Wednesday, October 11, 2006
Penantian Sumarni
Rekonsiliasi Kultural Agama-agama, Sebuah Pengalaman Lokal
Dari Pengakuan-pengakuan Kecil
Suasana maghrib di rumah doa semua agama yang terletak di pinggir kali dan diteduhi oleh rimbunan bambu di kompleks Balai Budaya Sinduharjo Jogjakarta, menjadi begitu wening dan khusuk oleh wewangian dupa dan lantunan kidung-kidung Hindu yang didaraskan oleh anak-anak muda berbagai agama. Agnihotra, itulah nama sebuah upacara doa Hindu yang dilakukan oleh anak-anak muda itu untuk mengawali week-end bongkar prasangka pada tanggal 6-7 Maret 2002. Semua yang hadir, baik yang beragama Islam, Katolik, Hindu, Budha, Kristen maupun Sapta Dharma, menyatukan hati memaknai pergantian hari dalam lantunan doa-doa pujian Hindu, menyembah Sang Hyang Widhi dan mengenang para suci.
Dalam week-end sederhana itu, 30-an orang muda berbagi pengalaman kecil namun nyata berkaitan dengan relasi antaragama. Menceritakan pengalaman pribadi, mencermati kisah orang lain, dan mengakui realita sederhana di antara mereka, menjadi aktivitas utama membongkar prasangka. Yuli, seorang anak SMA kelas tiga yang menganut kerohanian Sapta Dharma mengungkapkan kisah lucu namun menggelitik kesadaran keberagamaan.
“Saya sekolah di SMA kelas tiga. Pada saat pelajaran PPM (dulu bernama PMP), guru menerangkan soal keyakinan. Karena bicara soal keyakinan, guru saya memberikan contoh keyakinan Sapta Dharma. Saya merasa pemahaman dia tentang Sapta Dharma tidak sama dengan yang saya hayati. Keterangan yang dia berikan di kelas itu menyinggung perasaan saya dan saya merasa dianaktirikan. Oleh karena itu saya mengajukan pandangan saya tentang Sapta Dharma yang berbeda dengan pandangan guru saya itu. Dia lalu bertanya soal agama saya. Saya menjawab bahwa saya tidak beragama melainkan menganut kerohanian Sapta Dharma. Sejak itu dia bersikap lain terhadap saya dan sebagai hadiahnya, saya mendapatkan nilai 6 untuk pelajaran PPM. Sementara untuk pelajaran agama yang formal diajarkan di sana, saya mendapatkan nilai 9”
Perlakuan serupa dialami oleh Preh, seorang mahasiswi perguruan tinggi swasta di Jogjakarta, yang juga penganut Sapta Dharma. “Saya mendapatkan kuliah agama di kampus saya. Banyak agama dikenalkan dan masing-masing penganut agama di kelas diwajibkan untuk mempresentasikan hal-hal berkaitan dengan agama masing-masing. Ketika mempresentasikan aliran kepercayaan yang saya anut, saya merasa direndahkan oleh dosen. Dosen mengatakan bahwa kepercayaan adalah jiplakan dari agama”
Pengakuan Yuli dan Preh ini menunjukkan bagaimana ia mendapatkan perlakuan berbeda karena ia tidak beragama, melainkan menganut suatu kerohanian. Perlakuan yang dirasakannya sebagai “menganaktirikan” dan “merendahkan” itu dialaminya dalam bangku pendidikan dan terjadi di ruang kelas. Perlakuan yang dialami oleh Yuli dan Preh itu dilakukan oleh guru atau dosen yang berbeda agamanya.
