Wednesday, October 11, 2006

Penantian Sumarni

Indro Suprobo “Aku sehat walafiat. Sementara ini aku berpindah-pindah dari persembunyian yang satu menuju persembunyian yang lain karena situasinya tidak terlalu aman. Jangan kawatir. Ada banyak orang yang membantu. Moga-moga, lebaran nanti, aku bisa pulang untukmu dan anak-anak tersayang” Surat teramat pendek dan ditulis tangan itu masih terawat bagus dan selalu disimpan oleh Sumarni. Setiap malam menjelang lebaran, ketika takbir dilantunkan beribu-ribu orang, Sumarni selalu membaca ulang surat dari suaminya itu. Entah sudah berapa ribu kali Sumarni membacanya. Surat itu diterimanya pada suatu hari menjelang lebaran lima tahun yang lalu. Lebaran kali ini, untuk kesekian kalinya, Sumarni membacanya lagi. Suaminya belum juga pulang ke rumah. Tangisnya sudah kering. Yang tersisa hanyalah kesedihan dan kerinduan teramat dalam. Tenggorokannya selalu terasa sangat sakit setiap kali ia membacanya. Sebenarnya, suaminya adalah orang biasa-biasa saja, bukan orang penting dan terkenal. Bukan orang yang punya pengaruh. Ia juga bukan orang kuliahan. Setelah tamat SMA ia pernah bekerja sebagai kernet angkutan, lalu diajak pamannya membantu sebagai kuli bangunan kalau ada permintaan orang untuk membangun rumah. Dari hasil membantu pamannya itulah ia mencoba menabung dan bisa membuat warung kecil di dekat sekolahan. Warung itu berukuran 2 x 3 meter dan terbuat dari papan. Kebetulan tanah yang ditempati itu milik pakdhe Jumingin yang menawarinya untuk dimanfaatkan. Dulu, di warung itulah Sumarni dan suaminya berjualan makanan dan minuman. Ada nasi bungkus, tempe kemul, tahu kemul, bakwan, pisang goreng, bakmi goreng, arem-arem, jenang, wajik, kue corobikan, martabak, ondhe-ondhe, teluk bayur, dan kerupuk. Semuanya titipan orang. Dari setiap makanan, Sumarni dan suaminya mendapatkan laba 50 rupiah. Untuk minumannya, mereka membuat sendiri. Modalnya adalah teh, gula dan minyak tanah untuk kompor. Labanya lumayan juga. Setiap hari rata-rata habis tiga sampai lima ceret teh. Pembelinya kebanyakan anak-anak sekolah dan orang-orang yang lewat menuju ke pasar karena sekolahan itu kebetulan terletak di pinggir jalan menuju ke pasar. Sekarang ini, Sumarni berjualan sendirian. “Mbok tidak usah berangkat mas, kita jualan saja seperti biasanya”, kata Sumarni mengingatkan suaminya yang mau pergi bergabung dengan orang-orang kuliahan di kota untuk berdemonstrasi menuntut perbaikan situasi ekonomi dan politik yang semakin tidak peduli kepada orang-orang kesrakat seperti dia. “Nggak papa, wong cuma dua hari. Besoknya lagi aku sudah ikut jualan seperti biasanya”, jawab suaminya meyakinkan. “Aku sebenarnya kawatir kalau nanti ada apa-apa di sana mas”, kata Sumarni cemas. “Temannya banyak kok, nggak usah kawatir. Besoknya juga sudah pulang”, tegas suaminya. Itulah percakapan terakhir antara Sumarni dan suaminya, lima tahun yang lalu. Dua hari setelah suaminya berangkat, di koran-koran dan berita televisi dikabarkan bahwa telah terjadi kerusuhan yang menelan banyak korban jiwa. Toko-toko dibakar. Jalanan ditutup. Orang-orang ditangkap, dipukuli. Ada yang ditendangi dan diinjak-injak. Ada yang diculik dan tidak diketahui lagi nasibnya. Sejak itu, suaminya tak pernah pulang. Informasinya tidak pernah jelas. Beberapa orang yang sekolah di kota mengatakan pernah bertemu suaminya dan sering ikut kumpul-kumpul dalam beberapa pertemuan. “Suami sampeyan itu sering ikut pertemuan dan diskusi teman-teman. Dia disukai teman-teman karena suka ngomong yang konkret soal kesulitan masyarakat kecil”, kata salah seorang pemuda sedesa yang kuliah di kota. Informasi terakhir yang tersimpan hanyalah surat yang dititipkan lewat salah seorang anak sekampung yang sekolah di kota itu. Surat itulah yang selalu dibacanya pada saat ia mengharapkan kehadiran suaminya, terutama pada saat menjelang lebaran. Sumarni sudah tidak tahu lagi harus melacak ke mana. Semua hasilnya nol. Tak ada yang tahu. Nasibnya tak jelas. Hanya surat dan warung tempat ia berjualan sehari-hari itulah kenangan terakhir dari suaminya. Malam ini, suara takbir mengalun di mana-mana. Di televisi, di radio, di jalan-jalan, di masjid dan mushola. Beribu-ribu orang melantunkannya. Banyak orang kelihatan berwajah gembira. Banyak keluarga mengalami bahagia karena berkumpul dan bertemu semua saudara. Sumarni duduk di pinggir ranjang sambil melipat mukena seusai