Sunday, November 11, 2018

Politik Uang Menghasilkan Pemimpin tak Berkualitas

Oleh Indro Suprobo












Memasuki masa kampanye dan pemilu 2019, beberapa pengamat politik memprediksi maraknya politik uang. Sebagian warga negara memandang politik uang sebagai kewajaran bahkan sebagai kesempatan yang dinantikan karena menjanjikan keuntungan. Tulisan kecil ini akan mengurai tiga hal terkait politik uang. Pertama, apa itu politik uang? Kedua, apakah politik uang merupakan kewajaran? Ketiga, bagaimana warga masyarakat musti bersikap terhadap politik uang? Tiga pertanyaan dasar itu akan dilengkapi dengan alasan dan pertimbangan yang diperlukan demi terciptanya praktik demokrasi Pancasila yang semakin baik di negeri ini.

Pengertian Politik Uang
Secara sederhana politik uang dipahami sebagai upaya yang disengaja untuk mempengaruhi atau mengarahkan suara dalam proses pemilihan umum dengan memberikan atau menjanjikan uang atau materi lainnya. Secara tegas, dalam bahasa larangan, PKPU No.23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum, Pasal 69 ayat (1) huruf j menyatakan, Pelaksana, peserta, dan Tim Kampanye Pemilu dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye. Ditegaskan pula dalam pasal 72 bahwa Pelaksana dan/atau Tim Kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye secara langsung atau tidak langsung untuk: (a) tidak menggunakan hak pilihnya, (b) menggunakan hak pilihnya dengan memilih Peserta Pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, (c) memilih Pasangan Calon tertentu, (d) memilih Partai Politik Peserta Pemilu tertentu; dan/atau (e) memilih calon anggota DPD tertentu.

Lebih mendasar lagi, UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pasal 286 ayat (1) menyatakan Pasangan Calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota, pelaksana kampanye, dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi Penyelenggara Pemilu dan/atau Pemilih. Jika semua yang dilarang ini tetap dilanggar dan dilakukan, UU Pemilu maupun dalam PKPU menyebutnya sebagai tindak Pidana Pemilu dengan implikasi sangsi yang jelas.

Lalu bagaimana contoh konkret politik uang itu? Contoh praktik politik uang itu misalnya ketika ada calon anggota legislatif atau tim kampanye yang menjanjikan atau memberikan sejumlah uang atau barang berupa tenda, sound-system, karpet untuk masjid atau kursi untuk tempat ibadah lainnya dengan maksud agar mereka yang menerima barang itu akhirnya memilih calon anggota legislatif tertentu. Apabila secara jelas terdapat praktik “menjanjikan atau memberikan uang atau materi lain” dan praktik “mengajak, menganjurkan, mengarahkan, meminta, bahkan mewajibkan” untuk memilih calon tertentu, maka secara sangat gamblang itu sudah disebut sebagai praktik politik uang.

Apakah Politik Uang itu sebuah Kewajaran?
Secara sangat jelas Undang-Undang tentang Pemilu dan Peraturan KPU menyatakan bahwa politik uang itu bukanlah kewajaran dan bahkan merupakan praktik yang dilarang dan disebut sebagai tindak pidana pemilu. Tetapi mengapa sebagian masyarakat menganggapnya sebagai kewajaran? Pantas dijelaskan bahwa sebagian besar masyarakat menganggap politik uang itu sebagai kewajaran karena dalam kehidupan sehari-hari, sebagian masyarakat tidak terbiasa menjalankan prinsip-prinsip moralitas secara konsisten. Sebagian masyarakat tidak memiliki kebiasaan melakukan pendidikan nilai sejak di dalam keluarga-keluarga. Ditambah lagi, selama masa pemerintahan Orde Baru, semua jenis praktik suap dan korupsi telah menjadi kebiasaan umum di banyak tempat. Akibatnya, sebagian masyarakat, bahkan mereka yang mengenyam pendidikan tinggipun, tidak terdidik dalam hal prinsip-prinsip dan nilai kejujuran dan integritas. Mereka menganggap ketidakjujuran sebagai hal yang wajar dan bukan persoalan.  

