdekaan
diri (detachment) dari segala rasa lekat tak teratur (inordinate attachments)
yang telah menghalangi seseorang untuk menjumpai orang lain dengan seluruh
kekhasan pribadinya. Rasa lekat tak teratur itu dapat berupa kecurigaan, rasa
tidak aman, stereotype terhadap orang lain, serta anggapan bahwa orang asing
adalah “musuh” yang mengancam. Keramahtamahan menjadi jalan pengosongan diri
bagi tumbuhnya perdamaian.
Bagi banyak
kebudayaan dan agama, keramahtamahan merupakan nilai dasar. Dalam Islam, Surah
An Nisaa’ memerintahkan kaum muslim berbuat baik kepada kerabat, anak yatim,
orang asing, dan orang yang sedang melakukan perjalanan (ibnu sabil) [4:36].[3] Salah satu tradisi Kristen menyatakan,”Jangan
lupa memberikan tumpangan kepada orang asing, sebab dengan berbuat demikian, beberapa orang tanpa diketahuinya
telah menjamu malaikat-malaikat” [Surat kepada Orang Ibrani 13:2]. Bahkan,
Tuhan sendiri dalam tradisi Kristen menyamakan diri-Nya dengan orang asing yang
mengundang keramahtamahan kita: ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku
tumpangan [Matius 25:35]. Taittiriya Upanishad dalam Hindu menyatakan bahwa
keramahtamahan ibarat menyambut tamu sebagai yang Ilahi. Dalam agama Yahudi,
keramahtamahan (hakhnasat orchim) terhadap tamu atau orang asing merupakan
kewajiban.[4] Ada pula sebuah prinsip yang mendorong
penganut Yahudi untuk menerima orang asing yang awalnya dianggap musuh, sebagai
sahabat (Eizehu Gibur M’ha’giburim).[5]
Dunia kita
yang menderita sakit akibat perang, konflik, sentimen, kecurigaan, dan
stereotyping yang melahirkan Pengungsi, membutuhkan keramahtamahan untuk
menyembuhkannya. Semoga penemanan, pelayanan, dan pembelaan JRS bagi para
Pengungsi secara langsung, konkret, dan sederhana, dapat menjadi tanda
keramahtamahan yang menyembuhkan. Semoga cahaya keramahtamahan melelehkan
kebekuan-kebekuan sosial dalam masyarakat yang menolak pengungsi, serta
menembus ruang-ruang penting tempat kebijakan politik mengenai Pengungsi
diputuskan.
Publikasi awal di JRS Indonesia
[1] Surat
Pater Jenderal Adolfo Nicolás SJ kepada JRS tanggal 14 November 2010 pada
peringatan ulang tahun JRS ke-30.
[3] Lih. juga
(http://unhcr.or.id/images/pdf/publications/ haksuakasyariah.pdf
[5] Arik Ascherman,”Does Judaism Teach
Universal Human Rights?”, dalam Kelly James Clark, Abraham’s Children, Liberty and
Tolerance in an Age of Religious Conflict, Yale University Press, 2012, hlm.46-47.
No comments:
Post a Comment