Dalam studi Kitab Suci Perjanjian Lama
yang meliputi studi atas lima kitab Musa (Pentateukh) dan kitab Nabi-Nabi,
dipahami bahwa keterpilihan Israel sebagai bangsa, sejatinya bukanlah sebuah
ketentuan dan hadiah dari Tuhan yang bersifat gratis sehingga menjadi hak yang
melegitimasi seluruh tindakan, melainkan pertama-tama dan terutama adalah
sebuah refleksi dan konstruksi teologis dari tradisi para penulis dan editor
kitab suci, sebagai upaya membangun kriteria dari suatu imajinasi tentang
sebuah bangsa (imagined community). Oleh karena itu, imajinasi yg merupakan
refleksi dan konstruksi teologis itu harus diperjuangkan dan mengandung suatu
mandat atau kewajiban.
Kriteria dasar dari imajinasi tentang
bangsa yang terpilih itu adalah dijalankannya 10 perintah Allah sebagai suatu
bentuk akad atau perjanjian, yg secara kultural mengacu kepada praktik
perjanjian antar suku pada masa lalu. Secara garis besar, 10 perintah Allah
yang menjadi fondasi dan kriteria dari imajinasi tentang bangsa yang terpilih
itu, dapat diringkas dalam dua imperatif saja yakni, pertama, setia kepada
Yahweh sebagai satu-satunya Allah (tauhid, monotheisme) dan kedua, menjalankan
keadilan di antara manusia sbg perwujudan dari kesetiaan kepada Yahweh.
Melalui pesan para nabi yang dikemudian
terdokumentasikan, terutama dalam kitab nabi Yesaya (terutama deutero Yesaya),
Yeremia, dan Yehezkiel, yang berkarya pada masa-masa pembuangan di Babilonia
paska kehancuran Bait Allah, refleksi dan konstruksi teologis atas imajinasi keterpilihan itu semakin menguat
dengan tetap mendasarkan diri pada pondasi 10 perintah Allah sebagai kriteria
dan acuan. Sekali lagi, mandat dan kewajiban dari akad atau perjanjian utk
menyembah Yahweh dan melakukan keadilan itu ditekankan, di tengah trauma hebat
akibat pengalaman kehancuran dan pembuangan.
Perjuangan membangun imajinasi itu pada
masa modern mengalami tantangan hebat dan traumatik luar biasa ketika mereka
menghadapi genosida dan holocaust.
Setelah itu, pengalamn traumatik dan
lack lebih mewarnai bagaimana imajinasi itu dimaknai dan dikonstruksi kembali.
Yang paling menjadi persoalan, imajinasi itu dimaknai dengan menghilangkan
landasan kriteria sebagaimana terumus dalam akad atau perjanjian, yakni setia
kepada Yahweh dan menjalankan keadilan. Akibatnya, imajinasi yang sebenarnya
harus diperjuangkan dan mengandung kewajiban utk menjalankan keadilan, berubah
menjadi pemberian dan penetapan dari Tuhan yang justru melegitimasi kekuasaan
dan pemaksaan dengan kekerasan dalam praktik pendudukan, bukan pelaksanaan keadilan
sesuai akad atau perjanjian.
Keterpilihan itu saat ini secara sangat
kentara ditafsirkan dan dimaknai sebagai sesuatu yang sudah ditentukan oleh
Tuhan dan menjadi legitimasi untuk mewujudkan hasrat akan kekuasaan melalui
pemaksaan dengan kekerasan, kejahatan, dan penindasan. Semua itu menjadi
ekspresi bawah sadar dari dendam akan kehancuran dan keterserakan yang
berulang.
Sangat dipahami bahwa banyak orang
Yahudi tak menyetujui dan menolak semua tindakan ini karena mereka melandaskan
diri pada fondasi dan mandat utama dari imajinasi keterpilihan, yakni kesetiaan
pada Yahweh dan menjalankan keadilan. Apa yang terjadi saat ini adalah
pengkhianatan radikal atas akad atau perjanjian dan mandat, yang merupakan
landasan substansial.
Keterpilihan, yang awalnya adalah
refleksi konstruktif imajinatif yang bersifat etis dan emansipatoris, telah
berubah menjadi legitimasi egois dan sinis yang bersifat destruktif.