Rumusan Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia merupakan sebuah kesepakatan yang dihasilkan setelah melalui perdebatan panjang, keras namun santun oleh minimal dua kubu di kalangan pemimpin pergerakan Indonesia, yakni kubu kaum muslim dan kubu kaum nasionalis. Dalam rapat BPUPKI 19 April 1945 para wakil umat Islam mengusulkan agar Indonesia merdeka mengakomodasi aspirasi umat Islam yang jumlahnya mayoritas dan telah banyak berjuang serta berkorban dalam proses menuju Indonesia merdeka, dengan menjadikan Islam sebagai dasar negara. Usulan ini masih diajukan dalam rapat Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP). Usulan ini ditolak oleh kaum nasionalis seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, dan Soepomo. Akhirnya disepakati rumusan Pancasila sebagaimana diketahui sampai saat ini. Namun demikian kesepakatan ini masih didahului juga oleh proses perdebatan tentang “Piagam Jakarta”. Hasil akhirnya, perwakilan tokoh Islam menerima secara ikhlas dan penuh toleransi rumusan Pancasila tanpa memberlakukan Piagam Jakarta demi menjaga persatuan nasional dan merawat kebersamaan. Usulan lain yang disetujui dalam sidang pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNPI), sebagai parlemen Indonesia sementara, yang diselenggarakan pada tanggal 25-27 November 1945, adalah usulan agar urusan menyangkut kepentingan umat Islam diberi wadah tersendri dalam kementerian. Berdasarkan ketetapan yang dikeluarkan pemerintah pada tahun 1946, Nomor 1/SD, tanggal 3 Januari 1946, secara resmi dilahirkan Kementerian Agama dengan menteri pertama H. Rasjidi B.A. Masa Ideal, Awal Kemerdekaan Suasana awal kemerdekaan merupakan suasana yang kondusif bagi pengembangan pluralisme agama dan keyakinan di Indonesia. Pengalaman terjajah selama puluhan tahun telah membentuk suasana psikologis dan ideologis yang menyatukan para tokoh agama dalam perasaan yang sama dan senasib untuk membangun bangsa dengan meminggirkan kepentingan kelompoknya sendiri. Wahid Hasyim, menteri Agama pada masa Republik Indonesia Serikat, menunjukkan visi inklusifnya melalui program Kementerian Agama yang dirumuskan sebagai berikut: 1. Melaksanakan perubahan corak politik keagamaan dari dasar kolonial kepada nasar nasional 2. Mewujudkan kebulatan dan keseimbangan bangsa Indonesia dengan tidak membedakan kepercayaan dan agama, sesuai dengan tuntutan demokrasi yang sejati 3. Menghidupkan moral masyarakat, terutama dalam pembangunan 4. Membimbing tumbuh dan berkembangnya faham keTuhanan Yang Maha Esa di segala lapangan penghidupan dan bagian masyarakat. Prinsip demokrasi dalam pandangan Wahid Hasyim memberikan orientasi bahwa keberadaan Departemen Agama harus melindungi seluruh hak hidup umat beragama tanpa pandang bulu. Secara tegas ia menyatakan bahwa ”Pemerintah bukanlah pemerintah Islam. Negara Republik Indonesia bukanlah negara Islam dan Kementerian Agama bukan kementerian Agama Islam”. Menurut Wahid Hasyim, negara tidak boleh melakukan propaganda atas nama agama tertentu terhadap agama lainnya, serta tidak boleh melakukan intervensi atas urusan peribadatan rakyat beragama sebagaimana dilakukan oleh pemerintah masa kolonial. Dalam urusan intern agama, pemerintah tidak diperbolehkan untuk campur tangan. Seandainya harus campur tangan, campur tangan itu bukan dalam urusan isi agama melainkan dalam urusan yang bertalian dengan umat atau rakyat beragama sepanjang batas yang dapat dicampurinya. Masih menurut pandangan Wahid Hasyim, umat Islam tidak boleh menggantungkan diri kepada pemerintah. Dalam urusan kegiatan keagamaan, termasuk dalam pembangunan masjid, umat Islam harus mampu membangun sendiri dan tidak boleh meminta bantuan kepada pemerintah. Sebab kalau ini dilayani, pemerintah juga harus melayani urusan pembangunan rumah ibadah umat yang lainnya.