sembahyang. Ia membetulkan letak rambutnya ke belakang lalu mengikatnya dengan kain. Terdengar ia menarik nafas panjang dan berat. Surat yang baru saja dibacanya sebelum sembahyang, diletakkannya di atas kasur. Dua anaknya tertidur pulas di tempat tidur. Yang barep sudah hampir delapan tahun umurnya, sementara yang kedua baru enam tahun. Sumarni memandangi wajah kedua anaknya secara seksama. Keduanya memang lebih mirip ayahnya. Hidung si barep agak mancung seperti ayahnya. Tetapi mata dan bibirnya lebih mirip dia. Telinganya mirip ayahnya. Sementara anak kedua, hidungnya mirip dia tetapi alis dan bibirnya lebih mirip ayahnya. Ketika memandangi kedua anaknya, Sumarni merasakan kehadiran suaminya yang sangat dekat. *** “Wah, besok kalau sudah besar lengannya kekar seperti aku”, kata suaminya sambil mengusap-usap lengan si barep yang lagi tidur. “Yang paling mirip itu bentuk dagunya lho mas. Semua orang, begitu melihat dagunya langsung mengatakan kalau dia mirip ayahnya”, jawab Sumarni. Sumarni lalu memegang dagu suaminya sambil berkomentar “Ini lho mas, ada semacam garis dan lekukan di sini, persis khan? Lihat itu”. “Nah kalau adik ini tangannya mirip banget ibunya, bentek-bentek”, tanggap suaminya mengomentari anaknya yang kedua. “Yah, bentek-bentek tidak apa-apa ya dik ya. Yang penting suka bekerja keras biar tidak menjadi orang yang manja dan bergantung pada orang lain”, sergah Sumarni. Keduanya lalu terdiam sambil mengusap-usap kepala anaknya lalu memijat lembut kaki anaknya. Suasana malam lebaran itu terasa tenang dan membahagiakan. Lantunan takbir terus menggema. “Marni, malam ini aku ingin meminta maafmu”, kata suaminya tiba-tiba memecah ketenangan mereka. Sumarni kaget dengan kata-kata itu. “Memangnya kenapa?”, tanya Sumarni serius “Aku meminta maafmu secara khusus malam ini, karena aku merasa bahwa sampai dengan hari ini, aku belum dapat memberimu kebahagiaan sebagaimana kamu pikirkan pada waktu-waktu lalu sebelum kita menikah”, jawab suaminya. Sumarni bangkit dari tidurnya lalu bergeser melewati kedua anaknya yang tertidur dan berbaring mendekati tubuh suaminya. “Kenapa berkata begitu mas? Aku merasa bahagia. Memang ada beberapa keinginan yang tak tercapai dan situasi tidak menentu yang kita hadapi. Tapi aku merasa cukup bahagia meskipun kita tetap harus terus berusaha memperbaiki situasi kita”, kata Sumarni sambil perlahan-lahan memeluk suaminya. “Kita memang sering kekurangan dan kadang-kadang harus berhutang untuk menutupi kebutuhan mendesak. Aku merasa belum terlalu bekerja keras sehingga situasi ini kita hadapi. Laba yang kita peroleh dari warung kita memang lumayan, tetapi kita masih harus mengusahakan yang lain supaya ada tambahan karena kalau mengandalkan warung saja tentu tidak cukup. Mungkin kalau aku bekerja lebih keras, kamu tidak perlu mengalami situasi yang seperti ini. Aku meminta maafmu sungguh-sungguh”, kata suaminya, sementara matanya kelihatan menerawang ke langit-langit. “Mas, kamu sudah berusaha bekerja keras. Aku melihat sudah ada banyak perubahan dalam dirimu dan aku merasa bersyukur. Aku merasa bahagia bahwa kamu sudah berusaha membuat perubahan untuk situasi hidup kita meskipun mungkin masih bisa lebih keras lagi. Aku juga akan mencoba mencari tambahan usaha yang lain untuk mencukupi kebutuhan kita”, jawab Sumarni meyakinkan. “Aku merasa kamu orang yang bertanggung jawab dan mau berusaha mengatasi kesulitan-kesulitanmu sendiri untuk kebaikan kita”, lanjutnya. Keduanya lalu berpelukan dan menarik nafas panjang. Lantunan takbir terdengar lagi. *** Sumarni merasakan kakinya kesemutan, lalu meluruskannya sambil berbaring di samping kedua anaknya yang pulas. Surat dari suaminya dipegangnya dan dibacanya sekali lagi. Percakapan malam lebaran yang terakhir kali itu teringat kembali dan terasa sangat nyata baginya. Lelah. Dan akhirnya tertidur. Matanya terpejam dalam penantian dan pengharapan yang panjang. Esok paginya, lebaran berlalu seperti biasanya. “Aku telah memaafkanmu sebelum kau memintanya, dan kini aku merindukan kebesaran hati untuk menerima semua misteri yang belum kupahami ini. Aku tak tahu apakah masih mungkin mengharapkanmu pulang”, bisiknya dalam hati sambil menyusuri jalan pinggiran sawah yang luas bersama kedua anaknya selesai shalat Id di lapangan desa.*** (Sleman, 3 Desember 2002. Dipersembahkan kepada semua orang yang hilang di negeri ini, dan tak pernah ditemukan kembali)

