“Para pencari suaka yang ditahan di Rumah
Detensi Imigrasi (Rudenim) di Bangil punya kehendak dan cita-cita yang kuat
untuk menuju Tanah Terjanji, untuk mengalami kemerdekaan dan membangun hidup
yang baru. Untuk merekalah JRS ada di Pasuruan. Kami mengunjungi mereka,
menemani mereka, mendengarkan cerita mereka. Kami belajar berharap dari mereka.
Kami belajar untuk memiliki sikap hidup yang tangguh dari perjuangan dan tekad
mereka, meskipun tidak ada kepastian, kapan mereka akan sampai ke Tanah
Terjanji,” kata Maswan SJ dalam salah satu kotbah hari Minggu di
hadapan umat Paroki St. Antonius Padua, Pasuruan.
Kotbah dalam misa itu merupakan bagian dari rangkaian
kegiatan Jesuit
Refugee Service untuk membuka wawasan masyarakat
tentang pencari suaka.
Dalam bulan Juli
dan Agustus 2012, JRS melakukan upaya membangun kesadaran publik tentang
keberadaan para pencari suaka di Indonesia dengan memperkenalkan
karya-karyanya kepada komunitas dan masyarakat. Pada tanggal 18 Juli 2012,
kegiatan itu dilaksanakan bersama dengan para guru SMAK dan SMK Mgr.
Soegijapranata, Pasuruan. Pada tanggal 19 Juli 2012, kegiatan dilakukan bersama
dengan para siswa dan siswi SMAK dan SMK Mgr. Soegijapranata, dan pada tanggal
5 Agustus 2012, kegiatan dilakukan bersama dengan umat Paroki St. Antonius
Padua, Pasuruan.
Bersama
Para Guru
Tumpukan foto
para pengungsi dan pencari suaka yang oleh teman-teman JRS Pasuruan ditata di
atas meja, seolah menjadi magnet yang menarik perhatian para guru. Mereka
memilih satu foto yang menyentuh hati mereka lalu membagikan apa yang
dipikirkan atau dirasakan kepada yang lain.
“Saya
teringat anak saya di rumah,” tutur Arita Mulyastuti, seorang
Wali Kelas, sambil menunjukan foto Sonia, seorang anak berusia 8 tahun asal
Syria yang harus menghabiskan waktunya bersama orang-orang dewasa di Rudenim
Surabaya. “Saya
membayangkan kalau hal ini terjadi pada anak saya. Bagaimana ia harus berada
dalam situasi semacam ini,” ucapnya haru. Arita dan para guru yang
lain tidak menyangka bahwa di tengah mereka ada orang-orang yang menghadapi
pengalaman sulit dan tercerai dari orang-orang yang dikasihinya, demi
memperjuangkan hidup yang lebih aman dan damai.
Sharing para
guru dan tanya jawab dengan teman-teman JRS menjadi sarana yang membuka
gambaran tentang kehidupan para pencari suaka. “Laki-laki,
kepala keluarga, atau anak lelaki tertua biasanya menjadi incaran kelompok
garis keras di Afghanistan. Itulah sebabnya keluarga akan mendahulukan mereka
untuk lari dan pergi dengan harapan bahwa setelah tiba di Australia, mereka
dapat mengajukan penyatuan keluarga,” terang
Taka Gani, National
Program Officer JRS.
Kondisi mereka
sebagai pencari suaka di negeri lain seringkali tidak mudah. Mereka ditangkap,
dimasukkan dalam rumah detensi dengan kamar berjeruji besi, menanti-nantikan
status mereka sebagai pengungsi dalam waktu yang lama dan tidak pasti, serta
terpisah dari orang-orang yang tercinta. “Banyak di antara mereka yang menunggu
bertahun-tahun di rumah-rumah detensi dengan kondisi seperti ini untuk
mendapatkan status pengungsi,” terang Zainuddin, koordinator JRS
Pasuruan sambil menunjukkan foto para deteni yang hanya bisa memandang penuh
harap sambil menggenggam erat jeruji besi.
“Lalu
kira-kira apa yang dapat kami lakukan?” tanya
Untung, salah satu staf pengajar SMK Soegijapranata. “Banyak
hal dapat kita lakukan untuk mereka. Salah satunya adalah dengan datang dan
mengunjungi mereka. Mereka sangat senang kalau ada orang yang mau mengunjungi
mereka,” jawab Taka Gani.
“Kalau
saya bertemu dengan anak seperti ini, ingin rasanya mengangkat mereka menjadi
anak saya,” kata Joana Irawati sambil
menunjukkan wajah salah satu Unaccompanied Minor (UAM) yang
tercetak di kertas glossy.
Bersama
Para Siswa
Suasana yang
kurang lebih sama juga dialami oleh para siswa dan siswi SMAK dan SMK
Soegijapranata ketika mereka berkenalan dengan kehidupan para pencari suaka
bersama teman-teman JRS.
