Kompas, 15 Oktober 2023
Oleh Indro Suprobo
Seorang perempuan bernama Eona memiliki kerinduan besar untuk dapat mengunjungi sebuah tempat yang bernama Pantai Penuh Cahaya. Konon, tempat itu menyimpan banyak harta karun yang sangat berharga. Kerinduan itu menjadi kenyataan, ketika sebuah kapal besar bernama Stella Maris (Bintang Laut) membawa Eona berlayar jauh mengarungi lautan menuju pantai impian. Tanpa diduga, ternyata perjalanan mengarungi lautan itu sendiri telah menyediakan harta karun yang harganya tiada terkira.
Ia
menjumpai banyak peristiwa dan mengenali banyak orang dengan banyak
pengalaman. Ia belajar mengendalikan kapal di tengah lautan, belajar cara
membaca rangkaian bintang sebagai penunjuk arah dan tujuan, bagaimana bertahan
hidup dalam badai dan tantangan lautan, serta mendengarkan banyak cerita dari
orang-orang yang dijumpainya.
Baskara T
Wardaya menuliskan kisah tentang Eona ini sebagai kisah pembuka dari 20 cerita.
Ia menutup kisah pembuka ini dengan satu refleksi penuh makna bahwa yang
lebih memukau adalah apa yang tidak kasatmata. Apa itu? Ia adalah kesadaran
bahwa sebenarnya harta karun yang dicari itu tidak di pantai tersebut, tetapi
justru dalam perjalanan menuju ke sana. Semoga dalam perjumpaan kita dengan
berbagai peristiwa dan dengan orang-orang lain, kita menemukan harta karun itu.
Eona adalah kita (hlm 4).
Apa yang
ditegaskan dalam penutup kisah awal mula ini tampaknya merupakan spiritualitas
dasar dari buku Awan Merah, Catatan Sepanjang Jalan, karya Baskara T
Wardaya, SJ, sekaligus menjadi spiritualitas dasar dari penulisnya sendiri,
baik sebagai sejarawan maupun sebagai seorang Jesuit (anggota Serikat Jesus).
Spiritualitas ini menekankan tiga proses utama, yakni mencermati pengalaman
atau peristiwa, menemukan pembelajaran penting di dalamnya, dan menentukan
pilihan tindakan kontekstual transformatif berikutnya.
Tiga proses
utama itu dirumuskan sebagai latihan rohani Santo Ignatius, meliputi
pemeriksaan batin (examen conscientiae) atau pembedaan roh (discretio
spirituum), memetik buah rohani, dan mengambil langkah hidup baru yang
lebih baik (magis). Buku ini ditulis dengan bertolak pada gagasan
tentang perlunya praksis eksamen dan semangat magis (hlm 9).
Pribadi
Pembelajar
Buku ini
menyajikan dua puluh kisah yang dinarasikan secara menarik, menggunakan bahasa
sederhana dan mudah dicerna, serta melibatkan intensitas pengalaman subyektif
penulisnya sehingga terasa menjadi pengalaman yang inspiratif bagi pembaca.
Dua puluh kisah yang didedah itu merupakan peristiwa dan pengalaman nyata yang
dapat ditemukan dalam perjalanan sejarah.
Seluruh
cerita yang disajikan di dalam buku ini sebenarnya boleh dikatakan sebagai
catatan tentang menjadi Eona, sebagaimana diceritakan dalam kisah
pembuka. Secara jelas penulis mengemukakan hal ini ketika menyatakan bahwa buku
ini adalah buku tentang kita, yakni kita sebagai orang-orang yang ingin
bersama-sama belajar dari pengalaman-pengalaman kehidupan. Sarananya adalah
melalui ingatan sejarah, melalui refleksi atas peristiwa-peristiwa tertentu,
serta melalui pengenalan atas pribadi-pribadi yang kebetulan kita jumpai di
sepanjang perjalanan. Bersama-sama kita akan menemui dan bercakap-cakap dengan
mereka (hlm 7-8).
Dengan
menulis dan menerbitkan buku ini, sebenarnya Baskara sendiri sedang menjalani
laku menjadi Eona, pribadi pembelajar yang mencermati pengalaman dan
peristiwa beserta orang-orang yang dijumpai. Seluruh cerita yang dikisahkan
dan pengalaman yang direfleksikan bagaikan perjalanan menuju Pantai Penuh
Cahaya, yang menyediakan harta tak terkira. Sebagaimana Eona yang setelah kembali
dari perjalanan menuju Pantai Penuh Cahaya itu berbagi pengalaman kepada
orang-orang di desanya (hlm 317-318), demikianlah juga penulis, melalui buku
ini menjadi Eona yang kembali ke desa dan berbagi kepada kita semua agar
menjadi Eona, menjadi pribadi pembelajar melalui perjalanan kita masing-masing.
Buku Awan
Merah, Catatan Sepanjang Jalan merupakan sebuah ajakan sekaligus praksis
nyata untuk menjadi pribadi pembelajar. Melalui buku ini, Baskara menyajikan
keteladanan kepada pembaca sekaligus mengajak untuk berani menjadi Eona.
