Thursday, November 30, 2006

KATETE (Keluarga Tanpa Televisi)

Indro Suprobo Nuansa Pagi…. Pagi itu, begitu bangun dari tidurnya, si Enthung, anak yang baru berumur sekitar 4 tahun langsung menuju ke dapur di mana ayah dan ibunya lagi asyik meracik masakan bahan sarapan. “Hai kalian semua. Selamat pagi!”, begitu sapaannya kepada ayah dan ibunya. Terbiasa dengan suasana egaliter dalam keluarga, si anak pun terbiasa menyapa kedua orangtuanya dengan sebutan “kalian”, atau “kamu”, “aku” dan sejenisnya. Dengan penuh girang ayah dan ibunya membalas “Hai, selamat pagi juga enthung-enthungku”. “Kalian sedang memasak makanan buat aku ya?” lanjutnya ramah “Iya dong, sayang. Ini makanan buat kita semua, supaya sehat”, jawab ibunya. Sebentar si Enthung melihat-lihat bayam, wortel, bawang, kunci, tomat, laos, daun salam dan garam yang sudah siap untuk diolah. Pagi itu, keluarga kecil ini hendak memasak “Bayam yang dibrambang salam”. Makanan sejenis sup tetapi bumbunya tidak “diuleg” melainkan dipotong kecil-kecil lalu direbus. Setelah mendidih, wortel dan bayam dimasukkan kemudian. Segar dan kemepyar. “Ayah, apakah kamu mau menemaniku ke sana?”, tanyanya sambil menunjuk ruang tamu. “Mau. Kamu mau apa di sana?”, jawab ayahnya sambil bertanya balik. “Aku mau didongengi Opi’s”, jawabnya singkat. Ayahnya segera mengikuti si Enthung dari belakang dan menuju ke ruang tamu. Di ruang tamu Enthung duduk di kursi panjang sementara ayahnya duduk di sebelahnya dan membacakan salah satu dari buku dongeng yang bertumpuk-tumpuk di bawah meja tamu. “Opi’s on the airplane” adalah salah satu judul buku dongeng anak berbahasa Inggris yang berkisah tentang pengalaman Opi naik pesawat terbang ketika mengunjungi pamannya di kota lain. “Opi’s on the airplane. Opi naik pesawat terbang”, begitulah ayahnya mulai membaca buku dongeng itu sambil menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Enthung asyik mendengarkan sambil melihat gambar dalam buku itu. Sesekali ia mengajukan pertanyaan. Sesekali ia menyela dengan cerita kecil tentang detail lampu pesawat. Ketika si Enthung menyela dengan cerita tentang detail lampu pesawat, ayahnya kadang-kadang mengajukan pertanyaan lanjut yang langsung dijawab juga oleh si Enthung. Pagi itu, ayah dan anak mengobrol tentang pesawat terbang, berimaginasi, memperluas dongeng dengan cerita tambahan sendiri dan saling mengajukan pertanyaan serta jawaban. Ini hanyalah sepenggal cerita kecil di pagi hari dari sebuah keluarga yang tidak memiliki televisi di rumahnya. Hari Gini Tak punya televisi? Ya, benar. Keluarga kecil ini tak memiliki televisi di rumahnya. Mereka memang memilih untuk tidak memilikinya bukan karena anti kepada televisi melainkan karena ingin mendidik anaknya untuk lebih menggandrungi buku dan aktivitas bercerita lisan. Sesekali, ketika sedang berkunjung ke rumah keluarga, si enthung bisa menonton film anak-anak seperti Dora the explorer, namun begitu film selesai, ayah dan ibunya mengajaknya ngobrol tentang film itu atau melakukan aktivitas lainnya. Pilihan untuk tak memiliki televisi pada jaman sekarang barangkali oleh sebagian besar orang dianggap sebagai hal yang aneh atau tidak wajar. Maklumlah, bagi hampir setiap keluarga, TV sudah merupakan barang murah yang wajib dimiliki dan ditonton sebanyak mungkin waktu. Kebutuhan untuk menonton televisi seolah-olah sudah merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi dan ketika kebutuhan itu tak terpenuhi, seolah-olah dunia menjadi begitu sepi dan menjemukan. Sebaliknya, keluarga kecil itu memang sudah terbiasa tanpa kehadiran televisi dalam hidup hariannya. Saat-saat bersama banyak dilalui dengan bercerita bersama anak, menggambar sambil mendongeng, bertanya jawab dengan anak berkaitan dengan aktivitas di sekolahnya, ngobrol suami-istri atau berdiskusi tentang topic tertentu yang menarik perhatian saat itu. Tak ada istilah kesepian bagi mereka. Barangkali saat-saat yang oleh kebanyakan orang dianggap sebagai kesepian, oleh mereka telah dinikmati sebagai saat hening, wening. Saat dimana hati dan budi bisa lebih cermat-jeli mengeja peristiwa hidup dalam bening. Mencipta ruang imaginasi Keluarga kecil itu sangat menyadari bahwa TV memiliki kekuatan besar untuk menyerap perhatian pemirsanya. Ketika perhatian itu terserap, seluruh energi juga terserap. Akibatnya ia sendiri tak lagi memiliki kekuatan untuk mencurahkan atau memancarkan energi. Nah, agar kemampuan mencurahkan dan memancarkan energi itu lebih besar, keluarga ini memilih media lain yang lebih kondusif untuk hal itu. Buku merupakan pilihan utama sebagai media yang merangsang orang untuk mencurahkan energi. Karena yang dibaca adalah kata-kata, maka otak mendapatkan rangsangan untuk mencipta suasana, mencipta penggambaran, mencipta detail, memperluas nuansa dan sebagainya. Dengan demikian, membaca dan mendongeng adalah aktivitas menciptakan imaginasi yang lebih besar. Oleh karena itu, aktivitas itu merupakan aktivitas yang menciptakan ruang luas bagi imaginasi dan proses kreatif lainnya. Tidak semua buku (dongeng) ada gambarnya. Ketika tak ada gambarnya, orangtua ditantang untuk menciptakan gambaran