Thursday, December 27, 2007

Keluarga Adil Jender

oleh Indro Suprobo Suatu hari selepas maghrib, di sebuah perkampungan sederhana, terjadilah dialog kecil dalam sebuah keluarga muda. Suami istri dalam keluarga itu keduanya bekerja di tempat yang berbeda dan telah dianugerahi buah hati yang telah menikmati pendidikan tingkat sekolah dasar. Dalam dialog itu, sang istri mengajukan pertanyaan apakah mereka berencana untuk memiliki anak lagi ataukah tidak. Di luar dugaan sang istri, sang suami justru mengajukan dua pilihan sebagai bahan pertimbngan. Pilihan pertama adalah memiliki anak lagi dengan resiko sang istri akan hamil dan mengundurkan diri dari beragam aktivitas produktif selama kurang lebih dua tahun. Pilihan kedua adalah tidak hamil lagi, tetapi sang istri mempunyai waktu lebih banyak untuk beraktivitas secara produktif. Di luar dugaan sang istri pula, ternyata sang suami lebih cenderung mengambil pilihan kedua, yakni tidak hamil lagi. Alasannya, ia menganggap bahwa pilihan beraktivitas produktif bagi istrinya itu akan memiliki dampak yang jauh lebih positip bagi keduanya. Melalui beragam aktivitas produktif itu, sang istri akan memiliki pertumbuhan diri yang lebih subur dalam banyak aspeknya, baik itu aspek intelektual, sosial, emosional, maupun ekonomis. Resikonya, suami istri ini harus memiliki manajemen waktu yang bagus, terutama berkaitan dengan pembagian tugas dan peran dalam mendidik anaknya. Mereka bersepakat untuk saling berganti peran ketika salah satu sedang menjalankan tanggungjawab dalam aktivitas publik. Sudah merupakan hal yang biasa bagi keduanya apabila sang istri sedang menjalankan tanggungjawab kantor di luar pulau selama beberapa hari, sang suami secara penuh melakukan seluruh pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak sendirian. Mencuci, berbelanja di pasar tradisional, memasak, bersih-bersih rumah, memandikan anak, menyuapi, dan mendongeng untuk anak, bahkan mewakili istri untuk menghadiri arisan ibu-ibu di kampung, merupakan aktivitas harian yang dijalankan dengan ringan hati tanpa merasa sebagai hal yang tabu. Sudah menjadi kewajaran pula bagi para tetangga apabila pagi-pagi sekali sang suami itu tergopoh-gopoh mencari bawang putih dan loncang seledri di warung sebelah karena persediaan habis ketika sedang menyiapkan sop cakar ayam untuk sarapan anaknya. Manajemen waktu harian yang disepakati, berbagi informasi tentang agenda kegiatan, bergantian menemani anak dalam bermain sambil belajar, berbagi gagasan tentang cara mengatasi persoalan pekerjaan masing-masing, dan yang tidak boleh dilupakan juga dalam keseluruhan itu adalah berbagi pujian-pujian kecil sederhana sebagai bentuk dukungan dan penghargaan satu sama lain, merupakan sarana-sarana nyata dalam mewujudkan apa yang disebut sebagai keadilan jender dalam keluarga. Berkaitan dengan KB, sang istri dibebaskan dari segala alat kontrasepsi yang sejatinya memiliki banyak resiko bagi tubuhnya. Suamilah yang ber-KB dengan alat kontrasepsi laki-laki yang paling aman dan tanpa resiko bagi keduanya. Partnership atau persahabatan suami-istri dalam keluarga menjadi istilah kunci, bukan kuasa dan dominasi. Salah kaprah kodrat Pantas diakui bahwa dalam pengalaman sehari-hari masih sering terjadi salah kaprah dalam memahami arti kodrat baik itu oleh laki-laki maupun perempuan sendiri. Kodrat sebagai ciri dasar inheren yang membedakan dan tak dapat dipertukarkan satu sama lain antara laki-laki dan perempuan (menstruasi, melahirkan dan menyusui) masih sering disamakan dengan beraneka macam peran yang sesungguhnya tidak inheren, dapat dipertukarkan dan merupakan konstruksi sosial budaya (peran domestik dan publik). Segala macam pernik-pernik urusan rumah tangga seperti menyapu, memasak, memandikan anak, mencuci dan menyeterika pakaian, berbelanja dan sebagainya masih sering dicangkokkan ke dalam peran perempuan secara sepihak dan tak dapat dipertukarkan. Dalam konteks sosial budaya tertentu dan terbatas, ketika laki-laki menjalankan hal-hal itu memang terdapat anggapan tabu. Dalam konteks sosial budaya yang lain hal semacam itu sudah merupakan kebiasaan yang tidak menimbulkan masalah apapun. Pembagian dan pertukaran peran antara laki-laki dan perempuan akan menimbulkan masalah ketika salah satu pihak masih memiliki pemahaman yang keliru tentang kodrat, entah itu pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Ketika keduanya telah mengatasi persoalan pemaham tentang kodrat, yang harus dihadapi tinggal pandangan lingkungan sekitar tentang hal itu, yang seringkali terlontar dalam komentar atau pertanyaan bernada menggugat. Feminismophobia Perjuangan keadilan jender di seluruh dunia memang tidak dapat dilepaskan dari sejarah gerakan feminisme yang berkembang sesuai dengan konteks sosial-politik-ekonomi-budaya jamannya. Masing-masing konteks menampilkan wajah feminisme yang khas dengan fokus utama tertentu namun senantiasa berkait satu sama lain. Mary Wollstonecraft (1759-1797) yang lahir dalam sebuah keluarga yang didominasi oleh ayah yang cerewet, pemalas, dan sering melakukan kekerasan saat mabuk, sementara sang ibu merupakan perempuan yang menerima dan membiarkan semua itu, adalah peletak dasar gerakan feminisme di Inggris. Bukunya yang berjudul A Vindication of The Rights of Woman (1792), menjadi batu pondasi bagi feminisme modern. Ia menyebut tirani rumah tangga sebagai penghalang utama bagi keadilan perempuan. Peminggiran terhadap hak politik, pendidikan, dan pekerjaan yang setara antara laki dan perempuan merupakan tirani. Standar ganda terhadap perilaku laki-perempuan, ketergantungan ekonomi kaum perempuan terhadap suami, model pendidikan yang membuat perempuan menjadi subordinat, pembagian kerja yang tidak seimbang dan membuat perempuan harus mengorbankan kesehatan, kebebasan dan pertumbuhan pribadi mereka, merupakan hal-hal yang harus dihapus. Semuanya itu adalah konstruksi, bikinan manusia dalam sejarah kebudayaan dan bukan kodrat. Bagi sebagian kalangan yang masih terbuai oleh bawah sadar patriarkis (baik laki-laki maupun perempuan), kritik semacam ini terasa sangat tajam seumpama menunjam sampai ke ulu hati dan menimbulkan resistensi. Ini dapat dipahami karena kritik feminisme ini merupakan alat yang membedah dan mengurai ketidakadilan terhadap perempuan secara mendalam dan radikal sampai kepada wilayah paling privat dalam kehidupan. Ketidaksiapan dalam menghadapi kritik semacam ini di satu pihak dan strategi komunikasi sebagian kecil kaum feminis sendiri yang barangkali kadang-kadang kurang arif, pada gilirannya justru menimbulkan penolakan dan ketakutan terhadap feminisme. Pada gilirannya, gerakan feminis lalu cenderung dipahami secara sangat sempit dan tidak proporsional sebagai gerakan kaum perempuan yang menolak, menyerang, dan anti laki-laki. Ada pula yang menganggap gerakan feminisme sebagai gerakan sekumpulan perempuan yang kecewa. Lebih heboh lagi, beberapa kalangan (bahkan ada pula yang terpelajar), justru menempatkan feminisme sebagai aktor utama yang menimbulkan keretakan dan perpecahan banyak keluarga dewasa ini. Proyek Kebudayaan Usaha menegakkan keadilan jender, keadilan bagi laki-laki dan perempuan, merupakan usaha yang masih harus diperjuangkan dan dilanjutkan sepanjang sejarah kemanusiaan dan kebudayaan. Karena ketidakadilan jender yang selama ini dialami terutama dan pertama-tama oleh kaum perempuan itu merupakan sebuah konstruksi sosial-budaya, maka keadilan jender pun merupakan sebuah langkah konstruktif secara sosial dan budaya. Ini merupakan usaha mengurai nilai-nilai yang telah berkelit dan bekelindan dalam bawah sadar kebudayaan, mengambil jarak terhadapnya, memilahnya, menyusun kembali dan menambahkan nilai baru ke dalamnya, dan mengangkatnya ke dalam kesadaran, serta menjagainya sebagai kesadaran baru melalui beragam tata cara dan kebiasaan sehingga seluruh wujud keadilan itu menjadi kewajaran. Keluarga adalah unit paling kecil dan utama dalam seluruh usaha ini. Mewujudkan keadilan jender dalam keseharian hidup keluarga, sejak dalam cara berpikir sampai pada tindakan praktis dan spontan, merupakan langkah bersahaja namun agung dalam menyusun kebudayaan manusia yang baru. Dialog dan kesepakatan pilihan sebagaimana tercermin dalam sebuah keluarga yang penulis jumpai pada awal tulisan kecil ini adalah salah satu contoh nyata dari sekian banyak contoh yang dapat ditemukan di berbagai tempat. Tantangan di depan masihlah banyak, terutama dalam kaitan antara keadilan jender dan agama-agama di Indonesia. Sebagian besar kalangan masih beranggapan bahwa agama-agama itu telah selesai dan sempurna dalam menuntun kemanusiaan. Padahal, pantaslah diakui dalam kerendahan hati bahwa agama-agama adalah kebudayaan yang masih selalu berziarah dalam ketidakcukupan dan kerentanan untuk menggapai keagungan yang mahaluas.*** (Artikel pernah dikirim ke KOMPAS Jogja, ditolak)