[1] Orde Baru memandang Agama Kebijakan tentang kebebasan beragama yang diproduksi oleh pemerintah sangat berkaitan dengan bagaimana negara memandang agama, terutama sejak Orde Baru. Bagi Orde Baru, agama merupakan hal yang sangat penting karena dipandang sebagai kekuatan yang memiliki potensi kedaulatan yang dapat mengancam kekuasaan negara. Kedaulatan (sovereignty) dipahami sebagai sesuatu yang menjadi keputusan paling akhir, keputusan paling tinggi yang diambil oleh seseorang sovereign yang mana dia tidak dapat digugat dan tidak perlu bertanggung jawab kepada siapa pun, lembaga apapun, dan tidak membutuhkan legitimasi dari siapapun selain legitimasi intern dari doktrin itu sendiri atau self-referent.[2] Kedaulatan ini dalam praktiknya terwujud dalam infalibilitas. Oleh karena itu, agama-agama dikontrol secara ketat. Kontrol terhadap agama oleh negara ini tampaknya merupakan kelanjutan dari model pemerintah kolonial dalam mengatur agama, terutama Islam, sebagaimana direkomendasikan oleh Snouck Hurgronje agar memberikan peluang bagi religious Islam (Islam agama) namun memberantas sampai ke akar-akarnya apa yang disebut sebagai political Islam (Islam Politik). Salah satu contoh paling baik dari potensi agama menjadi sesuatu yang memiliki kedaulatan dan menggoncang kekuasaan yang lain adalah reformasi (atau lebih tepat revolusi) Lutheran yang bukan hanya merupakan revolusi teologis melainkan juga sebuah pendobrakan terhadap kekuasaan politik dan religius the holy Roman Empire yang berpusat di Vatikan. Dobrakan Luther inilah yang pada gilirannya menggerakkan aksi protes kaum petani Jerman. Kebijakan Negara yang membatasi kebebasan berkeyakinan Kebijakan negara yang membatasi kebebasan berkeyakinan dimulai oleh produk pada masa Soekarno yakni Penetapan Presiden No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau penodaan Agama, tertanggal 27 Januari 1965. Penpres ini dikuatkan dengan Undang-Undang No.5 tahun 1969 oleh Orde Baru. Dalam penjelasan Penpres ini disebutkan bahwa agama yang ada di Indonesia meliputi 6 agama yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khong Hu Cu. Namun dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri nomor 477/74054 tertanggal 18 November 1978 dinyatakan bahwa agama yang diakui resmi oleh pemerintah adalah Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Jadi hanya 5 (lima agama). Pembatasan kebebasan berkeyakinan ini terwujud pula dalam pendefinisian tentang agama oleh pemerintah yang sangat sempit dan berbeda dengan definisi yang dikemukakan oleh ilmu-ilmu sosial pada umumnya seperti Durkheim dan Weber. Pemerintah secara sepihak merumuskan agama sebagai sistem kepercayaan yang disusun berdasarkan kitab suci, memiliki ajaran yang jelas, mempunyai nabi dan memiliki kitab suci. Sementara ilmuwan sosial seperti Durkheim memahami agama sebagai sistem keyakinan dan upacara yang mengacu kepada yang suci dan mengikat orang bersama ke dalam kelompok sosial. Weber memahami agama sebagai setiap rangkaian jawaban yang koheren pada dilema keberadaan manusia seperti kelahiran, kesakitan atau kematian, yang membuat dunia menjadi mempunyai makna.