Tuesday, October 08, 2024

Perubahan Makna Keterpilihan sebagai Bangsa

 


Dalam studi Kitab Suci Perjanjian Lama yang meliputi studi atas lima kitab Musa (Pentateukh) dan kitab Nabi-Nabi, dipahami bahwa keterpilihan Israel sebagai bangsa, sejatinya bukanlah sebuah ketentuan dan hadiah dari Tuhan yang bersifat gratis sehingga menjadi hak yang melegitimasi seluruh tindakan, melainkan pertama-tama dan terutama adalah sebuah refleksi dan konstruksi teologis dari tradisi para penulis dan editor kitab suci, sebagai upaya membangun kriteria dari suatu imajinasi tentang sebuah bangsa (imagined community). Oleh karena itu, imajinasi yg merupakan refleksi dan konstruksi teologis itu harus diperjuangkan dan mengandung suatu mandat atau kewajiban.

 

Kriteria dasar dari imajinasi tentang bangsa yang terpilih itu adalah dijalankannya 10 perintah Allah sebagai suatu bentuk akad atau perjanjian, yg secara kultural mengacu kepada praktik perjanjian antar suku pada masa lalu. Secara garis besar, 10 perintah Allah yang menjadi fondasi dan kriteria dari imajinasi tentang bangsa yang terpilih itu, dapat diringkas dalam dua imperatif saja yakni, pertama, setia kepada Yahweh sebagai satu-satunya Allah (tauhid, monotheisme) dan kedua, menjalankan keadilan di antara manusia sbg perwujudan dari kesetiaan kepada Yahweh.

 

Melalui pesan para nabi yang dikemudian terdokumentasikan, terutama dalam kitab nabi Yesaya (terutama deutero Yesaya), Yeremia, dan Yehezkiel, yang berkarya pada masa-masa pembuangan di Babilonia paska kehancuran Bait Allah, refleksi dan konstruksi teologis atas  imajinasi keterpilihan itu semakin menguat dengan tetap mendasarkan diri pada pondasi 10 perintah Allah sebagai kriteria dan acuan. Sekali lagi, mandat dan kewajiban dari akad atau perjanjian utk menyembah Yahweh dan melakukan keadilan itu ditekankan, di tengah trauma hebat akibat pengalaman kehancuran dan pembuangan.

 

Perjuangan membangun imajinasi itu pada masa modern mengalami tantangan hebat dan traumatik luar biasa ketika mereka menghadapi genosida dan holocaust.

 

Setelah itu, pengalamn traumatik dan lack lebih mewarnai bagaimana imajinasi itu dimaknai dan dikonstruksi kembali. Yang paling menjadi persoalan, imajinasi itu dimaknai dengan menghilangkan landasan kriteria sebagaimana terumus dalam akad atau perjanjian, yakni setia kepada Yahweh dan menjalankan keadilan. Akibatnya, imajinasi yang sebenarnya harus diperjuangkan dan mengandung kewajiban utk menjalankan keadilan, berubah menjadi pemberian dan penetapan dari Tuhan yang justru melegitimasi kekuasaan dan pemaksaan dengan kekerasan dalam praktik pendudukan, bukan pelaksanaan keadilan sesuai akad atau perjanjian.

 

Keterpilihan itu saat ini secara sangat kentara ditafsirkan dan dimaknai sebagai sesuatu yang sudah ditentukan oleh Tuhan dan menjadi legitimasi untuk mewujudkan hasrat akan kekuasaan melalui pemaksaan dengan kekerasan, kejahatan, dan penindasan. Semua itu menjadi ekspresi bawah sadar dari dendam akan kehancuran dan keterserakan yang berulang.

 

Sangat dipahami bahwa banyak orang Yahudi tak menyetujui dan menolak semua tindakan ini karena mereka melandaskan diri pada fondasi dan mandat utama dari imajinasi keterpilihan, yakni kesetiaan pada Yahweh dan menjalankan keadilan. Apa yang terjadi saat ini adalah pengkhianatan radikal atas akad atau perjanjian dan mandat, yang merupakan landasan substansial.