“Kami
memilih foto ini karena kami tersentuh oleh peristiwa yang dihadapi oleh
Sadra,” tutur Christian Dofiyanto, juru bicara
kelompok XII IPS 2. Kelompok ini memilih foto coretan isi hati Sadra di atas
tembok kamarnya. Ia adalah deteni asal Iran. Ungkapan hati Sadra adalah sebuah
doa kerinduan terhadap sang ibu yang meregang nyawa dalam tragedi Trenggalek,
17 Desember 2011. “My beauty Mom, you’re always in my heart and I
always think about u. I love u Mom.”
“Kami
ingin mengetahui bagaimana keadaan Sadra sekarang. Dan jika kami bertemu dengan
dia kami ingin memberi penghiburan dan kasih sayang serta perhatian supaya ia
merasa lebih baik,”tambah Christian. “Ibu adalah seseorang yang
paling berharga dalam hidup kita. Perjuangan seorang ibu tidak pernah
tergantikan di dunia ini,” tutupnya.
Paulus Sudarsono,
wali kelas X-1 SMAK Soegijopranoto berpendapat bahwa kegiatan bersama JRS
bermanfaat besar dalam menumbuhkan semangat kepedulian generasi muda zaman ini.
“Menurut
saya kegiatan ini bermanfaat untuk menumbuhkan kepedulian serta rasa
kemanusiaan generasi muda yang saat ini cenderung egois dan acuh tak acuh
karena virus playstation,” ujarnya.
Bersama
Umat Paroki
Dalam kesempatan
lain, ketika memperkenalkan karya-karyanya kepada umat Paroki St. Antonius
Padua, Pasuruan, JRS dapat berbagi pengalaman bersama kelompok yang lebih
beragam. Tujuhpuluhan orang duduk memenuhi 16 baris bangku gereja. Mereka
datang dari berbagai latar belakang: guru, biarawati, ibu rumah tangga, PNS,
pedagang, pelajar, pensiunan tentara, aktivis paroki, orang muda, pengurus
lingkungan, WKRI (Wanita Katolik Republik Indonesia), Legio Maria, KTM
(Komunitas Tri Tunggal Maha Kudus), dan PDKK (Persekutuan Doa Karismatik
Katolik). Keberagaman mereka diikat oleh semangat guyub untuk mengenal salah
satu karya pelayanan Gereja Katolik di Indonesia. “Umat
harus tahu bahwa Gereja Katolik memiliki pelayanan yang beragam, salah satunya
JRS dengan pelayanan kepada para pengungsi,” tutur
Romo Adam Suncoko Pr.
Pemutaran film A
Well Founded Fear dan rangkaian foto-foto kehidupan para
pencari suaka yang digelar di hadapan umat yang hadir, telah menjawab rasa
ingin tahu mereka. Kisah kehidupan Muhammad Rizai dan rekan-rekannya yang
dideportasi dari Australia, telah membuka mata tentang perjuangan orang-orang
yang tersingkir dari tanah lahirnya.
“Suku
Hazara adalah kaum minoritas di Afghanistan dan mereka menganut aliran Islam
Syiah. Bagi kelompok garis keras, dua hal ini menjadi alasan untuk menghalalkan
darah mereka,” tutur Zainuddin. Kenyataan
kehidupan yang dialami oleh para pencari suaka ini, dengan segala penganiayaan
dan diskriminasi yang dihadapinya, menyentak kesadaran semua yang hadir.
Kenyataan hidup
yang demikian ini menjadi tantangan yang tidak ringan bagi JRS dalam menemani,
melayani dan membela hak-hak mereka yang terpaksa mengungsi. Di hadapan
tantangan yang terlalu besar, setiap orang dipanggil untuk senantiasa
mengandalkan kekuatan Allah.
“Lika-liku
pelayanan seperti yang dihadapi JRS tidak bisa digeluti dengan mengandalkan
usaha manusiawi belaka. Ketika kami menemukan tantangan besar dalam pelayanan,
kami diingatkan oleh pesan Romo Pedro Arupe SJ (pendiri JRS) untuk selalu
berdoa dan berdoa,” kata Maswan SJ.
Semua yang hadir
terdiam. Barangkali mereka lalu merenungkan kemungkinan-kemungkinan daya Ilahi
yang terus berkarya di tengah dinamika hidup manusia, di tengah kerasnya derita
maupun di dalam keheningan syukur tiada terkira. Melalui sharing pengalaman
tentang bagaimana menemani, melayani dan membela para pencari suaka, JRS telah
menaburkan benih-benih kesadaran tentang pentingnya berbagi hati dengan mereka
yang terpaksa mengungsi demi menyelamatkan kehidupan. Semoga benih itu sungguh
jatuh di tanah yang subur sehingga bertunas dan bertumbuh dalam beragam
pelayanan yang mengalir dari lebih banyak hati.
Indro Suprobo
Publikasi awal di JRS Indonesia
No comments:
Post a Comment