Tuesday, October 08, 2024

Perubahan Makna Keterpilihan sebagai Bangsa

 


Dalam studi Kitab Suci Perjanjian Lama yang meliputi studi atas lima kitab Musa (Pentateukh) dan kitab Nabi-Nabi, dipahami bahwa keterpilihan Israel sebagai bangsa, sejatinya bukanlah sebuah ketentuan dan hadiah dari Tuhan yang bersifat gratis sehingga menjadi hak yang melegitimasi seluruh tindakan, melainkan pertama-tama dan terutama adalah sebuah refleksi dan konstruksi teologis dari tradisi para penulis dan editor kitab suci, sebagai upaya membangun kriteria dari suatu imajinasi tentang sebuah bangsa (imagined community). Oleh karena itu, imajinasi yg merupakan refleksi dan konstruksi teologis itu harus diperjuangkan dan mengandung suatu mandat atau kewajiban.

 

Kriteria dasar dari imajinasi tentang bangsa yang terpilih itu adalah dijalankannya 10 perintah Allah sebagai suatu bentuk akad atau perjanjian, yg secara kultural mengacu kepada praktik perjanjian antar suku pada masa lalu. Secara garis besar, 10 perintah Allah yang menjadi fondasi dan kriteria dari imajinasi tentang bangsa yang terpilih itu, dapat diringkas dalam dua imperatif saja yakni, pertama, setia kepada Yahweh sebagai satu-satunya Allah (tauhid, monotheisme) dan kedua, menjalankan keadilan di antara manusia sbg perwujudan dari kesetiaan kepada Yahweh.

 

Melalui pesan para nabi yang dikemudian terdokumentasikan, terutama dalam kitab nabi Yesaya (terutama deutero Yesaya), Yeremia, dan Yehezkiel, yang berkarya pada masa-masa pembuangan di Babilonia paska kehancuran Bait Allah, refleksi dan konstruksi teologis atas  imajinasi keterpilihan itu semakin menguat dengan tetap mendasarkan diri pada pondasi 10 perintah Allah sebagai kriteria dan acuan. Sekali lagi, mandat dan kewajiban dari akad atau perjanjian utk menyembah Yahweh dan melakukan keadilan itu ditekankan, di tengah trauma hebat akibat pengalaman kehancuran dan pembuangan.

 

Perjuangan membangun imajinasi itu pada masa modern mengalami tantangan hebat dan traumatik luar biasa ketika mereka menghadapi genosida dan holocaust.

 

Setelah itu, pengalamn traumatik dan lack lebih mewarnai bagaimana imajinasi itu dimaknai dan dikonstruksi kembali. Yang paling menjadi persoalan, imajinasi itu dimaknai dengan menghilangkan landasan kriteria sebagaimana terumus dalam akad atau perjanjian, yakni setia kepada Yahweh dan menjalankan keadilan. Akibatnya, imajinasi yang sebenarnya harus diperjuangkan dan mengandung kewajiban utk menjalankan keadilan, berubah menjadi pemberian dan penetapan dari Tuhan yang justru melegitimasi kekuasaan dan pemaksaan dengan kekerasan dalam praktik pendudukan, bukan pelaksanaan keadilan sesuai akad atau perjanjian.

 

Keterpilihan itu saat ini secara sangat kentara ditafsirkan dan dimaknai sebagai sesuatu yang sudah ditentukan oleh Tuhan dan menjadi legitimasi untuk mewujudkan hasrat akan kekuasaan melalui pemaksaan dengan kekerasan, kejahatan, dan penindasan. Semua itu menjadi ekspresi bawah sadar dari dendam akan kehancuran dan keterserakan yang berulang.

 

Sangat dipahami bahwa banyak orang Yahudi tak menyetujui dan menolak semua tindakan ini karena mereka melandaskan diri pada fondasi dan mandat utama dari imajinasi keterpilihan, yakni kesetiaan pada Yahweh dan menjalankan keadilan. Apa yang terjadi saat ini adalah pengkhianatan radikal atas akad atau perjanjian dan mandat, yang merupakan landasan substansial.

Keterpilihan, yang awalnya adalah refleksi konstruktif imajinatif yang bersifat etis dan emansipatoris, telah berubah menjadi legitimasi egois dan sinis yang bersifat destruktif.

Tuesday, October 01, 2024

Yang seringkali terlupa dari Palestina

 


Jauh-jauh hari sebelum munculnya perlawanan Hamas, George Habash, seorang dokter cum aktivis politik kristen ortodok Palestina, telah mendirikan "Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP)" atau "Al-Jabhah al-Sha'biyyah li-Tahrir Filasthin." Karena tak lagi percaya dan berharap pada pendekatan diplomatik yang tak membawa perubahan nyata, ia memilih perlawanan bersenjata dan kemudian hari organisasinya menjadi faksi terbesar kedua dalam Front Pembebasan Palestina (PLO).

Mungkin banyak orang sering lupa bahwa sesungguhnya, inisiator perlawanan rakyat Palestina adalah kaum kiri Kristen Palestina. Ini menunjukkan bahwa sejak awal mula, kekejaman Israel diderita oleh semua rakyat Palestina, apapun agamanya. Ketika menyebut Palestina, barangkali yang secara spontan muncul adalah bayang-bayang wajah Islamnya saja, dengan seluruh prasangka yang tertanam tentangnya, bukan wajah-wajah nyata rakyat dan sesama, dengan aneka ragam latar belakang yang mewarnainya.