Keterpilihan, yang awalnya adalah refleksi konstruktif imajinatif yang bersifat etis dan emansipatoris, telah berubah menjadi legitimasi egois dan sinis yang bersifat destruktif.

Tuesday, October 01, 2024

Yang seringkali terlupa dari Palestina

 


Jauh-jauh hari sebelum munculnya perlawanan Hamas, George Habash, seorang dokter cum aktivis politik kristen ortodok Palestina, telah mendirikan "Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP)" atau "Al-Jabhah al-Sha'biyyah li-Tahrir Filasthin." Karena tak lagi percaya dan berharap pada pendekatan diplomatik yang tak membawa perubahan nyata, ia memilih perlawanan bersenjata dan kemudian hari organisasinya menjadi faksi terbesar kedua dalam Front Pembebasan Palestina (PLO).

Mungkin banyak orang sering lupa bahwa sesungguhnya, inisiator perlawanan rakyat Palestina adalah kaum kiri Kristen Palestina. Ini menunjukkan bahwa sejak awal mula, kekejaman Israel diderita oleh semua rakyat Palestina, apapun agamanya. Ketika menyebut Palestina, barangkali yang secara spontan muncul adalah bayang-bayang wajah Islamnya saja, dengan seluruh prasangka yang tertanam tentangnya, bukan wajah-wajah nyata rakyat dan sesama, dengan aneka ragam latar belakang yang mewarnainya.

George Habash, orang kristen Palestina yg terpaksa mengangkat senjata demi memperjuangkan hak-haknya sebagai warga dunia, yang diusir dan dipaksa kehilangan seluruh harta benda dan sejarah hidupnya, oleh semua sekutu barat dijuluki sebagai gembong teroris dunia. Meskipun yg sebenarnya ia lawan adalah sebenar-benarnya teroris yang dilegitimasi oleh wacana yg berhasil bersemayam dalam nalar sebagian masyarakat dunia. Ideologi bersembunyi di dalam bahasa.

Barangkali pantas diduga, mengapa ada banyak orang yang mendukung kebijakan dan kekejaman Israel terhadap rakyat Palestina, sampai-sampai tak sanggup lagi mengenali wajah kemanusiaan rakyat Palestina, bayi-bayi, anak-anak dan perempuan, serta para lansia yang harus menjemput kematian tanpa kesalahan, yang seluruh penderitaannya mengundang keterlibatan, empati, dan belas kasihan. Salah satu dugaan adalah ketika mendengar kata "Palestina", secara spontan dari bawah sadarnya yang muncul adalah wajah Islam lengkap dengan seluruh prasangka yang telah dikonstruksi melalui beragam wacana, yakni Islam sebagai seluruhnya keburukan sampai tak ada setitik pun sisa kebaikan. Dalam bawah sadarnya telah tertanam prasangka bahwa Islam adalah ancaman, Islam adalah kekerasan, Islam adalah semua yang anti keadilan, kesetaraan dan kebebasan, Islam adalah yang melarang peribadatan, Islam adalah yang menghalangi sembahyangan, Islam adalah yang akan mencuri kekuasaan dan mengatur peradaban dalam kesewenang-wenangan, Islam adalah yang anti kemajuan dan ilmu pengetahuan.

Konstruksi wacana yang dipenuhi prasangka ini, lebih menyentuh dan menggetarkan jaring-jaring emosinya, sehingga menghalangi, menghambat, bahkan menutup daya kritis akal budinya, melemahkan fungsi keraguan dan kesangsian yang efektif untuk membongkar segala bentuk kepastian dengan pertanyaan, mengendorkan daya-daya penundaan persetujuan dan keterbukaan terhadap kemungkinan penemuan makna baru yang berbeda (differance), serta mengaburkan kemampuan mengidentifikasi topeng-topeng kolonial (white masks) yang dilekatkan pada wajah-wajah keaslian, otonomi, kebebasan, kemandirian serta kemartabatan dirinya (black skin). Akibatnya penderitaan nyata rakyat Palestina yg tak berdosa sama sekali tak menggetarkan kemanusiaannya. Kejahatan dan kesewenangan Israel yang brutal sama sekali tak dikenalinya. Yang tampak nyata, apapun situasi realnya, adalah bahwa kata "Palestina" telah membangkitkan imajinasi dan keyakinan bahwa "ada ancaman yang berdiri di depan dan membahayakan masa depannya". Meminjam istilah yang digunakan oleh Zlavoj Žižek, kata "Palestina" barangkali telah melahirkan suatu ilusi bawah sadar tentang "the theft of enjoyment" (tercurinya kepenuhan yang sekaligus merupakan kekosongan karena tak pernah mungkin terpenuhi namun senantiasa dihasrati).