Lain lagi pengakuan yang diutarakan oleh Wayan, seorang mahasiswa Hindu Bali. Ia mengungkapkan bahwa dalam agamanya sendiri, ia mengalami perlakuan “disingkirkan” oleh teman-teman seagamanya sendiri. “Pergaulan itu ada di mana-mana, tidak hanya ada di Ashram Gandhi (asrama untuk mahasiswa Hindu). Di komunitas Hindu, ada orang yang menyingkirkan teman sesama Hindu yang suka bergaul dengan agama lain. Ini saya alami sendiri. Bahkan upacara doa Agnihotra yang kita lakukan di sini, sangatlah sulit untuk bisa dilakukan di dalam kuil Hindu karena dianggap tidak lazim. Saya merasa sangat dihargai karena lagu-lagu pujian Hindu dinyanyikan di sini. Bahkan lagu Sarwa Dharma dinyanyikan secara lebih bagus oleh teman-teman Duta Voice yang beragama kristen. Saya menghargai mereka. Ini jujur dan tidak dibuat-buat”
Pengalaman yang menarik dialami juga oleh Ryo, seorang pemimpin koor mudika. Pengalaman ini terjadi dalam suatu latihan koor untuk persiapan acara pra-paskah yang bernuansa pertobatan. “Dalam sebuah latihan koor mudika, saya membacakan terjemahan syair pertobatan Abunawas dalam bahasa Indonesia. Syair itu dirasa cocok dengan tema pertobatan masa pra-paskah dan teman-teman mudika merasa tertarik dengan syair itu. Mereka lalu bertanya,”Syair itu berasal dari Santo siapa?” Kepada teman-teman mudika saya mengatakan bahwa syair itu berasal dari seorang Santo di daerah Timur Tengah. Santo itu orang Arab dan bernama Abunawas. Anehnya, ketika saya menyanyikan syair itu dalam bahasa aslinya, yakni bahasa Arab (Ilahiy lastu lil firdausi ahlan...), sebagian besar teman mudika itu lalu berubah perangai wajahnya. Apakah ada yang salah dari syair ini? Mereka belum siap menerima syair ini. Ternyata, bahasa yang berbeda mempengaruhi orang dalam memberikan sikap meskipun kandungan isinya sama.”
Pengakuan-pengakuan kecil ini bukanlah sekedar peristiwa-peristiwa yang terserak tanpa kaitan satu sama lain, melainkan merupakan ekspresi-ekspresi yang konsekuens dari arus besar kesadaran beragama masyarakat Indonesia pada umumnya. Kesadaran beragama manakah yang mengakibatkan timbulnya pengakuan-pengakuan semacam itu?
Mencermati Kesadaran Beragama dalam Masyarakat
Jika ditelusuri lebih jauh, pengakuan Yuli dan Preh menunjukkan bagaimana perlakuan diskriminatif dialami oleh agama-agama atau keyakinan lokal sebagai akibat dari dominasi negara terhadap kehidupan beragama. Negara yang telah menentukan definisi agama di Indonesia, membatasi hanya ada 5 agama yang secara formal diakui yakni Islam, Hindu, Budha, Kristen dan Katolik. Agama-agama yang lain yang mungkin sudah hidup dan berkembang dalam religiusitas lokal tidak diakui sebagai agama melainkan sebagai aliran kepercayaan. Perlakuan diskriminatif yang dialami oleh Yuli dan Preh dilakukan oleh mereka yang kesadaran beragamanya dibentuk oleh dominasi negara ini. Sikap terhadap Yuli dan Preh ini dilakukan oleh mereka yang mengamini definisi agama sebagaimana diformulasikan oleh negara yang di dalamnya dirumuskan kriteria-kriteria formal seperti kitab suci dan nabi. Itulah kesadaran beragama yang pertama, terserah mau disebut apa.
Pengakuan yang diungkapkan oleh Wayan dan Ryo menunjukkan fenomena kesadaran beragama yang dibentuk oleh dominasi elit agama atas umatnya. Dominasi elit agama ini berkaitan dengan penafsiran atas ajaran dan praksis keagamaan dalam kelompok agama sendiri maupun berkaitan dengan penafsiran atas ajaran dan praksis keagamaan kelompok agama lain.
Kedua bentuk dominasi ini, baik yang dilakukan oleh negara atas agama maupun yang dilakukan oleh elit agama atas umatnya, pada gilirannya menumbuhkan relasi ketergantungan dalam kehidupan beragama. Sikap masyarakat terhadap ekspresi religiusitas di sekitarnya lalu berada dalam ketergantungan ini dan dengan demikian tidak mandiri. Dominasi negara atas agama selanjutnya melahirkan istilah sinkretisme dan dikenakan kepada masyarakat yang secara formal memeluk agama tertentu namun sekaligus melaksanakan praksis-praksis agama lokal yang telah lebih dahulu dianutnya. Istilah sinkretisme inipun sebenarnya menjadi ekspresi dominasi negara atas agama yang berfungsi sebagai rambu-rambu penjaga “kemurnian” identitas keagamaan sekaligus sebagai hukuman terhadap alternatif religiositas yang dikategorikan “menyimpang”. Akibatnya, masyarakat beragama yang berada dalam ketergantungan terhadap negara ini pun mengekspresikan sikap mereka terhadap “alternatif religiositas” di sekitarnya dengan sikap “anti”, “menjauhi”, “menganggap lebih rendah”, “menilai tidak murni”. Lebih hebat lagi, alternatif religiositas yang dipilih oleh sebagian masyarakat di banyak lokalitas itu dianggap oleh masyarakat beragama sebagai “tidak memiliki kesucian” atau “tidak membawa kepada keilahian” sehingga tidak mungkin menjadi jalan untuk menyucikan kehidupan dan mengangkat hidup kepada keilahian. Sikap yang diekspresikan oleh guru dan dosen beragama terhadap Yuli dan Preh dapatlah dikatakan sebagai sikap superior agama-agama formal atas agama lain yang dikategorikan sebagai kepercayaan.