itu bagi anaknya. Dengan begitu, anakpun mendapatkan rangsangan untuk mengeja gambaran itu. Ketika teks atau narasi dalam buku itu tidak menarik atau terlalu kaku, orangtua memiliki tantangan untuk membuat agar teks atau narasi itu menjadi lebih menarik. Penekanan intonasi, perbedaan cara bersuara, perbedaan mimik atau wajah, disertai ekspresi detail dari mulut, mata, alis, dan gerakan tubuh lain merupakan seni berimaginasi dan berkreasi yang baik dan menyehatkan. Melihat itu, anak akan menciptakan imaginasinya sendiri dan bergembira. Semua itu merupakan sebuah proses kreatif dalam keluarga. Saat-saat bersama menjadi saat untuk berkreativitas. Kebiasaan demikian yang terus-menerus akan mempengaruhi anak untuk terbiasa melakukan proses kreatif, menciptakan ide, memaparkan penggambaran, menyampaikan kisah dari perspektifnya sendiri, dan merangkai suatu narasi dari kekayaan nuansa pribadinya. Menciptakan ruang dialog Aktivitas mendongeng, apalagi sambil melukis, diselingi dengan pertanyaan dan jawaban, diselingi cerita sisipan oleh anak maupun orangtua, merupakan ruang dialog yang sangat berharga. Dalam dialog itu, kebiasaan bertanya, kebiasaan menjawab, kebiasaan memahami jawaban orang lain, kebiasaan memaparkan sesuatu yang sedang dibayangkan atau dipikirkan, mendapatkan tempatnya yang terhormat. Dan yang paling menarik, kebiasaan untuk memaparkan pandangan atau gambaran atau imaginasi yang berbeda mendapatkan kehormatannya. Harapannya, kalau anak sudah terbiasa untuk berdialog, terbiasa untuk bercerita, memaparkan kisah berdasarkan imaginasinya yang bebas dan menggembirakan hati, tidak memiliki ketakutan untuk mengajukan pertanyaan maupun menyampaikan jawaban, pada gilirannya, anak itu juga akan bisa menuliskan apa yang ada dalam pikirannya. Menulis bukan lagi sebuah aktivitas yang berbeban dan berat, melainkan aktivitas yang menggembirakan hati untuk mencurahkan segala isi budi : keprihatinan, protes, dukungan, sanggahan, pertanyaan dan penjabaran komitmen diri. Kejutan yang tak terkira Setelah sekian tahun keluarga kecil ini menjalani kehidupan tanpa kehadiran TV, ada banyak kejutan yang tak terkira dalam kaitan dengan perkembangan si Enthung, anak mereka yang telah berusia sekitar 4 tahun itu. Si Enthung menjadi anak yang mudah sekali bercerita dan memaparkan kisah real maupun imaginasi alias khayalannya sendiri. Ia bisa bercerita panjang sekali dengan urutan yang bagus dan detail-detail yang menarik hati. Ketika sedang terlibat dalam obrolan ayah dan ibunya, ia akan banyak mengajukan pertanyaan yang kadang-kadang membuat orangtuanya harus berpikir keras untuk bisa menjawabnya secara bijak. Atau kadang-kadang ia akan mengajukan protes dalam sindiran pertanyaan yang membuat ayah dan ibunya tertawa terbahak karena kesahihan protes itu. Dan akhirnya, ketika melihat televisi, ia telah memiliki kesanggupan untuk mengambil jarak terhadapnya, tanpa harus anti terhadapnya. Suatu kali, ketika sedang berkunjung ke rumah saudara, ada tayangan film sinetron yang berisi pertengkaran saling memaki antara pasangan suami istri. Si Enthung berkata kepada ibunya, “Ibu tolong matikan TV itu. Aku merasa bising mendengar suaranya. Aku sedang ingin menonton Dora, kok belum ada ya?”. Wah…wah….wah….si Enthung sudah bisa membedakan antara suara dan kebisingan. Barangkali itu merupakan salah satu kecerdasan bermedia. Bising bukan lagi sekedar suara ramai tak beraturan, melainkan suara yang tak lagi diperlukan karena tak bisa berdamai dengan kebutuhan untuk menyelami hening-bening. Hening-bening adalah suasana yang dibutuhkan oleh jiwa untuk bisa lebih produktif mengelola segala bentuk proses kreatif dalam hidup sehari-hari. Kalau anak sudah memiliki kepekaan terhadap hal ini, ia punya modal besar untuk menyelami kedalaman. Nuansa Malam Menjelang tidur, setelah menum segelas susu, si Enthung meminta ayahnya untuk menemani tidur. "Ayah, ayo kamu menemani aku tidur", pintanya. Di kamar tidur, ayahnya berbaring di sebelahnya, sementara si Enthung tidur telentang sambil mendongeng panjang lebar tentang hal-hal yang berkesan baginya sepanjang hari ini dengan segala bumbu imaginasinya. Ia akan bercerita tentang truk tangki atau bis malam dengan detail bentuk kaca spionnya, kenalpot dan lampunya, lengkap dengan percakapan sopir maupun para penumpangnya. Seringkali nama-nama teman-teman sepermainannya akan ikut dilibatkan dalam kisahnya itu. Ia bercerita panjang sekali dengan pernak-pernik intonasinya sampai keduanya tertidur. Pada malam hari, ayah tak perlu banyak cerita karena si Enthunglah yang akan mendongeng untuk mereka berdua. Nah, seandainya tak sanggup dengan model keluarga tanpa telivisi ini, barangkali televisi tetap dipersilakan hadir dalam keluarga, namun dengan memperhatikan permintaan si Enthung kepada ibunya itu : “Ibu tolong matikan TV itu. Aku merasa bising mendengar suaranya. Aku sedang ingin menonton Dora, kok belum ada ya?” Kalau anak-anak seperti Enthung ini semakin banyak jumlahnya, barangkali tidak perlu dengan banyak kritik dan protes, tayangan TV semacam smackdown itu sudah akan ditutup dengan sendirinya sebelum menelan korban.