Jika ternyata dugaan ini benar, pekerjaan yang harus dilakukan adalah membongkar seluruh prasangka, menyelami wajah-wajah manusia Palestina sebagai wajah sesama yang diliputi penderitaan dan mengundang keterlibatan (JB. Metz), membiarkan jeritan dan seruan pertolongan mereka menjadi jeritan dan seruan pertolongan yg bergema di dalam pengalaman diri sendiri (Gaudium et Spes Konsili Vatikan II), memasuki seluruh pengalaman rakyat Palestina apapun latar belakangnya sebagai pengalaman diri sendiri yang melahirkan gugatan, serta berani menyatakan "tidak setuju" terhadap seluruh konstruksi wacana yang telah bercokol secara hegemonik dalam bawah sadar agar terbuka jalan bagi pengenalan yang lebih jujur dan ikhlas terhadap liyan, yg pada gilirannya akan menumbuhkan compassion (bela rasa dan bela daya) yang semakin mengakar, lalu menentukan pilihan keberpihakan yang berorientasi pada nilai keadilan (preferention option). Gustavo Gutierrez mengingatkan bahwa dalam situasi di mana ada penindasan, netralitas sama dengan mendukung sang penindas. Ini merupakan titik batas yg dalam kajian etika lebih dekat kepada apa yg disebut sebagai "connivance", yakni mengetahui adanya kejahatan namun tetap membiarkan kejahatan itu terjadi.

Pekerjaan berat namun sangat mungkin dilakukan.

Untuk membantunya, barangkali berguna mengingat kata-kata seorang guru dan aktivis gerakan sosial-religius pemberani dari desa Nazareth:

"...sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraku yang paling hina ini, yang rumahnya hancur, kehilangan orang-orang tercinta, yg senantiasa berada dalam bahaya mortir dan ledakan, yang keselamatan jiwanya tanpa kepastian, yg terusir dari kampung halamannya, yg kehausan dan kelaparan krn tak ada makanan da minuman, yg seluruh bantuan kemanusiaannya dihadang secara sewenang-wenang,.....kamu telah melakukannya untuk aku" (Mat25:40)

Sunday, September 29, 2024

Kejahatan Israel dan Modernitas

 


Zygmunt Bauman, seorang sosiolog dan filsuf Inggris keturunan Yahudi menyatakan bahwa kebiadaban adalah anak kandung modernitas. Kebiadaban justru dilahirkan dan mendapatkan legitimasi rasional dari modernitas, terutama karena sifat instrumentalnya, yg terwujud dlm proses "gardening", yakni menata masyarakat seturut kehendak penatanya dan "memangkas" sebagian masyarakat yg dianggap tdk sesuai dg kehendak penatanya. Mereka yg memangkas ini dan semua yg terlibat dlm jaringan pemangkasan, termasuk para pendukungnya (dlm praktik kebiadaban) tdk merasa melakukan kebiadaban krn menganggap bhw ia hanyalah melakukan kewajiban dan tugas. Sifat instrumentalis ini oleh Hannah Arendt, filsuf Yahudi juga, disebut sbg "hilangnya imajinasi tentang liyan".