Dominasi elit agama atas umat beragama membawa bentuk ketergantungan yang lain. Kehidupan beragama masyarakat lalu ditentukan oleh cara berpikir, pandangan dan sikap elit agamanya. Cara berpikir umat beragama terhadap agamanya dan terhadap agama lain juga dipengaruhi oleh cara berpikir elit agamanya. Oleh karena itu, sebagian besar umat beragama “kurang berani” berbeda sikap dan cara pandang terhadap agama sendiri maupun agama lain karena tergantung kepada elit. Sikap ketergantungan ini sangat berpengaruh pada bagaimana masyarakat beragama itu menyelesaikan konflik dan memaknai perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam kehidupan beragama. Pengakuan Wayan dan pengalaman Ryo menjadi contoh konkret.
Menjalankan Alternatif Religiositas
Analisis yang dikemukakan di atas tentu saja hanyalah salah satu analisis dari sekian ragam analisis terhadap kehidupan beragama masyarakat Indonesia. Oleh sekelompok anak muda di Jogjakarta, analisis ini dijadikan dasar untuk menentukan pilihan sikap dan tindakan berkaitan dengan kehidupan beragama. Formulasi yang dikemukakan adalah beragama secara dewasa, melepaskan ketergantungan terhadap segala bentuk otoritas dan menceburkan diri dalam eksplorasi religiositas yang mandiri dengan prinsip saling menemani. Formulasi ini secara konkret dijalankan melalui sebuah komunitas yang berdasarkan pengalaman kesejarahannya, secara sadar memilih untuk menghindari bentuk kemapanan organisasi dengan segala hierarkinya. Formulasi ini juga dijalankan melalui sebuah komunitas yang secara sadar menghindari batas-batas keanggotaan dan menghindari senioritas-yunioritas. Akibatnya komunitas ini menjadi sangat terbuka, siapapun boleh bergabung dan meninggalkan komunitas sesuai dengan kemantaban pertanggungjawaban pilihan pribadinya. Masing-masing pengalaman dan kesejarahan religiositas diberi ruang yang sama dan menjalankan prinsip saling menemani.
Dalam menjalankan alternatif religiositas, komunitas ini mengambil pilihan metodis membongkar prasangka yang diwujudkan dalam tiga kelompok aktivitas yakni silaturahmi dan week-end, ekplorasi musik spiritual, dan belajar bersama. Semua bentuk aktivitas ini dipikirkan, dibicarakan dan dijalankan bersama-sama tanpa ada otoritas superior yang mengawalnya. Satu-satunya pengawal adalah kejujuran, ketulusan dan keyakinan kepada kebaikan-kebaikan yang mungkin dicapai.
Silaturahmi dan Week-end
Yang dilakukan dalam silaturahmi ini bukanlah sekedar berkunjung dan bercakap-cakap, melainkan berdialog melalui pengalaman. Semua anggota komunitas belajar mengalami “yang berbeda” dan “yang lain” yang selama ini dianggap tidak boleh dialami. Silaturahmi ini barangkali boleh disebut sebagai passing over, menyelami yang lain dan yang berbeda. Contoh konkretnya, semua anggota komunitas belajar mengalami doa agnihotra yang bertradisi Hindu, atau belajar mengalami perayaan ekaristi (misa) di gereja katolik, atau belajar mengalami ritus-ritus Sapta Dharma maupun tradisi meditasi Budha. Dalam week-end, seluruh pengalaman silaturahmi ini beserta dengan segala reaksi pribadi yang terjadi, direfleksikan, diceritakan dan dibicarakan bersama dalam suasana pertemanan yang jujur dan terbuka.
Eksplorasi Musik Spiritual
Eksplorasi musik spiritual adalah kesenian yang dipilih sebagai media lain untuk berdialog, menyelami tradisi-tradisi seni religius yang berbeda-beda dan menghantar setiap pribadi kepada pengalaman religius yang kaya. Eksplorasi musik spiritual ini berisi permainan musik berbagai tradisi religius yang ada di masyarakat baik yang dikategorikan sebagai agama maupun bukan agama (oleh negara), kidung dan syair-syair religius, narasi-narasi religius maupun seni gerak yang mengekspresikan pengalaman religiositas. Semua anggota komunitas menjalankan kesenian ini sebagai media untuk mengekspresikan dan menyelami beragam pengalaman religius yang ada.
