Zygmunt Bauman, seorang sosiolog
dan filsuf Inggris keturunan Yahudi menyatakan bahwa kebiadaban adalah anak
kandung modernitas. Kebiadaban justru dilahirkan dan mendapatkan legitimasi
rasional dari modernitas, terutama karena sifat instrumentalnya, yg terwujud
dlm proses "gardening", yakni menata masyarakat seturut kehendak
penatanya dan "memangkas" sebagian masyarakat yg dianggap tdk sesuai
dg kehendak penatanya. Mereka yg memangkas ini dan semua yg terlibat dlm
jaringan pemangkasan, termasuk para pendukungnya (dlm praktik kebiadaban) tdk
merasa melakukan kebiadaban krn menganggap bhw ia hanyalah melakukan kewajiban
dan tugas. Sifat instrumentalis ini oleh Hannah Arendt, filsuf Yahudi juga,
disebut sbg "hilangnya imajinasi tentang liyan".
Praktik kebiadaban Israel ini, yg
dikutuk dan ditentang oleh banyak orang Yahudi sendiri, merupakan pengulangan
atas apa yg terjadi dlm genosida, gardening dan hilangnya imajinasi tentang
liyan. Secara rasional, kebiadaban ini diinternalisasi sejak dlm pikiran
melalui edukasi di sekolah-sekolah di Israel. Nurit Peled-Elhanan, profesor
bahasa keturunan Yahudi juga menulis buku sangat kritis berjudul
"Palestine in Israeli Books: Ideologi and Propaganda in Education".
Ia menyatakan bhw kebencian thd Palestina telah diinternalisasi melalui
buku-buku kurikulum pendidikan. Meskipun ada lebih banyak orang Yahudi yg anti
thd kebijakan Israel atas Palestina, tetap ada sebagian masy Israel dan elite
yg tetap membenci Palestina dan ingin menghapusnya, memangkasnya (gardening)
sesuai keinginan mereka, dan mengonstruksi wacana diskriminatif ttg Palestina,
sbg teroris. Wacana diakriminatif ini digunakan utk melegitimasi kejahatan yg
mereka lakukan.
"Breaking the Silence",
adalah upaya orang-orang Yahudi utk mengcounter wacana dan kebijakan Israel ttg
Palestina. Mantan-mantan tentara IDF yg sadar, memberikan banyak kesaksian bhw
apa yg dilakukan Israel di Palestina adalah kejahatan. Upaya ini merupakan
pendidikan kritis dan advokasi kebijakan demi keadilan dan kebebasan Palestina
yg dilakukan oleh orang-orang Yahudi sendiri, selain advokasi hak asasi manusia
yg dijalankan oleh organisasi "Rabbi for Human Rights", yakni para
Rabbi Yahudi yg membela hak-hak orang Palestina, dg risiko ikut disiksa atau
menghadapi kekerasan tentara.
Semoga upaya dunia utk
menghentikan kebiadaban ini segera mencapai hasil signifikan. Yg sdh banyak
dilakukan adalah upaya menghentikan kekerasan sejak dlm pikiran, agar semakin
sedikit pendukung kebijakan Israel dan semakin banyak pendukung kemerdekaan dan
kebebasan Palestina.
Wacana diskriminatif tentang
Palestina, bhw Palestina adalah teroris, merupakan kebohongan yg masih harus
terus dilawan sejak dlm pikiran, sebab seluruh perilaku Israel adalah kejahatan
yang sebenar-benarnya justru merupakan sustainable terorrism.