Praktik kebiadaban Israel ini, yg dikutuk dan ditentang oleh banyak orang Yahudi sendiri, merupakan pengulangan atas apa yg terjadi dlm genosida, gardening dan hilangnya imajinasi tentang liyan. Secara rasional, kebiadaban ini diinternalisasi sejak dlm pikiran melalui edukasi di sekolah-sekolah di Israel. Nurit Peled-Elhanan, profesor bahasa keturunan Yahudi juga menulis buku sangat kritis berjudul "Palestine in Israeli Books: Ideologi and Propaganda in Education". Ia menyatakan bhw kebencian thd Palestina telah diinternalisasi melalui buku-buku kurikulum pendidikan. Meskipun ada lebih banyak orang Yahudi yg anti thd kebijakan Israel atas Palestina, tetap ada sebagian masy Israel dan elite yg tetap membenci Palestina dan ingin menghapusnya, memangkasnya (gardening) sesuai keinginan mereka, dan mengonstruksi wacana diskriminatif ttg Palestina, sbg teroris. Wacana diakriminatif ini digunakan utk melegitimasi kejahatan yg mereka lakukan.

"Breaking the Silence", adalah upaya orang-orang Yahudi utk mengcounter wacana dan kebijakan Israel ttg Palestina. Mantan-mantan tentara IDF yg sadar, memberikan banyak kesaksian bhw apa yg dilakukan Israel di Palestina adalah kejahatan. Upaya ini merupakan pendidikan kritis dan advokasi kebijakan demi keadilan dan kebebasan Palestina yg dilakukan oleh orang-orang Yahudi sendiri, selain advokasi hak asasi manusia yg dijalankan oleh organisasi "Rabbi for Human Rights", yakni para Rabbi Yahudi yg membela hak-hak orang Palestina, dg risiko ikut disiksa atau menghadapi kekerasan tentara.

Semoga upaya dunia utk menghentikan kebiadaban ini segera mencapai hasil signifikan. Yg sdh banyak dilakukan adalah upaya menghentikan kekerasan sejak dlm pikiran, agar semakin sedikit pendukung kebijakan Israel dan semakin banyak pendukung kemerdekaan dan kebebasan Palestina.

Wacana diskriminatif tentang Palestina, bhw Palestina adalah teroris, merupakan kebohongan yg masih harus terus dilawan sejak dlm pikiran, sebab seluruh perilaku Israel adalah kejahatan yang sebenar-benarnya justru merupakan sustainable terorrism.

 

Tuesday, September 17, 2024

Menjaga Hikmat

 

Ilustrasi: Kompas/Jitet


Penguasaan ilmu pengetahuan, pendidikan tinggi, gelar akademik tak menjamin terbangunnya literasi dan integritas. Dibutuhkan sebuah laku setiap saat yakni discretio (Latin) atau discernment (English) atau dalam bahasa Indonesia saya lebih memilih istilah "menjaga hikmat".

Agar laku yg fundamental itu dapat dijalankan setiap saat seperti halnya bernafas, individu harus menciptakan silentium (Latin) atau silence (English) atau keheningan di dalam batinnya. Dengan demikian, sikap kritis yg secara inheren telah terkandung di dalam laku itu, akan senantiasa bekerja efektif, produktif dan terus terasah oleh sensitivitas thd pentingnya nilai yang menjadi acuan dlm setiap keputusan dan pilihan tindakan.

Keheningan batin yg diciptakan, akan membantu setiap orang mendengarkan keriuhan kepentingan yg menyamar dan bersembunyi dalam motivasi kebaikan. Kalau meminjam istilah dari Franz Fanon, keheningan akan membantu mengidentifikasi "white mask yang menempel pada black skin", sehingga hikmat akan terus terjaga.

 

Saturday, September 14, 2024

Refleksi Maulid Nabi

 


Dua pengalaman fundamental yang dialami oleh Rasulullah Muhammad SAW adalah pengalaman sebagai anak yatim piatu, yakni kehilangan kedua orangtuanya pada masa kanak-kanak, dan pengalaman mendapatkan topangan kasih sayang dari keluarga terdekatnya.

Dua pengalaman fundamental ini memengaruhi pembentukan jiwanya dan terwujud sampai akhir hidupnya, yakni menghadirkan kasih sayang dalam berbagai rupa keadilan, dan memperhatikan anak yatim.

Kasih sayang ibundanya di dalam kerentanan hidup tanpa ayah dan kasih sayang keluarga dekatnya ketika ia akhirnya juga kehilangan ibundanya, merupakan implisit habitus yang membentuk seluruh kognisi dasarnya tentang kehidupan, menjadi pribadi yang menghadirkan kasih sayang.