Rekonsiliasi Kultural Agama-agama, Sebuah Pengalaman Lokal

Indro Suprobo

Dari Pengakuan-pengakuan Kecil 

 Suasana maghrib di rumah doa semua agama yang terletak di pinggir kali dan diteduhi oleh rimbunan bambu di kompleks Balai Budaya Sinduharjo Jogjakarta, menjadi begitu wening dan khusuk oleh wewangian dupa dan lantunan kidung-kidung Hindu yang didaraskan oleh anak-anak muda berbagai agama. Agnihotra, itulah nama sebuah upacara doa Hindu yang dilakukan oleh anak-anak muda itu untuk mengawali week-end bongkar prasangka pada tanggal 6-7 Maret 2002. Semua yang hadir, baik yang beragama Islam, Katolik, Hindu, Budha, Kristen maupun Sapta Dharma, menyatukan hati memaknai pergantian hari dalam lantunan doa-doa pujian Hindu, menyembah Sang Hyang Widhi dan mengenang para suci. 

 Dalam week-end sederhana itu, 30-an orang muda berbagi pengalaman kecil namun nyata berkaitan dengan relasi antaragama. Menceritakan pengalaman pribadi, mencermati kisah orang lain, dan mengakui realita sederhana di antara mereka, menjadi aktivitas utama membongkar prasangka. Yuli, seorang anak SMA kelas tiga yang menganut kerohanian Sapta Dharma mengungkapkan kisah lucu namun menggelitik kesadaran keberagamaan. 

“Saya sekolah di SMA kelas tiga. Pada saat pelajaran PPM (dulu bernama PMP), guru menerangkan soal keyakinan. Karena bicara soal keyakinan, guru saya memberikan contoh keyakinan Sapta Dharma. Saya merasa pemahaman dia tentang Sapta Dharma tidak sama dengan yang saya hayati. Keterangan yang dia berikan di kelas itu menyinggung perasaan saya dan saya merasa dianaktirikan. Oleh karena itu saya mengajukan pandangan saya tentang Sapta Dharma yang berbeda dengan pandangan guru saya itu. Dia lalu bertanya soal agama saya. Saya menjawab bahwa saya tidak beragama melainkan menganut kerohanian Sapta Dharma. Sejak itu dia bersikap lain terhadap saya dan sebagai hadiahnya, saya mendapatkan nilai 6 untuk pelajaran PPM. Sementara untuk pelajaran agama yang formal diajarkan di sana, saya mendapatkan nilai 9” 

Perlakuan serupa dialami oleh Preh, seorang mahasiswi perguruan tinggi swasta di Jogjakarta, yang juga penganut Sapta Dharma. “Saya mendapatkan kuliah agama di kampus saya. Banyak agama dikenalkan dan masing-masing penganut agama di kelas diwajibkan untuk mempresentasikan hal-hal berkaitan dengan agama masing-masing. Ketika mempresentasikan aliran kepercayaan yang saya anut, saya merasa direndahkan oleh dosen. Dosen mengatakan bahwa kepercayaan adalah jiplakan dari agama” 

 Pengakuan Yuli dan Preh ini menunjukkan bagaimana ia mendapatkan perlakuan berbeda karena ia tidak beragama, melainkan menganut suatu kerohanian. Perlakuan yang dirasakannya sebagai “menganaktirikan” dan “merendahkan” itu dialaminya dalam bangku pendidikan dan terjadi di ruang kelas. Perlakuan yang dialami oleh Yuli dan Preh itu dilakukan oleh guru atau dosen yang berbeda agamanya. 

Lain lagi pengakuan yang diutarakan oleh Wayan, seorang mahasiswa Hindu Bali. Ia mengungkapkan bahwa dalam agamanya sendiri, ia mengalami perlakuan “disingkirkan” oleh teman-teman seagamanya sendiri. “Pergaulan itu ada di mana-mana, tidak hanya ada di Ashram Gandhi (asrama untuk mahasiswa Hindu). Di komunitas Hindu, ada orang yang menyingkirkan teman sesama Hindu yang suka bergaul dengan agama lain. Ini saya alami sendiri. Bahkan upacara doa Agnihotra yang kita lakukan di sini, sangatlah sulit untuk bisa dilakukan di dalam kuil Hindu karena dianggap tidak lazim. Saya merasa sangat dihargai karena lagu-lagu pujian Hindu dinyanyikan di sini. Bahkan lagu Sarwa Dharma dinyanyikan secara lebih bagus oleh teman-teman Duta Voice yang beragama kristen. Saya menghargai mereka. Ini jujur dan tidak dibuat-buat” 

Pengalaman yang menarik dialami juga oleh Ryo, seorang pemimpin koor mudika. Pengalaman ini terjadi dalam suatu latihan koor untuk persiapan acara pra-paskah yang bernuansa pertobatan. “Dalam sebuah latihan koor mudika, saya membacakan terjemahan syair pertobatan Abunawas dalam bahasa Indonesia. Syair itu dirasa cocok dengan tema pertobatan masa pra-paskah dan teman-teman mudika merasa tertarik dengan syair itu. Mereka lalu bertanya,”Syair itu berasal dari Santo siapa?” Kepada teman-teman mudika saya mengatakan bahwa syair itu berasal dari seorang Santo di daerah Timur Tengah. Santo itu orang Arab dan bernama Abunawas. Anehnya, ketika saya menyanyikan syair itu dalam bahasa aslinya, yakni bahasa Arab (Ilahiy lastu lil firdausi ahlan...), sebagian besar teman mudika itu lalu berubah perangai wajahnya. Apakah ada yang salah dari syair ini? Mereka belum siap menerima syair ini. Ternyata, bahasa yang berbeda mempengaruhi orang dalam memberikan sikap meskipun kandungan isinya sama.” 

 Pengakuan-pengakuan kecil ini bukanlah sekedar peristiwa-peristiwa yang terserak tanpa kaitan satu sama lain, melainkan merupakan ekspresi-ekspresi yang konsekuens dari arus besar kesadaran beragama masyarakat Indonesia pada umumnya. Kesadaran beragama manakah yang mengakibatkan timbulnya pengakuan-pengakuan semacam itu? 