Tragedi 1965 dan Teologi Kristiani

oleh Indro Suprobo Apa yang sesungguhnya terjadi setelah peristiwa subuh 1 Oktober 1965 adalah sebuah tragedi manusia dan kemanusiaan. Bahkan M.R. Siregar almarhum menyebutnya sebagai holokaus terbesar yang terjadi setelah Nazi (M.R. Siregar, 2007). Ratusan ribu bahkan mungkin jutaan manusia Indonesia menjadi korban dan seringkali tanpa mengetahui apa yang menjadi kesalahan. Yang paling membuat terkesima adalah kenyataan betapa hampir semua orang beragama, baik orang biasa maupun para pemuka, dapat melakukan tindakan yang sesungguhnya melukai peradaban. Pada saat itu, agama-agama menunjukkan wajah kontradiktifnya yang sempurna. Para korban politik tahun 1965 selanjutnya harus menjalani hidup di bawah bayang-bayang kegelapan stigma. Kuasa politik pemenang menempatkan mereka di sudut pengap sebagai para penjahat dan pengkhianat. Tak mengherankan apabila kehidupan para korban sangat rentan kehilangan harkat, martabat dan sanjungan hormat. Mereka, yang sebenarnya adalah sesama dan saudara, telah diciptakan menjadi kaum tak berkisah yang dipinggirkan dalam sejarah. Mantra Politik dan Pewarisan Ingatan Untuk melanggengkan kuasa peminggiran ini, politik pemenang telah memproduksi sebuah mesin kebudayaan yang disebut pewarisan ingatan (Budiawan, 2004). Ia bekerja di wilayah kesadaran dan pemikiran yang menjagai dakwaan abadi bahwa kaum komunis dan perempuan Gerwani adalah penjahat dan pengkhianat yang tak pernah pantas mendapatkan hormat. Pewarisan ingatan ini menjadi mantra politik yang menangkap kesadaran, mempengaruhinya, menyihir, menelikung dan mengarahkannya untuk bekerja berdasarkan sekaligus demi kepentingan kekuasaan. Bagi kekuasaan, mantra politik ini membawa segala kekayaan, namun bagi para korban, ia menjerumuskannya ke dalam segala kemiskinan. Mantra politik tahun 1965 senyatanya menjadi kekuatan yang mematikan bagi para korban. Ia membunuh seluruh pengharapan akan kehidupan dan melukai harkat martabat kemanusiaan. Mantra politik yang substansinya adalah sebuah dakwaan itu, sebenarnya tak bersambung dengan kenyataan. Visum et repertum yang dihasilkan oleh para dokter ahli Roebiono Kertopati, Frans Pattiasina, Sutomo Tjokronegoro, Liauw Yan Siang, dan Lim Joe Thay atas jenasah para perwira korban Lubang Buaya menjadi bukti nyata bahwa dakwaan itu tak berdasar fakta (Dhakidae, 2003). Namun aneh tapi nyata, dakwaan itu selalu saja dijaga setia, diuri-uri agar lestari dalam seluruh kesadaran generasi kemudian melalui pewarisan ingatan. Ini berarti bahwa kekuatan yang mematikan, yang mengancam kehidupan dan meminggirkan kemanusiaan tetap dilestarikan serta terus-menerus menganugerahi penderitaan bagi para korban. Tantangan Teologi Kenyataan penderitaan para korban yang senyatanya tak pernah mengetahui alasan dan kesalahan sebagai akibat dari kekuatan mesin pewarisan ingatan yang mematikan, meminggirkan dan mengancam kehidupan merupakan kenyataan yang mau tidak mau menantang teologi kristiani. Dalam perspektif teologi kristiani, segala daya dan kekuatan yang mengancam kehidupan (peminggiran, diskriminasi, penindasan, dan pemiskinan) yang bekerja secara struktural dikategorikan sebagai kekuatan dosa dan secara teknis teologis disebut sebagai dosa struktural. Kehadiran teologi kristiani sudah sangat jelas dan tegas membawa mandat untuk menciptakan dan memperjuangkan struktur rahmat. Berhadapan dengan struktur dosa yang meminggirkan dan mengancam harkat martabat kemanusiaan, teologi kristiani memiliki sikap dasar yang tak bisa ditawar yakni preferential option for the poor, berpihak kepada para korban peminggiran dan ketidakadilan. Keberpihakan dan keterlibatan kristiani untuk menata masyarakat manusia di sini dan pada saat ini, serta perlawanan kristiani terhadap segala ketidakadilan yang mengganggu perdamaian antara umat manusia, tidak hanya secara alkitabiah dapat dibenarkan tetapi harus dialami sebagai ibadat sekular yang dituntut oleh inti biblis kristianitas (Pieris, 1996). Dengan demikian, menghadapi kenyataan peminggiran, stigmatisasi, pewarisan ingatan yang mematikan hormat terhadap harkat martabat kemanusiaan, dan penciptaan kaum Indonesia tanpa kisah dalam sejarah, teologi kristiani jelas-jelas tak bisa memilih untuk bersikap netral. Dalam realitas semacam itu, netralitas teologi kristiani hanya akan membawanya menjadi alat peneguh peminggiran, stigmatisasi, pelanggengan pewarisan ingatan, penindasan terhadap harkat martabat kemanusiaan dan menjadi karib bagi kaum status quo yang selalu setia menjagai dakwaan abadi (John Bowden,2005). Rekonsiliasi Gerakan sosial yang menjadi praksis teologi kristiani dalam konteks semacam ini adalah menyediakan ruang luas bagi kaum korban politik 1965 untuk membuka kisah tentang dan bagi sejarah dari perspektif mereka yang selama ini terpaksa menjadi kaum kalah. Kemerdekaan dan hak mereka sebagai kaum berkisah musti diangkat penuh hormat sehingga boleh kembali menjadi kaum berkisah yang memiliki andil untuk menguntai sejarah. Musti dibuka ruang luas untuk berkisah tentang mengapa, apa yang sesungguhnya terjadi, apa yang dialami, apa yang dipikirkan dan diharapkan sebagai cita-cita masa depan. Seluruh kisah ini akan menjadi sebuah proses konsientisasi, yakni proses membebaskan pikiran dan kesadaran dari telikungan gelap dakwaan dan pencitraan oleh pewarisan ingatan. Meminjam istilah Budiawan, konsientisasi ini disebut sebagai proses mematahkan pewarisan ingatan. Dalam terminologi teologi kristiani, proses ini disebut sebagai penyelamatan, pemerdekaan atau pembebasan. Pada gilirannya, semua ini merupakan langkah fundamental bagi rekonsiliasi. (Artikel ini pernah dikirim ke Suara Merdeka, tanpa kabar)

Teologi Sosial dan Keadilan

oleh Indro Suprobo Tulisan Mohammad Nasih berjudul “Korupsi dan Atheisme Praksis” dan tulisan AR Damyati berjudul “Intelektualitas dalam Islam” (Republika, 05/10/07) adalah dua tulisan terpisah yang menarik untuk diperbincangkan lebih lanjut sebagai kesatuan korelatif. Mohammad Nasih menguraikan inti gagasan yang tegas dan penuh komitmen bahwa korupsi sesungguhnya merupakan praktik syirik sosial yang dosanya paling besar dan tak terampuni. Dalam kerangka ini, orang yang khusyuk menjalankan ritual agama namun tetap tenang menjalankan praktik korupsi sebenarnya sedang melakukan hal yang sangat kontradiktif. Sementara itu, AR Damyati memaparkan adanya dua jenis intelektual secara garis besar, yakni intelektual profetik dan intelektual diabolik. Perbincangan mengenai kaitan antara religiositas secara luas atau hidup beragama secara lebih khusus, intelektualitas dan praksis sosial sehari-hari dalam studi tentang spiritualitas dirangkum dalam apa yang disebut sebagai spiritualitas integral (holistic spirituality). Spiritualitas integral secara simbolik memandang kehidupan terbedakan dalam tiga kategori dasar yakni kehidupan imami (berkaitan dengan hidup beriman atau beragama), kehidupan rajawi (berkaitan dengan hidup sekular/duniawi), dan kehidupan kenabian (berkaitan dengan sikap kritis atau pengambilan jarak terhadap dua kategori yang lain). Ketiga kategori ini selanjutnya dapat disebut sebagai dimensi. Secara sederhana, spiritualitas integral membedakan tiga dimensi kehidupan namun ketiganya merupakan satu kesatuan tak terpisahkan. Dimensi imami secara mudah dipahami sebagai segala seluk beluk berkaitan dengan kehidupan religiositas, iman atau keagamaan. Dimensi rajawi dipahami sebagai segala seluk beluk berkaitan dengan kehidupan duniawi yang meliputi politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Dimensi kenabian atau dimensi profetis dipahami sebagai seluk beluk yang berkaitan dengan pengambilan jarak, sikap kritis, pengingatan kepada nilai utama dan mendasar, serta perutusan tugas kenabian). Dimensi imami yang terlepas dari dimensi rajawi akan menempatkan kehidupan keagamaan dalam menara yang tidak memiliki pertanggungjawaban kepada kehidupan nyata sehari-hari. Orang akan sibuk menjalankan ribuan ritual agama namun tak pernah punya perhatian dengan kemiskinan dan ketidakdilan di sekitarnya. Orang beragama yang melakukan korupsi adalah contoh konkret dari situasi ini. Dimensi rajawi tanpa kaitan dengan dimensi imami akan menjadikan manusia terlalu dicengkeram oleh kehidupan duniawi dan membahayakan kemanusiaan karena dekat dengan ketamakan, kuasa, ketidakpedulian dan sebagainya. Intelektual yang haus akan kedudukan dan kekayaan yang tak peduli kepada kemelaratan ribuan tetangga adalah contohnya. Inilah yang oleh AR Damyati disebut sebagai intelektual diabolik atau dalam istilah yang lain disebut sebagai intelektual yang mengabdi kepada kuasa mamon, dajjal. Sebaliknya, dimensi imami yang sangat kental berkarib dengan dimensi rajawi, tanpa dilengkapi dimensi profetis, akan membuat kehidupan agama cenderung bersekongkol dengan kekuasaan (politik maupun ekonomi) dan tetap beresiko untuk melupakan mereka yang terpinggirkan. Ketika ini terjadi, agama dapat jatuh sebagai alat legitimasi bagi kekuasaan yang membuat mereka yang mengalami kemiskinan secara struktural harus menerima itu sebagai sebuah kesabaran dan ujian dari Tuhan, bukan sebagai ketidakadilan yang sebenarnya harus dilawan karena membawa kepada kekufuran. Dalam konteks terbatas inilah sebenarnya Karl Marx mengkritik agama sebagai candu masyarakat dan menyeru agar agama menjalankan fungsi dasar profetiknya sebagai rahmat bagi manusia yang menumbuhkan iman, rasa aman, keadilan, pembebasan dari kemiskinan dan penindasan, serta menghadirkan perdamaian. Teologi Sosial Salah satu perspektif dalam studi teologi keagamaan yang secara khusus memperhatikan kaitan antara kehidupan beriman, intelektualitas dan kenyataan hidup sosial adalah teologi sosial. Ini merupakan sebuah rangkaian pertanggungjawaban integral antara iman keagamaan, analisis sosial, dan kenyataan ketidakadilan. Teologi sosial berusaha menjawab tantangan bagaimana hidup keimanan seseorang musti terwujud dalam praksis sosial di tengah situasi ketidakadilan yang nyata. Nilai-nilai iman manakah yang mendasari seseorang untuk mengambil pilihan sikap dan tindakan dalam situasi konkret yang tidak adil dan mendatangkan banyak penderitaan bagi masyarakat. Dalam bingkai spiritualitas integral, teologi sosial merupakan salah satu wujud nyata perjumbuhan total (holistic integrality) hidup iman keagamaan dalam realitas dunia yang penuh ketidakadilan, yang disinari oleh analisis sosial-struktural pendorong pilihan sikap dan tindakan nyata penuh keberpihakan demi keadilan. Kehidupan Nabi Muhammad sendiri merupakan teladan tak tersangkal dari praksis teologi sosial yang semestinya lebih dihidupkan lagi dalam konteks kehidupan sekarang ini. Iman Muhammad kepada Allah yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari di tengah kehidupan fakir miskin merupakan bukti nyata. Itulah sebabnya beliau disebut nabi karena seluruh hidup beliau menampakkan secara sangat gamblang dan sempurna dimensi kenabian itu di tengah masyarakat. Dakwah dan seruan beliau kepada saudagar-saudagar kaya di Mekah merupakan pilihan sikap yang tegas berdasarkan iman kepada Allah. Al-Qur’an menyebutkan,”Mereka mengumpulkan kekayaan dan menimbunnya, mereka mengira kekayaannya akan mengekalkannya. Sama sekali tidak! Mereka akan dilontarkan ke dalam Huthamah. Apakah Huthamah itu? Yaitu api yang dinyalakan Allah…”(Al-Qur’an 104)[Asghar Ali Engineer,2000]. Teologi sosial dalam Islam merupakan sebuah usaha nyata untuk menggapai apa yang disebut sebagai ketaqwaan karena teologi sosial memiliki perhatian yang sangat serius terhadap persoalan ketidakadilan. Sementara dalam Al-Qur’an, ketaqwaan itu tidak dapat dilepaskan dari keadilan. “Berlakulah adil, dan itu lebih dekat kepada taqwa” (Al-Qur’an, 5:8). Sangatlah jelas dipahami bahwa ketaqwaan dalam Islam tidak hanya dipersempit dalam segala pernak-pernik menjalankan ibadah ritual saja. Ketika ketidakadilan hadir secara nyata dalam kehidupan, ketaqwaan tergusur ke pinggiran. Ketika ketaqwaan meraja, keadilan semestinya memancar sebagai fajar. Seruan adzan Allahu Akbar! Allahu Akbar! adalah seruan kesaksian bahwa hanya Allahlah yang mahabesar sehingga tak dapat ditolerir jika ada monopoli dalam kehidupan dunia ini. Segala macam monopoli politik, ekonomi, sosial, budaya merupakan peminggiran terhadap persaksian agung ini. Menumpuk kekayaan tanpa peduli dan korupsi bertubi-tubi juga merupakan bentuk monopoli yang meminggirkan kesaksian ini. Seruan adzan adalah seruan untuk menghadirkan ketaqwaan dan keadilan secara nyata dalam kehidupan. Dalam kehidupan modern, ada banyak contoh bagaimana teologi sosial menjadi daya dorong perubahan sosial sebagai tanggapan penuh pertanggungjawaban atas situasi ketidakadilan yang dihadapi. Salah satu contoh yang dapat disebut adalah revolusi Islam Iran oleh Ayatollah Khomeini. Westernisasi dan pembangunan di Iran yang tidak profetis, yang hanya menguntungkan sekelompok elit kecil dan tidak berakar pada masyarakat telah mengakibatkan pengasingan terhadap kehidupan religius dan kebudayaan. Terjadilah apa yang disebut sebagai migrasi besar-besaran dari pedesaan ke perkotaan yang serba kacau. Desa-desa menjadi semakin miskin dan terpinggir. Orang desa yang berpindah ke kota tidak juga mendapatkan secuil harapan kecuali kemiskinan, penderitaan, dan penuh kebencian harus menyaksikan segelintir orang yang bergelimang kekayaan melalui korupsi, yang sama atinya dengan mencuri hak kaum papa tak terperi. Konteks inilah yang membuat kharisma Ayatollah Khomeini diterima oleh mayoritas rakyat Iran yang sengsara dan terpinggirkan untuk menjalankan sebuah perubahan revolusioner berdasarkan nilai-nilai religius Islami, yang diterangi oleh analisis sosial yang konkret. Struktur sosial ekonomi politik yang menyengsarakan ribuan rakyat adalah struktur dosa tanpa rahmat. Struktur ini musti digantikan oleh struktur rahmat, yakni struktur kehidupan yang dilandasi oleh nilai-nilai keimanan Islam sebagai rahmat bagi kemanusiaan. Teologi sosial sebagaimana ditampakkan oleh revolusi Islam Iran menunjukkan wajah yang anti kemapanan atau status quo. Wajah kehidupan sosial yang kurang lebih sama, dapat dijumpai juga dalam konteks Indonesia. Kemelaratan, kesulitan mendapatkan pekerjaan, ketidakmampuan banyak keluarga untuk membiayai pendidikan dan kesehatan, kemewahan segelintir orang yang asyik dengan segala macam konsumsi, dan meluasnya korupsi merupakan tantangan nyata bagi teologi sosial agama di Indonesia. Tantangan teologi sosial menjadi jauh lebih besar karena kecenderungan agama-agama untuk berasyik mesra dengan ideologi pasar juga telah semakin membesar. Peran profetis kenabian yang menyeru lantang untuk menghadirkan keadilan dan ketaqwaan semakin menjadi tuntutan. Setiap orang beragama dipanggil untuk tugas berat dan mulia ini. Seluruh ceramah, dakwah, dan gerakan keagamaan sudah semestinya lebih digiatkan sebagai praksis nyata integral teologi sosial, agar kehidupan keimanan dan keagamaan tidak terpenjara dan terasing di menara gading. Panggilan adzan dari seribu mushala setiap hari, merupakan peringatan yang semoga saja semakin mengusik segala hati. (Artikel ini pernah dikirim ke Republika, tanpa kabar)

