Baru-baru ini,
warga sebuah dusun di padukuhan Dayakan, desa Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman,
melayangkan surat protes dan penolakan terhadap rencana sebuah perusahaan
pengembang perumahan yang bekerjasama dengan Perusahaan Daerah Air Minum untuk
melakukan intervensi berupa penggalian jalanan dusun. Penggalian jalan dusun
itu sedianya dimaksudkan untuk keperluan pemasangan jaringan pipa air minum
khusus bagi bakal perumahan tersebut. Surat tersebut ditujukan kepada Pihak
Perusahaan Perumahan dan Perusahaan Daerah Air Minum, dengan tembusan kepada
Pemerintah Desa, Kecamatan, Kabupaten dan Propinsi.
Protes dan
penolakan itu muncul bukan semata-mata disebabkan oleh model intervensi proyek
yang tidak melakukan komunikasi dan sosialisasi terlebih dahulu kepada warga
dusun, melainkan terutama karena warga dusun sudah sampai pada batas kesabaran
menanggung segala ketidakjelasan berkaitan dengan kebijakan alih fungsi lahan
yang digunakan untuk pengembangan perumahan tersebut. Pantas disampaikan di
sini bahwa lahan seluas kurang lebih delapan hektar yang dialihfungsikan untuk
pengembangan perumahan tersebut, pada mulanya merupakan lahan pertanian yang
sangat subur dan produktif, serta menjadi lahan resapan air di wilayah itu.
Kurang lebih separoh dari lahan itu juga merupakan lahan berstatus tanah kas
desa.
Membunuh Penghidupan
Sebelum
dialihfungsikan, lahan tersebut menjadi lahan penghidupan bagi banyak orang
yang tinggal di sekitarnya. Kesuburan yang terhampar dan kelimpahan air yang
mengalir menjadi anugerah dan surga bagi warga yang dapat menanam padi, sayuran
dan palawija. Mereka yang bisa nunut
tandur dan panen di tanah kas desa itu jumlahnya tidak sedikit. Tak
mengherankan jika lahan ini boleh disebut sebagai penyambung hidup.
Ketika tiba-tiba
terpasang papan larangan untuk mengolah lahan tersebut, warga dusun merasa
tersentak dan kecewa. Apalagi ketika tahu bahwa lahan tersebut akan
dialihfungsikan untuk pengembangan perumahan. “Wah proyek punika mejahi tedhinipun tiyang kathah (Wah proyek ini
membunuh penghidupan banyak orang),” kata salah seorang warga lanjut usia
yang kecewa, yang sehari-harinya ikut numpang menanam di lahan tersebut.
Kehadiran buldoser
dan mesin besar lainnya, terasa sangat menyayat hati dan seolah-olah menggilas
kehidupan masyarakat petani dan buruh tani di bawah roda-roda kekuasaan dan
kepentingan segelintir orang. Deru mesin yang menghalau ketenangan desa, terasa
membungkam seluruh jeritan hingga tak lagi keluar suara, kecuali kesedihan
mendalam yang tersisa.
Tidak Transparan
Lebih mengecewakan
lagi, informasi tentang alih fungsi lahan ini tampaknya tidak transparan. Pemerintah
Desa tidak pernah memberikan penjelasan dan pertanggungjawaban yang memadai
kepada warga dusun perihal alih fungsi lahan itu. Apakah tanah kas desa yang
dijual dan dialihfungsikan itu telah dicarikan gantinya? Di manakah letak lahan
pengganti itu? Berapa total harga jual lahan tersebut? Seandainya terdapat
lahan pengganti, berapakah harga beli lahan pengganti tersebut? Bagaimanakah
posisi keuangan terakhir dari hasil jual beli lahan tersebut? Seandainya
terdapat saldo, dimasukkan dalam pos yang mana dan digunakan untuk apa?
Lebih serius lagi
adalah pertanyaan-pertanyaan warga yang masih menggantung sampai saat ini
berkaitan dengan kebijakan alih fungsi lahan tersebut. Sangat dimaklumi bahwa
proses alih fungsi lahan itu pasti melibatkan banyak pihak dan instansi yang
berkaitan dengan analisis kelayanan dan proses perijinan.
Manakah
alasan-alasan yang fundamental dan krusial sehingga lahan subur yang sangat
produktif dan berfungsi sebagai resapan air itu seolah-olah secara sangat
ringan dapat dialihfungsikan?
Bagaimanakah landasan argumentatif dari kebijakan tersebut? Manakah
pertimbangan-pertimbangan rasionalnya sehingga Pemerintah Daerah dapat
mengeluarkan ijin yang sebenarnya tidak sesuai dengan rencana Tata Ruang dan
Tata Wilayah yang dibuatnya sendiri?