Belajar Bersama
Belajar bersama merupakan aktivitas kajian dan dialog lintas disipliner sebagai upaya mengembangkan wacana agama dan membantu masing-masing pribadi memberikan pertanggungjawaban atas pilihan alternatif religiositasnya kepada masyarakat.
Rekonsiliasi Kultural yang Tak Terduga
Setelah kurang lebih selama dua tahun menjalani alternatif religiositas, komunitas ini menemukan pengalaman-pengalaman rekonsiliatif baru yang tak pernah dipikirkan sebelumnya. Sebagian besar orang yang terlibat di dalamnya mengalami perubahan sikap dalam berelasi dengan agama lain. Sikap-sikap curiga, khawatir atau takut dan kaku yang pada awalnya terjadi, telah berubah menjadi sikap santai dan serba percaya diri. Pertanyaan dan perbincangan mengenai perbedaan-perbedaan yang umumnya dianggap tabu untuk dibicarakan karena dikhawatirkan bisa menyinggung keyakinan agama, justru menjadi pertanyaan dan perbincangan yang dominan dan semuanya itu dilakukan dalam kesantaian pertemanan yang serba terbuka. Orang-orang muda dari berbagai agama ini sekarang menjadi lebih akrab dengan berbagai ritual agama yang sebelumnya dianggap sebagai “perbuatan yang harus dihindari”. Boleh diungkapkan di sini bahwa mereka yang pada masa SMA pernah sangat antusias melemparkan bom molotof di gereja Kotabaru, sekarang menjadi sangat antusias untuk mengikuti ibadat Minggu Palma, Trihari Suci Paskah dan Natal meskipun sehari-harinya mereka tetap menjalankan sholat lima waktu. Mereka yang selama masa kecilnya mengalami pengalaman buruk dengan semua yang berbau Islam dan menganggap Islam sebagai musuh yang senantiasa menolak kehadiran mereka, sekarang dengan penuh ketulusan bisa membagikan pengalaman bahwa sholat maghrib setiap hari merupakan meditasi yang nikmat dan membawa kebeningan batin meskipun misa di gereja setiap Minggu tetap menjadi ungkapan kekristenannya. Atau seorang pemuda yang selama sekian tahun sangat wasis sebagai takmir masjid, tidak lagi merasa canggung untuk melantunkan kidung pujian Hindu dalam upacara ritual di gereja. Ada pula seorang mahasiswa teologi kristen yang dengan gembira sempat memilih untuk berjilbab dalam hidup hariannya karena menurutnya, berjilbab adalah sebuah jalan kesederhanaan yang menuntut konsekuensi dalam banyak hal. Ada pula seorang teman Hindu yang telah dinyatakan lulus karena mampu melaksanakan “sujud” dalam ritual Sapta Dharma secara tulus. Sudilah pula kiranya diterima dalam kebesaran hati, jika seorang pria kristen telah menikahi perempuan muslim dalam sebuah upacara suci yang dipimpin seorang kyai, dan selanjutnya memilih upacara ritual Hindu untuk memaknai sebuah tradisi mitoni, mendoakan sang calon bayi.
Orang-orang muda dalam komunitas ini tidak lagi merasa canggung atau khawatir atau bahkan takut disebut sinkretis karena berbagai macam ritual agama yang telah biasa dialaminya ternyata merupakan ekspresi-ekspresi kultural yang tetap mampu membantunya memasuki pengalaman religius dan memasuki ketundukan di hadapan Sang Maha Besar yang satu dan sama. Ternyata, tak ada satupun pengalaman religius yang hilang ketika ia memasuki tradisi-tradisi yang berbeda-beda itu. Bagi orang-orang muda ini, stigma sinkretisme dipahami sebagai ungkapan kepentingan kekuasaan yang mengalami ketakutan akan kehilangan kewibawaan dan loyalitas. Ketika substansi agama telah dicoba untuk diselami dan dialami dalam kerendahan hati, formalisme agama tidak lagi ditempatkan sebagai hal yang utama meskipun tetap diakui sebagai hal yang berharga. Tak mengherankan ketika ditanya “Anda beragama apa?”, mereka justru akan celingukan untuk menjawab sambil tertawa, “Semacam beragama”.