Teologi Kisah dan Sejarah Yang Patah

oleh Indro Suprobo

Salah satu buku yang menyediakan analogi sangat bagus untuk melukiskan tragedi manusia dan kemanusiaan dalam sejarah Indonesia tahun 1965 adalah novel kecil karangan almarhum Pramoedya Ananta Toer berjudul Calon Arang. Novel kecil ini bercerita tentang kekuatan mantra seorang pendeta bernama Calon Arang yang tinggal di sebuah desa dalam wilayah kerajaan Daha, pada masa pemerintahan raja Erlangga. Mantra-mantra sakti mandraguna ini mengakibatkan penyakit, penderitaan dan kematian bagi ratusan ribu bahkan jutaan penduduk di desa-desa, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak yang masih menyusu di dada ibu. Mereka yang terkena penyakit, penderitaan, bahkan kematian ini, seringkali tak pernah mengetahui alasan mengapa mereka harus menjadi korban. Yang lebih mengerikan lagi, mereka tak memiliki kekuatan sedikitpun untuk menangkal mantra sakti mandraguna ini. Satu-satunya pilihan adalah menghadapi sakit, penderitaan, atau kematian.

Sang pendeta Calon Arang melakukan semua ini karena marah dan kecewa bahwa anak perempuannya yang cantik jelita, Ratna Manggali, tak juga dipersunting sebagai istri oleh seorang lelaki. Namun anehnya, ketika Empu Bahula, seorang murid Empu Baradah, telah menikahi Ratna Manggali, sang pendeta Calon Arang tidak juga menghentikan mantra-mantranya. Penyakit, penderitaan, dan kematian semakin merajalela ke seluruh penjuru negeri Daha. Terpaksalah, Empu Baradah harus mempelajari Kitab Bertuah milik sang pendeta untuk mengalahkannya dengan mantra-mantra pula. Bahkan mantra-mantra dari Kitab Bertuah itu dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit dan menghidupkan orang-orang yang sudah dijemput kematian. (Pramoedya, 2003)

Mantra dalam Sejarah
Pasca drama subuh 1 Oktober 1965, ada mantra yang telah disebarkan dalam sejarah yang pada gilirannya telah mengakibatkan ratusan ribu bahkan mungkin jutaan manusia dan kemanusiaan Indonesia menjadi manusia dan kemanusiaan yang patah. Dengan kuasa magisnya, mantra itu telah menyihir kesadaran massa dan menggerakkan sebuah tragedi kemanusiaan yang memakan ratusan ribu korban. Laki-laki, perempuan, dewasa, maupun anak-anak telah menanggung penderitaan bahkan kematian tanpa pernah mengetahui apa yang menjadi alasan dan kesalahan. Tragedi itu berlangsung selama bulan oktober sampai dengan desember 1965.

Mantra yang disebarkan itu berisi sebuah dakwaan bahwa kaum komunis dan perempuan Gerwani telah melakukan aniaya kepada para perwira di Lubang Buaya. Apa yang digambarkan sebagai aniaya (mencungkil mata, menyayat tubuh, memotong kemaluan perwira) melalui beragam media itu sejatinya tak pernah ada. Visum et repertum atas jenasah para perwira di Lubang Buaya yang dijalankan oleh para dokter ahli Roebiono Kertopati, Frans Pattiasina, Sutomo Tjokronegoro, Liauw Yan Siang, dan Lim Joe Thay menjadi bukti nyata bahwa penggambaran aniaya itu tak berdasar fakta (Dhakidae, 2003 dan M.R. Siregar, 2007). Namun malang tak bisa dihadang, mantra-mantra itu tetap saja disebar ke mana-mana. Ia telah menyihir kesadaran dan bertahta sebagai satu-satunya kebenaran. Mantra yang penuh daya magis dan kuasa itu telah menyulut emosi massa yang dengan segera, dalam dukungan penuh angkatan bersenjata, semua warga melakukan pembalasan dengan aniaya tiada terkira yang mengakibatkan sengsara dan hilangnya nyawa ratusan ribu manusia yang sebenar-benarnya adalah saudara. Pada saat itu, semua orang beragama menunjukkan wajah kontradiktifnya yang sempurna.

Inilah mantra yang mematikan dan melukai seluruh kemanusiaan. Mantra ini pulalah yang telah menjadikan ratusan ribu manusia secara terpaksa harus memasuki pengalaman kalah dan menciptakan sejarah yang patah. Sampai saat ini, mantra-mantra sakti mandaraguna ini tampaknya masih cenderung terus-menerus dijaga, diuri-uri kuasa magisnya agar lestari melalui banyak cara dan merasuki setiap relung institusi. Pembakaran buku-buku, hanyalah salah satu saja dari sekian banyak caranya.

Teologi Kisah bagi Kaum Patah
Kuasa magis mantra yang telah bertahta sebagai pemenang, pemilik tunggal wewenang, dan penentu kebenaran di hampir setiap lubuk kesadaran selama puluhan tahun itu, pada gilirannya telah menciptakan kaum kalah yang tak berhak memiliki kisah. Merekalah yang disebut sebagai kaum patah di dalam perjalanan sejarah.

Kaum patah dalam sejarah Indonesia sebenarnya adalah para saudara sendiri yang karena mantra politik tahun 1965 dipaksa untuk diam dan kehilangan hak untuk berkisah. Jika tercium gelagat bahwa mereka akan mulai berkisah, dapat dipastikan bahwa mereka akan bertemu dengan pemeriksaan dan kesulitan. Kaum patah dalam sejarah Indonesia adalah para saudara sendiri yang oleh mantra politik telah disulap dan disihir menjadi orang luar yang harus dihindari. Mereka adalah kawan-kawan yang oleh mantra politik telah disihir menjadi lawan. Mereka adalah para sahabat yang oleh mantra politik telah disulap menjadi penjahat dan pengkhianat. Mereka adalah para gadis, para istri dan perempuan berhati luhur namun oleh mantra politik telah disihir menjadi gerombolan pelacur. Oleh karena itu, seluruh haknya sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat, cenderung dipinggirkan tanpa rasa hormat. Pada akhirnya, seluruh struktur telah memaksa mereka untuk terus-menerus berada di pinggiran sejarah tanpa kisah dan mendekam dalam lingkaran ketidakberdayaan.

Karena ditempatkan sebagai yang tak memiliki hak untuk berkisah, kaum yang patah telah dibungkam untuk tidak memiliki andil dalam membangun dan merumuskan sejarah. Pembungkaman dan peminggiran, yang ujung-ujungnya seringkali merupakan proses pemiskinan, sebenarnya merupakan bagian integral dari tindak ketidakadilan. Berhadapan dengan hal ini, semua agama dan religiositas memiliki sikap dan penentangan yang tegas. Tantangan agama-agama dan religiositas di Indonesia adalah membebaskan para pemeluknya dari ketidakadilan ini.

Dalam perspektif teologi kristiani, realitas penderitaan dan ketersingkiran kaum patah yang tak punya hak untuk berkisah, adalah tempat paling keramat bagi kehadiran Allah. Tantangan teologi kristiani yang paling nyata di sini adalah bagaimana memaknai kehadiran Allah yang peduli kepada sejarah dan berempati kepada kaum patah yang terbungkam untuk berkisah. Teologi kristiani diundang untuk menemukan wajah Allah yang tersembunyi di tempat keramat ini dan mempertanggungjawabkannya sebagai wujud nyata iman dalam praksis hidup sehari-hari.

Salah satu gambar Allah dalam teologi kristiani adalah Allah yang menyejarah. Ia berempati kepada kaum yang terbelenggu dan susah, serta berpihak kepada mereka yang berjerih payah memerdekakan diri membangun kisah dan membentuk sejarah sebagai umat perjanjian Allah. Allah yang menyejarah dengan demikian adalah Allah yang terus-menerus terlibat membangun kisah.

Mantra vs Kisah
Mantra-mantra dalam sejarah yang telah membungkam para korban tragedi manusia tahun 1965 adalah mantra-mantra yang membelenggu pikiran dan mematikan kemanusiaan. Mantra-mantra itu menyihir kesadaran sehingga tak lagi memiliki kejernihan untuk memandang kemanusiaan. Kesadaran yang telah tersihir tak lagi punya kemampuan untuk mengambil pilihan.

Sebaliknya, kisah adalah untaian kesadaran. Membangun sebuah kisah adalah proses menyusun beragam kesadaran tentang segala sesuatu dalam untaian yang membawa pemahaman sekaligus keindahan. Menyusun kisah adalah langkah membebaskan pikiran dari aneka macam belenggu . Dengan berkisah, pikiran orang tidak lagi menjadi patah dan terbelenggu, melainkan sebaliknya, pikiran itu justru mematahkan semua yang menjadi belenggu.

Pengharapan sekaligus Pembebasan
Empati dan keberpihakan kepada kaum yang patah, adalah salah satu wujud nyata dari sikap dasar preferential option for the poor yang pada gilirannya menjadikan teologi kristiani sebagai experiencial theology yang dibangun dari, oleh, bersama dan bagi pengalaman kaum patah. Dalam bingkai ini, teologi kisah bukanlah sebuah teologi kristiani yang secara politik bersifat netral, melainkan sebuah teologi yang jelas-jelas berpihak kepada kaum patah yang kehilangan hak untuk berkisah. Kenyataan peminggiran kaum patah oleh mantra-mantra sejarah, tidak menyediakan pilihan bagi teologi untuk bersifat netral, karena dalam realitas semacam itu, netralitas teologi kristiani hanya akan membawanya menjadi alat peneguh peminggiran, penindasan dan menjadi karib bagi kaum status quo yang selalu setia menjaga mantra (John Bowden,2005).

Teologi kristiani yang terlibat dalam pengalaman kaum patah tanpa kisah ini dengan demikian menjadi sebuah teologi pengharapan yang merefleksikan pengalaman-pengalaman penderitaan dan menemukan nilai-nilai dasar untuk bergelut dan bertahan sampai pada batas daya tahan. Namun sekaligus ia menjadi sebuah teologi pembebasan yang merefleksikan seluruh proses pemerdekaan kaum patah tanpa kisah dari segala belenggu mantra politik. Ia menyediakan refleksi kritis teologis mengenai kemendesakan kebutuhan transformasi dari kaum patah tanpa kisah yang terbelenggu mantra-mantra menuju kepada kaum berkisah yang memiliki kemerdekaan pikiran dan kemanusiaan. Ia menjadi teologi yang memberi kerangka iman bagi sebuah gerakan pembebasan dan terus-menerus berjuang dalam keberpihakan untuk mengubah struktur dosa yang dipenuhi mantra menjadi struktur rahmat dan anugerah yang menyediakan ruang luas untuk berkisah.
Pantaslah dikemukakan di sini bahwa pembebasan yang dimaksudkan ini mempunyai dua sisi, yakni pembebasan para korban sendiri (kaum patah tanpa kisah) sekaligus pembebasan bagi seluruh generasi kemudian. Kaum patah yang terus menerus berjuang untuk dapat berkisah, akan membebaskan pikiran dari belenggu mantra. Generasi kemudian yang mendengarkan dan berbagi kisah juga akan mengalami pembebasan dari segala mantra. Kisah-kisah ini akan membuka kepada pemahaman mengenai mengapa dan apa yang senyatanya terjadi, dialami, dirasakan, dipikirkan dicita-citakan, dan apa yang semestinya bisa diubah dalam sejarah. Berbagi kisah ini sendiri merupakan sebuah langkah konsientisasi yang sekaligus merupakan langkah pembebasan pada tingkat paling dasar, yakni pembebasan pikiran (Alan Richardson dan John Bowden, 1983). Berbagi kisah yang merupakan konsientisasi ini, selanjutnya menjadi langkah nyata bagi rekonsiliasi. Melalui cara ini, kehormatan, harkat dan martabat kemanusiaan kaum patah dapat diangkat dan dihidupkan. Dengan cara ini generasi kemudian tidak lagi terpecah oleh luka batin sejarah, melainkan memiliki kesanggupan untuk saling mengutuhkan. Pada akhirnya, kaum patah dan semua manusia lintas generasi akan bersama-sama dalam kemerdekaan membangun dan menjalin kisah sekaligus menguntai sejarah.


