“Sebelumnya, saya memiliki banyak mimpi.
Namun setelah kecelakaan itu terjadi, saya kehilangan semua mimpi saya. Saat
ini, saya memiliki mimpi yang lain, yakni tak ingin lagi menyaksikan orang lain
menghadapi masalah yang sama seperti yang saya alami dalam hidup sehari-hari
karena bom curah,” kata
Berihu Mesele, Ethiopia.
Berihu
Mesele adalah mantan tentara Ethiopia. Ketika menolong anak-anak di sebuah
sekolah yang menjadi sasaran bom selama terjadi konflik perbatasan, sebuah bom curah meledak dan menghilangkan kedua belah
kakinya. Kini ia terlibat aktif dalam kampanye anti bom curah.
Bom curah adalah bahan peledak yang
bermuatan ratusan bom kecil. Bom ini dapat dijatuhkan dari pesawat atau ditembakkan
dari darat, serta dirancang untuk terburai di udara, sehingga bom-bom kecil tersebut
terjatuh di wilayah sasaran. Seperti ranjau darat, jutaan bom curah yang gagal
meledak dan tersebar di berbagai wilayah konflik bersenjata, merupakan ancaman
paling mematikan bagi warga sipil pascaperang karena dapat meledak
sewaktu-waktu ketika tersentuh oleh orang yang sedang mengerjakan lahan atau anak-anak
yang sedang bermain. Proses
pembersihannya membutuhkan waktu yang lama, berbiaya mahal dan sangat berbahaya
karena dapat membunuh petugas yang membersihkannya.
Konvensi
Bom Curah (Convention on Cluster Munition)
adalah sebuah perjanjian internasional yang melarang penggunaan, produksi,
penimbunan, maupun transfer bom curah. Perjanjian tersebut mewajibkan penghancuran timbunan bom
curah dalam waktu 8 tahun dan pembersihan wilayah yang terkontaminasi dalam
waktu 10 tahun. Konvensi ini telah ditandatangani oleh 113 negara dan 84 negara
di antaranya telah meratifikasinya. Pemerintah Indonesia telah ikut menandatangani
Konvensi ini pada tanggal 3 Desember 2008, namun hingga kini belum
meratifikasinya.
Dalam
rangka memperingati “Hari Internasional tentang Kesadaran dan Aksi Bantuan atas
Ranjau”, Institut International Studies (IIS) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
menyelenggarakan rangkaian acara pemutaran film dan diskusi dengan tema Suara
Indonesia untuk Ratifikasi Konvensi Bom Curah. Rangkaian kegiatan ini
dimaksudkan untuk mengidentifikasi halangan pemerintah Indonesia dalam
meratifikasi konvensi, mendorong Pemerintah Indonesia untuk segera
meratifikasinya, dan menggalang dukungan dari masyarakat luas untuk
menandatangani petisi yang mendorong perlunya ratifikasi Konvensi Bom Curah
oleh Pemerintah Indonesia.
Pemutaran
film, diskusi, pameran foto dan penandatanganan petisi ini diselenggarakan di
beberapa kampus di Yogyakarta. Pada tanggal 4 April 2014, kegiatan diselenggarakan di kampus
Universitas Gadjah Mada (UGM).
Pada tanggal 11 April 2014,
kegiatan diselenggarakan di kampus Universitas Pembangunan Nasional (UPN)
Yogyakarta. Pada 16 April 2014,
kegiatan diselenggarakan di Universitas Respati Yogyakarta (UNRIYO). Dalam
rangkaian kegiatan ini, JRS Indonesia terlibat sebagai salah satu narasumber
diskusi.
Rochdi
Mohan Nazala, M.S.A.,
M. Litt., dosen dan peneliti
Jurusan Hubungan Internasional FISIPOL UGM menilai bahwa pemerintah dan DPR tidak serius dalam
membahas ratifikasi Konvensi
Bom Curah meskipun hal itu sudah masuk dalam
program legislasi nasional (prolegnas).
Sebagai
negara yang memiliki peran penting dalam menjaga perdamaian di kawasan ASEAN, ratifikasi Konvensi Bom
Curah oleh pemerintah
Indonesia akan mendorong negara-negara lain untuk ikut meratifikasi konvensi.
June Cahyaningtyas, S.I.P.,
dosen Jurusan Hubungan Internasional FISIPOL UPN Yogyakarta menyatakan bahwa dalam rangka
diplomasi internasional, tindakan ratifikasi konvensi oleh sebuah negara
merupakan upaya nyata membangun kepercayaan antarnegara.
Sementara
itu, dosen Jurusan Hubungan Internasional dan Wakil Dekan Fakultas Ekonomi dan
Ilmu Sosial UNRIYO, Hartanto,
S.I.P.,
M.A. menyatakan bahwa upaya-upaya mendorong
ratifikasi konvensi oleh negara-negara yang sudah menandatanganinya itu
merupakan upaya mengubah perilaku negara-negara agar menjadi lebih sesuai
dengan nilai-nilai yang disepakati secara internasional. Konvensi Bom Curah
adalah sebuah kesepakatan internasional tentang nilai-nilai yang harus
dijalankan secara bersama-sama.
“Penandatanganan Konvensi oleh Pemerintah Indonesia
menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia sudah memiliki itikad baik yang perlu
terus didukung meskipun membutuhkan waktu. Jika masyarakat Indonesia telah
menunjukkan dukungan terhadap larangan bom curah, salah satunya melalui
penandatanganan petisi, diharapkan Pemerintah merasa didukung dan akan segera
meratifikasinya,” kata Hartanto.
Untuk
meyakinkan masyarakat dan pemerintah Indonesia bahwa ratifikasi konvensi tersebut penting dan perlu, sosialisasi tentang
dampak penggunaan bom curah perlu terus dilakukan. Sosialisasi dampak bom curah
yang diderita oleh masyarakat sipil membantu masyarakat untuk menyelami pengalaman derita dan kehilangan yang dialami oleh
para korban dan penyintas bom curah, serta menumbuhkan empati terhadap
mereka. Empati ini pada
gilirannya akan mendorong proses ratifikasi Konvensi Bom Curah secara lebih efektif. Semoga impian
Berihu Mesele yang tidak mau lagi menyaksikan korban bom curah
berikutnya, semakin menjadi
kenyataan. ***
Indro Suprobo
Publikasi awal di JRS Indonesia
No comments:
Post a Comment