Empati dan rasa solidaritas terhadap orang lain yang mengalami diskriminasi akibat agama yang dianutnya, ternyata tumbuh lebih besar dan nyata. Mereka yang mengalami diskriminasi dalam menjalankan keyakinan agamanya, diberi ruang untuk mengungkapkan pengalaman diskriminatif itu, diperhatikan, diterima, ditemani dan dibantu untuk menghadapi pengalaman itu. Empati dan solidaritas ini tumbuh justru ketika sikap kritis terhadap agama, termasuk agamanya sendiri, mengemuka sebagai kesadaran bersama. Dengan tulus hati mereka mengakui bahwa agama tidak sepenuhnya suci karena selalu pernah terlibat dalam hal-hal yang tidak manusiawi, dan dalam sejarah selalu pernah menumpahkan darah.
Pengakuan akhir
Seluruh perjalanan dan rekonsiliasi kultural yang terjadi ini, sesungguhnya tak pernah menjadi rencana. Semuanya berjalan begitu saja, bertemu tanpa dipaksa, bersama belajar tanpa merasa dikejar-kejar, menemukan lalu dibagikan, menjadikannya sebagai kebiasaan, didiskusikan sambil menemukan pertanggungjawaban, diyakini dalam kerendahan hati dan dijalankan dengan penuh harapan. Tak ada pastor dan tak ada kyai, tak ada pendeta maupun bikhu dan bikhuni. Semuanya dipikirkan dan dijalankan sendiri tanpa dominasi dan otoritas yang mengawasi. Seluruh pertanyaan dan kegelisahan budi, diolah dan ditekuni dalam saling menemani.
(Tulisan ini pernah disampaikan dalam Seminar Nasional Pribumisasi Islam : Negara, Agama dan Kebudayaan Menuju Desentralisasi dan Rekonsiliasi, Hotel Indonesia Jakarta, 24 Mei 2002, yang diselenggarakan oleh Desantara Jakarta)
Tuesday, October 10, 2006
Sinetron dan "Image Alternatf" bagi Perempuan
Friday, October 06, 2006
Menggugat Klaim atas Sang Nabi
(Resensi Buku)
Indro Suprobo
Sampai saat ini, nabi Ibrahim adalah tokoh yang dianggap penting bagi tiga agama besar di dunia yakni Yahudi, Kristen dan Islam. Ketiga agama ini meyakini bahwa nabi Ibrahim adalah figur peletak dasar ketuhanan dan kesetaraan relasi social yang berkeadilan sekaligus sebagai figur kekasih Tuhan yang menegakkan ajaran Tuhan di muka bumi. Masing-masing agama tersebut juga memiliki klaim khusus atas Sang Nabi. Agama Yahudi menganggap bahwa nabi Ibrahim adalah moyang seluruh bangsa Ibrani, bahwa generasi berikutnya berasal dari tulang rusuknya, bahwa atas kejujuran Ibrahim kepada Allah, mereka diberi tanah khusus yang tidak dimiliki sebelumnya namun di sana mereka hanyalah pendatang, dan bahwa saksi atas peristiwa tersebut adalah tanda khitan (sunat) yang diikat dalam bentuk akad (perjanjian) sehingga tanda fisik tersebut menjadi kebanggaan bagi setiap orang Yahudi, dan mereka menganggapnya sebagai tanda kemuliaan yang membedakan di antara semua orang di dunia.
Agama Kristen menempatkan nabi Ibrahim (atau Abraham) sebagai moyang Yesus Kristus sebagaimana dikemukakan melalui silsilah Yesus dalam Injil Matius. Dalam konteks ini, nabi Ibrahim ditempatkan sebagai bapa seluruh umat beriman (Kristen). Oleh karenanya, agama Kristen membenarkan dan menerima riwayat Taurat seputar keluarnya nabi Ibrahim dari Ur-Kasdim menuju tanah Palestina (Kanaan) sebagaimana tersimpan dalam Kitab Kejadian yang termasuk dalam kitab-kitab Perjanjian Lama dan menjadi referensi bagi penulis Kisah Para Rasul :”Allah Yang Mahamulia telah menampakkan diri-Nya kepada bapa leluhur kita Abraham, ketika ia masih di Mesopotamia, sebelum ia menetap di Haran, dan berfirman kepadanya : Keluarlah dari negerimu dan dari sanak saudaramu, dan pergilah ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu. Maka keluarlah ia dari negeri orang-orang Kasdim, lalu menetap di Haran. Dan setelah ayahnya meninggal, Allah menyuruh ia pindah dari situ ke tanah ini, tempat kamu diam sekarang” (Kis 7:2-4).
Bagi umat Islam, Ibrahim adalah kekasih Allah (khalilullah), yang daripadanya lahir anak cucu yang membawa benih kenabian (nubuwwah). Secara khusus, umat Islam juga menegaskan bahwa nabi Ibrahim adalah founding father agama Islam (millah al-Islam) sebagaimana tersurat : “Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik” (QS. Ali’Imran [3]:67).