(Artikel yang ditolak oleh KOMPAS)

Mantra Politik dan Sejarah Yang Terluka

oleh Indro Suprobo Sebuah buku yang menyediakan analogi sangat bagus dalam mencoba memahami peristiwa sejarah sebagaimana dicatat dalam buku Tragedi Manusia dan Kemanusiaan, Holokaus Terbesar Setelah Nazi, karya M.R. Siregar adalah novel kecil karangan Pramoedya Ananta Toer berjudul Cerita Calon Arang. Novel kecil itu mengisahkan seorang pendeta yang sangat jahat, yang demi memuaskan kepentingan-kepentingannya, telah menyebarkan mantra-mantra teluh ke seluruh desa di kerajaan Daha. Mantra-mantra teluh ini mengakibatkan penyakit, penderitaan dan kematian bagi banyak sekali penduduk desa baik laki-laki, perempuan, bahkan anak-anak. Mereka yang terkena penyakit, penderitaan bahkan kematian ini, tak pernah mengetahui alasan mengapa mereka harus menjadi korban. Yang lebih mengerikan, mereka tak punya kekuatan sedikitpun untuk menangkal mantra teluh ini. Satu-satunya pilihan adalah menghadapi sakit, penderitaan, atau kematian. Menurut Pramoedya, Calon Arang melakukan semua kejahatan ini karena dua alasan dasar. Pertama, pada dasarnya, Calon arang ini memang jahat. Kedua, karena kemarahan akibat tak ada lelaki yang mau menyunting anaknya, Ratna Manggali yang cantik sebagai istri. Tak seorangpun lelaki berani menyunting anaknya itu karena takut kepada kejahatan Calon Arang. Seluruh kejahatan Calon Arang itu akhirnya dikalahkan oleh Empu Baradah melalui dua cara. Pertama, dengan menyuruh muridnya, Empu Bahula untuk meminang Ratna Manggali. Kedua, melalui Empu Bahula ini ia bisa menguasai Kitab Bertuah yang menyimpan seluruh rahasia kekuatan mantra teluh Calon arang. Empu Baradah melawan dan mengalahkan Calon Arang juga dengan mantra-mantra. Melalui mantra pula Empu Baradah menyembuhkan semua yang sakit, bahkan menghidupkan yang sudah mati asal belum membusuk (Pramoedya, 2003). Mantra Politik Tentara Pasca drama subuh 1 Oktober 1965, yang menjadi mantra politik tentara (yang selanjutnya akan menjadi pemegang kekuasaan Orba) adalah semua kebohongan yang dijadikan berita dan disebarkan melalui media. Berita Yudha, Angkatan Bersenjata, Api Pancasila, dan Kantor Berita Antara adalah media utama yang menyebarkan mantra-mantra politik tentara. Isi utama dari mantra itu adalah bahwa Partai Komunis Indonesia dan Gerwani telah melakukan aniaya keji terhadap para jenderal di Lubang Buaya. Apa yang disebut sebagai aniaya itu sejatinya tak pernah ada. Hasil visum et repertum atas jenasah para jenderal yang dilakukan oleh para dokter ahli Roebiono Kertopati, Frans Pattiasina, Sutomo Tjokronegoro, Liauw Yan Siang, dan Lim Joe Thay menjadi bukti nyata bahwa isi dari mantra-mantra media tentara itu bohong belaka. Namun malang tak bisa dikira, mantra itu telah menyulut emosi massa yang dengan segera, dalam dukungan penuh tentara, semua warga termasuk golongan agama baik orang biasa maupun para pemuka, melakukan aniaya sempurna yang mengakibatkan sengsara dan hilangnya nyawa ratusan ribu, atau mungkin jutaan manusia. Pada saat itu semua orang beragama menunjukkan wajah kontradiktifnya yang luar biasa. Sungguh layak dan sepantasnya apabila M.R. Siregar memberi judul bagi bukunya Tragedi Manusia. Karena tragedi manusia inilah sejarah Indonesia mengalami luka. Seluruh proses interogasi terhadap para perwira berkaitan dengan drama subuh 1 oktober 1965 pada masa-masa sesudahnya, dengan susah payah harus dihubung-hubungkan dengan Partai Komunis Indonesia dan organisasi yang berkaitan dengannya (Dhakidae, 2003) agar menambah daya magis mantra. Mantra tentara yang bekerja di dalam setiap kesadaran warga telah menjadi sesuatu yang penuh kuasa. Ia menentukan apa yang disebut sebagai kebenaran, melahirkan siapa yang disebut sebagai pemenang dan memiliki wewenang. Dalam waktu yang sangat lama, mantra-mantra itu dijaga, diperkuat, dan diuri-uri daya kuasanya melalui banyak cara, serta merasuki hampir setiap institusi. Karena substansi dari mantra itu adalah kebohongan, untuk menjaga daya magis dan kuasanya, ritual yang dijalankan adalah kekerasan yang terus-menerus selalu menelantarkan dan menyalahkan korban. Dalam kerangka ini sangat bisa dipahami apabila di negeri ini bertumpuk-tumpuk orang yang menjadi korban : yang mati tanpa diketahui siapa pembunuhnya, yang dipenjara tanpa pernah memahami apa salahnya, maupun yang hilang tanpa ada yang bisa membawanya pulang. Mantra dan Dampak Strukturalnya Selain mengakibatkan terjadinya pembantaian terhadap jutaan manusia yang dianggap sebagai punya kaitan dengan Partai Komunis Indonesia, mantra yang disebarkan oleh tentara itu pada gilirannya membawa dampak struktural yang oleh M.R. Siregar dipaparkan secara panjang lebar. Dampak struktural itu sangat kentara dalam seluruh masa kekuasaan negara tentara atau negara Orba. Dari sisi ekonomi, muncul apa yang disebut sebagai dominasi asing dan lahirnya dominasi konglomerat Indonesia. Perusahaan-perusahaan milik tentara menjadi pengeruk untung utama. Dari sisi ekologi, benalu feodalis dan kapitalis birokrat militer yang membuka perusahaan perkayuan telah merusak ribuan hektar hutan. Suku-suku yang memiliki sikap hormat dan arif terhadap lingkungan alam telah disingkirkan dengan label “suku terasing” dan haknya diambil alih oleh perusahaan dengan dukungan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah maupun Surat Keputusan Menteri. Dari sisi sosial, telah lahir generasi miskin yang meluas di Indonesia, yakni kaum pekerja yang bekerja keras dengan upah tak layak buat menjaga dasar hidup. Selain itu, hutang luar negeri semakin meninggi dengan cicilan dan bunga yang harus ditanggung oleh sekian generasi. Dari sisi politik, PKI jelas harus mati dan diikuti oleh kematian demokrasi. Pelarangan terbitan buku, pembatasan dan pembredelan pers, manipulasi pemilu, teror dan penguasaan militer ke segala penjuru menjadi wujud nyata. Dalam bingkai mantra tentara yang telah bekerja penuh kuasa di sekujur struktur kekuasaan ini, segala sesuatu yang memiliki kemungkinan sekecil apapun untuk mengusik keamanan dan daya magis mantra politik itu, yang dengan demikian berarti mengusik keleluasaan kesempatan mereguk keuntungan yang dimiliki oleh para penjaga mantra, akan berhadapan dengan kekerasan yang menempatkannya di sudut ruangan sebagai pembuat kesalahan, kehilangan seluruh hak kemanusiaan, rentan terhadap segala penyiksaan, kehilangan ingatan dan bahkan harus menerima kematian. Dalam bingkai ini, seluruh kejahatan kemanusiaan berlanjut di negeri ini: Tanjung Priok, Talangsari, Marsinah, Santa Cruz, Udin, dsb. Barangkali, yang sekarang ini menjadi lanjutan dari dampak struktural itu dan merupakan yang mutakhir adalah mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan. Dalam garis besar, neokolonialisme dan imperialisme yang pada masa lalu secara sangat tegas dilawan oleh Partai Komunis Indonesia, sekarang ini justru dipertuan oleh negeri ini. Mantra Korban sebagai Perlawanan Mantra politik tentara sebagaimana dimulai sejak bulan Oktober 1965 analog dengan mantra teluh Calon Arang yang membawa penyakit dan kematian. Mantra itu mendatangkan kematian bagi kemanusiaan dalam banyak dimensinya, yakni dimensi ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan. Mantra teluh yang mematikan ini pantas mendapatkan imbangan atau perlawanan dari mantra yang menyembuhkan dan semoga saja menghidupkan, analog dengan mantra Empu Baradah. Mantra-mantra dari para korban, itulah yang dimaksudkan sebagai imbangan atau perlawanan. Penuturan tentang apa yang terjadi dan dialami (kisah para korban dan keluarga korban), tulisan pertanggungjawaban atas apa yang dituduhkan (pertanggungjawaban Sudisman di pengadilan), catatan kemanusiaan yang dirangkum dari berbagai saksi (catatan Femi Adi), film dokumentasi yang mengungkap kemungkinan bukti dan ingatan para saksi (luweng grubug Wonosari dan kuburan masal Wonosobo), paparan dan argumentasi mengenai apa yang terjadi (Imam Soejono, M.R. Siregar) adalah bagian-bagian penting dari mantra para korban yang berfungsi sebagai imbangan sekaligus perlawanan. Mantra-mantra para korban ini bersifat menyembuhkan luka sejarah, yang sekaligus adalah luka para korban, dan menghidupkan harapan, kepercayaan, harkat dan martabat kemanusiaan korban. Dalam rangka inilah Resist berjerih payah dengan segala keterbatasan yang disandang untuk menerbitkan buku Tragedi Manusia karya M.R. Siregar. Konsientisasi sebagai Rekonsiliasi Yang dapat dilakukan sebagai imbangan dan menginisiasi perubahan atau kebaharuan adalah konsientisasi lintas generasi. Membuka dan menawarkan bentuk kesadaran baru, perspektif alternatif terutama perspektif yang empatif terhadap para korban, menyediakan cara pandang lebih luas dan beragam mengenai perjalanan sejarah merupakan konsientisasi lintas generasi yang sekaligus merupakan bentuk rekonsiliasi. Melalui cara ini kehormatan, harkat dan martabat kemanusiaan korban dapat diangkat dan dihidupkan. Melalui cara ini, generasi mendatang tidak lagi terpecah oleh luka batin sejarah melainkan memiliki kesanggupan untuk saling mengutuhkan. Apa yang pada masa lalu telah hilang, semaksimal mungkin dapat dipanggil pulang. Yang tercerai-berai, semaksimal mungkin dapat dikumpulkan dalam satu bingkai. Yang telah patah, semaksimal mungkin dapat disambung tanpa kenal lelah. Yang telah pergi dan tak mungkin kembali, semaksimal mungkin dapat diterima dalam keikhlasan hati. Apa yang tak pernah diharapkan namun terjadi, semaksimal mungkin tak perlu terulang kembali. Demikianlah, konsientisasi berlaku terus-menerus dalam seluruh wujud proses rekonsiliasi. Semoga cita-cita agar tidak terpecah oleh luka batin sejarah, sebagaimana dipetik sebagai renungan profetis oleh almarhum Pramoedya dalam kebersamaan penderitaan penjara, bisa menjadi semakin nyata dalam generasi kita: “Semua manusia bersaudara satu sama lain. Karena itu tiap orang yang membutuhkan pertolongan harus memperoleh pertolongan. Tiap orang keluar dari satu turunan, karena itu satu sama lain adalah saudara” (Artikel disampaikan dalam diskusi buku di PUSDEP Univ. Sanata Dharma, 26 Sept 2007)

Thursday, September 13, 2007

Genjer-Genjer (Masih) Pating Keleler

Oleh Indro Suprobo 

Yang mau dinyatakan di sini adalah sebuah gugatan terhadap seluruh kebohongan besar dan manipulasi yang telah menyengsarakan ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan anak-anak negeri sendiri. Kebohongan besar itu seluruhnya berpangkal pada apa yang telah dikenal sebagai gerakan tigapuluh september, dan lebih tepatnya adalah gerakan satu oktober tahun seribu sembilan ratus enam puluh lima. Gugatan ini tidak didasari oleh pengalaman afiliasi dengan partai komunis indonesia maupun segala organisasi yang berkaitan dengannya, yang selama puluhan tahun telah diberi stigma sebagai partai dan organisasi berbahaya, melainkan didasari oleh afiliasi dengan empati rasa kemanusiaan sejati sebagai anugerah terbesar kehidupan ini. 

 Harus dinyatakan di sini bahwa gerakan satu oktober tahun seribu sembilan ratus enam puluh lima yang mengakibatkan terbunuhnya para jenderal, yang selanjutnya disebut sebagai pahlawan revolusi, adalah sebuah gerakan sangat terorganisir yang dijalankan oleh para perwira militer sendiri dan didasari oleh kompleksitas konflik internal di dalamnya. Tak pernah ada bukti yang sangat pasti bahwa partai komunis indonesia adalah perancangnya. Seluruh interogasi terhadap para perwira yang ditangkap, secara susah payah dihubung-hubungkan dengan keterlibatan partai komunis indonesia (Dhakidae, 2003). Yang lebih penting dari semua ini adalah akibat yang terjadi pada masa-masa sesudahnya. Pencitraan dan penciptaan mitos bahwa kaum komunis indonesia dan terutama para perempuan yang bergabung dalam organisasi gerwani adalah mereka yang dengan senang hati, menari-nari sambil bernyanyi melakukan orgi seksual sambil melukai dan akhirnya mengakhiri nasib para jenderal di lubang buaya, sebagaimana sebagian adegannya digambarkan dalam film produksi orde baru tentang gerakan itu, haruslah dikatakan sebagai manipulasi dan kebohongan yang menyengsarakan.