Tuesday, November 28, 2006

"Tuhan Agamamu Apa?"

Indro Suprobo Ketika langit di atas rumah masih berwarna kuning kemerah-merahan, si No’e, gadis kecil yang belum genap 7 tahun umurnya itu, sedang menyirami anggrek di halaman rumah bersama embah putrinya, perempuan tua yang sudah genap 70 tahun umurnya. Si No’e kelihatan asyik sekali menikmati aktivitas menyirami bunga itu. Gerak geriknya memancarkan keriangan dan kemanjaan khas anak-anak. Sambil berdiri, tangan kanannya memegangi selang yang memercikkan air ke tanaman, sementara tangan kirinya methentheng di pinggang dan kepalanya agak oleng ke kiri. Bibirnya menyungging senyum sementara matanya memandangi anggrek yang ia sirami. “Cikicikicikicikicikicik……….” begitu bunyi air yang meloncat-loncat bergantian menyentuh tanaman dan jatuh ke tanah. “Airnya jangan banter-banter ya Nok, ya, supaya bunga anggreknya tidak rontok”, kata embah putri kepada cucunya. “Segini ini kebanteren nggak mbah, airnya?”, tanya si No’e minta pertimbangan. “Wo….kebanteren kuwi Nok, cah ayu. Dikurangi sedikit lagi” “Segini ya mbah?”, tanya si No’e lagi meyakinkan sambil mengurangi daya semprot air. “Nah, segitu itu pas”, kata simbah. Pembicaraan mereka terhenti karena masing-masing asyik dengan aktivitas mereka. “Cikicikicikicikicikicicikicikicikicik…..” bunyi air terdengar di antara kediaman simbah dan cucu ini. Embah putrinya si No’e ini tangannya terampil sekali mencabuti rumput-rumput kecil di dalam pot-pot bunga. Memang tangan yang sekarang keriput itu sejak muda telah terlatih melakukan aktivitas demikian karena sering membantu orangtuanya bekerja di sawah sepulang dari sekolah desa. Tangan itu juga sangat terampil merangkai bunga karena sering dimintai tolong menghias altar untuk keperluan misa di kampusnya ketika masih menjadi mahasiswi fakultas teologi. “Hi…hi…hi….”’ si No’e tertawa-tawa kecil ketika menyaksikan bunga anggrek yang disiraminya itu mengangguk-angguk lucu. “Mbah, mbah, lihat mbah, bunga anggreknya mengangguk-angguk!” kata si No’e kegirangan sambil menunjuk bunga yang sedang disiraminya. “Wah…iya..ya. Bunga anggreknya mengangguk-angguk”, kata embah putri menanggapi kegirangan cucunya. “Mbah, mbah, bunga anggreknya kok mengangguk-angguk itu kenapa sih mbah?”, tanya si No’e lugu. Si embah yang mantan guru agama desa itu tercenung sejenak memikirkan jawaban atas pertanyaan cucunya yang polos itu. Kecerdasannya yang dulu terbukti nyata saat mengikuti kuliah teologi selama sepuluh semester dan meraih gelar sarjana dengan predikat cum laude itu sekarang sedang diuji oleh pertanyaan cucunya. Wow, ia menemukan jawabannya! “Nok, cah ayu, bunga anggrek itu mengangguk-angguk karena mengucapkan terima kasih kepadamu. Ia merasa segar karena disirami air setiap hari. Jadi, ia berterima kasih.” Si No’e tersenyum senang sambil matanya memandangi bunga yang mengangguk-angguk kepadanya. “Mbah, mbah, kata bu guru ngaji, orang yang bisa mengucapkan terima kasih itu orang yang baik. Bener nggak mbah?” tanya si No’e lagi. “Iya dong” “Kata bu guru ngaji, orang yang baik itu disayangi Tuhan” tanya No’e lagi. “Iya dong” “Orang yang disayangi Tuhan itu besok masuk surga ya mbah?” “Iya dong” Si No’e diam sejenak, sementara wajahnya tiba-tiba berubah menjadi serius. Si embah putri memperhatikan perubahan wajah itu namun ia diam tanpa pertanyaan sedikitpun. “Cikicikicikicikicikicikicik…” suara air terdengan jelas lagi. Gadis kecil yang sudah sekolah di Taman Kanak-kanak Santa Maria itu sedang mempunyai pertanyaan agak sulit bagi dirinya. Ia disekolahkan di TK St. Maria oleh orangtuanya karena itulah satu-satunya sekolah TK terdekat. Setiap sore, biasanya ia belajar mengaji karena kedua orangtuanya adalah muslim yang saleh. Ibunya dulu beragama katholik, lalu menjadi Islam dan rajin sholat karena menikah dengan suaminya. Sore ini ia tidak mengaji karena libur, guru mengajinya sedang punya hajat menyunatkan anak laki-lakinya. “Mbah, teman-teman di sekolah bilang kalau orang yang masuk surga hanya orang yang mengikuti Tuhan Yesus. Katanya, tanpa Tuhan Yesus orang tidak bisa masuk surga. Betul nggak, mbah?” Mbah putri yang sarjana teologi itu agak bingung mencari jawaban pas untuk cucunya yang lugu. Lalu, kecerdasannya