Barangkali pula, kasih sayang ibundanya, sebagai implisit habitus atau teladan yang sangat nyata dan tertanam mendalam di dalam memori dan pengalaman batinnya, merupakan fondasi penting dari pembentukan cara berpikir, sikap dan tindakannya yang penuh hormat dan perlindungan kepada perempuan.

Dalam konteksnya saat itu, cara berpikir, sikap dan tindakan penuh hormat thd martabat perempuan, termasuk mengijinkan perempuan untuk terlibat dalam tradisi kultural suku-suku yang disebut ghazw (serangan untuk merebut harta tanpa membunuh - khas tradisi suku-suku badui di wilayah yang sangat terbatas ketersediaan sumber penghidupan), merupakan cara berpikir, sikap dan tindakan yang sangat progresif dan boleh dikatakan subversif (mengancam kemapanan atau status quo).

Menelusuri proses pembentukan subyek Rasulullah Muhammad SAW yang menghadirkan kasih sayang, keadilan dan perhatian thd yatim piatu ini, merupakan langkah penting utk menyelami dinamika batin seorang pribadi yang sangat berpengaruh pada masa kemudian dan mewariskan begitu banyak nilai dan keteladanan.

Peringatan maulid Nabi yang akan jatuh pada tgl 16 Sept 2024 nanti, merupakan kesempatan dan undangan yang sangat berharga bagi setiap orang, apapun latar belakang agamanya, untuk berani menyelami proses pembentukan subyek itu dengan menelusur konteks-konteks yg melingkupinya. Dibutuhkan keterbukaan, keramahtamahan (hospitalitas) di dalam batin, sikap lepas bebas (detachment) termasuk bebas dari prasangka, empati, simpati, dan compassion, agar penelusuran itu sungguh-sungguh memasuki kejernihan, kebeningan dan keheningan yang produktif, yang pada gilirannya mengalirkan sikap hormat dan syukur atas nilai dan keteladanan yg telah dihadirkan oleh pribadi yang unik dan istimewa bagi banyak orang ini. Dan bersiap-siaplah, kasih sayang dan keadilan yang ia hadirkan dalam banyak cara sepanjang hidupnya itu, akan menggetarkan batin kita, merambat perlahan namun kuat di antara keheningan, silentium, solitudo.

Selamat memasuki peringatan Maulid Nabi.

 

Thursday, April 25, 2024

Lansia, Menghayati Mistik Keseharian

 



Salah satu refleksi filosofis yang barangkali sesuai dan kontekstual dengan realitas kehidupan sebagai lansia adalah refleksi yang dipaparkan oleh filsuf Jerman bernama Martin Heidegger. Dua tema penting yang dapat digunakan sebagai landasan pemikiran adalah refleksinya tentang faktisitas atau pengalaman keterlemparan dan refleksinya tentang proses mewaktu. 


Faktisitas

Tak seorangpun di antara para lansia yang terlibat da-lam penulisan buku ini, yang sebelum menjadi lansia pernah diajak berdiskusi atau diberi pertanyaan apakah ia bersedia untuk menjadi lansia ataukah tidak. Juga tak seorangpun di antara para lansia yang sebelum menjadi lansia pernah disodori sebuah pilihan apakah ia akhirnya akan menjadi lansia atau akan terus menjadi manusia muda yang tak pernah mengalami kemunduran fungsi tubuh, kemampuan mendengarkan, kemampuan melihat, tak mengalami gangguan sendi, tak mengalami nyeri asam urat dan gangguan kesehatan lainnya. Menjadi lansia adalah faktisitas, yakni sebuah pengalaman keterlemparan. Mau tak mau, tanpa menunggu persetujuannya, seseorang terlempar menjadi lansia seturut waktu hidup yang dijalaninya. Tak ada pilihan lain, tak bisa diubah, dan tak bisa ditolak. Faktisitas atau pengalaman keterlemparan sebagai lansia ini adalah sebuah realitas  niscaya yang hanya dapat dihadapi dengan satu sikap dasar, yakni diterima apa adanya sebagai realitas diri. 


