Siang itu telepon genggam saya berdering. “Hallo Pak, sekarang ini situasi di Myanmar semakin buruk. Orang
Rohingya semakin mengalami banyak kesulitan. Berita terakhir sangat buruk.
Kapan kita bisa bertemu?”, demikian suara Mohammad Amir[i] cemas. Pengungsi etnis
Rohingya berusia 27 tahun ini telah meninggalkan Myanmar selama hampir 8 tahun.
Kehidupan Muhammad Amir memang tidak pernah mudah namun
bulan-bulan belakangan ini ia semakin prihatin dan sedih. Sejak peristiwa
kekerasan yang terjadi di Myanmar bulan Juni lalu, Muhammad telah kehilangan
kontak dengan keluarganya. “Saya tidak tahu apakah
keluarga saya masih hidup saat ini. Yang jelas, satu kakak saya telah melarikan
diri ke Bangladesh”, jelasnya. Kedutaan Besar Australia baru saja
memberikan surat penolakan atas pengajuan suakanya. Ia merasa semakin cemas dan
bingung sampai mengalami gangguan tidur atau insomnia.
PENOLAKAN di MYANMAR
Di Myanmar, sebagian besar orang Rohingya tidak dapat
mengenyam pendidikan. “Orang Rohingya seperti saya
punya banyak kesulitan untuk dapat menikmati sekolah. Saya hanya dapat
bersekolah sampai kelas 4 SD. Itu pun dimulai ketika saya sudah berumur 10
tahun”, katanya. Ketika menginjak usia remaja, lelaki muda Rohingya
pada umumnya akan berhadapan dengan lebih banyak kesulitan dan penganiayaan. “Waktu umur 15 tahun, saya dipaksa oleh pemerintah untuk bekerja
sebagai tukang bangunan bagi kantor pemerintah tanpa bayaran”, kenangnya
dengan wajah sedih. “Dalam seminggu, saya harus menjalani kerja
paksa itu selama 4 hari, dari pagi sampai sore”, lanjutnya. “Waktu istirahat hanya setengah jam, dan apabila ketahuan bahwa
saya sedikit beristirahat di sela-sela kerja karena lelah, atau karena kurang
cepat dalam bekerja, saya akan mendapatkan pukulan demi pukulan.”
“Ketika badan sudah lelah bekerja paksa di
siang hari, saya masih sering dipaksa oleh kepala kampung untuk berjaga malam
di pos keamanan di wilayah perbatasan sampai pagi”, keluh Mohammad
Amir. Menjaga wilayah perbatasan antara Myanmar dan Bangladesh itu merupakan
tanggung jawab petugas keamanan, tetapi mereka seringkali memaksa orang
Rohingya untuk menggantikannya. “Suatu malam, saya sangat lelah
sehingga tertidur saat dipaksa berjaga malam. Ketika ketahuan, seluruh badan
saya dipukuli dengan menggunakan kayu sampai bagian muka dan kepala saya
berdarah-darah. Sakit sekali rasanya”, katanya sedih dan marah. “Saya tidak ingin dianiaya lagi. Maka saya memutuskan untuk
pergi”.
“Saya tidak mungkin kembali ke Myanmar. Kalau
kembali ke sana hanya ada dua pilihan bagi saya, dibunuh atau dipenjara seumur
hidup”, tandasnya. Ia merasa beruntung berada di Indonesia meskipun
harapan terbesarnya adalah mendapatkan negara ketiga yang mau menerimanya
sebagai warga negara. “Saya sudah mengungsi ke
beberapa negara seperti Bangladesh, India, China, Thailand dan Malaysia. Saya
naik perahu, naik bus, atau berjalan kaki untuk melintasi negara-negara itu. Di
semua negara itu, saya selalu merasa terancam meskipun dapat bekerja secara
sembunyi-sembunyi, karena jika tertangkap oleh pihak keamanan, saya pasti
dimasukkan ke dalam tahanan atau dibuang. Di Indonesia saya merasa lebih baik.
Orang Indonesia itu baik hati, peduli kepada orang Rohingya, mau mengirim orang
ke Myanmar, dan bahkan mau berbicara mendalam dari hati ke hati”, akunya.
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, orang Rohingya merupakan
kelompok minoritas paling teraniaya di dunia. Ia merupakan bagian dari 12 juta
orang yang tidak diakui kewarganegaraannya di negara manapun di dunia setelah
Undang-undang Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982 tidak mengakui orang Rohingya
sebagai salah satu kelompok etnis di Myanmar. Tidak adanya pengakuan sebagai
warga negara ini membuat orang-orang seperti Muhammad Amir ini tidak dapat
memiliki paspor, tidak dapat bepergian atau bekerja secara resmi di negaranya
sendiri maupun di negara lain, seolah-olah mereka ini tidak boleh hidup di
dunia ini.
Dalam kecemasan, kebingungan dan keprihatinan yang
menyelimutinya karena pengajuan suakanya ditolak oleh Kedutaan Australia, Mohammad
Amir tetap berusaha membangun harapan baru. “Saya sudah menulis surat
kepada UNHCR bahwa saya ingin hidup di New Zealand.” Tentu saja
proses ini membutuhkan waktu entah berapa lama lagi. Sambil menunggu dalam
ketidakpastian, ia berusaha menjagai satu-satunya harapan untuk hidup secara
lebih bermartabat.“Saya sangat rindu untuk dapat hidup seperti
orang-orang pada umumnya dan memiliki masa depan yang baik”. Agar
waktu penantian ini menjadi lebih berguna dan tidak terasa lama, ia
memanfaatkannya untuk belajar bahasa Inggris sebagai bekal bagi masa depannya.
Semoga masa depan yang dinantikan itu akan memberinya kesempatan untuk hidup
secara aman dan kesempatan untuk kembali membangun harapan dan impian.
Indro
Suprobo
[i] Demi perlindungan, nama
ini bukanlah nama sebenarnya.
Publikasi awal di JRS Indonesia
No comments:
Post a Comment