Bagi orang kampung yang
sehari-harinya terbiasa berkain sarung seperti
saya, mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke kota Cleveland di
Negara bagian Ohio, Amerika Serikat, merupakan pengalaman yang
langka. Ini terjadi karena sahabat saya, seorang Kyai muda pengasuh
sebuah Pondok Pesantren mahasiswa di Surakarta mendapatkan dua
undangan gratis untuk menghadiri workshop di sana. Satu undangan
gratis itu ditawarkan kepada saya karena kebetulan tema workshop itu,
Appreciative Inquiry,
pernah menjadi bahan diskusi panjang kami berdua.
Workshop
itu diselenggarakan oleh Weatherhead School of Management, Case
Western Reserve University, sebuah universitas swasta yang memiliki
keunggulan di bidang manajemen pengembangan organisasi. Kebetulan
yang menjadi fasilitator utamanya adalah Profesor David L.
Cooperrider, sang penemu dan pemikir kreatif metode pengembangan
organisasi berbasis pikiran positif dan keunggulan nyata, sekaligus
penulis buku Appreciative Inquiry: A Positive Revolution in
Change.
“Appreciative
Inquiry adalah sebuah pendekatan konstruksionis untuk merancang dan
mengelola perubahan di masa depan berdasarkan kekuatan positif dan
pengalaman terbaik di masa lalu yang telah dicapai oleh individu
maupun kelompok,” kata Profesor Cooperrider dalam sessi
workshop dengan penuh keyakinan dan persuasi.
“Dalam
pendekatan ini, setiap individu mendapatkan ruang luas untuk
mengeksplorasi pengalaman terbaiknya pada masa lalu dan menemukan
kekuatan positif yang mempengaruhinya. Berdasarkan pengalaman terbaik
dan kekuatan positif itu, individu diberi kesempatan untuk membangun
mimpi dan imajinasi yang positf di masa depan serta merancang segala
kemungkinan terbaik masa depan yang dapat dicapai dalam kehidupannya.
Itulah perubahan positif yang mungkin dan dapat dikerjakan sejak
sekarang,” lanjut Cooperrider. “Oleh karena itu, dalam
pendekatan ini, penggunaan pertanyaan-pertanyaan yang positif untuk
menuntun proses identifikasi pengalaman terbaik dan kekuatan positif
masa lalu, menjadi sangat vital dan penting,” paparnya.
Dengan
keingintahuan yang besar, sahabat saya yang Kyai Pondok Pesantren itu
memberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan,”Profesor, mengapa
pertanyaan positif menjadi sangat vital dan penting? Apakah dengan
demikian metode ini tidak mengakui kekurangan dan defisit dalam
pengalaman masa lalu?”
“Pertanyaan
Anda bagus sekali pak Kyai,” jawab sang Profesor apresiatif.
“Metode
ini menghargai pertanyaan positif sebagai hal sangat penting karena
meyakini prinsip simultansi dalam psikologi tentang perilaku.
Pertanyaan positif yang diajukan sejak awal identifikasi tentang
pengalaman terbaik dan kekuatan positif yang dialami seseorang, akan
mengarahkan seluruh energi positif di dalam dirinya untuk
berorientasi kepada perilaku yang positif di masa depan. Dengan
demikian, sejak pertanyaan positif itu diajukan, ia sudah mengarahkan
perubahan positif di masa depan. Itulah prinsip simultansi,”
kata sang Profesor memberikan penjelasan.
“Dalam
metode ini, pengalaman negatif tidak diabaikan. Pengalaman negatif
dan kekurangan tetap diakui ada dalam kenyataan, namun hal itu tidak
dijadikan sebagai fokus dalam metode ini, karena dari banyak
pengalaman, identifikasi pengalaman negatif dan kekurangan cenderung
melahirkan keputusasaan dan depresi serta menurunkan tingkat
kreativitas. Sebaliknya, pertanyaan positif dan pengakuan atas
pengalaman terbaik cenderung membangkitkan antusiasme dan
kreativitas, serta keberanian untuk menciptakan kemungkinan di masa
depan,” lanjut Profesor penuh keyakinan.
Workshop
yang berlangsung tiga hari itu terasa sangat menyegarkan dan
membangkitkan semangat para pesertanya. Tanya jawab, dialog dan
proses berbagi pengalaman positif antar pribadi terasa memberikan
nutrisi bagi setiap orang yang merasakan aura positif dan apresiatif
dalam forum itu. Ruangan yang nyaman di kompleks Universitas itu juga
membuat semua orang merasa betah.
Sore
itu, setelah selesai workshop hari kedua, sambil berkain sarung dan
berkaos oblong, saya berkesempatan menikmati obrolan pribadi bersama
Profesor Cooperrider di bangku taman di halaman belakang penginapan.