Proses Mewaktu

Proses mewaktu dapat dipahami sebagai sebuah proses yang dipilih secara sadar, penuh tanggung jawab dan otonom oleh manusia untuk menghadirkan diri secara intensif, otentik, dan berkualitas di dalam waktu. Dengan demikian, proses mewaktu adalah sebuah pilihan. Ini merupakan tindakan positip dan bertanggung jawab dalam menghadapi faktisitas sebagai lansia. Proses mewaktu menjadi metode atau cara yang unik dan khas bagi setiap manusia (Dasein) untuk menghadapi dan menjalani pengalaman keterlemparan secara berkualitas dan bermakna.

Boleh dikatakan bahwa pilihan proses untuk mewaktu ini, yang merupakan pilihan otonom untuk menghadirkan diri secara intensif, otentik dan berkualitas di dalam waktu, merupakan pilihan untuk terlibat secara aktif, kreatif dan produktif di dalam waktu keseharian. Pilihan ini menjadi pembeda dengan manusia lain yang oleh Martin Heidegger disebut mengalami kejatuhan di dalam waktu keseharian. Saya lebih memilih istilah lain bahwa manusia yang jatuh di dalam waktu keseharian ini adalah manusia yang terlipat oleh waktu. Manusia yang terlipat oleh waktu ini disebut sebagai Das Man. Manusia yang terlipat oleh waktu, adalah manusia yang hanyut, larut, mengalir tanpa pernah membangun pilihan sadar dan reflektif terhadap waktu dan keseharian. Ia menjadi manusia di dalam kumpulan dan gerombolan tanpa menghadirkan otentisitas, keunikan, otonomi dan pilihan kreatif penuh kesadaran dan tanggung jawab. 

Dari sini kita menjadi tahu bahwa dalam menghadapi faktisitas atau pengalaman keterlemparan, lansia dihadapkan kepada dua pilihan, apakah ia akan menjalani realitasnya sebagai lansia itu dengan memilih proses mewaktu, yakni memilih menghadirkan diri dan terlibat secara otentik dan berkualitas di dalam waktu (menjadi Dasein), ataukah membiarkan diri begitu saja untuk terlipat tanpa pilihan otonom di dalam waktu (menjadi Das Man). Lansia yang memilih untuk mewaktu, adalah lansia yang memilih untuk menegaskan otentisitas, otonomi, keunikan, dan kualitas di dalam menghayati waktu dan kesehariannya sebagai lansia. Pilihan ini dijalankan dan dihayati melalui beragam profesi, kompetensi, hobi, bakat, dan minat yang ada di dalam diri masing-masing lansia. Melalui semua itu manusia lansia hadir sebagai manusia yang otentik, otonom, unik dan berkualitas di tengah kehidupan kesehariannya.  


Menghayati Mistik Keseharian

Pada gilirannya, lansia yang memilih proses mewaktu, yang menghadirkan diri secara intensif, otentik, dan berkualitas di dalam waktu, yang terlibat di dalam waktu keseharian tanpa terlipat olehnya, yang memilih menjadi Dasein, adalah lansia yang memilih untuk menghayati mistik keseharian. Kata mistik di sini tak ada kaitannya dengan jagading lelembut atau dunia hantu dan horor, melainkan suatu pilihan sadar penuh tanggung jawab dan terbuka untuk senantiasa membuat realitas keseharian itu menyingkapkan dirinya dan mengungkapkan makna terdalamnya. Dengan demikian, setiap waktu yang dijalaninya menjadi waktu yang bermakna. Karena tersingkap dan terungkap makna terdalamnya, maka waktu keseharian yang dijalaninya itu menjadi waktu keseharian yang transparan, terbuka, menghadirkan pesona, bahkan barangkali dapat mengalirkan suatu pengalaman yang menggetarkan hati (tremendum) dan memancarkan pesona yang mendalam (fascinosum). Lansia yang menghayati mistik keseharian adalah lansia yang sanggup membangun jarak terhadap setiap pengalaman kesehariannya dan menenun refleksi atas pengalaman itu. Ia menjadi lansia yang wening meskipun berada di tengah kesibukan dan keramaian. Ia menjadi lansia yang sanggup berkontemplasi di dalam aksi, bertapa dalam keramaian (tapa ngrame).