 Semua media seperti Angkatan Bersenjata, Berita Yudha, Api Pancasila, dan kantor berita Antara, menyebarkan berita bohong soal penganiayaan yang berlebih-lebihan. Manipulasi dan kebohongan itu telah menyulut emosi dan kemarahan massa sehingga pada hari-hari berikutnya, segala bentuk penangkapan, penyiksaan, dan pembantaian tanpa proses pengadilan dapat terjadi di negeri ini, dan menelan korban anak-anaknya sendiri. Hampir selalu pasti, sebagaimana dinyatakan oleh sisa-sisa saksi, bahwa kaum perempuan yang ditangkap pada masa itu, harus mengalami kekerasan seksual yang tak pernah bisa dilupakan sekaligus terlalu menyakitkan untuk disimpan sebagai ingatan. Sebagian besar dari mereka semua, selalu dipaksa untuk mengakui kesalahan yang tak pernah mereka lakukan, sebelum akhirnya berhadapan dengan eksekusi mati tanpa pengadilan (MR Siregar, 2007). 

Akibat teramat menyakitkan bagi rasa kemanusiaan dari manipulasi dan kebohongan besar itu begitu dasyatnya sehingga tak mampu dibendung oleh kesahihan bukti visum et repertum para dokter ahli Roebiono Kertopati, Frans Pattiasina, Sutomo Tjokronegoro, Liauw Yan Siang, dan Lim Joe Thay yang menyatakan bahwa semua jenderal, menjemput kematian oleh karena luka tembakan, benturan dengan popor senapan, ataupun benturan dengan bebatuan tebing sumur sedalam 11 meter. Tak satupun bukti menunjukkan adanya penganiayaan oleh silet atau pisau para gerwani, maupun bentuk penganiayaan lainnya seperti mencungkil mata atau memotong kemaluan. Bahkan pidato Presiden Soekarno pada tanggal 12 Desember 1965 yang menghardik media karena berita yang berlebih-lebihan tentang penganiayaan yang tak sesuai dengan hasil visum et repertum para dokter itu tak mempunyai gaung sedikitpun. Kebohongan media di ibu kota terutama yang dikuasi oleh tentara telah memiliki pengaruh yang lebih dasyat dalam menyulut emosi massa. Yang lebih mengenaskan lagi, Panglima KOTI saat itu, Major Djenderal TNI Soeharto, sebagai penanggung jawab pemulihan keamanan, membiarkan pembunuhan dan penyembelihan terhadap semua yang berbau komunis berjalan secara brutal dan sadis. Kengerian dan teror yang teramat dalam telah menjalar secara cepat di seluruh kampung di negeri ini. Laki-laki, perempuan, anak-anak, bahkan bayi yang masih menyusu di dada ibu tak terluput dari kengerian dan maut. 

 Kengerian dan teror menjadi begitu dasyatnya karena bagi siapapun yang terkait maupun dianggap terkait dengan partai dan organisasi komunis, tak lagi memiliki tempat untuk berlindung. Bahkan tetangga atau saudara sendiripun tak dapat menjadi tempat berharap. Siapapun yang terkait dan dianggap terkait dengan komunis, menjadi manusia-manusia yang paling terasing di tempat kelahirannya sendiri, dianggap sebagai penjahat, dan lebih parah lagi, tak dianggap sebagai manusia yang memiliki martabat. Yang sungguh menyakitkan bagi rasa kemanusiaan, mereka yang mengaku beragama, dari orang biasa sampai para pemuka, ada yang bisa dengan perasaan bangga menceritakan bagaimana mereka telah merenggut nyawa lusinan orang komunis dengan tangannya. Orang-orang kristen, katholik, islam, maupun hindu terlibat dalam riuh rendah pembunuhan itu. Pada saat itu, orang-orang beragama menunjukkan wajah kontradiktifnya yang paling sempurna. 

 Hutan Situkup, Ndhempes, Kecamatan Kaliwiro, kabupaten Wonosobo dan Luweng Grubug, Semanu, Wonosari, Gunung Kidul adalah dua di antara begitu banyak tempat lain serupa yang menjadi saksi bisu bagi kematian penuh kengerian. Lagu rakyat “Genjer-Genjer”, biasanya diminta untuk dinyanyikan sebagai semacam lagu pengantar persembahan jiwa sebelum mereka yang menyanyikannya akhirnya meregang nyawa (Catatan Femi Adi, 2000). 
Tulang-tulang manusia yang tertimbun dalam satu liang, dan yang berserakan di dasar tebing sungai bawah tanah adalah bukti-bukti yang baru bisa ditemukan di kemudian hari. Semua penjara : Buru, Planthungan, Cipinang, Pamekasan, Tanjung Gusta, Labuhan Ruku, Kalisosok, Denpasar, Ujung Pandang, maupun Nusa Kambangan adalah tempat di mana manipulasi terjadi dan segala penderitaan tak tertahankan.

 Kebohongan yang telah memakan korban ratusan ribu manusia itu, selama puluhan tahun telah menjadi dogma (ajaran paripurna) yang selalu menuntut untuk dijaga setia agar tak terusik lagi oleh ribuan gugatan dan tanya. Parahnya, dogma itu telah bersanding sempurna dengan segala kuasa yang telah dibangun di atasnya. Dalam persandingan sempurna itu, semua yang lain menjadi tak punya harga. Anak tunggal dari persandingan keduanya adalah kekerasan yang terus-menerus mengabaikan rasa kemanusiaan. Selanjutnya, ketiganya, kuasa-dogma-kekerasan, tertali sebagai Tri Tunggal Mahakudus yang cenderung menelantarkan korban terus-menerus. Tri Tunggal yang ini disebut Mahakudus karena ia selalu terbebas (bagaimanapun caranya) dari segala bentuk kesalahan, kejahatan dan dosa. Sebaliknya, mereka yang menjadi korban sangat sedikit mendapatkan keadilan sebagai buah kebenaran, bahkan sangat rentan terhadap segala kemungkinan untuk sekaligus mendapatkan cap sebagai pelaku kejahatan.

 Tingkah polah Tri Tunggal Mahakudus ini sangat mirip-serupa dengan dongeng Calon Arang sebagaimana ditulis oleh almarhum Pramoedya Ananta Toer. Calon Arang, janda sakti mandraguna, telah berhasil membunuh semua musuh dan orang yang tak disukainya, apalagi mengganggu kepentingannya, dengan mantra-mantra. Semua lawan politiknya mati terbunuh oleh mantra teluhnya (Pramoedya, 2003). Dalam analogi ini, dogma dan mantra berada dalam kursi yang serupa : membunuh semua musuhnya. Sampai dengan hari ini, para korban dan sanak keluarganya masih menanggung derita akibat dogma, ajaran paripurna atau mantra-mantra. Tak pernah ada kata maaf apalagi rehabilitasi dalam wujud-wujud yang nyata. Segala bentuk trauma, derita dan luka hati yang meradang akibat kehilangan keadilan, masih saja tersandang. Rasa keadilan mereka, yang adalah saudara-saudara kita juga, sampai sekarang masih tercecer bagaikan genjer-genjer yang pating keleler, teronggok tak terurus di selokan kehidupan.

 Segala kisah dari mereka yang kalah, semestinya didengar dan diolah agar tak muncul lagi generasi yang pongah. Semua cerita dari mereka yang masih saja menyimpan derita, semestinya ditulis dan dicetak dengan tinta, agar dapat dibaca oleh semua yang mendamba untuk belajar arif bijaksana. Segala sesuatu yang membantu untuk mengenang hidup yang telah hilang, semestinya tak boleh lagi dilarang oleh mereka yang mengklaim diri sebagai berwenang dan merasa menjadi pemenang.

 Untuk mendengar jeritan dan mengenang para korban, bolehlah Anda mendendang sebuah lagu yang mungkin masih dilarang. Lagu ini sebenarnya berkisah tentang jerih lelah orang-orang miskin yang selalu kalah di negeri yang katanya berlimpah. Ini lagu petani yang dari kacamata seni, ritmenya sangat cocok untuk diajarkan kepada anak-anak sendiri. Inilah lagu petani yang menghadapi suasana tidak senang dengan semangat yang riang. Ini adalah lagu tentang tanaman dan situasi kemiskinan yang digubah untuk menghibur agar hidup tetap bertahan. Karena dogma dan mantra sebagaimana disebut di muka, lagu inipun harus ikut menanggung derita. Luar biasa.

 Ini salah satu versi aselinya sebelum syairnya dipelesetkan dan dimanipulasi oleh dogma dan mantra. Doa dan salam hormat untuk Muhammad Arief sang seniman pengarang, yang katanya telah hilang sampai sekarang. 

Genjer-genjer nang ledhokan pating keleler (Genjer-genjer di selokan berserakan) 
Emake thole teka-teka mbubuti genjer (Si ibu tiba-tiba mencabuti tanaman genjer) 
Oleh sak tenong mungkur sedhot sing thole-thole (Dapat sebakul lalu segera pergi membawa yang kecil-kecil) 
Genjer-genjer saiki wis digawa mulih (Tanaman genjer sekarang sudah dibawa pulang) Genjer-genjer isuk-isuk didol ning pasar (Tanaman genjer pada pagi hari dijual di pasar) Dijejer-jejer diuntingi padha didhasar (Digelar berjajar dalam ikatan-ikatan kecil) 
Emake Jebreng pada tuku nggawa welasan (Para ibu membelinya berjumlah belasan ikat) Genjer-genjer saiki wis arep diolah (Tanaman genjer sekarang sudah siap dimasak)

(ResistInfo, edisi September 2007)

Friday, August 10, 2007

Ratzinger dan Gereja

(Tanggapan positip atas Catatan Pinggir Goenawan Muhammad "Mereka") Oleh Indro Suprobo Kemunduran itu memang telah terjadi sebagaimana diungkapkan oleh Domenico Maselli. Bahkan ketika Vatikan mengumumkan terpilihnya Ratzinger ini sebagai Paus, sudah ada tanda tanya besar dalam diri saya, “Mungkinkah Gereja Katolik Roma akan semakin lebar membuka jendela?” Kini, jawaban-jawaban atas tanda tanya itu sudah perlahan mengalir di hadapan mata. Pandangan Ratzinger ini tentu merepotkan banyak pelayan dan warga Gereja, terutama mereka yang telah dengan jerih lelah menganyam pola hidup baru relasi dan dialog agama-agama, yang membongkar prasangka-prasangka purba, dan menyusun titian hidup bersama yang dilandasi hormat penuh martabat dan saling percaya dalam cara beragama yang lebih dewasa. Sungguh sayang bukan kepalang, primus inter pares yang satu ini barangkali tak bisa bertahan hati dalam menghadapi generasi yang sudah emoh untuk mendaku segala sesuatu yang serba pasti : keselamatan hanya ada di sana atau hanya ada di sini. Generasi yang ini bahkan mungkin dapat bersaksi dengan tulus dan rendah hati bahwa seringkali, keselamatan itu sudah hadir dalam genggam jemari yang saling mencari, menunduk diri di hadapan keagungan ilahi. Sekarang ini pantaslah direnung dan dicerna bahwa Gereja Katolik tak hanya berwajah satu dan sama : wajah primus inter pares sang pemuka. Gereja Katolik bukan pula hanya berwajah Roma, apalagi hanya Paus-nya. Pantaslah diresapi dan dipercaya bahwa Gereja Katolik memiliki wajah beragam warna sesuai dengan konteks hidup sosial, politik, ekonomi dan budayanya. Di sanalah, para pecinta dan pengikut Yesus manusia, berduka-cemas, berharap-gembira dalam keseharian-lumrah bersama sesama yang beragam dan beda. Seringkali, mereka ini tanpa nama namun selalu setia mengerjakan apa yang telah dimulai oleh gurunya, Yesus manusia. Mereka ini juga yang lebih merasa bercerah budi apabila terus menerus dapat belajar dan berinspirasi dari banyak nabi. Sekarang ini, Ratzinger bolehlah mengemukakan sabda, tetapi setulus dan sedalam hati, Gereja Katolik di mana-mana bolehlah pula untuk berbeda dalam pilihan-pilihan dewasa. Pembelaan harkat dan martabat manusia itulah yang utama, dan relasi dengan banyak kepercayaan maupun agama, selalu musti mengalir dari haribaannya. Karena memang demikianlah pada awal mulanya, Yesus yang manusia itu gelisah dan tergerak terutama oleh derita dan jerit lara para petani, buruh kota, dan manusia yang serba dihina-miskin-sengsara. Karena menurut Yesus yang manusia itu, kita dan mereka semua adalah anak-anak yang dikasihi Abba, sang Bapa.