Penginapan kami terletak di dekat kampus universitas di pinggiran
kota Cleveland. Tak jauh dari penginapan kami, ada Severance Hall,
sebuah gedung orkestra yang terkemuka di Cleveland. Taman di belakang
penginapan kami cukup luas dengan beraneka ragam tanaman dan hamparan
rumput, serta jalan setapak. Ada kolam kecil dengan air mancur.
“Profesor,
saya membaca bahwa selama dua puluh tahun belakangan ini, banyak
lembaga, organisasi dan komunitas telah memberikan kesaksian bahwa
mereka mengalami perubahan positif yang luar biasa setelah menerapkan
metode Appreciative Inquiry ini,” celetuk saya memulai
pembicaraan.
“Ya,
Anda benar sekali. Hal itu telah mendorong kolega saya, Diana Whitney
dan Amanda Trosten-Bloom melakukan penyelidikan tentang apa yang
membuat pendekatan ini berhasil di berbagai tempat. Mereka menemukan
enam faktor kunci yang mereka sebut sebagai enam kebebasan, yakni
kebebasan untuk dikenali dan diakui di dalam relasi antar pribadi,
kebebasan untuk didengarkan, kebebasan untuk membangun mimpi di dalam
komunitas, kebebasan untuk memilih cara berkontribusi, kebebasan
untuk bertindak dalam dukungan, dan kebebasan untuk bersikap positif
” jawab pak Profesor penuh keceriaan.
“Ya
benar. Saya telah membaca hasil penelitian itu. Tetapi yang menarik
bagi saya adalah bahwa sebelum Anda mencetuskan pendekatan
Appreciative Inquiry ini pada tahun 1980an, saya dan semua siswa yang
lain telah mengalami praksis enam kebebasan itu di sekolah kami,
Seminari Menengah Mertoyudan. Praksis itu saya pikir sudah dimulai
sejak lama sekali dan sudah mendarah daging dalam seluruh metode
pendidikan Seminari Mertoyudan bahkan sudah melewati usia 100 tahun,”
jawab saya penuh percaya diri.
“Oh
ya? Wah menarik sekali sekolah Anda itu? Apakah anda bisa
menceritakannya kepada saya?” kata pak Profesor penasaran.
Wajahnya tampak cerah dan matanya berbinar ketika mendengar
pernyataan saya.
“Ya,
enam kebebasan yang dirumuskan oleh Diana Whitney itu telah
benar-benar kami alami selama menjalani pendidikan di Seminari
Mertoyudan,” dengan penuh semangat saya menjelaskan.
“Wah
saya tertarik untuk mendengarkan bagaimana hal-hal itu secara konkret
Anda alami. Bagaimana sekolah Anda memfasilitasi keenam kebebasan
positif itu?” lanjut Profesor semakin penasaran.
“Berkaitan
dengan kebebasan untuk dikenali, sekolah kami memfasilitasi beberapa
model membangun relasi antar pribadi, antara lain dengan membentuk
kelompok basis dan mekanisme menuliskan sumbangan rohani untuk
teman-teman terdekat. Kelompok basis menjadi ruang bagi setiap
individu untuk saling mengenali secara mendalam, untuk berbagi
pengalaman personal bahkan untuk saling berkonsultasi dalam sikap
saling percaya. Menulis sumbangan rohani menjadi cara untuk saling
memberikan apresiasi, menunjukkan kekuatan dan kelebihan, serta
memberikan rekomendasi tentang perubahan yang mungkin dilakukan di
masa depan oleh masing-masing pribadi. Ada pula catatan tentang
hal-hal yang sebaiknya diperhatikan secara serius oleh
pribadi-pribadi. Semua itu disampaikan dalam sikap hormat dan doa
agar apa yang dituliskan itu benar-benar menjadi rahmat bagi orang
lain. Semua ini memberikan kebebasan kepada individu untuk dikenali
sebagai pribadi yang menjadi dirinya sendiri. Setiap orang diberi
kebebasan untuk menenun identitas dan keunikannya,” jelas saya.
“Wah,
Anda sangat beruntung mendapatkan pengalaman semacam itu,” kata
Profesor.
“Kelompok
basis itu juga menyediakan kebebasan untuk didengarkan. Selain itu,
para guru yang menemani proses belajar di dalam kelas juga
menyediakan ruang bagi kami untuk didengarkan. Apalagi dalam proses
belajar sastra. Setiap siswa diberi kesempatan untuk membaca satu
buah karya sastra yang bermutu lalu diberi kesempatan untuk
menyampaikan seluruh gagasan, komentar maupun analisis pribadinya
tentang karya yang telah dibacanya. Semua siswa yang lain juga diberi
ruang luas untuk mengajukan tanggapan dan pandangan tentang karya itu
maupun tentang pandangan teman lain. Proses belajar semacam itu
sungguh-sungguh membuat kami merasa berarti karena diberi ruang untuk
didengarkan. Setiap orang belajar untuk mendengarkan secara jujur dan
berempati,” lanjut saya.