Mencermati Kesadaran Beragama dalam Masyarakat 

 Jika ditelusuri lebih jauh, pengakuan Yuli dan Preh menunjukkan bagaimana perlakuan diskriminatif dialami oleh agama-agama atau keyakinan lokal sebagai akibat dari dominasi negara terhadap kehidupan beragama. Negara yang telah menentukan definisi agama di Indonesia, membatasi hanya ada 5 agama yang secara formal diakui yakni Islam, Hindu, Budha, Kristen dan Katolik. Agama-agama yang lain yang mungkin sudah hidup dan berkembang dalam religiusitas lokal tidak diakui sebagai agama melainkan sebagai aliran kepercayaan. Perlakuan diskriminatif yang dialami oleh Yuli dan Preh dilakukan oleh mereka yang kesadaran beragamanya dibentuk oleh dominasi negara ini. Sikap terhadap Yuli dan Preh ini dilakukan oleh mereka yang mengamini definisi agama sebagaimana diformulasikan oleh negara yang di dalamnya dirumuskan kriteria-kriteria formal seperti kitab suci dan nabi. Itulah kesadaran beragama yang pertama, terserah mau disebut apa. 

 Pengakuan yang diungkapkan oleh Wayan dan Ryo menunjukkan fenomena kesadaran beragama yang dibentuk oleh dominasi elit agama atas umatnya. Dominasi elit agama ini berkaitan dengan penafsiran atas ajaran dan praksis keagamaan dalam kelompok agama sendiri maupun berkaitan dengan penafsiran atas ajaran dan praksis keagamaan kelompok agama lain.

 Kedua bentuk dominasi ini, baik yang dilakukan oleh negara atas agama maupun yang dilakukan oleh elit agama atas umatnya, pada gilirannya menumbuhkan relasi ketergantungan dalam kehidupan beragama. Sikap masyarakat terhadap ekspresi religiusitas di sekitarnya lalu berada dalam ketergantungan ini dan dengan demikian tidak mandiri. Dominasi negara atas agama selanjutnya melahirkan istilah sinkretisme dan dikenakan kepada masyarakat yang secara formal memeluk agama tertentu namun sekaligus melaksanakan praksis-praksis agama lokal yang telah lebih dahulu dianutnya. Istilah sinkretisme inipun sebenarnya menjadi ekspresi dominasi negara atas agama yang berfungsi sebagai rambu-rambu penjaga “kemurnian” identitas keagamaan sekaligus sebagai hukuman terhadap alternatif religiositas yang dikategorikan “menyimpang”. Akibatnya, masyarakat beragama yang berada dalam ketergantungan terhadap negara ini pun mengekspresikan sikap mereka terhadap “alternatif religiositas” di sekitarnya dengan sikap “anti”, “menjauhi”, “menganggap lebih rendah”, “menilai tidak murni”. Lebih hebat lagi, alternatif religiositas yang dipilih oleh sebagian masyarakat di banyak lokalitas itu dianggap oleh masyarakat beragama sebagai “tidak memiliki kesucian” atau “tidak membawa kepada keilahian” sehingga tidak mungkin menjadi jalan untuk menyucikan kehidupan dan mengangkat hidup kepada keilahian. Sikap yang diekspresikan oleh guru dan dosen beragama terhadap Yuli dan Preh dapatlah dikatakan sebagai sikap superior agama-agama formal atas agama lain yang dikategorikan sebagai kepercayaan.

 Dominasi elit agama atas umat beragama membawa bentuk ketergantungan yang lain. Kehidupan beragama masyarakat lalu ditentukan oleh cara berpikir, pandangan dan sikap elit agamanya. Cara berpikir umat beragama terhadap agamanya dan terhadap agama lain juga dipengaruhi oleh cara berpikir elit agamanya. Oleh karena itu, sebagian besar umat beragama “kurang berani” berbeda sikap dan cara pandang terhadap agama sendiri maupun agama lain karena tergantung kepada elit. Sikap ketergantungan ini sangat berpengaruh pada bagaimana masyarakat beragama itu menyelesaikan konflik dan memaknai perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam kehidupan beragama. Pengakuan Wayan dan pengalaman Ryo menjadi contoh konkret. 

Menjalankan Alternatif Religiositas

Analisis yang dikemukakan di atas tentu saja hanyalah salah satu analisis dari sekian ragam analisis terhadap kehidupan beragama masyarakat Indonesia. Oleh sekelompok anak muda di Jogjakarta, analisis ini dijadikan dasar untuk menentukan pilihan sikap dan tindakan berkaitan dengan kehidupan beragama. Formulasi yang dikemukakan adalah beragama secara dewasa, melepaskan ketergantungan terhadap segala bentuk otoritas dan menceburkan diri dalam eksplorasi religiositas yang mandiri dengan prinsip saling menemani. Formulasi ini secara konkret dijalankan melalui sebuah komunitas yang berdasarkan pengalaman kesejarahannya, secara sadar memilih untuk menghindari bentuk kemapanan organisasi dengan segala hierarkinya. Formulasi ini juga dijalankan melalui sebuah komunitas yang secara sadar menghindari batas-batas keanggotaan dan menghindari senioritas-yunioritas. Akibatnya komunitas ini menjadi sangat terbuka, siapapun boleh bergabung dan meninggalkan komunitas sesuai dengan kemantaban pertanggungjawaban pilihan pribadinya. Masing-masing pengalaman dan kesejarahan religiositas diberi ruang yang sama dan menjalankan prinsip saling menemani.