membantunya untuk menjawab. “Nok, cah ayu, Tuhan Yesus itu orang baik sekali. Dia suka menolong orang lain. Jadi dia masuk surga. Semua orang yang baik seperti Tuhan Yesus itu disayangi Tuhan dan masuk surga”. “Orang yang mengikuti Yesus namanya orang kristen ya mbah?” “Iya”, jawab embahnya singkat “Kalau orang Islam, masuk surga juga to mbah?” “Iya dong. Orang Islam khan berdoa kepada Tuhan dan berbuat baik kepada orang lain. Jadi disayangi Tuhan”. “No’e..! Mau ikut sholat sama ibu nggak?” tiba-tiba suara ibunya si No’e menghentikan pembicaraan mereka. “Ikut!” jawab No’e. “Mbah, No’e sholat dulu sama ibu ya mbah” “Ya, ya, sana sholat dulu biar disayangi Tuhan” jawab simbahnya sambil membereskan selang dan cethok. Pembicaraan sore itu sangat melekat pada ingatan si No’e, gadis kecil yang belum genap 7 tahun umurnya itu. Malam harinya, ia tertidur pulas karena senang. Wajahnya tenang dan nafasnya teratur sekali. Bintik-bintik keringat menempel di dahinya yang bersih. Ia bermimpi bertemu Tuhan. Dalam mimpinya, Tuhan seperti embah putrinya dan suka menyirami anggrek. “Tuhan, Tuhan, bunga anggreknya mengangguk-angguk berterima kasih kepada Tuhan karena disirami” kata si No’e cerah sambil menunjuk pada bunga. “Oh iya. Kamu pinter sekali. Siapa yang mengajari?” “Embah putri”, jawab si No’e. “Wah, embah putrimu baik sekali. Senang dong punya embah putri seperti itu” kata Tuhan penuh pengertian. “Iya, mbah putri baik sekali sama No’e. Tuhan, orang yang baik seperti embah putri besok masuk surga ya?” tanyanya polos. “Oh tentu. Orang baik seperti embah putrimu pasti masuk surga” kata Tuhan meyakinkan. “Orang baik seperti Tuhan Yesus juga masuk surga, Tuhan?’ “Oh ya, Tuhan Yesus masuk surga” “Orang kristen yang mengikuti Tuhan Yesus dan suka menolong orang lain masuk surga juga ya?” “Iya” “Orang Islam juga masuk surga?” “Iya” “Tuhan, Tuhan itu kristen apa Islam?” tanya si No’e polos sekali. “Ha…ha…Nok, cah ayu” jawab Tuhan sambil mengusapi kepala si No’e, gadis kecil yang belum genap 7 tahun umurnya itu. “Tuhan tidak punya agama, sayang”. “Tuhan tidak mengikuti Tuhan Yesus?” “Tidak” “Tuhan sholat seperti No’e tidak?” “Tidak” “Terus, besok Tuhan masuk surga tidak?” tanya si No’e makin penasaran. “Iya dong, sayang” jawab Tuhan sambil tersenyum. “Lho, kok bisa?” tanya si No’e penuh keheranan. Tuhan tertawa sambil asyik menyirami anggrek, sementara si No’e yang kecil itu terbangun dari mimpinya.*** Judul asli cerpen ini adalah "Lho kok bisa?" (judul dalam edisi teks). "Tuhan agamamu apa?" adalah judul dalam edisi kaos yang sudah dipopulerkan oleh Institut Dian/Interfidei Jogjakarta

Monday, November 27, 2006

Religiositas untuk Anak, Bukan Agama (3)

Indro Suprobo Sewajarnyalah setiap orang menginginkan suatu kejelasan dan kemantaban "kepada siapa ia bergantung dan berserah diri, bersembah pasrah, dan berorientasi kepada apa yang sering disebut sebagai surga. Sungguh ini sangat wajar dan barangkali lebih banyak orang demikian adanya. Kejelasan dan kemantaban itu memang bisa ditemukan dalam agama-agama. Ambillah sebuah contoh, sebagai orang katolik tentu saja seseorang sangat mengharapkan bahwa dalam seluruh hidupnya sebisa mungkin ia menunjukkan kepada orang-orang di sekelilingnya bahwa ia jelas-jelas menggantungkan hidup dan mengarahkan hidup kepada Allah Bapa melalui dan di dalam Yesus kristus (begitulah rumus teologis iman kristen...yang membedakannya dari yang lain). Kebutuhan yang sama tentu juga akan ditularkan kepada anak-anak yang dicintainya sebagai salah satu bukti dan wujud cinta pula, sehingga selanjutnya anak memiliki kebutuhan yang serupa dan orangtua terpanggil untuk memenuhi kebutuhan itu. Demikian pula halnya untuk para pemeluk agama-agama pada umumnya. Dalam pengalaman keseharian, ternyata ada kewajaran yang lain lagi yang dapat kita jumpai. Ada orang yang menjalani hidup ini secara "santai" (mungkin istilahnya kurang tepat juga), yang karena menyadari bahwa ia tidak mengetahui segala pernak pernik hidup yang teramat luas, namun mengakui bahwa sangat mungkin "ada" pernak-pernik itu (surga, neraka dsb), sekaligus mengakui pula adanya bermacam ragam cara berpikir tentang pernak-pernik itu, lalu ia mencoba menikmati saja bermacam ragam