[3] Pendefinisian agama oleh negara yang demikian ini meminggirkan kelompok-kelompok agama yang biasanya disebut sebagai kepercayaan atau agama lokal. Secara tegas bahkan Tap MPR no.IV/MPR/1978 tentang GBHN menyatakan bahwa Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama. Tap ini ditindaklanjuti dengan Instruksi Menteri Agama no.4/1978 tentang Kebijaksanaan mengenai aliran-aliran Kepercayaan dan Instruksi Menteri Agama no.14/1978 tentang Tindak Lanjut Instruksi Menteri Agama no.4/1978. intinya menyatakan bahwa Departemen Agama tidak mengurusi persoalan aliran-aliran kepercayaan yang bukan merupakan agama. Lebih tragis lagi, selain tidak dianggap sebagai agama dan dipinggirkan dalam urusan hak-hak sipilnya, agama-agama lokal ini diurus oleh gabungan luar biasa antara Departemen Agama, Kejaksaan, Kepolisian, dan Angkatan Perang. Dalam lingkup Kejaksaan, bagian yang mengawasi agama lokal ini disebut sebagai Pengawas Aliran-aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM). Dalam lingkup Angkatan Perang, bagian yang mengawasi agama lokal ini terdiri dari beberapa tingkat yakni Penguasa Perang Tertinggi (PEPERTI), Penguasa Perang Pusat (PEPERPU), dan Pembantu Pelaksana Penguasa Perang (PEPEKUPER). Dalam konteks ini dapat dibayangkan betapa agama-agama lokal itu ditempatkan seumpama penjahat dan musuh yang mengancam negara sehingga harus dihadapi oleh kepolisian, kejaksaan dan angkatan perang. Pembatasan kebebasan berkeyakinan juga terwujud dalam produk-produk kebijakan yang berisi pelarangan. Kebijakan ini didasarkan pada Penpres No.1/PNPS/1965 yang telah diundangkan pada masa Orde Baru. Pelarangan ini terutama berkaitan dengan aliran-aliran kepercayaan yang berkembang di masyarakat. Beberapa produk itu antara lain[4]: 1. Keputusan Jaksa Agung No.089/DA/10/1971 tentang pelarangan terhadap aliran Darul Hadits, Jemaah Qur’an dan Hadits, Islam Jamaah, JIPD, Yappenas dan organisasi serupa 2. Keputusan Jaksa Agung No. Kep-006/B/2/7/1976 tentang pelarangan terhadap Aliran Kepercayaan Manunggal 3. Keputusan Jaksa Agung No. Kep-129/JA/12/1976 tentang Pelarangan terhadap Perkumpulan Siswa-siswa Alkitab/Saksi Yehova 4. Dsb Praktik pengaturan urusan keagamaan dan keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh negara justru merupakan kriminalisasi terhadap agama dan kepercayaan yang bertumbuh dan hidup di masyarakat Indonesia, bukan sebaliknya, perlindungan dan pelayanan sebagaimana diamanatkan oleh dasar negara Pancasila. Salah satu pasal yang dianggap bermasalah dan berpotensi melegitimasi kriminalisasi agama dan kepercayaan itu justru terdapat di dalam UUD 1945 sendiri yang sudah diamandemen, yakni pada pasal 28 J ayat (2) yang berbunyi demikian: ”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis” Barangkali, pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 ini merupakan pembakuan dari Penpres no.1/PNPS/1965 dan Undang-undang No.5 Th 1969. Kalau demikian adanya ini berarti bahwa sejak Orde Baru belum terdapat perubahan cara pandang dan kemauan politik dari pihak pemerintah dalam kaitannya dengan perlindungan, penjaminan dan pelayanan terhadap agama-agama dan kepercayaan yang ada di masyarakat Indonesia. Kebebasan beragama dan berkeyakinan tetap merupakan gagasan yang masih sulit untuk diwujudkan kecuali dengan gerakan-gerakan sosial dan politik yang mampu melahirkan dampak bagi perubahan cara pandang dan perubahan kebijakan. *** [1] Lih. AAGM Ari Dwipayana (et al), Kaji Ulang Posisi Departemen Agama dalam Mengimplementasikan Kewajiban Negara untuk Melindungi Hak-hak Beragama, laporan hasil penelitian KOMNAS HAM dan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), 2005, tidak dipublikasikan. [2] Daniel Dhakidae, “Agama, Politik dan Negara, Perspektif Katolik”, dalam Munir Mulkhan (et al), Agama dan Negara, Interfidei, 2007, cetakan II, hlm.46 [3] MM. Billah, “Kata Pengantar Agama dan Hak Asasi Manusia”, dalam John Kelsay dan Summer B. Twiss, Agama dan Hak Asasi Manusia, Interfidei, 2007, Cetakan II, hlm.xviii-xix [4] AAGN Ari Dwipayana dkk, Kaji Ulang Posisi Departemen Agama, Laporan Penelitian (tidak diterbitkan), Komnas HAM dan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), 2005, hlm.110-111
No comments:
Post a Comment