 Dalam menjalankan alternatif religiositas, komunitas ini mengambil pilihan metodis membongkar prasangka yang diwujudkan dalam tiga kelompok aktivitas yakni silaturahmi dan week-end, ekplorasi musik spiritual, dan belajar bersama. Semua bentuk aktivitas ini dipikirkan, dibicarakan dan dijalankan bersama-sama tanpa ada otoritas superior yang mengawalnya. Satu-satunya pengawal adalah kejujuran, ketulusan dan keyakinan kepada kebaikan-kebaikan yang mungkin dicapai. 

Silaturahmi dan Week-end

Yang dilakukan dalam silaturahmi ini bukanlah sekedar berkunjung dan bercakap-cakap, melainkan berdialog melalui pengalaman. Semua anggota komunitas belajar mengalami “yang berbeda” dan “yang lain” yang selama ini dianggap tidak boleh dialami. Silaturahmi ini barangkali boleh disebut sebagai passing over, menyelami yang lain dan yang berbeda. Contoh konkretnya, semua anggota komunitas belajar mengalami doa agnihotra yang bertradisi Hindu, atau belajar mengalami perayaan ekaristi (misa) di gereja katolik, atau belajar mengalami ritus-ritus Sapta Dharma maupun tradisi meditasi Budha. Dalam week-end, seluruh pengalaman silaturahmi ini beserta dengan segala reaksi pribadi yang terjadi, direfleksikan, diceritakan dan dibicarakan bersama dalam suasana pertemanan yang jujur dan terbuka.

Eksplorasi Musik Spiritual

Eksplorasi musik spiritual adalah kesenian yang dipilih sebagai media lain untuk berdialog, menyelami tradisi-tradisi seni religius yang berbeda-beda dan menghantar setiap pribadi kepada pengalaman religius yang kaya. Eksplorasi musik spiritual ini berisi permainan musik berbagai tradisi religius yang ada di masyarakat baik yang dikategorikan sebagai agama maupun bukan agama (oleh negara), kidung dan syair-syair religius, narasi-narasi religius maupun seni gerak yang mengekspresikan pengalaman religiositas. Semua anggota komunitas menjalankan kesenian ini sebagai media untuk mengekspresikan dan menyelami beragam pengalaman religius yang ada.

Belajar Bersama

Belajar bersama merupakan aktivitas kajian dan dialog lintas disipliner sebagai upaya mengembangkan wacana agama dan membantu masing-masing pribadi memberikan pertanggungjawaban atas pilihan alternatif religiositasnya kepada masyarakat. 

Rekonsiliasi Kultural yang Tak Terduga

Setelah kurang lebih selama dua tahun menjalani alternatif religiositas, komunitas ini menemukan pengalaman-pengalaman rekonsiliatif baru yang tak pernah dipikirkan sebelumnya. Sebagian besar orang yang terlibat di dalamnya mengalami perubahan sikap dalam berelasi dengan agama lain. Sikap-sikap curiga, khawatir atau takut dan kaku yang pada awalnya terjadi, telah berubah menjadi sikap santai dan serba percaya diri. Pertanyaan dan perbincangan mengenai perbedaan-perbedaan yang umumnya dianggap tabu untuk dibicarakan karena dikhawatirkan bisa menyinggung keyakinan agama, justru menjadi pertanyaan dan perbincangan yang dominan dan semuanya itu dilakukan dalam kesantaian pertemanan yang serba terbuka. Orang-orang muda dari berbagai agama ini sekarang menjadi lebih akrab dengan berbagai ritual agama yang sebelumnya dianggap sebagai “perbuatan yang harus dihindari”. Boleh diungkapkan di sini bahwa mereka yang pada masa SMA pernah sangat antusias melemparkan bom molotof di gereja Kotabaru, sekarang menjadi sangat antusias untuk mengikuti ibadat Minggu Palma, Trihari Suci Paskah dan Natal meskipun sehari-harinya mereka tetap menjalankan sholat lima waktu. Mereka yang selama masa kecilnya mengalami pengalaman buruk dengan semua yang berbau Islam dan menganggap Islam sebagai musuh yang senantiasa menolak kehadiran mereka, sekarang dengan penuh ketulusan bisa membagikan pengalaman bahwa sholat maghrib setiap hari merupakan meditasi yang nikmat dan membawa kebeningan batin meskipun misa di gereja setiap Minggu tetap menjadi ungkapan kekristenannya. Atau seorang pemuda yang selama sekian tahun sangat wasis sebagai takmir masjid, tidak lagi merasa canggung untuk melantunkan kidung pujian Hindu dalam upacara ritual di gereja. Ada pula seorang mahasiswa teologi kristen yang dengan gembira sempat memilih untuk berjilbab dalam hidup hariannya karena menurutnya, berjilbab adalah sebuah jalan kesederhanaan yang menuntut konsekuensi dalam banyak hal. Ada pula seorang teman Hindu yang telah dinyatakan lulus karena mampu melaksanakan “sujud” dalam ritual Sapta Dharma secara tulus. Sudilah pula kiranya diterima dalam kebesaran hati, jika seorang pria kristen telah menikahi perempuan muslim dalam sebuah upacara suci yang dipimpin seorang kyai, dan selanjutnya memilih upacara ritual Hindu untuk memaknai sebuah tradisi mitoni, mendoakan sang calon bayi. 

