Monday, June 17, 2013

Dalam Naungan Sayap-sayap Tuhan

“Dengan kepak-Nya Ia akan menudungi engkau,
di bawah sayap-Nya engkau akan berlindung...
engkau tak usah takut terhadap kedasyatan malam...

Kutipan kitab Mazmur 91:4-5 tentang perlindungan Tuhan ini sungguh-sungguh berdaya dan menjadi nyata dalam kehidupan para Pengungsi dan Pencari Suaka di perbukitan Cipayung, Jawa Barat. Apa yang diyakini oleh penulis Mazmur, dialami juga oleh Pencari Suaka yang terpaksa meninggalkan kampung halaman dan orang-orang tercinta, demi menemukan kehidupan damai yang didamba.

Adalah Otang Sukarna*, lelaki 50 tahun, warga sebuah desa di perbukitan Cipayung, Jawa Barat, yang dengan ketulusan hatinya, menghadirkan ayat Mazmur ini dalam kehidupan sehari-hari. Ia adalah orang desa yang menjadi sahabat bagi para Pengungsi dan Pencari Suaka. Melalui cara-cara yang sederhana dan nyata, ia memotivasi warga desa, ibu-ibu serta anak-anak, untuk bersikap ramah dan bersahabat kepada Pengungsi dan Pencari Suaka yang tinggal di sana. Persahabatan yang tulus dan sikap saling membantu sebagai saudara, adalah keramahtamahan yang nyata, sekaligus wujud perlindungan yang memberi rasa aman bagi mereka.

Ketika di tempat lain Pengungsi dan Pencari Suaka menghadapi penolakan, kecurigaan, stigma negatif, pengusiran dan pengasingan, Otang Sukarna dan warga di desanya justru menawarkan rumah sederhana dan nyaman untuk tinggal, suasana pergaulan yang akrab dan bersahabat, kegiatan bersama yang bermanfaat, dan pertolongan-pertolongan nyata yang membesarkan jiwa.

Para imigran ini adalah orang-orang baik. Mereka bukan penjahat dan tidak berbuat onar. Mereka ke sini untuk mencari rasa aman karena negaranya kacau,” begitu kata Otang memaparkan pemahamannya. Meskipun belum pernah membaca dokumen internasional tentang Pengungsi, ia mampu menggambarkan pemahamannya dalam rumusan paling sederhana dan komunikatif, yang paling mudah diterima dan dimengerti oleh semua warga desa.

Kesadaran Empatik

Otang Sukarna memiliki alasan mendasar mengapa ia bersikap ramah dan bersahabat dengan para Pengungsi dan Pencari Suaka. “Mereka adalah orang-orang yang memiliki anak seperti saya juga. Mereka juga mengalami kesusahan yang sama seperti saya. Jadi sudah semestinya saya bersikap baik dan membantu mereka. Bahkan kalau bisa, saya melindungi mereka karena sama-sama sebagai manusia biasa,” jelasnya. Menyelami, memahami dan membiarkan diri disentuh oleh pengalaman orang lain, adalah sebuah olah kesadaran yang empatik. Kesadaran ini melahirkan keterlibatan yang konkret.

Ketika media massa memberitakan adanya ancaman penolakan dan pengusiran terhadap para Pencari Suaka, Otang Sukarna dan Kepala Desa berkeliling kampung memberikan peneguhan kepada mereka. “Saya berkeliling bersama pak Lurah, mengunjungi mereka satu demi satu dan meyakinkan mereka beserta pemilik kontrakan untuk tidak merasa takut karena di wilayah ini situasinya dijamin aman,” katanya penuh semangat. Bahkan Kepala Desa sendiri menegaskan perlindungannya,”Nanti jika terpaksa memang ada orang luar yang datang ke sini untuk menganggu mereka, suruh mereka semua pindah ke rumah saya. Saya sendiri yang akan melindungi,” lanjutnya menirukan pernyataan Kepala Desa.

Saling Berbagi
Otang Sukarna memiliki cara jitu dan sederhana untuk semakin mempererat hubungan antara warga desa dan Pencari Suaka. Hidup sehari-hari adalah medianya. “Saya sering mengajak mereka untuk ikut menghadiri acara pernikahan dan kematian. Bahkan mereka juga ikut mengangkat keranda jenasah sampai ke makam,” katanya. Hadir dan terlibat dalam kebiasaan-kebiasaan warga adalah tanda, sarana serta wujud kesediaan untuk menjadi bagian. Hal itu membuat hubungan mereka semakin dekat dan akrab. Mereka menjadi bagian dari warga, dan bukan lagi orang asing. “Karena dekatnya hubungan itu, salah satu imigran bahkan dibujuk oleh warga untuk menikah dengan orang sini dan menjadi keluarga mereka,” lanjut Otang.

Peringatan hari keagamaan juga menjadi sarana untuk saling berbagi. Pada peringatan 10 Muharram [Assyura], warga dan Pencari Suaka menyelenggarakan upacara keagamaan bersama. “Bahkan pak Lurah menyumbangkan satu ekor kambing. Mereka senang sekali.”

Pada masa awal kehadiran Pencari Suaka, selama beberapa waktu pernah diselenggarakan kegiatan belajar bahasa Inggris untuk anak-anak. Melalui kegiatan itu warga dan Pencari Suaka dapat saling belajar. Anak-anak belajar bahasa Inggris, sementara para Pencari Suaka belajar tentang kebiasaan hidup sehari-hari. “Wah dulu banyak sekali anak yang ikut belajar bahasa Inggris. Hampir tiga kelas penuh jumlah pesertanya.”

Berkat hubungan yang akrab ibu, tak mengherankan apabila di beberapa sudut jalan atau di dekat warung, terdengar kelakar dan canda tawa antara Pencari Suaka dan warga desa yang sedang mengisi waktu senggang mereka. Otang Sukarna dan warga desa di perbukitan Cipayung, bagaikan sayap-sayap Tuhan yang memberikan keramahan, perlindungan dan rasa aman bagi para Pencari Suaka. Melalui mereka, Tuhan sungguh-sungguh menudungi para Pengungsi dan Pencari Suaka dengan kepak-Nya.***


Indro Suprobo
-----------

* Bukan Nama sebenarnya
Publikasi awal di JRS Indonesia