Merayakan
Natal dalam Kemajemukan
oleh
Indro Suprobo
Sebuah
perikop singkat dan padat yang memberikan landasan inspiratif dan
produktif bagi upaya membangun perdamaian dalam keragaman dan
perbedaan adalah kisah tentang seorang yang bukan pengikut Yesus
mengusir setan (Luk 9:49-50 atau paralelnya Mrk 9:38-40). Perikop
singkat itu berbunyi demikian:
Yohanes
berkata:”Guru, kami lihat seorang mengusir setan demi namaMu, lalu
kami cegah orang itu, karena ia bukan pengikut kita.” Yesus berkata
kepadanya:”Jangan kamu cegah, sebab barangsiapa tidak melawan kamu,
ia ada di pihak kamu.”
Pernyataan
Yesus ini sangat mendasar dan dasyat. Di dalamnya terkandung sebuah
cara berpikir positip tentang orang atau kelompok lain. Semua orang
yang mendaku sebagai murid-Nya, semestinya berpikir secara positip
dan meninggalkan segala bentuk prasangka maupun stigma terhadap orang
lain yang berbeda. Secara sangat gamblang, Yesus menegaskan sebuah
prinsip dasar dalam membangun relasi dengan kelompok yang berbeda,
yakni damailah sejak dalam pikiran!
Damai
yang bersemayam sejak dalam pikiran, akan mengalir ke dalam sikap dan
tindakan relasional dengan siapapun, juga dengan mereka yang “bukan
pengikut kita”. Damai sejak dalam pikiran, menandakan tersedianya
ruang luas dan ramah di dalam batin seseorang, ruang yang siap untuk
menerima kehadiran orang lain secara terhormat. Ini merupakan
kesanggupan
untuk menemukan sesuatu yang bernilai, yang terhormat, yang baik,
yang suci dan yang membangkitkan syukur di dalam diri orang lain.
Inilah prinsip dasar yang dasyat dan inspiratif yang
dapat dipelajari dari pernyataan Yesus.
Dalam
perjalanan sejarah Gereja, melalui Konsili Vatikan II, prinsip ini
secara sangat bagus dirumuskan di dalam pernyataan
Nostra
Aetate,
yakni pernyataan tentang hubungan Gereja dengan Agama-agama bukan
Kristen.
“....Gereja
Katolik tidak menolak apapun, yang dalam agama-agama itu serba benar
dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara
bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang
dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya
sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang
menerangi semua orang....” (Nostra
Aetate,
Artikel 2).
Dalam
prinsip dasar yang dasyat itu, pernyataan “mengusir setan demi
nama-Mu” pantas dimaknai secara lebih luas dan esensial sebagai
pernyataan tentang “beragam tindakan nyata mengupayakan kebaikan,
keluhuran, kebenaran dan kesucian yang selaras dengan nilai-nilai
yang diperjuangkan oleh Yesus”, meskipun dilakukan oleh mereka yang
secara formal-institusional tergolong “bukan pengikut kita”.
Pemaknaan ini akan lebih sanggup membantu dan mendorong setiap orang
untuk masuk ke dalam inti spiritualitas “memperjuangkan kesucian
dan keluhuran manusia serta seluruh ciptaan” yang dilakukan melalui
beragam tradisi keagamaan dan kepercayaan.
Artikel dimuat dalam Majalah Cor Unum Edisi Desember 2016
No comments:
Post a Comment