“Saya
perlu mengatakan secara jujur bahwa proses belajar semacam itu sangat
apresiatif dan memberikan dampak positif yang luar biasa. Merasa
berharga karena didengarkan itu sangat luar biasa. Para guru yang
menemani proses itu pasti sangat profesional dan benar-benar memenuhi
kriteria sebagai pendidik,” kata Profesor menanggapi.
“Benar
sekali Profesor. Sampai saat ini kami merasakan bahwa para guru itu
adalah sahabat-sahabat kami. Dengan penuh komitmen, mereka telah
menemani dalam proses belajar. Mereka benar-benar menjadi teman dan
sahabat untuk belajar. Kami juga mendapatkan kebebasan untuk
membangun mimpi dan memilih cara berkontribusi dengan diberi banyak
pilihan untuk mengembangkan keterampilan. Ada kesempatan untuk
belajar menulis, mempelajari beragam alat musik, mempelajari
keterampilan pertukangan, mempelajari seni dekorasi dan podium, ada
sidang akademi di mana setiap orang diberi kesempatan belajar
mempresentasikan karya ilmiah atau keterampilan debat, serta
kesempatan belajar bertanggung jawab dalam tugas-tugas tertentu.
Kesempatan ini membuat kami merasa diberi kebebasan untuk membangun
mimpi, yakni mau menjadi pribadi seperti apa pada masa depan dan
bagaimana berkontribusi bagi orang lain sesuai dengan keunikan dan
kemampun terbaik yang kami miliki.”
“Dari
pengamatan dan pengalaman Anda, apakah salah satu dari kesempatan
belajar itu benar-benar memberikan daya hidup bagi Anda dan
teman-teman Anda pada masa kemudian?” tanya Profesor
menyelidik.
“Ya,
masing-masing memetik buah yang memberdayakan hidup pribadi di masa
depan. Ada yang membangun mimpi menjadi pribadi yang menikmati dunia
tulis-menulis dan berkontribusi melalui tulisan. Ada yang
menghidupkan mimpi dan berkontribusi dalam hidup melalui dunia musik.
Ada pula yang membangun ketekunan dalam keterampilan-keterampilan
tertentu. Kebebasan untuk memilih cara berkontribusi itu ternyata
membangkitkan daya yang malahirkan komitmen dan kemauan untuk
belajar, kreativitas, serta ketekunan. Ini melahirkan pribadi-pribadi
yang positif dan produktif. Banyak dari antar kami, yang karena
terdorong untuk berkomitmen dan terus-menerus belajar, akhirnya
benar-benar memiliki keunggulan dan kualitas yang teruji dalam
pilihan mereka, sehingga semakin dipercaya untuk mengemban tanggung
jawab yang semakin besar di komunitas, di universitas, di tempat
kerja, di lingkungan tempat tinggal dan sebagainya,” jawab saya
mantab.
“Wah
bagus sekali. Sungguh, itu pengalaman bagus. Begitulah
prinsip-prinsip Appreciative Inquiry mempengaruhi pertumbuhan pribadi
seseorang dan komunitas,” kata Profesor Cooperrider sambil
mengangguk-anggukkan kepala.
Kami
terdiam sejenak. Lampu-lampu taman sudah mulai menyala di sana-sini.
Suasana semakin terasa hening. Ada daun kering jatuh di atas kain
sarung saya. Warnanya kekuningan dan berlobang kecil-kecil. Mungkin
bekas dimakan ulat.
“Bagaimana
kebebasan untuk bertindak dalam dukungan dan untuk bersikap positif
diberi ruang oleh lingkungan sekolah Anda?” tanya Profesor
melanjutkan obrolan.
“Ada
banyak media sebenarnya. Beberapa yang saya ingat adalah
kegiatan-kegiatan khusus yang diselengarakan secara rutin sebagai
media mewujudkan ekspresi dan kreativitas pribadi. Misalnya beragam
perlombaan dalam Malam Kreativitas. Ada lomba untuk menulis drama,
menulis cerpen, membaca puisi, bermain teater, menulis artikel sastra
dan sebagainya. Semua itu memberi ruang bagi individu untuk
mengeksplorasikan kreativitas dan belajar berkarya dalam dukungan
seluruh sistem. Ini benar-benar memberikan ruang kebebasan untuk
bertindak dalam dukungan. Individu sungguh-sungguh diberi ruang
belajar untuk melakukan tindakan produktif dan mendapatkan apresiasi.