Tuesday, July 31, 2007

17 Agustus, Hari Kemenangan Kaum Kiri Indonesia !!!

oleh Indro Suprobo Siapakah di antara generasi muda sekarang yang masih sangat berantusias untuk mengikuti upacara bendera 17 Agustus sebagai ritual tahunan perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia? Sebagian kecil barangkali masih merasa sangat bangga bila boleh menjadi petugas pengibar bendera berbaju putih, berpeci hitam dengan kain merah menutup leher. Beberapa mungkin juga masih sangat berantusias untuk bergegap gempita menabuh drum band dengan baju serba seragam dan serba berbaris rapi siap grak maju jalan belok kanan belok kiri, jalan di tempat sesuai aba-aba warisan tentara kolonial. Atau barangkali, masih terlalu banyak pula para puteri muda remaja berseri yang bangga penuh damba untuk menari-nari beratraksi saling gendong, lenggak lenggok lincah gemulai berpakaian serba mini menarik hati lelaki lintas generasi. Di kampung-kampung barangkali akan ada banyak keramaian penuh sorak gembira melupakan untuk sementara segala beban hutang, pungutan dan biaya sekolah, tagihan pembelian benih, tunggakan bon pupuk yang telah menumpuk, iuran arisan, biaya kontrakan dan seabrek kesulitan yang sehari-hari sering membuat kepala terasa nyeri. Jathilan atau kuda lumping, tarian kubro, pentas dangdut dengan lagu favorit yang hampir sama di mana-mana seperti es-em-es atau kucing garong, wayang kulit, sampai pengajian penuh humor barangkali akan menjadi acara-acara terpilih. Eit, jangan sampai dilupakan! Beragam perlombaan seperti makan kerupuk, gebug bantal, panjat pinang, memasukkan paku ke dalam botol, kelereng, sepeda indah, gerak jalan, kebersihan, bikin roti terbesar atau gapura paling unik pantaslah disebutkan dalam deretan ritual tahunan mahahebat ini! Seluruh keriangan yang meletus bagaikan balon udara itu pastilah terjamin direkam, dipotret, ditulis dan diberitakan ulang serta disiarkan oleh hampir semua media yang tersedia di sekujur deretan pulau-pulau Republik Indonesia Raya. “Peringatan Hari Merdeka dalam Aneka Rupa”, begitulah kira-kira tema utama. Tetapi tunggu dulu para pembaca setia….. Masih ada satu hal lagi yang tak boleh dilupa. Yang satu ini adalah persoalan mahapenting tetapi selalu saja memiliki kepastian teramat tepat untuk dilupakan. Di mana-mana, di seluruh pelosok negeri ini, gegap gempita dan meriah megah peringatan kemerdekaan Republik Indonesia Raya Jaya Sentausa, selalu saja dan terjamin pasti melupakan sunyi sepi studi dan pergulatan budi pekerti para tokoh pendahulu penggagas ide merdeka dan pendiri negeri yang secara hormat dan terpuji haruslah digolongkan sebagai kaum kiri!! Idealisme merdeka Indonesia Raya tidaklah mungkin begitu saja turun sebagai wahyu dari surga atau dari Tuhan agama-agama. Ide merdeka Indonesia Raya dipungut, ditenun, dianyam dan diolah dari sunyi sepi studi dan pergulatan budi kaum intelektual kiri yang cerdas bernas maju kreatif progresif penuh empati dan harga diri. Mereka ini menggagas dan menyusun ide merdeka dalam pergulatan sunyi sepi studi atas wacana-wacana kiri yang secara jelas tegas disebut sebagai sosialisme. Beberapa dari antara mereka yang berangkat dari sunyi sepi studi wacana kiri bolehlah diingat di sini. Yang paling awal, Soewardi Soerjaningrat, Douwes Dekker dan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo yang mendirikan “Indische Partij”, sejak tahun 1912 telah secara gamblang menyatakan cita-cita “Hindia Merdeka, Sekarang!”. Mohammad Hatta yang muslim dan saleh, yang menyerukan cita-cita Indonesia Merdeka di depan Meja Hijau di Nederland tahun 1928, telah menulis analisis kritis dan kiri dalam majalah Hindia Poetra untuk mendukung kaum petani miskin melawan penguasa perkebunan dan pabrik gula di Jawa dengan judul “De economische positie van den Indonesischen grondverhuurder” (Kedudukan ekonomi orang Indonesia yang menyewakan tanah) dan “ Eenige aantekeningen betreffende de grondhuur-ordonnantie in Indonesie” (Beberapa catatan tentang ordonansi penyewaan tanah di Indonesia)[i]. Ir. Soekarno, yang pada tahun 1930 secara berapi-api memaparkan “Indonesia Menggugat” di hadapan pengadilan Hindia Belanda, sangatlah jelas dengan bacaan sosialisme yang dilahapnya. Sjafruddin Prawiranegara yang pernah ditunjuk oleh perdana menteri Hatta untuk menjalankan Pemerintahan Darurat, adalah seorang Muslimin juga yang bahkan dengan tegas berujar bahwa manusia yang beragama dan beriman, tidak bisa lain, ia pasti kiri.[ii] Yang lain lagi adalah seorang negarawan yang juga pernah menjadi Perdana Menteri, yakni Soetan Sjahrir. Bersama Hatta, ia berjuang agar prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, keadilan sosial bagi seluruh rakyat dan penghormatan kepada harkat martabat manusia menjadi kehidupan nyata negara dan masyarakat Indonesia. Pergulatan budi dan empati dalam menggumuli wacana berhaluan kiri itu tak pernah lagi dibuka, disinggung, diangkat, dijunjung apalagi disanjung dalam pidato-pidato resmi ritual peringatan hari merdeka Indonesia Raya sekarang ini. Padahal, itulah faktor utama dan penentu munculnya pemikiran dan gereget gerakan merdeka para pendiri negara. Wacana kiri atau sosialisme pada umumnya, sejak Orde Baru, dan oleh Orde-orde yang terbaru lagi (tak tahulah apakah itu sungguh sebuah transformasi atau hanyalah mutasi) telah ditempatkan dalam sudut sepi, dilarang keras untuk dipelajari, diberi stigma “berbahaya”, tak boleh lagi dicerna secara dewasa, dan kalau ada yang berkumpul serta menjadikannya sebagai tema diskusi, akan segera saja berhadapan dengan gerudugan segerombolan polisi. Oleh karena itu, sudah sepantasnya dan sehormatnya, sosialisme atau wacana kiri itu ditempatkan penuh martabat dan harga diri sebagai bahan studi untuk dipelajari. Soetan Sjahrir, sebagaimana dikutip oleh amarhum YB. Mangunwijaya mengatakan: “Sosialisme adalah ajaran dan gerakan mencari keadilan di dalam kehidupan kemanusiaan. Sosialisme adalah ajaran politik yang memihak golongan miskin dan tidak berpunya yaitu kaum proletar. Ia menentang golongan yang menggunakan kekayaannya untuk kepentingan dirinya dengan memperoleh untung dari kemiskinan orang yang dipekerjakannya pada perusahaan-perusahaannya. Mereka yang mampu dan berpunya itu biasanya adalah golongan yang berkuasa dalam negara. Sehingga negara pun selalu berpihak pada mereka, sedikitnya selalu membela kepentingan mereka dengan perundangan yang menjamin kedudukan dan kekayaan mereka. Sosialisme selalu mengikhtiarkan supaya lebih banyak kaum miskin di dunia menolak nasibnya sebagai kaum miskin, hina, dan tertindas dan menuntut perubahan sehingga tidak ada lagi kaum tertindas dan kaum yang menindas, dan tidak ada lagi kaum yang menghisap dan kaum yang dihisap” [iii] Jurang yang lebar antara kemelaratan penuh sengsara mayoritas orang miskin dan kesejahteraan penuh nikmat segelintir orang kaya dan kuasa, sejak semula menjadi kegelisahan, penolakan dan geliat perlawanan kaum kiri. Bahkan sejak semula embrio agama-agama berangkat dari penolakan atas hal ini. Jangan salah sangka bahwa Isa binti Miryam dari Nazareth yang hidup dan ajarannya menjadi pondasi kekristenan dari beragam sekte dan aliran, adalah termasuk dalam golongan kaum kiri-sosialis purba. Ia membela kaum tani dan buruh kota yang melarat-sengsara dalam tirani penjajahan kaum kuasa baik negara manca maupun para komprador sebangsa. Memang sudah semestinya orang yang benar-benar beragama pastilah menjadi golongan kiri pula karena paradigma kiri adalah haribaan agama-agama. Apabila praksis dan paradigma agama-agama masa kini tidak bertaut dengan haribaannya, maka pantaslah diserukan kembali pertobatan ideologis kepada agama-agama, yakni sebuah pertobatan Copernican dari kapitalisme dan neoliberalisme menuju kemanusiaan dan sosialisme, dari perang dan ketidakadilan menuju keadilan dan perdamaian. Heibatnya, seorang professor agama-agama bernama Kang Nam Oh, berujar dalam kritik yang mendalam,”Sebuah bangunan gereja yang kosong adalah lebih baik daripada bangunan gereja yang berisi penuh dengan orang-orang kristiani yang belero dan tanpa otak”.[iv] Yang dimaksudkannya dengan kritik ini adalah ritualisme dalam agama apapun tak ada artinya jika tidak memiliki pertautan dengan komitmen dan praksis yang berpihak kepada yang tertindas, yang terkalahkan, yang dipinggirkan. Agama musti kembali kepada haribaannya, yakni kemanusiaan dan sosialisme. Jurang yang menganga antara mayoritas melarat miskin susah dan segelintir kaya sejahtera selalu menjadi dasar perlawanan orang yang berpikir. Situasi itulah yang melahirkan pikiran dan gerakan merdeka di Indonesia. Situasi serupa dalam lingkup wilayah yang lebih terbatas memunculkan gerakan perlawanan sosial di tiga daerah (Tegal, Brebes, dan Pemalang).[v] Meskipun pembangunan telah berjalan puluhan tahun dan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia Raya telah digegap-gempitakan 62 kali, jurang antara kaum kaya raya dan kaum miskin serba kekurangan semakin menganga pula. Fenomena yang aneh tapi nyata ini tak pernah bisa dipahami kalau generasi Indonesia Raya sekarang ini tetap dilarang mempelajari sosialisme dan wacana kiri. Oleh karenanya, daripada bergegap-gempita dengan banyak biaya yang seringkali harus dengan berhutang juga, barangkali lebih arif bijaksana dan hemat tiada tara kalau 17 Agustus, sebagai hari merdeka Indonesia Raya diperingati dalam sunyi sepi studi wacana kiri alias sosialisme, sambil menyadari bahwa UUD 1945 dan terutama Pancasila adalah sebenar-benarnya kiri jiwanya, serta meresapi dalam kecerlangan budi bahwa pada hakekatnya Republik Indonesia Raya dirancang dan direncana seturut mazhab sosialisme pula. Nah kalau begitu, selanjutnya, ketika sosialisme menjadi bahan diskusi, tak perlulah repot-repot digerudug gerombolan pak polisi, karena mereka juga sangat butuh belajar apa sesungguhnya kiri. Supaya kiri yang ini pun boleh punya nasib yang sama dengan yang biasa terpampang dalam rambu-rambu “Kiri jalan terus”. ----------------- [i] Parakitri T Simbolon, Turun Gunung! Mohammad Hatta 11 Tahun di Belanda, dalam Seratus Tahun Bung Hatta, Penerbit Buku Kompas 2002, hlm.46 [ii] YB. Mangunwijaya, Kiri dan Kanan Dalam Sprachspiele, dalam Menuju Republik Indonesia Serikat, Gramedia 1999, hlm.209 [iii] ______ , Mengapa Sosialisme Indonesia Perlu Kita Pelajari?, dalam Menuju Republik Indonesia Serikat, Gramedia 1999, hlm.218 [iv] Keun Soo Hong, Reconciliation For Peaceful Common Living – Disarmament and Security, dalam Asia, The Reconciler, Report of The Sixth Assembly of The Asian Conference on Religion and Peace, Asian Conference on Religion and Peace (ACRP) and Interfidei 2005, hlm 111-124 [v] Anton E. Lucas, One Soul One Struggle, Perlawanan Tiga Daerah, Resistbook 2004

Enam Jam di Caracas

Oleh Indro Suprobo 

Bagi orang yang biasa-biasa saja seperti saya, mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi Venezuela secara gratis, merupakan pengalaman luar biasa. Ini terjadi karena undangan seorang teman lama, Alejandro Pino d”Araujo, yang kebetulan mengajar filsafat di College of Social and Humanistic Sciences, Simon Bolivar University. Pada saat itu, Universitas Simon Bolivar menyelenggarakan Workshop National berjudul “Simon Bolivar : The Liberation Movement in Philosophycal and Political Perspective”Yang menarik dalam seminar itu adalah hadirnya Hugo Chaves, sang presiden, sebagai salah satu narasumber karena dia adalah salah satu mantan mahasiswa yang pernah kuliah di universitas tersebut. Narasumber yang lain adalah Ambrosio Wegemento Segundo, salah seorang murid dari teolog besar penggagas A Theology of Liberation, Gustavo Gutierrez. 