kemungkinan itu secara santai dan sungguh-sungguh menikmatinya, meresapinya dan menemukan maknanya. Akibatnya ia tidak memiliki harapan untuk mempertegas mau menggunakan cara berpikir yang mana. Akibat lebih jauhnya juga, ia bahkan tidak mengharapkan surga, namun cukuplah menyembah sujud, menghormat “Yang Tak Terlampaui” itu dan rela nan ikhlas untuk masuk neraka asal berada dalam sikap itu. Ada Rumi, ada Rabiah al Adawiyah. Dalam rumus bahasa arab dan bernuansa agama sikap itu digambarkan dengan "Hasbyallah" atau kurang lebih artinya "cukup Allah" bagiku. Rumus itu tentu saja berada dalam kerangka agama. Dalam aras itu, saya mencoba belajar, tentu dengan segala kegagalan. Aras yang satu ini menarik juga untuk saya pelajari dalam nalar pikiran, dalam pangrasa batin, dan dalam renik-renik tindakan praktis. Ini spiritualitas yang menarik hati dan saya ingin belajar menyelaminya senikmat mungkin. Pada awalnya tentu saja ada banyak halangan dari sisi nalar maupun batin, apalagi dari sisi praksis. Ada banyak pertanyaan mengemuka, ada banyak gugatan dsb. Ada banyak pengalaman mistik yang menarik hati untuk diselami secara real. Dan saya sungguh sedang belajar menyelami beragam pengalaman mistik yang senyatanya tidak hanya berada dalam satu agama saja. Kalau itu bisa memperkaya batin dan hidup rohani pribadi dan berguna untuk praksis hidup (termasuk dalam mendidik anak-anak), dengan senang hati saya menikmatinya. St. Ignatius de Loyola melalui latihan rohani (salah satu mistik kristen) menyatakan agar manusia berlatih dan berusaha "meninggalkan rasa lekat tak teratur". Nah saya bereksplorasi untuk memperluasnya, bagaimana menjalankan semangat atau prinsil "meninggalkan rasa lekat tak teratur kepada salah satu agama". Apakah ini memperkaya rohani atau mengkerdilkan rohani? Tentu awalnya ada banyak keraguan dan bahkan ketakutan, juga pemberontakan batin. Tetapi ternyata setelah berulang kali mencobanya dan belajar.....wah...wah....betapa hidup ini menyediakan kekayaan rohani yang luar biasa harum. Sholat jamaah di mushala desa, misa sederhana di kapel kecil, bajan dan agnihotra di ashram, sujud wening di pendapa sapta dharma dsb...terasa bukan lagi kotak-kotak yang saling terpencil melainkan suatu tanah lapang dengan warna warni aroma yang bisa dihirup dengan bebas dan menyehatkan. Kalau sudah begini, Yesus Sang Junjungan, Al Quran, Mohammad Sang Rasul, injil, santo-santa, para nabi, tritunggal mahakudus, Om dan yang lainnya, bukan lagi kotak-kotak juga melainkan tanah lapang pula. Dalam aras ini, tak ada rumus "tersesat" lagi. Rumus “tersesat” hanya berlaku bagi orang yang mengagungkan “satu kotak” sebagai satu-satunya kebenaran. Tentu ini adalah aras yang lain, yang kebetulan saya sedang belajar memilihnya sebagai sebuah kewajaran yang dibangun. Dalam aras ini pula, saya sangat menaruh tunduk hormat dan syukur penuh ikhlas kepada teman dan saudara dan siapapun yang memilih untuk memiliki ketegasan tertentu dalam arus hidupnya, ada yang menegaskan diri kepada Yesus, ada yang menegaskan diri kepada Al Quran, ada yang lain lagi. Dan saya belajar menegaskan diri menjadi kelana hati. Kalau tidak keliru, ada lagunya di dalam buku madah bakti yang biasa digunakan dalam perayaan ekaristi di gerja katolik: ....kita bagai kelana...di tengah cakrawala....menuju langit suarga......dst

Religiositas untuk Anak, Bukan Agama (2)

Indro Suprobo Ada banyak orang beranggapan bahwa ketika menghadapi kematian – sebuah peristiwa besar yang tidak main-main dalam hidup seseorang – orang pastilah menginginkan agama sebagai kejelasan dasar bagi dirinya yang memberi kerangka dari seluruh pemaknaan atasnya. Saya sendiri menghayati kematian (terutama orang-orang terdekat, tercinta dan pada saatnya nanti kematian saya sendiri) sebagai bagian dari kehidupan yang teramat luas dan agung itu. Oleh karena itu, saya menghayati bahwa hidup tak pernah mati, karena ia luas, agung, dalam, maharangkum, mahaliput, dan abadi. Menghadapi kematian dengan demikian adalah memandang suatu bagian dari keluasan, keagungan, kemaharangkuman, kemahaliputan, dan keabadian. Karena kematian adalah bagian dari kehidupan, maka sikap terdalam menghadapinya tak lepas dari sikap terdalam terhadap