Persoalannya mengemuka ketika Taurat (atau Perjanjian Lama) sama sekali tidak menyediakan kisah tentang hubungan antara nabi Ibrahim dan wilayah Arab (Hijaz), sementara Al Qur’an al-Karim mengemukakan hubungan harmonis, prinsipiil, dan fundamental antara sang Nabi dan Semenanjung Arab serta agama Islam. Selain itu, ada beragam narasi tentang nabi Ibrahim yang terdapat dalam Al-Qur’an namun tidak ternyatakan dalam Taurat, atau sebaliknya. Hal ini mendorong Sayyid Mahmud, penulis buku ini, untuk menelitinya secara lebih jeli.
Meskipun ketiga agama besar telah mengklaim dirinya memiliki hubungan yang khusus dengan nabi Ibrahim, masih terdapat juga keraguan di antara para ahli berkaitan dengan keberadaan historis sang nabi. Sebagian kalangan peneliti bahkan menyatakan bahwa Ibrahim hanyalah seorang tokoh legendaris (mitos) yang tidak memiliki dasar relasional dengan ilmu sejarah. Sebagian sejarawan juga menilai bahwa kisah-kisah tentang Ibrahim merupakan bagian dari kisah-kisah khurafat yang tidak nyata, atau sekedar kisah yang berkaitan dengan nama-nama dewa dalam tradisi sesembahan kuno yang legendanya sudah beredar luas di negeri Kanaan sebelum bangsa Ibrani datang ke wilayah ini dan akhirnya diadopsi oleh Taurat (atau Perjanjian Lama). Ada pula sebagian ahli yang menganggap bahwa nama Ibrahim berasal dari legenda yang berkembang dalam tradisi Hindia (agama Hindu) yang sudah beredar luas di wilayah sekitar Iran, India dan sekitarnya yang kemudian diadopsi oleh bangsa Ibrani dan mengubahnya menjadi sosok manusia yang bernama Ibrahim. Ini semua merupakan sisi lain tentang nabi Ibrahim yang menantang untuk diteliti dan diungkap demi mendapatkan penjelasan yang semaksimal mungkin dapat ditelusuri bukti-buktinya.
Dengan menggunakan beragam informasi dari disiplin ilmu sejarah-kebudayaan, arkeologi, geografi, studi teks kitab suci dan linguistik, Sayyid mengajak pembaca untuk secara runtut merekonstruksi perjalanan nabi Ibrahim berdasarkan kisah dan pernyataan tentangnya sebagaimana terdapat dalam Taurat (Perjanjian Lama), kitab-kitab Turast Islam, Al-Qur’an dan hadits. Fokus pertama yang mendapatkan perhatian dalam penelitian penulis adalah soal letak daerah Ur-Kasdim yang oleh Taurat dinyatakan sebagai titik awal perjalanan dan tanah air asli nabi Ibrahim. Sampai saat ini, para peneliti masih beranggapan bahwa Ur-Kasdim adalah sebuah kota yang terletak di sebelah selatan sungai Efrat dan termasuk kawasan selatan Irak kuno. Secara umum telah diasumsikan pula bahwa daerah Kanaan yang mula-mula menjadi tujuan perjalanan nabi Ibrahim adalah wilayah Palestina sekarang ini. Kalau demikian, negeri tujuan rombongan Ibrahim ini terletak di sebelah barat Ur-Kasdim dan hanya dipisahkan oleh jarak pedalaman Syam-Yordania. Persoalannya, kalau yang dituju itu adalah Kanaan yang letaknya di sebelah barat Ur-Kasdim, mengapa Ibrahim dan rombongannya harus menyimpang jauh ke arah utara menuju Haran yang termasuk wilayah perbatasan Armenia-Turki Kuno? Selanjutnya, kalau para ahli telah menetapkan bahwa tanah asal kelahiran nabi Ibrahim adalah Ur-Kasdim di selatan sungai Efrat, mengapa di beberapa tempat yang berbeda, teks-teks Taurat justru menunjuk nama-nama kota di wilayah utara sebagai tanah asal Ibrahim dan klannya? Misalnya, ketika mencarikan istri bagi Ishak, Ibrahim menyebut kota Nahor yakni Aram-Mesopotamia sebagai tanah leluhur (Kej 24), atau ketika Ishak memberi saran kepada Yakub untuk mengambil istri dari tanah leluhur di wilayah Padan-Aram (Kej 28:1,2,7,10). Kitab Taurat juga selalu menegaskan bahwa rumpun Ibrahim adalah rumpun Harani dan Ibrahim adalah sosok Arami, seorang pengembara.