Secara serius bahkan harus dikatakan bahwa politik uang adalah sebuah tindakan yang mengkhianati semua nilai dalam Pancasila. Politik uang adalah bentuk ketidakjujuran yang mengkhianati sila Ketuhanan Yang Mahaesa karena dalam perbuatan itu orang menganggap tak ada siapapun yang mengetahuinya, padahal ketika tak seorang manusiapun mengetahui perbuatan seseorang, masih ada Tuhan yang mengetahuinya. Oleh karena itu, politik uang adalah bentuk atheisme praktis, yakni ketidakpercayaan akan adanya Tuhan yang dijalankan dalam praktik, meskipun orang tersebut mengatakan memiliki keyakinan terhadap adanya Tuhan. Dalam hal ini, semua jenis keuntungan baik berupa uang, materi lain, maupun jabatan politik telah disembah sebagai berhala baru yang membuat seseorang menomorduakan sang Pencipta dan nilai-nilai kebaikan yang diwahyukanNya. Semua jenis ketidakjujuran demi sesuatu yang kurang bernilai atau bernilai rendah (misalnya keuntungan material atau jabatan politik) sudah pasti bertentangan dengan semua ajaran agama manapun. Namun pantas dicatat di sini bahwa orang atheispun bahkan menolak politik uang karena bertentangan dengan prinsip moralitas mereka, meskipun moralitasnya tidak didasarkan pada nilai-nilai yang berketuhanan, melainkan moralitas yang dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan universal. Jika demikian halnya, maka orang atheis yang menolak politik uang justru lebih beradab dan lebih religius daripada orang beragama yang menyetujui politik uang.

Politik uang mengkhianati sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, karena merendahkan kehormatan pribadi manusia dengan segala kebebasannya, dengan cara menempatkannya hanya sebagai sesuatu yang nilainya bersifat transaksional dan dapat diperjualbelikan. Kehormatan pribadi manusia hanya dinilai dengan sejumlah uang atau materi lainnya yang nilainya barangkali hanya puluhan juta rupiah. Dalam praktik politik uang, pribadi manusia ditempatkan sebagai budak bagi kepentingan politik sempit dan temporer (sementara) atau bagi kepentingan praktis tertentu. Selanjutnya, politik uang menciderai sila ketiga, Persatuan Indonesia, karena merusak rasa saling percaya masyarakat. Persatuan masyarakat Indonesia yang semestinya diikat oleh saling percaya terhadap sistem hidup bersama yang adil dan menjamin nilai-nilai keadaban demi kepentingan seluruh masyarakat, dihancurkan oleh praktik politik uang karena ia mengkhianati sistem dan tatanan bersama yang semestinya dimaksudkan menjagai keadaban. Politik uang adalah praktik ketidakjujuran yang tentu saja tidak beradab dan merusak sistem serta tatanan hidup bersama. Ini merupakan praktik jahiliyah di jaman modern.

Politik uang mengkhianati sila keempat, karena kedaulatan rakyat yang semestinya dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan, yakni dipimpin oleh etika dalam berdemokrasi, justru dirusak oleh tindakan yang melanggar etika publik. Yang dimaksud dengan etika dalam berdemokrasi adalah refleksi atas seluruh standar atau norma yang menentukan baik-buruk dan benar-salah suatu perilaku, tindakan, dan keputusan yang mengarahkan praktik demokrasi demi terpenuhinya seluruh kepentingan demos atau rakyat. Kedaulatan rakyat digerogoti oleh ketidakjujuran dan praktik transaksional yang hanya menguntungkan segelintir orang. Tak ada lagi hikmat/kebijaksanaan karena yang memimpin adalah ketamakan akan uang, materi lain dan jabatan. Seorang calon anggota legislatif yang menjalankan politik uang dalam proses pemilu sangat dipastikan bahwa ia bukanlah orang yang berkualitas, berintegiritas dan berhikmat/kebijaksanaan, sehingga ketika ia menduduki jabatan politik, ia tak akan sanggup menjalankan prinsip kedaulatan rakyat dalam permusyawaratan/perwakilan, karena ia hanya akan menimbang kepentingan diri sendiri atau kelompoknya, serta berorientasi kepada nilai-nilai yang rendah dan sempit. Ia tak akan sanggup menghasilkan kebijakan publik yang berkualitas dan mengutamakan kepentingan publik.