Namun demikian ada pula model yang bersifat spiritual yang disebut
Bimbingan Rohani. Setiap individu diberi ruang belajar untuk
menimbang dan mengambil pilihan atas situasi dan pengalaman
hidupnya,” jawab saya.
“Dari
pengalaman bertemu dengan banyak orang yang mampu menggali pengalaman
terbaik masa lalu dan masa kini, saya menemukan bahwa orang-orang
semacam ini cenderung memiliki kapasitas untuk menularkan hal positif
kepada orang lain, menumbuhkan semangat, antusiasme, rasa gembira dan
kreativitas. Bahkan ketika menghadapi masa sulit dan kesulitan,
mereka cenderung memiliki ketenangan untuk tetap memilih yang positif
bagi dirinya,” jelas pak Profesor.
“Nah,
ada satu hal lagi yang tidak disebut oleh Diana Whitney namun
difasilitasi oleh Seminari Mertoyudan, dan itu menjadi wadah serta
landasan kokoh bagi semua kebebasan yang disebutkan itu,” tegas
saya.
“Wah,
apalagi itu?” tanya pak Profesor penasaran.
“Yang
satu ini tertanan dan terinternalisasi sangat mendalam dalam hidup
kami dan tak mudah hilang, yaitu kebiasaan untuk menjaga “silentium”.
Ini merupakan praktik membangun keheningan batin setiap saat agar di
dalam batin individu senantiasa tersedia ruang luas bagi kehadiran
Yang Mahapositif dan Yang Mahaapresiatif. Ini semacam latihan
sederhana namun berdaya bagi individu untuk senantiasa hening,
membangun koneksi dengan Yang Mahapositif dan Mahaapresiatif itu.
Secara sederhana, ini boleh disebut sebagai proses untuk selalu
melakukan Inquiry, penelusuran atas kehadiran Yang Mahapositif dan
Mahaapresiatif dalam setiap pengalaman hidup. Inilah pengalaman
paling positif yang kami alami selama menjalani pendidikan di
Seminari Mertoyudan. Keheningan yang dibangun setiap saat itu,
mendorong energi spiritual yang positif dan mendasar, yakni energi
syukur atas segala anugerah. Semakin mampu bersyukur, semakin besar
pula energi positif untuk kreatif, produktif, dan membaca kemungkinan
terbaik dalam segala situasi hidup. Itu semua membuat individu
terus-menerus bertumbuh,” jawab saya penuh keyakinan.
“Wah,
saya pikir itu kebiasaan yang sangat dibutuhkan. Semua pikiran
positif dan energi positif yang menuntun perilaku individu sangat
membutuhkan landasan keheningan. Hanya dalam keheningan, individu
sanggup mengeksplorasi pengalaman positif yang paling dalam dan
memilih tindakan-tindakan positif yang membawa kemungkinan besar bagi
perubahan dan pertumbuhan,” kata Profesor.
“Wah
terima kasih profesor, saya sangat beruntung Anda sudah berkenan
ngobrol. Semoga suatu saat Profesor berkesempatan mengunjungi sekolah
saya dan bertemu langsung dengan suasana aselinya. Pasti akan sangat
menarik,” jawab saya.
“Iya,
semoga saya berkesempatan untuk mengunjunginya dan berbagi pengalaman
dengan semua yang terlibat di dalamnya. Itu pasti akan memberikan
energi positif juga bagi saya,” kata Profesor.
Kami
lalu saling berpamitan dan kembali ke kamar masing-masing untuk
melanjutkan aktivitas. Setelah menulis sebentar di kamar, saya
langsung berangkat tidur supaya esok hari tetap segar mengikuti
workshop hari terakhir.
Esok
hari ketika bangun, saya terkejut. Di luar jendela terdengar
keramaian orang berkelakar dalam bahasa Jawa. Aneh, sejak kemarin tak
satupun orang Jawa saya temui di sekitar penginapan, kecuali pak Kyai
sahabat saya. Ketika membuka jendela, saya baru sadar. Saya melihat
simbok-simbok petani sedang bergerombol menanam padi di persawahan
samping rumah. Oh, ternyata saya bangun pagi di rumah sendiri. Ah,
benar-benar tidur yang nyenyak dan mimpi yang produktif.***
Tulisan ini merupakan refleksi atas pendidikan Seminari Menengah Mertoyudan, dalam rangka Reuni Lintas Angkatan pada bulan Juni 2016. Terima kasih untuk para Pendidik.
No comments:
Post a Comment