Kota Ur-Kasdim yang terletak di sekitar Efrat dan diyakini oleh para ahli sampai saat ini sebagai tanah asal Ibrahim, berdasarkan informasi sejarah dan arkeologi ternyata baru berdiri 1000 tahun lebih setelah berakhirnya masa hidup Ibrahim, dan dikenal sebagai Negara Kaldan. Ini berarti bahwa tidak ada kecocokan waktu secara histories antara masa hidup Ibrahim dan keberadaan kota tersebut. Karena itu, berdasarkan isyarat-isyarat teks Taurat yang menyebut wilayah utara sebagai tanah leluhur Ibrahim, dengan memanfaatkan arkeologi bahasa, Sayyid Mahmud menyimpulkan bahwa kota Arpaksad di Armenia adalah kota yang dimaksudkan sebagai Ur-Kasdim. Simpulan ini didukung oleh penyebutan yang diberikan oleh penduduk Rafidin (Transoxania) Kuno terhadap warga di wilayah utara ini dengan istilah al-Kasiyin atau al-Kasi. Bentuk plural al-Kasi dalam bahasa Ibrani adalah al-Kasdim. Dengan demikian, nabi Ibrahim dinyatakan berasal dari wilayah Armenia.
Focus kedua dalam penelitian Sayyid Mahmud adalah menemukan kaitan antara nabi Ibrahim dan semenanjung Arab. Kitab Taurat tidak memberi informasi sedikitpun tentang hal ini. Taurat hanya mengatakan bahwa setelah keluar dari Mesir, Abram menuju ke tanah Negeb dari dari tanah Negeb ke tanah dekat Betel di mana mula-mula kemahnya berdiri. Para peneliti berusaha menafsirkan kata “Negeb” (ha-Najub) dalam bahasa asli Ibrani dengan arti an-Naqab, yaitu gurun Naqab di palestina Selatan. Dengan menggunakan pola konversi bahasa, kata ha-Najub bisa juga diartikan sebagai al-Janub yang berarti selatan. Arti inilah yang dipakai oleh terjemahan Taurat versi Arab. Dalam konteks nabi Ibrahim, yang dimaksud dengan selatan setelah ia keluar dari Mesir dan melewati kerajaan Geerar, yang menurut peta versi Taurat terletak di sisi Gaza, tidak lain dan tidak bukan adalah semenanjung Arab (hlm.86).
Sayyid Mahmud menafsir bahwa Taurat sengaja memutus hubungan antara Ibrahim dan semenanjung Arab dengan maksud untuk memproduksi wacana tentang keunggulan dan kemurnian darah Ibrani. Produksi wacana tentang “keibranian” ini kiranya berkaitan erat dan didukung oleh pengulang-ulangan pernyataan dalam Taurat bahwa Ishak adalah anak tunggal Ibrahim, yang dengan demikian sekaligus menghapus dan menafikan eksistensi Ismail dalam sejarah karena ia tidak berdarah Ibrani murni melainkan campuran dengan darah Mesir dan budak. Dalam nalar demikian ini, sangatlah mudah dipahami mengapa Taurat menyatakan bahwa yang dikorbankan oleh Ibrahim adalah Ishak, -anak tunggalnya-, dan bukan Ismail, -anak pertamanya-, meskipun hal itu menyalahi konvensi tentang pengorbanan anak pertama dalam adat Ibrani (hlm.94).
Pengolahan focus yang kedua ini terasa sangat menarik dan mengesankan ketika penulis mengemukakan data-data arkeologi tempat, sejarah kebudayaan, arkeologi bahasa, perkembangan pembagian peta dunia beserta deskripsi batas-batas wilayahnya yang mengantar seluruh kerja penelitian ini menuju kunci pembuka misteri sejarah sang Nabi. Penguraian mengenai kata-kata kunci baik itu berkaitan dengan nama tempat, nama komunitas, nama benda peninggalan sejarah, maupun nama orang, dan kaitan yang runtut antara kata-kata kunci itu menunjukkan sebuah studi yang mengesankan dan memberi informasi yang mengagumkan tentang relasi antara kehidupan nabi Ibrahim dan semenanjung Arab. Berdasarkan informasi sejarah dan arkeologi budaya, penulis menunjukkan bukti bahwa orang-orang Mesir pernah mendiami negeri Yaman. Hal ini didukung oleh berita dari surat kabar harian Mesir Al-Ahram yang menyatakan bahwa telah ditemukan sample-sampel mungil patung Spinx yang bertorehkan tulisan Hierogliph di sebuah pekuburan kampung di Bahrain Utara (hlm.127-128). Ini menjadi petunjuk kuat bahwa nabi Ibrahim pernah melakukan hijrah ke selatan menuju Yaman bersama-sama dengan penduduk Mesir pada waktu itu. Orang-orang Mesir yang hidup di Yaman ini pulalah yang ditunjuk sebagai para pembangun Ka’bah di Yaman dan setelah ka’bah itu hancur karena banjir bandang dan keruntuhan bendungan Ma’arib, komunitas Mesir di Yaman ini mengungsi ke utara dan membangun ka’bah lagi di Makah. Baitullah di Makah ini dijuluki al-“Atiq, yang oleh penulis cenderung diartikan sebagai al-qadim atau kuno, sebagai penegas dan pengingat (kenangan) akan baitullah kuno yang dulu dibangun di Yaman (hlm.150-151).