Akhirnya, politik uang menciderai sila kelima, Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, karena pada dasarnya praktik politik uang sendiri merupakan praktik ketidakadilan yang mendasar. Ini disebut sebagai praktik ketidakadilan karena mengkhianati orang-orang lain yang menjalankan pemilu secara jujur dan berintegritas. Mereka yang jujur dan berintegritas, yang semestinya memiliki kesempatan untuk terpilih, dikalahkan hanya oleh uang atau materi lain. Jika demikian, hanya mereka yang memiliki sumberdaya finansial besar yang dapat terpilih dalam pemilu, sementara dari banyak aspek lainnya belum tentu mereka itu memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan misalnya kompetensi atau keahlian, komitmen, kejujuran, ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas yang seluruhnya akan mendukung proses pengambilan keputusan dalam perumusan kebijakan publik. Politik uang menciderai keadilan bagi seluruh rakyat karena ia hanya menguntungkan para pihak yang terlibat dalam relasi transaksional.

Bagaimana menyikapi Politik Uang?
Politik uang tidak dapat ditolerir karena selain menghasilkan pemimpin yang tak berkualitas, ia juga merusak institusi demokrasi. Pemimpin yang menjalankan politik uang dipastikan tak memiliki integritas dan tak berkualitas sehingga tak akan sanggup memproduksi kebijakan-kebijakan publik yang bermanfaat bagi kepentingan masyarakat banyak dan non partisan. Karena dalam proses pemilu telah menggunakan politik uang, maka ketika terpilih sebagai pemimpin atau sebagai anggota legislatif, mereka juga akan memikirkan bagaimana cara mengembalikan modal yang telah dikeluarkannya. Akibatnya, orientasinya bukan lagi kepada kepentingan publik melainkan kepentingan dan keuntungan diri sendiri, kelompok atau partainya.

Karena tujuan dari Pemilu yang jujur dan berintegritas itu adalah menghasilkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas, yang memiliki kompetensi, keahlian, ilmu pengetahuan, keterampilan dan wawasan, serta komitmen yang mendukung seluruh proses produksi kebijakan publik yang berkualitas dan adil, maka terhadap praktik dan tawaran politik uang, hanya ada satu cara untuk menyikapinya, yakni TOLAK dan LAWAN!!!

Dalam situasi politik jahiliyah di jaman modern sekarang ini, yakni situasi yang menghalalkan politik uang, sikap tegas untuk menolak dan melawan politik uang di tengah masyarakat seringkali menghadapi tantangan berat. Mereka yang menolak politik uang seringkali dicap sebagai “penghalang kepentingan kelompok”, pengkhianat atau predikat lainnya. Selain membutuhkan keberanian, komitmen dan sikap tegas untuk menolak politik uang itu juga membutuhkan ilmu pengetahuan, wawasan dan pemahaman yang lebih luas tentang politik, demokrasi, hak asasi manusia, nilai-nilai religiositas atau spiritualitas (bukan hanya pengetahuan tentang ajaran formal agama-agama), gerakan sosial dan ilmu-ilmu sosial kritis. Oleh karena itu, untuk menghadapi kondisi politik jahiliyah di jaman modern ini dibutuhkan proses pendidikan politik yang memadai dan terus-menerus. Ini semua dapat dimulai dari kampung maupun desa. Ingatlah, menolak politik uang adalah bagian dari iman.***