 Dalam paper setebal 15 halaman yang berjudul Contra l’Estigma (Melawan Stigmatisasi), Hugo Chaves menyatakan bahwa selama sekian lama rakyat Venezuela telah berada dalam berbagai macam bentuk penindasan dan penjarahan namun selalu saja mengalami halangan besar untuk melakukan pemberontakan karena sejak kecil, dalam keluarga-keluarga, telah ditanamkan alat sensor yang sangat ampuh yakni kesadaran stigmatis. Kesadaran stigmatis ini telah menumpulkan kesadaran kritis warga masyarakat dan pada gilirannya memupus segala kemungkinan untuk melakukan kritik, perubahan, apalagi pembebasan. Salah satu contoh stigmatisasi itu dialaminya sendiri ketika masih kecil. Keluarga besarnya secara turun temurun menuturkan bahwa kakeknya adalah seorang pembunuh. Setelah dewasa, dengan wawasan dan bacaan sejarah tentang gerakan-gerakan revolusioner di banyak tempat, Chaves menyadari bahwa sebenarnya kakeknya bukanlah seorang pembunuh, melaikan seorang pejuang yang emoh terhadap segala bentuk ketidakadilan di hadapan matanya. Kesadaran yang ditanamkan sejak kecil itu merupakan kesadaran stigmatis yang bertujuan agar orang-orang biasa yang setiap hari hidup dalam kesusahan, tidak menirukan tindakan protes maupun perlawanan seperti para pejuang pendahulu itu. Lebih dari itu, sosialisme sebagai sebuah model pemikiran dan gerakan telah diberi stigma sebagai satu-satunya keburukan pemikiran yang arogan dan terbukti telah bertekuk lutut di hadapan kegagalan besar. Sosialisme lalu dengan mudah telah dilipat-lipat dalam kesadaran hanya sebagai sebentuk komunisme, ateisme, kediktatoran dan represi yang justru menyengsarakan. Itulah stigma terhadap sosialisme. 

 Karena sebagian besar rakyat Venezuela adalah pemeluk agama katolik Roma, Chaves menggunakan teologi pembebasan Amerika Latin sebagai bahasa komunikasi yang ampuh. Prinsip-prinsip dasar sosialisme memang menjiwai pendekatan teologi pembebasan ini. Ia menyatakan bahwa Yesus dari Nazareth adalah orang yang dalam iman yang besar, melakukan pemberontakan secara individual, social, politis, cultural dan religius pada jamannya. Yesus adalah inspirasi bagi gerakan pembebasan dan revolusi. Yesus adalah tokoh revolusioner dan progresif yang melawan segala bentuk manipulasi, stigmatisasi, akumulasi keuntungan oleh segelintir orang yang menyengsarakan ribuan bahkan jutaan orang yang lainnya. Sebagaimana Yesus telah melakukan revolusi pada jamannya, maka pada saat ini, adalah tugas semua orang yang mengaku sebagai pengikut Yesus, untuk secara radikal melakukan gerakan revolusioner. Setan paling nyata dalam kehidupan dunia sekarang adalah kebijakan politik-ekonomi dan dominasi Amerika yang merampas hak dan menghancurkan kehidupan sebagaian besar warga dunia. Kemiskinan dalam semua dimensinya telah merenggut kehidupan rakyat Venezuela dan rakyat di sebagian besar belahan dunia ini. Kemiskinan adalah sebuah penghancuran terhadap kehidupan manusia dalam banyak sendi. Kemiskinan yang mematikan ini tidaklah sesuai dengan apa dipesankan oleh Yesus yakni hadirnya kerajaan kehidupan. Oleh karena itu, dalam semangat yang sama seperti Yesus, “Kita harus melawan segelintir orang yang terus menerus menghancurkan sebagian besar dunia ini. Sekarang juga harus kita lakukan!”, tegasnya dengan nada tinggi, sorot mata yang menatap tajam karena kesedihan dan komitmen, sambil mengepalkan tangan ke atas. Semua yang hadir tanpa dikomando serentak berdiri dan bertepuk tangan. Saya ikut berdiri di antara mereka yang hadir dengan hati yang luar biasa tergetar. Beberapa yang hadir bahkan meneteskan air mata entah karena kobaran semangat, kemarahan maupun keharuan. Kampus Universitas Simon Bolivar yang terletak di lembah Sartenejas, dan termasuk daerah kotamadya Baruta, wilayah ibu kota Caracas bagian selatan itu terasa bergetar dalam kemegahan semangat, sesuai dengan nama yang dikenakan padanya, Simon Bolivar, El Libertador, sang pembebas bagi beberapa Negara Amerika Latin. 

Sesi seminar itu dilanjutkan dengan diskusi kelompok di luar ruangan aula. Dalam diskusi kelompok, saya mendapatkan tempat diskusi yang cukup menarik, yakni di sebuah gazebo kecil di pinggiran Laguna de los patos, sebuah danau kecil buatan yang indah di dekat pintu gerbang masuk universitas. Danau buatan itu menjadi semakin menarik karena dipenuhi bebek putih yang berenang dan berlompatan di atas air. Laguna de los patos memang berarti “danau bebek”. Hugo Chaves memang presiden yang tegas dalam prinsip namun sangat low profile. Dengan santainya dia meminta para pengawalnya untuk menikmati danau, sementara dia sendiri menyelonong nimbrung dalam diskusi kecil kami. 

Salah seorang anggota kelompok diskusi kami adalah seorang Marxis tulen bernama Milan Machovec. Ia adalah seorang profesor senior yang jauh-jauh datang dari Charles University, Praha. Salah satu buku terkenal yang pernah ditulisnya adalah Jesus Fur Atheisten yang diterbitkan oleh Kreuz Verlag Stuttgart, dan diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh Darton, Longman & Todd, London dengan judul A Marxist Looks At Jesus. “Saya sangat sepakat dengan apa yang tadi telah dinyatakan oleh mister Presiden, Hugo Chaves dalam forum. Yesus adalah manusia radikal dan progresif yang dapat menjadi inspirasi bagi gerakan perlawanan saat ini, bukan hanya bagi rakyat Venezuela, melainkan bagi sebagian besar warga dunia yang cenderung mengalami ketidakadilan. Kita semua musti terlibat penuh komitmen di dalamnya”, kata Machovec memulai pikirannya. 

 “Benar, dan terima kasih tuan Machovec. Anda adalah teman bagi kami, rakyat Venezuela, dan Anda pantas mendapatkan lebih banyak teman dari berbagai belahan dunia kita”, potong Hugo Chaves meneguhkan pernyataannya. “Tetapi saya memiliki kritik terhadap kekristenan secara khusus berkaitan dengan bagaimana mereka memahami pesan Yesus”, kata Machovec lagi. Teman saya yang sangat katolik, Alejandro Pino d’Araujo tampak serius menantikan tuturan Machovec selanjutnya. “Pesan Yesus yang asli sebenarnya terdiri dari dua elemen penting”, sambung Machovec. “Yang pertama, Yesus menyatakan bahwa suatu jaman baru sedang datang. Kedatangan jaman baru itu menjadi efektif karena usaha dan kerja keras manusia sendiri. Kedua, jaman baru itu bukan hanya merupakan jaman yang akan datang kelak, melainkan terwujud dalam situasi konkret kekinian hidup kita ini, pada saat sekarang ini dan di sini, serta bersifat imperatif bagi hidup manusia sehari-hari. Oleh karena itu, semua orang yang mengaku sebagai pengikut Yesus sang manusia revolusioner itu, musti mewujudkan daya pembaharuan dan progresivitas itu saat sekarang ini juga dalam konteks yang sangat real ini. Namun sayangnya, daripada mewujudkan daya kekuatan radikal dan progresif bagi penegakan keadilan jaman ini, melawan secara tegas semua yang melakukan perampasan, manipulasi dan peminggiran serta pemiskinan terhadap kemanusiaan, kristianitas telah cenderung membelokkan pesan itu kepada pencapaian kedamaian dan kebahagiaan pada akhir jaman. Dengan cara itu, kekristenan pada saat sekarang ini justru cenderung menawarkan opium atau candu bagi manusia yang lebih asyik dengan kebahagiaan batiniah pribadi tanpa memberi dampak nyata bagi situasi kemiskinan yang akut”. 

 Semua anggota kelompok tampak serius mencermati jalan pikiran sang profesor yang Marxis dan gandrung kepada Yesus itu. Semuanya masih menunggu-nunggu akhir dari paparan pikiran Machovec. Saya juga demikian. “Saya percaya bahwa kekristenan tidak mati, melainkan pincang saja. Namun, pesan Yesus itu justru masih sangat hidup sampai sekarang ini. Saya melihat bahwa pesan itu sangat hidup dalam sebagian besar rakyat Venezuela yang menginginkan kehidupan dunia yang lebih adil. Pilihan politik mister Presiden dan rakyat Venezuela adalah bukti nyata”, kata Machovec melambat, mengakhiri paparannya dalam diskusi kecil itu. 

 Diskusi kecil menjadi semakin hangat oleh beberapa tanggapan kemudian. Contoh-contoh konkret kebijakan politik radikal populis di Venezuela yang lebih dikenal dengan bolivarianisme itu, meneguhkan para peserta diskusi bahwa alternatif itu sangat mungkin dan sangat terbuka. Namun alternatif itu membutuhkan komitmen yang besar dan kerja keras serta kerjasama yang lebih luas. Sebagaian kecil warga tentu masih saja ada yang tak sepakat dengan ini karena mereka telah lama menikmati untung tanpa peduli kepada sebagian besar lain yang buntung. 

 Jam makan bersama menjadi penentu berakhirnya diskusi kelompok kecil ini. Semuanya menuju ke tempat perjamuan lalu pulang ke tempat masing-masing. Saya masih punya waktu dua hari dan menginap di rumah teman yang mengundang saya itu. Rumah si Alejandro Pino d’Araujo itu kecil dan sederhana namun sangat nyaman. Kasurnya yang empuk dan pepohonan sejuk di sekitar kamar membuat saya cepat tertidur. Namun ternyata, ketika bangun tidur, saya sudah berada di rumah sendiri, di pinggiran desa Ngaglik, Sleman. 

 “Kamu tidur pulas sekali siang ini”, kata isteri saya sambil mengenakan pakaian sehabis mandi sore. Saya merapikan buku-buku yang tersebar di tempat tidur lalu berangkat mandi. Ah….hari minggu yang segar… dan mimpi yang indah.***