Kisah tentang kota Sodom dan Gomora yang ada dalam Taurat adalah petunjuk lain tentang masa hidup Ibrahim di semenanjung Arab. Dengan menggunakan informasi sejarah dan geografi, penulis menunjukkan bahwa kota Sodom dan Gomora (atau Amurah) yang dimaksudkan oleh Taurat adalah kota Tsamud dan Armao atau ‘Ad di Yaman (semenanjung Arab bagian selatan). Sementara itu, informasi sejarah tentang bencana alam yang pernah terjadi di wilayah itu, yakni letusan hebat gunung berapi, dapat dijadikan sebagai konteks yang melahirkan kisah tentang Sodom dan Gomora atau Tsamud dan ‘Ad (Amurah) tersebut.
Kalau demikian halnya, rute perjalanan nabi Ibrahim sebagaimana diyakini sampai sekarang dan sebagaimana tergambar dalam peta Kitab Suci Perjanjian Lama (Taurat) mendapatkan tantangan yang luar biasa untuk diteliti kembali atau untuk dikoreksi. Penemuan penulis buku ini menjadikan rute perjalanan nabi Ibrahim menjadi lebih runtut, realistis dan mudah dipahami oleh nalar. Peta tentang dunia kitab suci tentu saja mendapatkan tantangan yang sama.
Keprihatinan utama penulis dalam penelusuran kritis bagian kedua ini sebenarnya adalah menunjukkan dan mengungkap bahwa latar belakang “ke-Mesir-an” Ibrahim dengan seluruh kebudayaannya merupakan hal fundamental yang mempengaruhi seluruh sejarah kemudian, termasuk di dalamnya adalah sejarah Islam. Kalau dicermati dengan jelas keprihatinan penulis sebenarnya adalah mau membela “ke-Mesir-an” sebagai keunggulan kebudayaan yang pantas diperhitungkan, sekaligus sebagai ungkapan potes dan perlawanannya atas “Arabisasi” yang telah melanda sendi-sendi kehidupan Mesir masa sekarang ini. Meminjam istilah Ben Anderson, Sayyid Mahmud berusaha merebut dan mengisi ruang pemaknaan baru atas "ke-Mesir-an" sebagai "Imagined Community", atau merebut makna "Imagined Egypt" dari dominasi Arab.
Seluruh pemaparan Sayyid Mahmud yang merupakan temuan baru dari hasil penelitian panjang mengenai misteri kehidupan Ibrahim ini dengan demikian merupakan sebuah gugatan atas klaim dan keyakinan agama-agama tentang sang Nabi. Boleh dikatakan bahwa temuan baru ini juga menyodorkan cara berpikir lain atas wacana berbasis kenabian yang diproduksi oleh masing-masing agama dan kitab sucinya. Sebagai catatan akhir, judul buku versi terjemahan yang dirumuskan oleh redaksi ini memang memiliki kelemahan, yakni mengaburkan keprihatinan dasar yang sebenarnya dimaksudkan oleh penulis, dan bergeser kepada tema lain yakni relasi agama-agama. Keprihatinan dasarnya sekali lagi adalah mengungkap keluhuran kebudayaan Mesir yang telah “direndahkan” oleh gelombang Arabisasi dalam konteks hidup masyarakat Mesir kontemporer dan pendongkrakan keunggulan Ibrani dalam teks-teks kitab suci perjanjian lama.***
Judul buku : Nabi Ibrahim, Titik Temu - Titik Tengkar Agama-agama
Judul asli : Nabi Ibrahim, wa at-Tarikh al-Majhul
Penulis : Sayyid Mahmud al-Qimni
Penerbit : LKiS Jogjakarta 2004
Belajar dari Kasus Kutipan Paus Benedictus XVI
Indro Suprobo