Kata Pengantar untuk buku Pluralisme,
Dialog, dan Keadilan
Tantangan Berdemokrasi dalam Negara
Republik Indonesia
Sesungguhnya agama-agama adalah puisi yang lahir dari manusia-manusia
unggul, yang telah mengarungi ziarah hidup di dalam keheningan, kedalaman dan
keindahan. Akibatnya agama-agama bukanlah sekumpulan kata dan ajaran yang senantiasa
bermakna denotatif, bukan pula sekedar praktikpraktik normatif yang kaku-beku
seumpama kematian, melainkan ungkapan makna-makna yang luas membentang dan dipraktikkan
sebagai kekayaan seni yang memperindah kehidupan.
Sebagai puisi, agama-agama dilahirkan dari rahim keheningan,
kedalaman dan keindahan. Para pembawa agama adalah manusia-manusia yang senantiasa
akrab dengan keheningan, kedalaman dan keindahan itu. Keheningan adalah
kekosongan yang ramah, yang menyediakan ruang penuh persahabatan bagi kehadiran
yang lain (termasuk Yang Mahalain), dengan seluruh kesediaan untuk
mendengarkan. Di dalam keheningan tak terdapat satupun kepentingan, kecuali
kepentingan untuk mendengarkan. Maka keheningan adalah prasyarat bagi suatu perjumpaan.
Kedalaman adalah keterbukaan yang teramat luas, yang mampu menembus
ruang dan batas, yang menyebabkan seluruh perspektif dan spektrum menjadi lebih
berpendar dan bercahaya, sehingga mampu mengalami kehadiran yang kaya dari yang
lain (termasuk Yang Mahalain). Sementara keindahan adalah pengungkapan dan
pancaran dari rahasia-rahasia yang tersembunyi di dalam keheningan dan
kedalaman, yang menggerakkan kekaguman, rasa hormat, pengertian, kesadaran, kedamaian,
pencerahan, dan kerinduan untuk semakin menyelami.
Apabila diterima dan dihayati sebagai puisi, agama-agama
akan membantu manusia-manusia beragama itu untuk senantiasa melatih diri
menikmati keheningan, kedalaman dan keindahan yang tak pernah habis. Dengan
demikian, manusia beragama akan menjadi lebih terlatih untuk mendengarkan,
merasakan kehadiran, dan menemukan pancaran-pancaran rahasia dari yang lain
(termasuk Yang Mahalain), yang menumbuhkan kekaguman, rasa hormat, pengertian,
kesadaran, kedamaian, pencerahan, dan kerinduan untuk semakin menyelaminya.
Pendek kata, agama yang dihayati sebagai puisi, akan
membantu manusia-manusia untuk mendengarkan dan berdialog, menerima dan
mencecapi kehadiran keragaman yang luas (pluralitas, kemajemukan, perbedaan),
dan terdorong untuk mampu saling berbagi nilai, saling mendukung dan melindungi
(koeksistensi dan proeksistensi) sebagai seni yang memperindah kehidupan. Itulah
yang barangkali dapat disebut sebagai pluralisme, dialog dan demokrasi, untuk
keadilan.
Buku kumpulan tulisan yang hadir di hadapan pembaca ini merupakan
refleksi atas dinamika agama-agama di Indonesia yang menghadapi tantangan
hilangnya puisi di dalam dirinya, sehingga cenderung rentan untuk menjadi lekat
kepada beragam kepentingan, dan menjadikannya mudah dikooptasi serta dijadikan
sebagai semata-mata alat yang mengabdi kepada kepentingan-kepentingan yang tak
teratur, termasuk kepentingan kekuasaan.
Hilangnya puisi dalam agama-agama ini mengakibatkan orang-orang
beragama lebih rentan terhadap masuknya beragam kepentingan yang menggeser kemampuan
untuk mendengarkan dan menyediakan ruang penuh persahabatan bagi yang lain. Ini
juga berimplikasi kepada hilangnya kemampuan berdialog dan merasakan kehadiran yang
lain (pluralisme, penghargaan terhadap kemajemukan). Pada gilirannya, hilang pula
kesanggupan untuk menemukan pancaran rahasia keindahan dari yang lain, yang
terwujud secara nyata dalam tiadanya rasa hormat, penghargaan, perlindungan, apalagi
pembelaan terhadap yang lain yang berbeda.
Hilangnya puisi dalam beragama merupakan tantangan nyata bagi
seni hidup bersama, yang disebut sebagai demokrasi, yang mengandaikan setiap
manusia dihormati dan dilindungi seluruh hak asasinya, sehingga seluruh kesanggupannya
untuk menjadi lebih bermartabat mendapatkan dukungan dan ruang kehadiran, yang tercermin
dalam keadilan. Hilangnya ruang bagi kebebasan beragama dan berkeyakinan, saling
mempersulit kehadiran rumah ibadah, pemaksaan kehendak dan kekerasan,
diskriminasi dan kriminalisasi terhadap mereka yang berbeda, tiadanya pengakuan
terhadap hak dan keberadaan agama-agama lokal, ketidakhadiran jaminan dan
perlindungan yang semestinya diberikan oleh mereka yang diberi kewenangan,
pembiaran-pembiaran atas tindakan yang merusak bahkan mencederai kemanusiaan, serta
produksi kebijakan yang tidak produktif dan cenderung melanggengkan prasangka, merupakan
contoh-contoh nyata dari akibat yang dilahirkan oleh hilangnya puisi dalam agama-agama.
Meskipun menyuguhkan beberapa pengalaman dan landasan yang
memberikan harapan, tulisan-tulisan yang terangkum dalam buku ini lebih banyak
menyuguhkan sisi buram dari realitas dinamis kehidupan agama-agama di Indonesia
dalam memajukan pluralisme, dialog dan demokrasi untuk mencapai keadilan. Tentu
itu dimaksudkan untuk menyuguhkan tantangan nyata yang masih harus dihadapi.
Secara garis besar, tulisan-tulisan dalam buku ini seperti menyatakan bahwa ketika
agama-agama kehilangan puisi dalam dirinya, ia akan kehilangan kesadaran kritis
dalam berhadapan dengan kekuasaan, kehilangan sikap hormat terhadap perbedaan, dan
kehilangan orientasi kepada keadilan dan kemanusiaan yang bermartabat.
Jogjakarta, 9 Oktober 2011
Indro Suprobo
No comments:
Post a Comment