kehidupan. Dari banyak kearifan agama-agama maupun kepercayaan, dan kehidupan orang-orang mendalam para pendahulu kita (para nabi, mistikus, santo-santa, solihin-soleha, dan semua mereka yang hanif), sikap terdalam terhadap kehidupan adalah hormat, syukur dan hanif (tunduk). Dalam sikap itu pulalah kematian dihadapi. Agama-agama dan beragam keyakinan di dunia ini dengan caranya masing-masing sesuai konteks sejarah dan kebudayaan yang membentuknya juga mengajarkan, mengajak, memotivasi dan mencontohkan dalam praksis nyata sikap terdalam serupa ini terhadap kehidupan (termasuk di dalamnya kematian). Dan agama-agama hanyalah salah satu dari begitu banyak kearifan kehidupan yang lagi-lagi teramat luas, agung, dalam, maharangkum dan mahaliput itu. Agama-agama adalah bagian dari keluasan dan keagungan itu tetapi ia tak bisa diklaim sebagai satu-satunya kearifan apalagi keagungan itu sendiri. Dalam refleksi personal, dari kedalaman kesunyian batin, dari kebeningan dan keheningan hidup yang saya perjuangkan dari waktu ke waktu (dg segala kesulitan dan kegagalannya) - dalam hal ini pendidikan seminari memiliki andil besar melalui pembiasaan silentium ordinarium, magnum maupun sacrum -, saya menjumput sebutir kelegaan dan niatan yang mendasar bahwa saya akan mendidik diri saya dan anak-anak saya untuk terus-menerus belajar menghayati kearifan-kearifan hidup yang telah tumbuh subur dalam keluasan ini. Oleh karena itu, kebutuhan mendasar adalah menjalankan kearifan itu. Kebetulan agama adalah salah satu atau sebagian dari kearifan itu. Ketika umumnya orang merumuskan "agama harus dijalankan....keyakinan harus dipahami....dan anak-anak membutuhkan itu...", saya merumuskannya dengan "kearifan hidup sepantasnya dijalankan, pemahaman dasar tentangnya sepantasnya dicermati.....dan anak-anak tentulah sangat membutuhkan itu". Namun karena saya menghadapi dunia anak-anak, ketika menemaninya dalam membaca dan mengerti kehidupan ini (termasuk di dalamnya kematian), saya berusaha sebisa mungkin menggunakan nalar dunia anak-anak. Ketika dia menanyakan mengapa pamannya yang masih muda meninggal dunia, saya menjawab dengan mengatakan bahwa paman meninggal dunia karena jantungnya berhenti. Kenapa berhenti? Karena jantungnya mengalami kerusakan dsb. Tak ada jawaban yang berkaitan dengan "karena dipanggil Tuhan", karena jawaban itu tentu saja merupakan konsumsi untuk orang dewasa. (Dan sekali lagi, anak-anak tetaplah anak-anak, bukan orang dewasa berukuran kecil) Ilmu pengetahuan alam, biologi, fisika dan kimia dasar adalah referensi yang sangat berguna untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan yang oleh nalar orang dewasa biasanya dijawab dengan nalar agama-agama. Dunia "bermain dan belajar" anak-anak bukanlah (jadi berbeda dengan) dunia yang hanya sekedar "main-main" karena bermain dan belajar-nya anak-anak adalah medan nyata terdekat bagi religiositas sehari-hari. Dalam dan melalui dunia bermain dan belajar itu, saya menikmati proses menemani anak-anak mengenali kearifan-kearifan hidup terutama sikap hormat kepada kehidupan. Bukankah banyak (tentu tidak semua) permainan anak-anak (terutama di desa entah di gunung, di wilayah pertanian, perikanan-nelayan dsb) sebenarnya merupakan perwujudan dari rasa syukur atas anugerah kehidupan dan rasa hormat terhadapnya? Itu semua, menurut saya, merupakan religiositas sehari-hari. Berkaitan dengan kematian saya sendiri suatu saat nanti, dengan ikhlas hati dan segala ketundukan, saya tidak berkepentingan dengan cara agama apa saya mau diperlakukan. Soal itu merupakan urusan orang yang hidup. Mau dengan cara islam, katolik, kristen beragam aliran, kepercayaan lokal, atau aliran apapun yang mungkin tidak mengalir juga, silakanlah saya manut saja karena semua itu adalah bagian-bagian dari kaya rayanya alam semesta ini. Moga-moga saya akan menghadapi kematian saya sendiri dengan satu sikap: hormat dan tunduk kepada hidup yang luas dan abadi. Moga-moga pula ini boleh disebut sebagai iman dalam teori agama-agama. Lalu, orang yang sangat beragama mungkin bertanya, "Lalu Tuhan ada di manakah Engkau?" Salah satu jawabnya (tentu bukan satu-satunya) mungkin bisa meminjam salah satu judul film "Kejarlah Daku....kau Kutangkap!"

