Thursday, April 25, 2024

Lansia, Menghayati Mistik Keseharian

 



Salah satu refleksi filosofis yang barangkali sesuai dan kontekstual dengan realitas kehidupan sebagai lansia adalah refleksi yang dipaparkan oleh filsuf Jerman bernama Martin Heidegger. Dua tema penting yang dapat digunakan sebagai landasan pemikiran adalah refleksinya tentang faktisitas atau pengalaman keterlemparan dan refleksinya tentang proses mewaktu. 


Faktisitas

Tak seorangpun di antara para lansia yang terlibat da-lam penulisan buku ini, yang sebelum menjadi lansia pernah diajak berdiskusi atau diberi pertanyaan apakah ia bersedia untuk menjadi lansia ataukah tidak. Juga tak seorangpun di antara para lansia yang sebelum menjadi lansia pernah disodori sebuah pilihan apakah ia akhirnya akan menjadi lansia atau akan terus menjadi manusia muda yang tak pernah mengalami kemunduran fungsi tubuh, kemampuan mendengarkan, kemampuan melihat, tak mengalami gangguan sendi, tak mengalami nyeri asam urat dan gangguan kesehatan lainnya. Menjadi lansia adalah faktisitas, yakni sebuah pengalaman keterlemparan. Mau tak mau, tanpa menunggu persetujuannya, seseorang terlempar menjadi lansia seturut waktu hidup yang dijalaninya. Tak ada pilihan lain, tak bisa diubah, dan tak bisa ditolak. Faktisitas atau pengalaman keterlemparan sebagai lansia ini adalah sebuah realitas  niscaya yang hanya dapat dihadapi dengan satu sikap dasar, yakni diterima apa adanya sebagai realitas diri. 


Proses Mewaktu

Proses mewaktu dapat dipahami sebagai sebuah proses yang dipilih secara sadar, penuh tanggung jawab dan otonom oleh manusia untuk menghadirkan diri secara intensif, otentik, dan berkualitas di dalam waktu. Dengan demikian, proses mewaktu adalah sebuah pilihan. Ini merupakan tindakan positip dan bertanggung jawab dalam menghadapi faktisitas sebagai lansia. Proses mewaktu menjadi metode atau cara yang unik dan khas bagi setiap manusia (Dasein) untuk menghadapi dan menjalani pengalaman keterlemparan secara berkualitas dan bermakna.

Boleh dikatakan bahwa pilihan proses untuk mewaktu ini, yang merupakan pilihan otonom untuk menghadirkan diri secara intensif, otentik dan berkualitas di dalam waktu, merupakan pilihan untuk terlibat secara aktif, kreatif dan produktif di dalam waktu keseharian. Pilihan ini menjadi pembeda dengan manusia lain yang oleh Martin Heidegger disebut mengalami kejatuhan di dalam waktu keseharian. Saya lebih memilih istilah lain bahwa manusia yang jatuh di dalam waktu keseharian ini adalah manusia yang terlipat oleh waktu. Manusia yang terlipat oleh waktu ini disebut sebagai Das Man. Manusia yang terlipat oleh waktu, adalah manusia yang hanyut, larut, mengalir tanpa pernah membangun pilihan sadar dan reflektif terhadap waktu dan keseharian. Ia menjadi manusia di dalam kumpulan dan gerombolan tanpa menghadirkan otentisitas, keunikan, otonomi dan pilihan kreatif penuh kesadaran dan tanggung jawab. 

Dari sini kita menjadi tahu bahwa dalam menghadapi faktisitas atau pengalaman keterlemparan, lansia dihadapkan kepada dua pilihan, apakah ia akan menjalani realitasnya sebagai lansia itu dengan memilih proses mewaktu, yakni memilih menghadirkan diri dan terlibat secara otentik dan berkualitas di dalam waktu (menjadi Dasein), ataukah membiarkan diri begitu saja untuk terlipat tanpa pilihan otonom di dalam waktu (menjadi Das Man). Lansia yang memilih untuk mewaktu, adalah lansia yang memilih untuk menegaskan otentisitas, otonomi, keunikan, dan kualitas di dalam menghayati waktu dan kesehariannya sebagai lansia. Pilihan ini dijalankan dan dihayati melalui beragam profesi, kompetensi, hobi, bakat, dan minat yang ada di dalam diri masing-masing lansia. Melalui semua itu manusia lansia hadir sebagai manusia yang otentik, otonom, unik dan berkualitas di tengah kehidupan kesehariannya.  