Belajar dari Kasus RCTV di Venezuela

Oleh Indro Suprobo Berita menarik yang pantas dicermati dari negeri Venezuela akhir-akhir ini adalah tidak diperpanjangnya ijin siaran Radio Caracas Television (RCTV) yang menuai gelombang protes. Yang lebih menarik lagi dari berita itu adalah bagaimana banyak media memberitakannya. Tidak diperpanjangnya ijin siaran RCTV diberitakan dengan judul-judul yang menarik pikiran, antara lain “Stasiun Televisi Oposisi Ditutup”, “Berakhirnya Pluralisme Media” dan sebagainya. Judul-judul dan isi pemberitaan yang beredar itu telah menciptakan suatu imaji tertentu tentang kebijakan pemerintahan Venezuela di bawah kepemimpinan Hugo Chaves. Beberapa imaji yang muncul berkaitan dengan berita ini antara lain adalah terjadinya pelanggaran hak asasi oleh pemerintah Venezuela, kebijakan Chaves adalah anti demokrasi, dan terjadinya pemberangusan kebebasan bersuara. Pertanyaan yang bisa diajukan di sini adalah apa yang sebenarnya terjadi? Kebijakan Politik Radikal Naiknya kepemimpinan Hugo Chaves di Venezuela didukung oleh 63% suara dalam pemilu. Kepemimpinan baru ini telah diikuti oleh lahirnya Konstitusi Bolivarian pada tahun 1999 yang menjadi dasar utama bagi seluruh kebijakan pemerintahan dalam banyak bidang. Pembaharuan-pembaharuan yang dijalankan di atas dasar konstitusi ini oleh karenanya lebih akrab disebut sebagai perubahan revolusioner bolivarian. Perubahan revolusioner bolivarian ini ditandai oleh visi kerakyatan yang diamanatkan oleh konstitusi 1999 yakni tegaknya kedaulatan politik dan ekonomi rakyat Venezuela yang anti imperialisme, demokrasi partisipatif yang membuka ruang luas bagi keterlibatan politis akar rumput, swadaya ekonomi, distribusi yang adil dari pendapatan pertambangan minyak Venezuela dan penghapusan tindakan korupsi. Visi kerakyatan itu oleh pemerintahan Chaves diwujudkan dalam beragam program kesejahteraan sosial yang meliputi pengadaan transportasi gratis untuk rakyat yang sangat membutuhkan namun tak mampu membayar, penyediaan pelayanan kesehatan masyarakat yang berkualitas dan gratis, perlindungan hak-hak komunitas lokal yang selama ini terpinggirkan oleh kebudayaan dominan, pelayanan perumahan gratis bagi mereka yang miskin, upaya pengadaan kedaulatan pangan yang murah, berkualitas, organik dan bersifat lokal untuk membuka akses nutrisi bagi masyarakat yang tak mampu dan seabrek program lain yang memprioritaskan mayoritas rakyat miskin Venezuela yang selama ini selalu berada di pinggiran kebijakan. Sangat jelas di sini bagaimana kedaulatan dan kesejahteraan rakyat menjadi visi dasar seluruh kebijakan. Tentu saja kebijakan semacam ini sangat menggoncang kemapanan segelintir orang yang telah menuai banyak keuntungan sebelumnya. Kebijakan tentang Media Tak dapat disangkal bahwa kebijakan pemerintahan Chaves tentang media selalu harus mendasarkan diri pada Konstitusi Bolivarian tahun 1999. Konstitusi ini mendorong persyaratan yang sangat tegas berkaitan dengan penyelenggaraan lembaga media, terutama oleh lembaga-lembaga swasta. Undang-undang tentang Pertanggungjawaban Media yang berlaku di Venezuela, biasa disebut Ley Resorte, sangat tegas dalam menuntut tanggung jawab sosial dari para penyelenggara media radio dan televisi, dan berorientasi kepada komitmen yang sangat kuat terhadap dua hal mendasar yakni “hak-hak anak” dan “meningkatnya jumlah program siaran yang diproduksi sendiri secara nasional maupun lokal”. Kebijakan dalam hal media ini sangat jelas terkait dengan apa yang disebut sebagai kedaulatan rakyat dalam pelayanan dan produksi media siaran. Dalam konteks kebijakan inilah ijin siaran RCTV tidak diperpanjang oleh pemerintah. RCTV merupakan stasiun televisi milik swasta yang pada bulan April 2002 terlibat aktif dalam kampanye kudeta terhadap pemerintahan Chaves dan turut memblokir siaran Venezolana de Television, siaran televisi milik pemerintah yang merepresentasikan mayoritas penduduk miskin di Venezuela dengan program siaran unggulan berupa tanya jawab langsung dengan presiden tentang semua persoalan yang dihadapi secara real oleh masyarakat. Alasan yang diajukan oleh pihak pemerintah berkaitan dengan tidak diperpanjangnya ijin siaran RCTV ini adalah untuk mendemokratisasikan gelombang siaran, agar gelombang siaran itu menjadi milik lebih banyak orang yang merepresentasikan kepentingan mayoritas warga Venezuela daripada hanya menjadi milik segelintir juragan media yang melakukan oligopoly dengan dukungan internasional. Lebih jauh, pemerintah memberikan penjelasan bahwa Channel 2 yang selama ini menjadi milik RCTV tidak ditutup, siaran di gelombang ini tetap akan diteruskan. Hanya ijin siaran yang dimiliki oleh sebuah perusahaan swasta inilah yang tidak diperpanjang, dan sebagai gantinya, ijin siaran itu akan diberikan kepada swasta lain yang lebih dapat mengemban visi konstitusi, atau kepada perusahaan gabungan swasta dan publik, atau kepada perkumpulan kaum pekerja itu sendiri. Pemerintah justru memberikan prioritas dan mendorong para pekerja RCTV untuk mengorganisir diri dalam suatu perkumpulan dan mendapatkan ijin untuk mengelola siaran secara mandiri. Persyaratan dasarnya, program-program siaran yang akan dijalankan mengacu secara tegas kepada komitmen mendasar terhadap dua hal yaitu “perlindungan terhadap hak-hak anak” (program siaran yang edukatif) dan “mendorong peningkatan produksi program siaran mandiri baik lokal maupun nasional”, bukan produk impor yang menyedot biaya mahal, menguntungkan segelintir orang, dan tidak memberi kontribusi ekonomis bagi rakyat Venezuela. Kebebasan Bersuara Langkah demokratisasi media yang dijalankan dalam tindakan tidak memperpanjang ijin siaran ini diarahkan untuk membuka ruang lebih luas bagi sebagian besar rakyat yang mengorganisir diri dalam banyak perkumpulan untuk mengekspresikan kepentingannya melalui media siaran. Salah satu hal penting yang dibangun oleh pemerintahan baru dalam kepemimpinan Hugo Chaves adalah dibukanya ruang-ruang pendidikan populer hak-hak rakyat berdasarkan Konstitusi Bolivarian agar mereka lebih mandiri dalam partisipasi aktif berpolitik, dalam memperjuangkan hak-haknya berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang abai terhadap kepentingan mereka, dalam mengajukan alterhatif-alternatif solutif real dan kontekstual berkaitan dengan problem sosial di wilayah masing-masing. Kekuatan politik rakyat semacam inilah yang pada saat terjadi kudeta di bulan April 2002, menjadi kekuatan populis utama yang mampu mengembalikan kepemimpinan dan pemerintahan Chaves. Mayoritas kaum miskin Venezuela yang selama ini tak pernah mendapatkan bagian dari kue keuntungan kekayaan negara ini menjadi subjek pertama yang dipertimbangkan oleh kebijakan sosialisme demokratis Venezuela. Merekalah harta utama bagi gerakan-gerakan pembaharuan populis negeri Venezuela. Apabila gelombang siaran yang selama ini dikuasai oleh sekelompok kecil pemilik saham perusahaan swasta itu ditawarkan kepada 63% rakyat pendukung Chaves yang senyatanya berasal dari beragam latar belakang, bukankah itu berarti membuka keran bagi mereka yang selama ini tak pernah mendapatkan saluran untuk bersuara, mengemukakan cara berpikir sesuai dengan konteksnya, memandang permasalahan sosial real yang dihadapi dari kacamata mereka sendiri, dan tidak didekte oleh sekelompok kecil juragan media pemegang hak gelombang siaran? Dengan demikian, tidak diperpanjangnya ijin siaran RCTV barangkali dapat dibaca sebagai demokratisasi media, dibukanya lebih banyak kemungkinan bagi mereka yang selama ini kalah untuk bersuara, dan lebih dari itu, kedaulatan rakyat dalam pengelolaan media yang berkomitmen kepada siaran edukatif demi perlindungan hak-hak anak dan peningkatan jumlah program siaran yang mampu diproduksi sendiri secara lokal maupun nasional, mendapatkan lebih banyak jaminan. Bagi mayoritas rakyat miskin Venezuela, barangkali kebijakan ini dipahami sebagai sebuah kebijakan populis. Seandainya kita bertanya kepada Chaves sendiri tentang kebijakan ini, barangkali ia akan menjawab dengan mengutip sebuah ungkapan lama,”Di mana hartamu berada, di situlah hatimu”.***

Wednesday, February 07, 2007

Miyah

Indro Suprobo Pada mulanya ia masih bisa mengucapkan terima kasih. Itu terjadi beberapa bulan yang lalu ketika ia terima sebungkus roti kering dan jajanan pasar yang kuberikan kepadanya. Orang-orang di desaku memanggilnya Miyah. Itulah namanya. Tak kutahu pasti siapa nama lengkapnya sebenarnya, Rumiyah, Tumiyah, Jumiyah, Parmiyah, Umiyah atau yang lainnya. Ia tidur di pinggir jalanan desa di tepi sawah. Tenda yang terbuat dari kain dan sisa-sisa plastic telah menjadi rumahnya. Seutas tali yang ditambat di antara dua pohon pinggir jalan sudah cukup menyangga tendanya. Ketika panas maupun hujan angin, ia tetap tidur di situ. Barangkali bagor bekas menjadi semacam kasur saat ia mendengkur. Suatu saat, ketika kubawakan pakaian-pakaian bekas yang masih pantas dipakai, ia masih juga bisa mengucapkan terima kasih dan sedikit ngobrol meski tak banyak kata yang bisa nyambung. Sebuah kaos oblong bergambar Mahatma Gandhi kesukaanku, kuberikan juga kepadanya karena sudah tak cukup kupakai. Mahatma Gandhi…oh…manusia mulia sahabat duafa yang ikhlas hati meninggalkan harta dan kuasa. Gambar wajahmu akan tergantung di sekitar tenda di pinggir jalanan desa. Miyah, sang penghuni tenda, suatu kali pasti juga akan memakainya. Masih juga belum terlalu kupercaya bahwa ia adalah perempuan gila seperti kata orang-orang desa. Itulah sebabnya kusempatkan ngobrol atau sekedar bertanya menelusur masa lalu hidupnya. Meski tak sepenuhnya nyambung, bisa kuraba kira-kira sejarah yang telah dilaluinya. *** Dulu ia adalah perempuan pedagang nasi bungkus di kereta. Anak lelaki satu-satunya telah berhenti pada kelas tiga dari sebuah sekolah dasar desa. Setiap hari, anak lelakinya selalu bersama-sama berdagang rokok dan aqua. Itu dilakukan karena sudah tak ada lagi biaya untuk sekolahnya, meskipun ia terhitung di antara murid juara. Berjualan rokok dan aqua di kereta adalah cara supaya ia bisa membantu ibunya sekaligus menabung dari sedikit sisa yang ada. Suatu saat, dalam angan-angannya, ia masih ingin melanjutkan sekolah di desa. Setiap pagi kereta api selalu menjadi harapan hidupnya. Gerbong merah yang selalu penuh penumpang adalah ruangnya. Sekali dalam tiga hari, selalu ada penumpang yang membeli rokoknya satu bungkus penuh. Selebihnya membeli rokok eceran saja. Tapi itu lebih menguntungkannya karena labanya menjadi sedikit lebih banyak. Sore hari, sebagian uangnya diberikan kepada ibunya. Sisanya disimpan dalam celengan plastic berbentuk ayam. “Sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit”, kata ibunya pelan sambil menghitung uang hasil jualan. “Kalau sudah banyak, kamu bisa sekolah lagi” Bagi Miyah, anak lelaki satu-satunya itu adalah yang paling berharga dalam hidupnya. Ia selalu menjadi pembangkit harapan, yang menyulut kegembiraan, Ia bagaikan nyala yang tak pernah pudar di antara seribu malam. Kadang-kadang ia menangis sendirian tanpa suara ketika memandangi anaknya tertidur sambil memeluk celengan ayam. Ada harapan dan keinginan besar terpendam dalam tubuh yang meringkuk itu. Ia sangat ingin agar harapan yang seperti akar itu, suatu saat membesar dan bertumbuh menjadi pohon segar. Ketika memandang pohon itu dalam lamunannya, ia merasakan kegembiraan yang merongga di dalam dadanya. Tak pernah terkira, hari itu semuanya berubah. Seperti biasa ia dan anaknya bergegas memasuki gerbong kereta memulai hidupnya. Penumpang yang terlalu padat membuat mereka tak leluasa untuk segera menyusuri lorong kereta. Karena kecil, anaknya bisa lebih dahulu berpindah ke gerbong lainnya. Tak seperti biasanya pula, hari ini banyak penumpang membeli nasi bungkusnya. Ia bergembira. Pasti nanti akan ada lebih banyak sisa yang bisa disimpan dalam celengan ayam anaknya. Sampai hari siang, nasi bungkusnya tak lagi tersisa. Ia berjongkok di teras di antara sambungan gerbong. Keringat yang mengalir di belakang telinga, dielapnya dengan selendang gendongan. Seorang penumpang memintanya bergeser karena mau kencing di kakus. Tiba-tiba gerbongnya bergetar kencang dan oleng tak karuan. Suaranya teramat kacau dan bergemuruh ditimpali jeritan dan kepanikan yang luar biasa. Ia masih sempat melihat gerbong di depannya terguling dan terseret. Ia menjerit memanggil-mangil nama anaknya. Tetapi semuanya terlalu kacau lalu menjadi gelap. *** Teramat sakit untuk dirasakan. Kini ia menjadi perempuan yang kehilangan anak karena kereta yang terguling ringsek di sungai. Tak ada yang tersisa. Hanya celengan ayam yang selalu dibawanya ke mana-mana dan menyulutkan amarah kepada entah berantah. Ia berjalan menuruti langkah kaki, menyusuri rasa sakit dan amarah yang mendalam. Matanya menatap jauh, memandang tanda tanya yang teramat angkuh. Di pinggiran jalan desa, di tepi sawah, perempuan yang kehilangan anak itu berhenti. Ia berusaha untuk memahami dan mengerti, tetapi selalu saja tak tercermati. Ia tak lagi berjualan nasi. Menyendiri dan sepi. Tak punya apa-apa dan siapa-siapa lagi. Barangkali tak punya juga arti. Pada mulanya, ia masih bisa mengucapkan terima kasih. Tetapi belakangan ini, ia sudah lebih sering tertawa sendiri dan tak bisa diajak omong-omong lagi. Kemiskinan dan kehilangan telah membuatnya tak lagi mengerti artinya tertawa. Dan orang-orang desa sudah biasa memangilnya Miyah, si perempuan gila. Pagi ini, sepulang dari pasar, aku melihatnya duduk sendiri di tenda, menyanding celengan ayam milik anaknya, tertawa sambil mengikatkan seutas kain di kepala, dan mengenakan kaos oblong bergambar Mahatma Gandhi yang aku suka. Sesampai di rumah, kubaca berita. Orang-orang berdasi juga tertawa-tawa menerima rapelan tunjangan yang jumlahnya tiada terkira. Ah….aku tak tahu lagi apa artinya, ketika orang-orang desa menyebut kata gila. ***