“Anak saya sekarang berumur
tiga tahun, tetapi saya belum pernah melihat wajahnya,” ata
seorang pengungsi asal Afghanistan yang tinggal di Sewon, Bantul, Yogyakarta. “Saya
meninggalkannya ketika masih dalam kandungan. Sejak itu saya tidak berjumpa
dengan istri dan anak saya,” lanjutnya dengan tatapan mata
lurus ke depan, menyembunyikan kesedihan dan kesepian mendalam di tengah
keriuhan suasana peringatan Hari Pengungsi Sedunia. Ia yang sebelumnya sangat
bersemangat ikut menari dan memperagakan seni beladiri Kungfu, tiba-tiba diam
terpaku sambil menggenggam segelas teh hangat di tangannya. Teman di sebelahnya
hanya sanggup memeluk dan menepuk-nepuk pundaknya dalam keheningan, tanpa
sepatah kata pun.
Kemeriahan
musik dan lagu-lagu yang dibawakan oleh para penyanyi pada malam peringatan
Hari Pengungsi Sedunia, memang menyulut spontanitas, semangat dan kegembiraan
para pengungsi. Mereka asyik menari dan menyanyi bersama dalam keceriaan. “Kegembiaraan
semacam ini harus saya nikmati, supaya tidak stress dengan banyak masalah,” ungkap
pengungsi lain yang sejak awal acara selalu berdiri dan menari mengikuti
lagu-lagu yang dibawakan. Sesekali ia juga membawakan lagu-lagu tradisional
berbahasa Parsi diiringi tepuk tangan dan musik alami dari mulut para
pengungsi.
Bagaimanapun
juga, seluruh kemeriahan ini tak mampu menyembunyikan suasana batin terdalam
para pengungsi yang terpaksa terpisah dari orang-orang yang paling dicintai dan
memberikan arti dalam kehidupan. Seluruh aktivitas yang dilakukan hanyalah
mampu mengurangi kesedihan dan membantu mengolah batin agar menjadi lebih kuat
dan berdaya tahan menghadapi seluruh kesulitan.
“Berlatih
Kungfu itu baik untuk kekuatan tubuh dan kekuatan mental,” kata
salah seorang pengungsi. “Tubuh kita menjadi lebih kuat menghadapi
pukulan, tendangan, dinginnya air dan suhu udara. Namun secara mental, kita
juga menjadi lebih kuat menghadapi kesulitan terberat yang sanggup kita
tanggung,” lanjutnya.
Hari Pengungsi
Sedunia memberikan peringatan bahwa akar masalah dari pengungsian musti
ditanggapi secara lebih serius. “Kepengungsian terjadi di banyak tempat karena
adanya pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dan kemanusiaan,” kata
Dafri Agussalim, MA, staf pengajar Jurusan Hubungan Internasional Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta. “Sayangnya, pengungsian cenderung tidak
dipandang sebagai persoalan kemanusiaan, namun lebih disikapi sebagai persoalan
politik,” lanjutnya. Akibatnya, pemenuhan hak asasi
pengungsi menjadi rentan. Mereka tidak mendapatkan akses untuk dapat memenuhi
hak-hak dasarnya. Pemerintah dan negara-negara di mana para pengungsi berada,
semestinya menjamin perlindungan dan pemenuhan hak mereka. “Kenyataannya
instrumen Hukum Internasional tidak cukup kuat mendorong perlindungan terhadap
pengungsi. Ini disebabkan oleh perbedaan pijakan dasar asumsi antara kedaulatan
Hukum Nasional dan Hukum Internasional.” tambahnya.
Terhadap
negara-negara yang memiliki persoalan besar berkaitan dengan “pelanggaran
kemanusiaan” yang mengakibatkan pengungsian, diperlukan adanya tekanan dengan
pendekatan regional yang lebih kontekstual dari sisi kultural dan sosial,
supaya tekanan itu lebih berdampak efektif. Kedekatan nilai-nilai
kultural dan sosial tampaknya lebih membantu produktivitas dialog dan
komunikasi antarnegara dalam mengatasi “masalah kemanusiaan” dalam suatu
negara. Kebijakan pelibatan produktif negara-negara anggota ASEAN dalam
menangani persoalan dalam negeri suatu negara anggota yang berimplikasi kepada
negara-negara tetangga, merupakan salah satu contohnya. Persoalan pelanggaran
HAM dan gagalnya demokrasi di suatu negara yang mengakibatkan pengungsian tentu
saja memiliki dampak bagi negara-negara tetangga yang lain. Oleh karena
itu, persoalan internal yang melahirkan pengungsi itu juga mengundang
keterlibatan produktif negara-negara tetangga untuk ikut aktif
menyelesaikannya.
Saat ini para
pengungsi rentan mengalami kriminalisasi. Mereka bukanlah penjahat, namun
cenderung diperlakukan sebagai orang-orang yang melakukan tindak kriminal. Para
pengungsi tidak semestinya dicap kriminal karena sejatinya mereka adalah
orang-orang yang dalam seluruh keterpaksaan harus meninggalkan tanah asalnya,
seluruh harta bendanya, seluruh dokumen pribadinya, dan semua orang yang dicintainya,
demi menggapai sebuah tanah harapan yang mampu memberikan kedamaian dan
keselamatan.
Hitung-hitungan
politis dan prosedur teknis perundang-undangan yang tidak disertai dengan
keprihatinan mendalam terhadap persoalan Hak Asasi Manusia dan kemanusiaan,
menjadikan orang-orang yang berwenang mengurusi pengungsi cenderung mengalami
kesulitan untuk membedakan antara pelanggar undang-undang dan orang-orang yang
justru membutuhkan perlindungan dan bantuan kemanusiaan.
Di antara
suramnya sikap pemerintah dan negara-negara dalam menangani pengungsi, ternyata
kita masih dapat melihat harapan yang berkilau. Harapan itu justru muncul dari
masyarakat desa yang sederhana, jujur, ikhlas dan penuh keramahan. Salah
satunya adalah kepala Padukuhan Pandes, di Sewon, Bantul, Yogyakarta yang
mengatakan kepada para pengungsi,”Kami sangat berharap, semoga para pengungsi
dapat hidup berbaur dengan semua warga di sini sebagai saudara-saudari dan
sebagai keluarga, meskipun kita berbeda-beda.”
Orang-orang
sederhana yang menyediakan keramahan dan persaudaraan kepada orang lain,
terutama kepada mereka yang terpaksa tak memiliki negara dan kewarganegaraan,
adalah orang-orang yang sedang sangat dibutuhkan oleh dunia saat ini. Sejatinya
mereka adalah orang-orang yang terbuka untuk terus belajar, dididik, dan
diperkaya oleh duka dan kecemasan sesama. “Para pengungsi ini membuat saya mengerti
bahwa adat yang berbeda telah melahirkan cara memasak yang berbeda namun justru
lebih sehat, tidak menimbulkan sakit maag dan asam urat,” eloroh
seorang ibu warga dusun Pandes.
Maka terbuktilah
apa yang dinyatakan oleh pepatah kuno bahwa kebijaksanaan itu terbuka kepada
mereka yang sederhana dan ikhlas hatinya, namun tersembunyi bagi mereka yang
cerdik-pandai dan berkuasa.
Indro
Suprobo
Publikasi awal di JRS Indonesia
No comments:
Post a Comment