Menghayati Mistik Keseharian

Pada gilirannya, lansia yang memilih proses mewaktu, yang menghadirkan diri secara intensif, otentik, dan berkualitas di dalam waktu, yang terlibat di dalam waktu keseharian tanpa terlipat olehnya, yang memilih menjadi Dasein, adalah lansia yang memilih untuk menghayati mistik keseharian. Kata mistik di sini tak ada kaitannya dengan jagading lelembut atau dunia hantu dan horor, melainkan suatu pilihan sadar penuh tanggung jawab dan terbuka untuk senantiasa membuat realitas keseharian itu menyingkapkan dirinya dan mengungkapkan makna terdalamnya. Dengan demikian, setiap waktu yang dijalaninya menjadi waktu yang bermakna. Karena tersingkap dan terungkap makna terdalamnya, maka waktu keseharian yang dijalaninya itu menjadi waktu keseharian yang transparan, terbuka, menghadirkan pesona, bahkan barangkali dapat mengalirkan suatu pengalaman yang menggetarkan hati (tremendum) dan memancarkan pesona yang mendalam (fascinosum). Lansia yang menghayati mistik keseharian adalah lansia yang sanggup membangun jarak terhadap setiap pengalaman kesehariannya dan menenun refleksi atas pengalaman itu. Ia menjadi lansia yang wening meskipun berada di tengah kesibukan dan keramaian. Ia menjadi lansia yang sanggup berkontemplasi di dalam aksi, bertapa dalam keramaian (tapa ngrame).

Buku Kumpulan Esai berjudul Kita Lansia, Terus Berkarya, Bahagia, Penuh Berkah ini adalah salah satu dokumentasi tentang bagaimana para lansia ini telah menghadapi faktisitas atau pengalaman keterlemparan sebagai lansia dengan memilih menjadi Dasein, yakni memilih menjadi lansia yang menghadirkan diri secara intensif, otentik, dan berkualitas di dalam waktu, yang memilih terlibat secara kreatif dan penuh tanggung jawab di dalam waktu tanpa terlipat di dalamnya, sehingga tidak menjadi Das Man, atau manusia gerombolan, melainkan menjadi lansia yang menghayati mistik keseharian dan menjadikan setiap saat dalam langkah hidupnya sebagai saat yang bermakna, saat yang menyingkapkan esensi dirinya dan mengungkapkan makna terdalamnya. Dengan pilihan itu, para lansia yang terlibat dalam penulisan buku ini telah menghadirkan otentisitas, keunikan, dan kualitas dirinya. Lansia yang memilih untuk mewaktu, menghadirkan otentisitas, keunikan dan kualitas dirinya di dalam waktu, yang menghayati mistik kesehariannya, pada gilirannya menjadi lansia yang bahagia dan menghadirkan berkah bagi manusia-manusia lain di sekitarnya dan bagi semesta. 

Selamat membaca buku ini dan menyelami penyingkapan-penyingkapan makna yang terkandung di dalamnya. 


Indro Suprobo

Sunday, April 14, 2024

"Come and listen. Come and talk to us"

 


Pendeta Isaac Munther dari Palestina mengajak orang-orang lain yg ingin memahami apa yang sebenarnya terjadi dan penderitaan seperti apakah yang dialami oleh rakyat Palestina dengan mengatakan "Come and listen. Come and talk to us."

 Ajakan ini mengingatkan kita kepada suatu substansi tentang pembentukan pengetahuan dan pemahaman yg lebih adil, yang dinyatakan oleh Spivak dengan pernyataan "Let subaltern speaks." Biarkanlah mereka yang paling rentan dan menderita itu menyatakan pengalaman nyatanya sendiri, dan dengarkanlah secara seksama, pahamilah, dan selamilah pengalaman nyata mereka itu. 

Pengalaman nyata yang dikisahkan oleh mereka yang mengalami langsung penderitaan itu saat demi saat, adalah pengalaman yang valid yang menjadi sumber bagi pengetahuan dan bagi perumusan teologi pembebasan, yang menggerakkan keseluruhan pilihan praksis dan tindakan keberpihakan.

Datang, mendengarkan dan menyelami pengalaman penderitaan rakyat Palestina adalah gerakan fundamental yang penting untuk dapat membebaskan diri dari seluruh konstruksi pengetahuan diskriminatif yang diformulasikan oleh kaum Zio dan kroni-kroni atau budak-budaknya. 

Datang dan berbicara dengan mereka tidak selalu harus dipahami secara fisik, namun dapat dipahami sebagai gerak menghadirkan diri secara otentik dan otonom ke dalam seluruh pengalaman mereka, agar gema penderitaan dan harapan mereka menjadi gema di dalam diri kita sendiri, agar pengalaman luka mereka menjadi pengalaman luka kita sendiri. Dalam bahasa teologis, ini disebut "incarnatio", inkarnasi, merasuk dan mendaging dlm pengalaman real mereka, menyelami secara mendalam dan penuh komitmen, merasuk menjadi manusia Palestina dengan seluruh pengalaman mereka. 

Dari sanalah seluruh refleksi teologi itu dirumuskan, sehingga sungguh memenuhi kriteria "berteologi dari pengalaman" sebagaimana dituntut oleh teologi kontekstual dan teologi pembebasan. Ini sebuah teologi yang berpihak dengan prinsip "preferential option for and with the poor and displaced people". Ini adalah teologi yang secara tegas dan berani menghadapi seluruh kolonialisme sejak di dalam pikiran. 

Palestina berhak dibela untuk mencapai pembebasan dan kemerdekaan.