George Habash, orang kristen Palestina yg terpaksa mengangkat senjata demi memperjuangkan hak-haknya sebagai warga dunia, yang diusir dan dipaksa kehilangan seluruh harta benda dan sejarah hidupnya, oleh semua sekutu barat dijuluki sebagai gembong teroris dunia. Meskipun yg sebenarnya ia lawan adalah sebenar-benarnya teroris yang dilegitimasi oleh wacana yg berhasil bersemayam dalam nalar sebagian masyarakat dunia. Ideologi bersembunyi di dalam bahasa.

Barangkali pantas diduga, mengapa ada banyak orang yang mendukung kebijakan dan kekejaman Israel terhadap rakyat Palestina, sampai-sampai tak sanggup lagi mengenali wajah kemanusiaan rakyat Palestina, bayi-bayi, anak-anak dan perempuan, serta para lansia yang harus menjemput kematian tanpa kesalahan, yang seluruh penderitaannya mengundang keterlibatan, empati, dan belas kasihan. Salah satu dugaan adalah ketika mendengar kata "Palestina", secara spontan dari bawah sadarnya yang muncul adalah wajah Islam lengkap dengan seluruh prasangka yang telah dikonstruksi melalui beragam wacana, yakni Islam sebagai seluruhnya keburukan sampai tak ada setitik pun sisa kebaikan. Dalam bawah sadarnya telah tertanam prasangka bahwa Islam adalah ancaman, Islam adalah kekerasan, Islam adalah semua yang anti keadilan, kesetaraan dan kebebasan, Islam adalah yang melarang peribadatan, Islam adalah yang menghalangi sembahyangan, Islam adalah yang akan mencuri kekuasaan dan mengatur peradaban dalam kesewenang-wenangan, Islam adalah yang anti kemajuan dan ilmu pengetahuan.

Konstruksi wacana yang dipenuhi prasangka ini, lebih menyentuh dan menggetarkan jaring-jaring emosinya, sehingga menghalangi, menghambat, bahkan menutup daya kritis akal budinya, melemahkan fungsi keraguan dan kesangsian yang efektif untuk membongkar segala bentuk kepastian dengan pertanyaan, mengendorkan daya-daya penundaan persetujuan dan keterbukaan terhadap kemungkinan penemuan makna baru yang berbeda (differance), serta mengaburkan kemampuan mengidentifikasi topeng-topeng kolonial (white masks) yang dilekatkan pada wajah-wajah keaslian, otonomi, kebebasan, kemandirian serta kemartabatan dirinya (black skin). Akibatnya penderitaan nyata rakyat Palestina yg tak berdosa sama sekali tak menggetarkan kemanusiaannya. Kejahatan dan kesewenangan Israel yang brutal sama sekali tak dikenalinya. Yang tampak nyata, apapun situasi realnya, adalah bahwa kata "Palestina" telah membangkitkan imajinasi dan keyakinan bahwa "ada ancaman yang berdiri di depan dan membahayakan masa depannya". Meminjam istilah yang digunakan oleh Zlavoj Žižek, kata "Palestina" barangkali telah melahirkan suatu ilusi bawah sadar tentang "the theft of enjoyment" (tercurinya kepenuhan yang sekaligus merupakan kekosongan karena tak pernah mungkin terpenuhi namun senantiasa dihasrati).

Jika ternyata dugaan ini benar, pekerjaan yang harus dilakukan adalah membongkar seluruh prasangka, menyelami wajah-wajah manusia Palestina sebagai wajah sesama yang diliputi penderitaan dan mengundang keterlibatan (JB. Metz), membiarkan jeritan dan seruan pertolongan mereka menjadi jeritan dan seruan pertolongan yg bergema di dalam pengalaman diri sendiri (Gaudium et Spes Konsili Vatikan II), memasuki seluruh pengalaman rakyat Palestina apapun latar belakangnya sebagai pengalaman diri sendiri yang melahirkan gugatan, serta berani menyatakan "tidak setuju" terhadap seluruh konstruksi wacana yang telah bercokol secara hegemonik dalam bawah sadar agar terbuka jalan bagi pengenalan yang lebih jujur dan ikhlas terhadap liyan, yg pada gilirannya akan menumbuhkan compassion (bela rasa dan bela daya) yang semakin mengakar, lalu menentukan pilihan keberpihakan yang berorientasi pada nilai keadilan (preferention option). Gustavo Gutierrez mengingatkan bahwa dalam situasi di mana ada penindasan, netralitas sama dengan mendukung sang penindas. Ini merupakan titik batas yg dalam kajian etika lebih dekat kepada apa yg disebut sebagai "connivance", yakni mengetahui adanya kejahatan namun tetap membiarkan kejahatan itu terjadi.

Pekerjaan berat namun sangat mungkin dilakukan.

Untuk membantunya, barangkali berguna mengingat kata-kata seorang guru dan aktivis gerakan sosial-religius pemberani dari desa Nazareth:

"...sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraku yang paling hina ini, yang rumahnya hancur, kehilangan orang-orang tercinta, yg senantiasa berada dalam bahaya mortir dan ledakan, yang keselamatan jiwanya tanpa kepastian, yg terusir dari kampung halamannya, yg kehausan dan kelaparan krn tak ada makanan da minuman, yg seluruh bantuan kemanusiaannya dihadang secara sewenang-wenang,.....kamu telah melakukannya untuk aku" (Mat25:40)