Buku Kumpulan Esai berjudul Kita Lansia, Terus Berkarya, Bahagia, Penuh Berkah ini adalah salah satu dokumentasi tentang bagaimana para lansia ini telah menghadapi faktisitas atau pengalaman keterlemparan sebagai lansia dengan memilih menjadi Dasein, yakni memilih menjadi lansia yang menghadirkan diri secara intensif, otentik, dan berkualitas di dalam waktu, yang memilih terlibat secara kreatif dan penuh tanggung jawab di dalam waktu tanpa terlipat di dalamnya, sehingga tidak menjadi Das Man, atau manusia gerombolan, melainkan menjadi lansia yang menghayati mistik keseharian dan menjadikan setiap saat dalam langkah hidupnya sebagai saat yang bermakna, saat yang menyingkapkan esensi dirinya dan mengungkapkan makna terdalamnya. Dengan pilihan itu, para lansia yang terlibat dalam penulisan buku ini telah menghadirkan otentisitas, keunikan, dan kualitas dirinya. Lansia yang memilih untuk mewaktu, menghadirkan otentisitas, keunikan dan kualitas dirinya di dalam waktu, yang menghayati mistik kesehariannya, pada gilirannya menjadi lansia yang bahagia dan menghadirkan berkah bagi manusia-manusia lain di sekitarnya dan bagi semesta. 

Selamat membaca buku ini dan menyelami penyingkapan-penyingkapan makna yang terkandung di dalamnya. 


Indro Suprobo

Sunday, April 14, 2024

"Come and listen. Come and talk to us"

 


Pendeta Isaac Munther dari Palestina mengajak orang-orang lain yg ingin memahami apa yang sebenarnya terjadi dan penderitaan seperti apakah yang dialami oleh rakyat Palestina dengan mengatakan "Come and listen. Come and talk to us."

 Ajakan ini mengingatkan kita kepada suatu substansi tentang pembentukan pengetahuan dan pemahaman yg lebih adil, yang dinyatakan oleh Spivak dengan pernyataan "Let subaltern speaks." Biarkanlah mereka yang paling rentan dan menderita itu menyatakan pengalaman nyatanya sendiri, dan dengarkanlah secara seksama, pahamilah, dan selamilah pengalaman nyata mereka itu. 

Pengalaman nyata yang dikisahkan oleh mereka yang mengalami langsung penderitaan itu saat demi saat, adalah pengalaman yang valid yang menjadi sumber bagi pengetahuan dan bagi perumusan teologi pembebasan, yang menggerakkan keseluruhan pilihan praksis dan tindakan keberpihakan.

Datang, mendengarkan dan menyelami pengalaman penderitaan rakyat Palestina adalah gerakan fundamental yang penting untuk dapat membebaskan diri dari seluruh konstruksi pengetahuan diskriminatif yang diformulasikan oleh kaum Zio dan kroni-kroni atau budak-budaknya. 

Datang dan berbicara dengan mereka tidak selalu harus dipahami secara fisik, namun dapat dipahami sebagai gerak menghadirkan diri secara otentik dan otonom ke dalam seluruh pengalaman mereka, agar gema penderitaan dan harapan mereka menjadi gema di dalam diri kita sendiri, agar pengalaman luka mereka menjadi pengalaman luka kita sendiri. Dalam bahasa teologis, ini disebut "incarnatio", inkarnasi, merasuk dan mendaging dlm pengalaman real mereka, menyelami secara mendalam dan penuh komitmen, merasuk menjadi manusia Palestina dengan seluruh pengalaman mereka. 

Dari sanalah seluruh refleksi teologi itu dirumuskan, sehingga sungguh memenuhi kriteria "berteologi dari pengalaman" sebagaimana dituntut oleh teologi kontekstual dan teologi pembebasan. Ini sebuah teologi yang berpihak dengan prinsip "preferential option for and with the poor and displaced people". Ini adalah teologi yang secara tegas dan berani menghadapi seluruh kolonialisme sejak di dalam pikiran. 

Palestina berhak dibela untuk mencapai pembebasan dan kemerdekaan.