Religiositas untuk Anak, Bukan Agama (1)

Indro Suprobo Barangkali kami merupakan salah satu saja dari sekian banyak orang yang percaya dan mempraktekkan bahwa agama bukanlah satu-satunya melainkan hanya salah satu dari religiositas. Dalam kerangka itu kami menemani anak kami yang baru berusia 4 th untuk tidak terikat kepada salah satu agama. Sampai sekarang, agama anak kami boleh dikatakan tidak jelas. Repotnya, dalam masyarakat yang sangat membutuhkan kejelasan agama ini, kami sering harus berpikir sekian kali ketika ditanya orang tentang agama anak. Ketika periksa di sebuah Rumah Sakit, petugasnya bertanya, “Agama anak anda apa pak?” Saya menjawab, “Agamanya bermain”. Perawatnya bingung. lalu saya tegaskan bahwa dia tidak/belum beragama. "Tapi kolom ini harus diisi pak" katanya. “Ya sudah diisi saja Islam, yang banyak jumlahnya”, begitu jawab saya. Dengan begitu, urusan pengisian formulir agama di rumah sakit lalu selesai. Demikian juga ketika harus membuat kartu keluarga di kelurahan. dengan penuh percaya diri, petugas kelurahan mengisi seluruh data agama dengan "Islam" karena melihat istri saya mengenakan jilbab. Semua itu tidak kami persoalkan dan urusan selesai dengan sangat sederhana. Tetapi dalam aktivitas sehari-hari di rumah dan di sekolah, anak kami memang tidak beragama. Kami sengaja mencari sekolah (play group dan TK) yang tidak ada pelajaran agamanya. Namun kami percaya bahwa tentu saja lingkungan dekat sehari-hari akan membentuk nilai-nilai religiositas bagi anak. Lalu teknik pengenalannya bagaimana? Pertama-tama ini berkaitan dengan sikap dasar kita sendiri sebagai orang tua. Saya dan istri yang kebetulan berbeda latar belakang kebiasaan agama, sepakat untuk tidak mendidik anak dalam koridor agama tertentu, melainkan dalam nilai-nilai religius (dari beragam agama dan prinsip-prinsip nilai hidup). Memang orangtua kami sendiri sering meminta memperjelas agama anak saya dengan agama tertentu. Belumlah menjadi kewajaran bagi mereka apabila seorang anak belum memiliki kejelasan dalam beragama. Namun kami berpendapat bahwa "yang paling jelas, agama anak kami sekarang ini adalah bermain dan bergembira", tidak perlu dimasukkan dalam kotak agama lebih dahulu. Nanti pada saatnya dia akan punya pilihan sendiri. Apapun pilihannya nanti, kami akan mendukungnya. Secara praktis, kepadanya kami memperkenalkan kebiasaan katolik pada saat mengikuti perayaan natal di gereja desa (istri saya yang muslim ikut serta ke gereja) dan pada saat lebaran kami memperkenalkan kebiasaan Islam dengan mengikuti sholat id di masjid pesantren milik keluarga, pada hari peringatan turunnya Krishna, kami memperkenalkannya dengan kebiasaan Hare Kreshna di sebuah asram yang rutin mengundang kami setiap tahun, dan pada kesempatan tertentu kami meperkenalkan dia dengan kebiasaan buddis di vihara dekat selokan mataram jogja. Di rumah, kami sering memutar kidung-kidung religius berbagai agama sambil bermain kendang, kelintingan, gitar dsb. Dan semuanya itu "menggembirakan hati"nya, dan dengan demikian menggembirakan hati kami juga. Yang paling prinsipial dari semua itu adalah menemani anak untuk belajar bersyukur, berharap, bergembira, sabar dalam sulit, hormat pada teman dan orang lain, tidak terbiasa berbohong dsb. Soal berdoa, kami biarkan dia sedang merasa senang dengan cara apa, tetapi yang paling sering adalah mengucap dalam bahasa indonesia sederhana dalam dunia anak-anak. Misalnya, Tuhan terima kasih sudah mendapatkan makanan, semoga sehat. amin. Nah cukuplah itu buat kami. Mau ditambah tanda salib silakan, mau diramu dengan bacaan bismillahirohmannirohim juga boleh. Itu semua hanyalah cara, atau fitur dalam dunia handphone. Kami sengaja tidak memperkenalkan konsep-konsep abstrak terlebih dulu kepadanya. Yang kami kenalkan adalah yang "manusiawi' dulu. Akibatnya, kadang-kadang dia memanggil saya dengan sebutan "Tuhan" tetapi memanggil ibunya dengan sebutan "Allah" (dieja dalam cara bahasa Arab). Saya dan istri tertawa sambil berterima kasih kepadanya. Cukup dengan tertawa karena dia memang sedang bermain-main dan menertawakan "yang serius" dalam agama-agama. Begitulah dunia anak kami. Dia tetaplah anak-anak dan bukan orang dewasa berukuran mini. Untuk menghindari konsep "Tuhan Yesus" yang belum cocok buat anak-anak (menurut kami), kami menggambar sambil mendongeng tentang Yesus sebagai anak tukang kayu yang suka membantu ayahnya membuat meja, kursi, cowek, munthu, gagang pacul dan mobil-mobilan buat anak-anak. Lalu kami mengatakan kepada anak kami,"Yesus adalah orang yang baik dan suka membantu anak-anak membuat mobil-mobilan". Dengan demikian, ia mengenal Yesus sebagai manusia yang baik hati yang pantas diteladani, dihormati dan dijunjung dalam puja dan puji. Dalam cara yang sama, kami perkenalkan dia dengan beragam tokoh lain dari kearifan kehidupan. Barangkali ini merupakan salah satu praksis berteologi dari bawah bersama anak-anak. Diolah kembali dari diskusi panjang dalam sebuah milis

Menerima Pluralitas dan Membangun Moralitas Berkeadilan