Bahkan, seandainya
Pemerintah Daerah memiliki alasan bahwa kebijakan soal alih fungsi lahan itu dilandaskan
pada perubahan rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah sebagai akibat dari erupsi
Merapi, alasan itu tidak sahih dan tidak memiliki daya bukti karena mereka yang
akan menjadi penghuni perumahan itu bukanlah masyarakat korban erupsi Merapi,
melainkan mereka yang berkantong tebal, mengingat perumahan yang dibangun ini
merupakan perumahan megah dan mewah. Kemegahan dan kemewahan itu tercermin
sangat nyata pada patung-patung besar dan gagah yang dibangun di pintu gerbang
muka.
Lebih lagi, jika
dikaitkan dengan hasil pengkajian dan pemetaan tentang ancaman dan kerentanan
terhadap risiko bencana, seandainya telah tersedia, kebijakan tersebut justru
dapat meningkatkan tingkat kerentanan terhadap risiko bencana di mana
masyarakat sekitar lahan tersebut mengalami defisit kapasitas dalam hal
penyediaan dan ketahanan pangan.
Pertanggungjawaban
kebijakan alih fungsi lahan tersebut, baik di tingkat Pemerintah Desa,
Kecamatan maupun Kabupaten, masih merupakan wilayah gelap sampai saat ini. Tentu
saja, kondisi tidak transparan dan gelap ini sangat mudah mengundang kecurigaan
akan adanya peluang-peluang manipulasi dan korupsi. Kecurigaan tersebut
sangatlah wajar, beralasan, dan pantas mendapatkan perhatian serius. Kecurigaan
yang muncul di dalam pikiran banyak warga masyarakat ini, sepatutnya
ditanggapi. Karena menyangkut kebijakan
alih fungsi lahan atas tanah kas desa, sudah sepatutnya pula protes dan
penolakan masyarakat ini menjadi keprihatinan Pemerintah Propinsi.
Mencederai Demokrasi
Kebijakan alih
fungsi lahan yang diungkap dalam tulisan ini tentu saja hanyalah salah satu
dari sekian banyak kasus lain yang barangkali tidak sempat mengemuka di media
publik. Namun satu contoh yang konkret ini dapat menjadi petunjuk yang gamblang
bahwa praktik kebijakan alih fungsi lahan itu cenderung tidak berlandaskan pada
prinsip mengutamakan kepentingan masyarakat lebih luas, melindungi dan menjamin
hak-hak masyarakat lebih luas, dan mendorong partisipasi masyarakat. Tiadanya
transparansi dan pertanggungjawaban, pada dirinya sendiri sudah merupakan
petunjuk sangat jelas tentang perilaku tata kelola pemerintahan yang tidak baik
dan mencederai demokrasi.
Pembiaran terhadap
praktik-praktik yang tidak transparan dan tidak akuntabel merupakan pelecehan
terhadap kedaulatan rakyat. Di dalam pembiaran tersebut seolah-olah tersimpan
cara berpikir bahwa masyarakat adalah warga yang tidak tahu menahu tentang
segala sesuatu dan hanya dapat bersikap setuju kepada segala titah aparat
Pemerintah.
Dimulai dari Tingkat Desa
Protes dan penolakan
warga dusun ini, sudah sepantasnya menjadi peringatan keras untuk sekian
kalinya bahwa Pemerintah Daerah sudah semestinya mengevaluasi kebijakan alih
fungsi lahan secara serius. Pengambilan keputusan tentang alih fungsi lahan,
apalagi bila menyangkut lahan subur dan produktif yang sangat potensial untuk
mendukung ketahanan pangan, lebih-lebih apabila lahan itu merupakan tanah kas
desa, sangat mutlak diperlukan adanya partisipasi warga. Secara konkret hal ini
harus dimulai dari tingkat Pemerintah Desa.
Forum-forum rembug
warga di tingkat dusun dan di tingkat kring atau padukuhan, merupakan
forum-forum penting yang menjadi media utama bagi pengembangan partisipasi
warga. Segala bentuk rencana dan pertanggungjawaban sudah semestinya digulirkan
dan dibahas di dalamnya. Karena rembug warga yang masih terpelihara di
dusun-dusun dan di padukuhan tersebut merupakan praktik paling dekat dengan apa
yang disebut sebagai kedaulatan rakyat. Pemerintahan yang menghargai dan
menjunjung tinggi praktik kedaulatan rakyat, adalah satu-satunya pemerintahan
yang paling pantas disebut sebagai bermartabat.***