Membagikan
Ingatan
Ajakan
untuk menjadi Eona membutuhkan keberanian untuk senantiasa belajar dari
pengalaman dan peristiwa, merefleksikan nilai dan maknanya, dengan cara
memanggil kembali ingatan atau memoria. Ada ingatan atau memoria yang
ketika dipanggil kembali selalu dapat melahirkan luka. Ia dapat berupa ingatan
tentang pengalaman pribadi ataupun pengalaman sosial kolektif. Ingatan yang
dapat menghasilkan luka itu terutama adalah ingatan tentang tragedi manusia
yang pernah terjadi di dunia. Yang sangat mendalam dan mengakar lukanya adalah
apa yang disebut genosida. Tragedi Auschwitz (Auschwitz I, II, dan III) di
Polandia dan tragedi 1965 di Indonesia merupakan dua contohnya (Bab 15 dan Bab
20 dalam buku ini).
Selain itu,
dalam kenyataan, tidak semua ingatan dapat dengan bebas dipanggil ulang untuk
dikisahkan. Salah satunya disebabkan oleh adanya represi dari kekuasaan karena
dianggap bahwa ingatan itu dapat mengguncangkan kemapanan yang menjagai
kepentingan. Ingatan yang direpresi oleh kekuasaan dan tak boleh dipanggil
ulang karena dianggap dapat mengguncangkan kemapanan ini disebut sebagai
ingatan yang membahayakan (periculosa memoria).
Sejatinya,
ingatan jenis ini adalah ingatan tentang luka dan penderitaan (memoria passionis),
yang dimiliki oleh semua orang yang dipaksa kalah dalam perjalanan sejarah,
dipinggirkan dan dihilangkan dalam perjalanan kehidupan. Baskara T Wardaya
mengutip pernyataan Elie Wiesel yang mengatakan bahwa ingatan akan penderitaan
itu adalah ingatan kolektif yang tak boleh dirampas dari generasi berikutnya
(hlm 279).
Ingatan-ingatan
itu ”menggugat” kesewenangan, ketidakadilan, ketidakpedulian dan rasa aman.
Oleh karena itu, ingatan-ingatan semacam ini sangat diperlukan untuk
membongkar ketidakpedulian yang mapan, mengakhiri kecenderungan
kesewenang-wenangan yang terus berlanjut, dan untuk meruntuhkan mitos yang
melumpuhkan sikap kritis serta melanggengkan kebohongan. Johann Baptist Metz,
seorang teolog politik Katolik Jerman, menyatakan bahwa penderitaan orang lain
merupakan undangan bagi orang beriman untuk membebaskan diri dari segala
bentuk ketidakpedulian. Terbebas dari ketidakpedulian itulah yang disebut
sebagai compassion.
Mengisahkan
kembali memoria passionis ini merupakan salah satu upaya melakukan counter
terhadap segala bentuk konstruksi memoria yang dilakukan oleh kekuasaan untuk
mengamankan kepentingan. Konstruksi memoria oleh kekuasaan juga merupakan
praktik konstruksi wacana yang diskriminatif, yang melahirkan tindakan
kekerasan dan penderitaan, menempatkan martabat kemanusiaan di pinggiran.
Mengisahkan
kembali ingatan akan penderitaan dan menjagai ingatan-ingatan itu merupakan
salah satu gerakan pendidikan kritis bagi generasi kemudian, yang membangkitkan
pertanyaan tentang ketidakadilan serta melahirkan kepedulian. Terutama pada
bab 20, buku ini mengisahkan berbagai upaya nyata untuk menjagai ingatan akan
penderitaan dan ketidakadilan itu.
Baskara
adalah salah satu aktivis ingatan dari Indonesia yang ikut terlibat menulis
salah satu babak dalam buku The Routledge Handbook of Memory Activism.
Upaya menjagai ingatan ini, pada gilirannya juga merupakan langkah nyata untuk
membangun pengetahuan dari bawah, yakni pengetahuan dari masyarakat sendiri,
terutama mereka yang mengalami peristiwa, bukan pengetahuan yang dikonstruksi
oleh kekuasaan (hlm 290-291). Ini semua boleh disebut sebagai gerakan
pendidikan kritis berbasis pengalaman.
Mengapa
Awan Merah
”Awan
Merah” merupakan salah satu judul bab dalam buku ini, yang mencerminkan sikap
dasar dari seluruh isi buku, yakni keberanian untuk bersikap jujur, bersikap
kritis, berani mengakui kesalahan dan kekeliruan pada masa lalu, memiliki
keikhlasan untuk meminta maaf dan mengambil langkah baru yang transformatif
dan rekonsiliatif demi semakin terciptanya keadilan, perdamaian, dan
pertumbuhan kemanusiaan.
Bagian
berjudul ”Awan Merah dan Pentingnya Sekolah” sebenarnya merupakan refleksi
kritis para Jesuit terhadap pengalaman masa lalu, ketika terlibat dalam
program asimilasi Pemerintah Amerika Serikat, sehingga praktik pendidikan yang
dijalankan para Jesuit kepada generasi muda suku Sioux justru melahirkan luka
karena mencerabut mereka dari akar-akar kebudayaan mereka sendiri. Menyadari
kesalahan itu, para Jesuit mengubah seluruh metode pendidikan itu secara
radikal.
Baskara
menegaskan bahwa keberanian dan kejujuran terhadap pengalaman, ingatan, dan
sejarahnya sendiri akan membantu setiap subyek untuk melangkah ke depan secara
lebih sehat dan tegap (hlm 292). Eona adalah kita.
No comments:
Post a Comment