 Orang-orang muda dalam komunitas ini tidak lagi merasa canggung atau khawatir atau bahkan takut disebut sinkretis karena berbagai macam ritual agama yang telah biasa dialaminya ternyata merupakan ekspresi-ekspresi kultural yang tetap mampu membantunya memasuki pengalaman religius dan memasuki ketundukan di hadapan Sang Maha Besar yang satu dan sama. Ternyata, tak ada satupun pengalaman religius yang hilang ketika ia memasuki tradisi-tradisi yang berbeda-beda itu. Bagi orang-orang muda ini, stigma sinkretisme dipahami sebagai ungkapan kepentingan kekuasaan yang mengalami ketakutan akan kehilangan kewibawaan dan loyalitas. Ketika substansi agama telah dicoba untuk diselami dan dialami dalam kerendahan hati, formalisme agama tidak lagi ditempatkan sebagai hal yang utama meskipun tetap diakui sebagai hal yang berharga. Tak mengherankan ketika ditanya “Anda beragama apa?”, mereka justru akan celingukan untuk menjawab sambil tertawa, “Semacam beragama”.

 Empati dan rasa solidaritas terhadap orang lain yang mengalami diskriminasi akibat agama yang dianutnya, ternyata tumbuh lebih besar dan nyata. Mereka yang mengalami diskriminasi dalam menjalankan keyakinan agamanya, diberi ruang untuk mengungkapkan pengalaman diskriminatif itu, diperhatikan, diterima, ditemani dan dibantu untuk menghadapi pengalaman itu. Empati dan solidaritas ini tumbuh justru ketika sikap kritis terhadap agama, termasuk agamanya sendiri, mengemuka sebagai kesadaran bersama. Dengan tulus hati mereka mengakui bahwa agama tidak sepenuhnya suci karena selalu pernah terlibat dalam hal-hal yang tidak manusiawi, dan dalam sejarah selalu pernah menumpahkan darah. 

Pengakuan akhir

Seluruh perjalanan dan rekonsiliasi kultural yang terjadi ini, sesungguhnya tak pernah menjadi rencana. Semuanya berjalan begitu saja, bertemu tanpa dipaksa, bersama belajar tanpa merasa dikejar-kejar, menemukan lalu dibagikan, menjadikannya sebagai kebiasaan, didiskusikan sambil menemukan pertanggungjawaban, diyakini dalam kerendahan hati dan dijalankan dengan penuh harapan. Tak ada pastor dan tak ada kyai, tak ada pendeta maupun bikhu dan bikhuni. Semuanya dipikirkan dan dijalankan sendiri tanpa dominasi dan otoritas yang mengawasi. Seluruh pertanyaan dan kegelisahan budi, diolah dan ditekuni dalam saling menemani.

(Tulisan ini pernah disampaikan dalam Seminar Nasional Pribumisasi Islam : Negara, Agama dan Kebudayaan Menuju Desentralisasi dan Rekonsiliasi, Hotel Indonesia Jakarta, 24 Mei 2002, yang diselenggarakan oleh Desantara Jakarta)

