Oleh Indro Suprobo
Orang-orang yang memiliki spiritualitas mendalam dan kualitas kedekatan dengan Allah, pada umumnya lebih sanggup mengambil jarak terhadap dirinya sendiri dan sanggup menghadirkan kebesaran hati serta kasih sayang dalam pikiran, ucapan maupun tindakannya.
Dalam tradisi kristen dikisahkan bahwa pada puncak kesengsaraan di kayu salib, Yesus memohonkan ampunan bagi orang-orang yang menganiayanya dengan mengatakan,"Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat."
Dalam tradisi Islam dikisahkan bahwa pada masa hidupnya, Muhammad Rasulullah setiap hari dengan setia menyuapi seseorang yang tuna netra, yang pada saat disuapi itu selalu saja mencela dan mencaci maki sehabis-habisnya, orang yang namanya Muhammad. Sampai suatu saat, ketika Muhammad SAW telah wafat, seorang sahabat Nabi menggantikan perannya, menyuapi orang yang tuna netra itu setiap hari. Karena ada yang dirasakan berbeda, si tuna netra itu berkata,"Tampaknya engkau bukan orang yang biasanya menyuapiku". Sahabat nabi menjawabnya,"Iya, dia yang biasa menyuapimu telah wafat".
"Siapakah dia yg biasa menyuapiku itu? Apakah engkau mengenalnya", tanya si tuna netra.
"Ya, saya mengenalnya, dialah Muhammad, orang yang senantiasa engkau caci maki itu".
Mendengar jawaban itu, runtuhlah seluruh langit-langit batin si tuna netra itu. Lalu ia melihat rembulan utuh yang bersinar lembut di dalam hatinya.
Itulah sebabnya mengapa Yesus disebut Anak Allah dan Muhammad SAW disebut kekasih Allah. Keduanya adalah orang yang dekat dengan Allah. "Anak" dan "kekasih" adalah bahasa puitis untuk menggambarkan kedekatan relasional itu.
Dalam sebuah forum internasional yang disebut The Act for Happines, Karen Armstrong menyatakan bahwa "compassion" hanya dapat muncul dalam diri orang-orang yang sanggup menerima diri sendiri dengan segala derita terdalamnya shg ia sanggup menyelami derita terdalam yang dialami oleh orang lain sebagaimana deritanya sendiri. Oleh karena itu, orang-orang yang tak sanggup menghadirkan compassion kepada orang lain, pada umumnya adalah orang-orang yang tak sanggup menerima dirinya. Ujaran kebencian, stereotyping dan stigma terhadap orang lain bisa jadi merupakan cerminan dari kegagalan seseorang menerima realitas dirinya.
Yesus dan Muhammad adalah teladan nyata tentang mengambil jarak terhadap diri, menerima ketakpantasan diri, dan mengakui Dia yang kebesaran hati, pengampunan dan kasih sayangNya teramat luas dan tak terbayangkan.
Barangkali, di balik ujaran kebencian yang berseliweran di dunia kita, sebenarnya tersembunyi luka dan penderitaan yang perlu disembuhkan.
Namo Buddhaya....
No comments:
Post a Comment