Indro Suprobo Dengan segala kerendahan hati dan ketulusan yang serba jujur berjiwa besar, pantaslah diakui bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang berkenyataan plural, kaya kepelbagaian, berornamen perbedaan, dan memiliki banyak ekspresi hidup. Masyarakat Indonesia senyatanya bukanlah masyarakat yang satu dan sama. Kenyataan ini adalah bagian dari wujud kemanusiaan yang wajar sebagai konsekuensi logis dari anugerah keunikan karya penciptaan Sang Ilahi. Konteks ruang dan waktu yang menjadi ladang subur bagi pertumbuhan kehidupannya dalam membangun jati diri kemanusiaannya, bukan pula sebuah kenyataan yang satu dan sama melainkan sejak semula berwujud keragaman. Oleh karenanya, keanekaan atau pluralitas yang menjadi kenyataan hidupnya adalah hal yang tidak dapat disangkal. Kepelbagaian dalam kehidupan yang meliputi kesukuan, kedaerahan, ekspresi bahasa, cara berpikir dan berasa, model hidup bersama, cara memahami dan menghayati Sang Ilahi serta gaya mengekspresikan religiositas adalah kenyataan sekaligus kekayaan hidup masyarakat Indonesia. Kepelbagaian semacam ini dalam kehidupan bersama tidak akan menimbulkan permasalahan sejauh dikelola secara wajar dan senantiasa mencerminkan prinsip keadilan bagi setiap keunikan. Kepelbagaian dan perbedaan mulai menimbulkan permasalahan dalam hidup bersama ketika pengelolaannya melahirkan situasi ketidakadilan bagi sebagian keunikan. Pengelolaan hidup bersama akan melahirkan ketidakadilan ketika motivasi dasar dan tujuannya berujung pada kepentingan terbatas dan mulai menganggap sepi kebutuhan essensial salah satu atau sebagian keunikan dalam masyarakat. Sejarah hidup bersama masyarakat Indonesia telah menunjukkan bahwa berbagai pergolakan dan peristiwa yang melukai harkat dan martabat kemanusiaan selama ini timbul ketika kepentingan terbatas dan tidak adil memasuki wilayah motivasi dan tujuan tindakan sebagian masyarakat yang memiliki kewenangan dan tanggungjawab dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan kehidupan bersama. Wilayah motivasi dan tujuan tindakan adalah wilayah moralitas. Kalau demikian, mengelola kepelbagaian menuntut sikap moral tertentu yakni moralitas berkeadilan. Dalam konteks pengelolaan pluralitas, moralitas berkeadilan dipahami sebagai sikap dasar individu dalam menghadapi pluralitas yang tercermin baik dalam pikirannya, perkataannya maupun dalam tindakannya. Moralitas berkeadilan ini juga berarti menerima kenyataan pluralitas dalam kehidupan, memberi ruang bagi pertumbuhan masing-masing keunikan yang ada, menerima yang berbeda sebagai sesama yang pantas dihormati dan dihargai secara jujur, serta menumbuhkan kesanggupan bagi masing-masing keunikan untuk membangun jati dirinya tanpa diskriminasi. Masyarakat yang membangun hidupnya berdasarkan moralitas berkeadilan adalah masyarakat yang tidak menempatkan dirinya sebagai superior terhadap yang lain melainkan setara serba sejajar dan seharkat-semartabat. Lebih jauh, moralitas berkeadilan semacam ini dapat dibangun dengan cara memahami setiap nalar dari setiap keunikan yang ada dalam masyarakat. Untuk memahami nalar yang bekerja dalam setiap keunikan ini, dibutuhkan sikap lebih lanjut yakni, sikap lintas nalar. Itu berarti berusaha keluar dari nalar keunikannya sendiri dan memasuki nalar keunikan yang lain dan berbeda. Pada umumnya orang menyebut sikap ini sebagai sikap passing over, melintas batas. Peristiwa yang menggores kemanusiaan yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia berkaitan dengan pluralitas beberapa waktu lalu adalah konflik sangat destruktif antar suku dan agama yang menimbulkan korban jiwa tak terhitung banyaknya. Korban jiwa sedemikian banyaknya ini adalah akibat dari tidak adanya moralitas berkeadilan yang telah hidup dalam diri anggota masyarakat yang sebenarnya mempunyai kewenangan dan tanggung jawab untuk mengambil keputusan berkaitan dengan pengelolaan kehidupan bersama yang plural. Kepentingan-kepentingan terbatas yang sonder keadilan telah bekerja dalam nalar individu-individu yang menjalankan peranan strategis di tengah masyarakat baik itu sebagai penentu kebijakan, para pendidik baik formal maupun informal, tokoh masyarakat dan sebagainya. Nalar berkepentingan terbatas sonder keadilan ini telah bekerja secara sistematik dalam kesadaran masyarakat dalam waktu yang sedemikian panjang. Akibatnya nalar ini seakan-akan menjadi hal yang sah dan wajar untuk hadir dalam kehidupan bersama. Pada gilirannya, masyarakat yang senyatanya adalah plural dan terdiri dari beragam keunikan lalu menjadi tidak terbiasa atau tidak memiliki kesanggupan untuk bersikap lintas nalar, lintas keunikan. Persoalan yang nyata dan mendasar dalam kehidupan masyarakat yang plural ini membutuhkan siasat yang relatif jitu untuk mengatasinya. Salah satunya adalah menguatkan pendidikan masyarakat untuk menerima pluralitas dan mengelolanya secara lebih dewasa dan adil. Untuk itu, mendesaklah usaha untuk membuka konteks-konteks historis berkaitan dengan konflik yang terjadi dalam masyarakat kita terutama konflik antar suku dan agama. Perlu pula dibuka kearifan-kearifan yang sebenarnya secara potensial telah dimiliki oleh masyarakat sendiri dalam mengelola pluralitas ini namun telah dipolitisir oleh mereka yang memiliki kepentingan terbatas dan tidak adil. Sharing pengalaman dari mereka yang telah secara jujur dan ikhlas berjerih payah membangun pergaulan inklusive dalam konteks pluralitas ini juga pantas diungkapkan sebagai contoh alternatif mengelola kehidupan yang beragam dan penuh perbedaan. Kejujuran dan ketulusan untuk bertatap muka, kehendak baik untuk duduk bersama merumuskan persoalan-persoalan ketidakadilan yang menimpa hidup bersama serta menemukan simpul-simpul kerja bersama dalam menegakkan keadilan merupakan kebutuhan mendesak yang tak bisa lagi ditolak. Pada saat yang sama, teramat pentinglah kemandirian dan sikap kritis terhadap segala yang bisa (menganggap diri) menjadi otoritas, karena dari sanalah segala kemungkinan manipulasi, indoktrinasi dan konstruksi nalar tak berkeadilan dapat mengalir secara pasti meskipun perlahan. Sumber: www.usc-satunama.org, Jumat 9 September 2005