Tuesday, October 10, 2006

Sinetron dan "Image Alternatf" bagi Perempuan

Indro Suprobo Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, kehadiran televisi sudah seperti sebuah keharusan yang tak bisa ditolak lagi. Salah satu tayangan yang menarik minat begitu banyak permirsa adalah sinetron. Serial film televisi yang berdurasi pendek namun sambung-menyambung ini selalu saja dinantikan kehadirannya oleh pemirsa, terutama oleh kaum perempuan yang sehari-harinya sangat akrab dengan pekerjaan domestik kerumahtanggaan. Sinetron dapat ditonton sambil melakukan pekerjaan rumah tangga seperti seterika, memasak, mencuci, dsb. Menjadi lebih menarik lagi apabila sinetron ini ditonton secara beramai-ramai sambil sesekali berkomentar atas tokoh-tokoh yang dihadirkan. Begitu pentingnya kehadiran televisi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia itu sampai-sampai sebuah keluarga muda yang hendak mencari pekerja rumah tangga mengalami kesulitan luar biasa karena di rumahnya tak ada televisi. Tak seorangpun yang mau menjadi pekerja rumah tangga dalam keluarga itu karena keluarga itu tak memiliki televisi. Barangkali, pernyataan Karl Marx yang terkenal bahwa agama telah menjadi candu, sekarang ini bisa diperluas dengan pernyataan bahwa televisi telah menjadi candu. Namun benarkah televisi telah menjadi candu? Untuk sebagian orang barangkali benar, namun untuk sebagaian orang lagi barangkali juga tidak benar. Untuk sebagaian orang yang telah menjadikan televisi sebagai candu, pantaslah diperhitungkan peringatan Sunardian Wirodono yang menulis buku “Matikan TV-Mu! Teror Media Televisi di Indonesia, yang diterbitkan oleh Resistbook pada tahun 2005. Buku yang sangat laris itu memaparkan dampak-dampak buruk dari media televisi yang tayangannya ditelan mentah-mentah sebagai barang konsumsi yang nikmat. Memang, sebagai sebuah media, televisi bisa menjadi alat bagi kekuasaan untuk mengontrol masyarakat dari beragam aspek baik itu ekonomi, politik, kebudayaan, hukum, sampai pada selera terhadap jenis makanan tertentu. Televisi sebagai alat kekuasaan bisa menjadi media untuk mengatur cara berpikir tentang banyak hal yang tentu saja sesuai dengan keinginan cara berpikir kekuasaan. Pada masa orde baru ada tayangan yang dimaksudkan untuk menciptakan cara berpikir masyarakat mengenai bagaimana menjadi warga Negara yang ideal dan bagaimana sebuah keluarga merupakan unit paling kecil bagi pembentukan individu warga Negara yang ideal ini. Idealisme tentang warga Negara itu tentu saja sesuai dengan yang diinginkan oleh orde baru di mana suami dan ayah adalah seorang kepala keluarga dan isteri adalah pendamping suami dengan segala konstruksi relasi laki-laki dan perempuan yang patriarkhal. Dalam sinetron-sinetron yang ditayangkan oleh televisi Indonesia, perempuan cenderung digambarkan sebagai seorang yang lemah, tidak mandiri atau tergantung kepada suami atau keluarga besar, rentan terhadap tindakan kekerasan dan pelecehan, emosional, dan pasif. Sementara figure perempuan yang sebaliknya, yakni yang mandiri, bisa mengambil pilihan atas hidupnya, memiliki aktualisasi diri di luar urusan domestik, cenderung ditempatkan sebagai perempuan yang tidak ideal. Itulah imaginasi yang diproduksi oleh sinetron berkaitan dengan perempuan Indonesia. Namun demikian apakah semua perempuan Indonesia yang menikmati dan menggandrungi tayangan sinetron ini menangkap begitu saja pesan yang diproduksi oleh sinetron sebagai sebuah idealisasi bagi dirinya? Hasil penelitian Pam Nilam atas perempuan di Bali yang menonton sinetron, menunjukkan hal lain. Para perempuan Bali yang diteliti oleh Pam Nilam itu memang merupakan kaum perempuan yang sangat gandrung kepada sinetron dan selalu setia menantikan kehadiran sinetron itu dalam hidupnya setiap hari. Tak ada waktu yang dikorbankan untuk tidak menonton sinetron yang dinantikan. Namun ketertarikan mereka terhadap sinetron ini bukan karena mereka menyetujui pesan tentang figure perempuan sebagaimana diproduksi oleh sinetron, melaikan karena mereka melihat bahwa penggambaran tentang perempuan oleh sinetron itu sangat sesuai dengan situasi real hidup sehari-hari kaum perempuan di Bali dan menjadi media representasi keprihatinan mereka atas situasi itu. Konteks social dan budaya masyarakat Bali telah menempatkan perempuan dalam situasi yang tidak mengenakkan bagi perempuan sendiri. Dengan demikian, sinetron sangat digemari karena ia menjadi wadah bagi pengungkapan keprihatinan konkret kaum perempuan Bali atas situasi hidup mereka setiap hari. Lebih jauh lagi, figure perempuan yang tidak berorientasi kepada segala macam urusan domestik dan ditempatkan oleh sinetron sebagai figure perempuan yang buruk, justru dipilih oleh kaum perempuan penonton sinetron di Bali sebagai figure alternative yang mungkin untuk diusahakan oleh mereka sebagai perlawanan terhadap situasi hidup sehari-hari. Dengan demikian, dalam kasus ini, pesan yang diproduksi oleh sinetron itu justru dimaknai secara berbeda oleh kaum perempuan Bali. Pesan itu dibengkokkan, bahkan dipatahkan dengan makna yang baru oleh kaum perempuan Bali. Meminjam istilah Stuart Hall, kaum perempuan Bali penonton sinetron televisi Indonesia itu telah melakukan suatu oppositional reading atas pesan yang diproduksi oleh sinetron. Kemampuan untuk melakukan oppositional reading yang dimiliki oleh kaum perempuan Bali ini telah melahirkan suatu “image alternative” bagi idealisasi perempuan di Bali. Image alternative itu merupakan imaginasi perlawanan terhadap imaginasi dominan yang berlaku dalam konteks sosial kultural setempat. Tak mengherankan apabila tayangan sinetron ini juga mendapatkan kritik keras dari kaum laki-laki karena di luar kontrol produser sinetron, tayangan itu justru menumbuhkan sikap kritis dan alternative kaum perempuan atas kehidupan mereka sehari-hari. Tentu saja ini merupakan kritik perempuan atas relasi patriarkhis yang berlaku dalam konteks setempat dan mengguncang wibawa patriarkhis kaum lelakinya. Dalam kasus sebagaimana dipaparkan oleh Pam Nilam sebagai hasil penelitiannya ini, televisi tidak dapat disebut sebagai candu bagi kaum perempuan di Bali yang sehari-harinya sangat gandrung kepada tayangan sinetron. Tentu saja, latar belakang social, kebudayaan, pendidikan dan sebagainya merupakan faktor yang mempengaruhi bagaimana pemirsa televisi menyikapi pesan yang diproduksi oleh media. Kaum perempuan di Bali mampu melakukan perlawanan makna atas pesan yang diproduksi oleh media. Kalau demikian, peringatan Sunardian Wirodono yang berbunyi “Matikan TV-mu” juga telah dimaknai secara berbeda oleh sebagian kaum perempuan penonton sinetron di Bali. Mereka telah mematikan pesan yang diproduksi oleh sinetron, dan menghidupkan pesan yang lain yang mereka produksi sendiri.*** Sumber: Pam Nilam, Gendered Dreams: Women Watching Sinetron (Soap Operas) On Indonesian TV, Indonesia and the Malay World, Vol.29, No.84, 2001

Friday, October 06, 2006

Menggugat Klaim atas Sang Nabi




(Resensi Buku)


Indro Suprobo

Sampai saat ini, nabi Ibrahim adalah tokoh yang dianggap penting bagi tiga agama besar di dunia yakni Yahudi, Kristen dan Islam. Ketiga agama ini meyakini bahwa nabi Ibrahim adalah figur peletak dasar ketuhanan dan kesetaraan relasi social yang berkeadilan sekaligus sebagai figur kekasih Tuhan yang menegakkan ajaran Tuhan di muka bumi. Masing-masing agama tersebut juga memiliki klaim khusus atas Sang Nabi. Agama Yahudi menganggap bahwa nabi Ibrahim adalah moyang seluruh bangsa Ibrani, bahwa generasi berikutnya berasal dari tulang rusuknya, bahwa atas kejujuran Ibrahim kepada Allah, mereka diberi tanah khusus yang tidak dimiliki sebelumnya namun di sana mereka hanyalah pendatang, dan bahwa saksi atas peristiwa tersebut adalah tanda khitan (sunat) yang diikat dalam bentuk akad (perjanjian) sehingga tanda fisik tersebut menjadi kebanggaan bagi setiap orang Yahudi, dan mereka menganggapnya sebagai tanda kemuliaan yang membedakan di antara semua orang di dunia.
Agama Kristen menempatkan nabi Ibrahim (atau Abraham) sebagai moyang Yesus Kristus sebagaimana dikemukakan melalui silsilah Yesus dalam Injil Matius. Dalam konteks ini, nabi Ibrahim ditempatkan sebagai bapa seluruh umat beriman (Kristen). Oleh karenanya, agama Kristen membenarkan dan menerima riwayat Taurat seputar keluarnya nabi Ibrahim dari Ur-Kasdim menuju tanah Palestina (Kanaan) sebagaimana tersimpan dalam Kitab Kejadian yang termasuk dalam kitab-kitab Perjanjian Lama dan menjadi referensi bagi penulis Kisah Para Rasul :”Allah Yang Mahamulia telah menampakkan diri-Nya kepada bapa leluhur kita Abraham, ketika ia masih di Mesopotamia, sebelum ia menetap di Haran, dan berfirman kepadanya : Keluarlah dari negerimu dan dari sanak saudaramu, dan pergilah ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu. Maka keluarlah ia dari negeri orang-orang Kasdim, lalu menetap di Haran. Dan setelah ayahnya meninggal, Allah menyuruh ia pindah dari situ ke tanah ini, tempat kamu diam sekarang” (Kis 7:2-4).
Bagi umat Islam, Ibrahim adalah kekasih Allah (khalilullah), yang daripadanya lahir anak cucu yang membawa benih kenabian (nubuwwah). Secara khusus, umat Islam juga menegaskan bahwa nabi Ibrahim adalah founding father agama Islam (millah al-Islam) sebagaimana tersurat : “Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik” (QS. Ali’Imran [3]:67).
Persoalannya mengemuka ketika Taurat (atau Perjanjian Lama) sama sekali tidak menyediakan kisah tentang hubungan antara nabi Ibrahim dan wilayah Arab (Hijaz), sementara Al Qur’an al-Karim mengemukakan hubungan harmonis, prinsipiil, dan fundamental antara sang Nabi dan Semenanjung Arab serta agama Islam. Selain itu, ada beragam narasi tentang nabi Ibrahim yang terdapat dalam Al-Qur’an namun tidak ternyatakan dalam Taurat, atau sebaliknya. Hal ini mendorong Sayyid Mahmud, penulis buku ini, untuk menelitinya secara lebih jeli.
Meskipun ketiga agama besar telah mengklaim dirinya memiliki hubungan yang khusus dengan nabi Ibrahim, masih terdapat juga keraguan di antara para ahli berkaitan dengan keberadaan historis sang nabi. Sebagian kalangan peneliti bahkan menyatakan bahwa Ibrahim hanyalah seorang tokoh legendaris (mitos) yang tidak memiliki dasar relasional dengan ilmu sejarah. Sebagian sejarawan juga menilai bahwa kisah-kisah tentang Ibrahim merupakan bagian dari kisah-kisah khurafat yang tidak nyata, atau sekedar kisah yang berkaitan dengan nama-nama dewa dalam tradisi sesembahan kuno yang legendanya sudah beredar luas di negeri Kanaan sebelum bangsa Ibrani datang ke wilayah ini dan akhirnya diadopsi oleh Taurat (atau Perjanjian Lama). Ada pula sebagian ahli yang menganggap bahwa nama Ibrahim berasal dari legenda yang berkembang dalam tradisi Hindia (agama Hindu) yang sudah beredar luas di wilayah sekitar Iran, India dan sekitarnya yang kemudian diadopsi oleh bangsa Ibrani dan mengubahnya menjadi sosok manusia yang bernama Ibrahim. Ini semua merupakan sisi lain tentang nabi Ibrahim yang menantang untuk diteliti dan diungkap demi mendapatkan penjelasan yang semaksimal mungkin dapat ditelusuri bukti-buktinya.
Dengan menggunakan beragam informasi dari disiplin ilmu sejarah-kebudayaan, arkeologi, geografi, studi teks kitab suci dan linguistik, Sayyid mengajak pembaca untuk secara runtut merekonstruksi perjalanan nabi Ibrahim berdasarkan kisah dan pernyataan tentangnya sebagaimana terdapat dalam Taurat (Perjanjian Lama), kitab-kitab Turast Islam, Al-Qur’an dan hadits. Fokus pertama yang mendapatkan perhatian dalam penelitian penulis adalah soal letak daerah Ur-Kasdim yang oleh Taurat dinyatakan sebagai titik awal perjalanan dan tanah air asli nabi Ibrahim. Sampai saat ini, para peneliti masih beranggapan bahwa Ur-Kasdim adalah sebuah kota yang terletak di sebelah selatan sungai Efrat dan termasuk kawasan selatan Irak kuno. Secara umum telah diasumsikan pula bahwa daerah Kanaan yang mula-mula menjadi tujuan perjalanan nabi Ibrahim adalah wilayah Palestina sekarang ini. Kalau demikian, negeri tujuan rombongan Ibrahim ini terletak di sebelah barat Ur-Kasdim dan hanya dipisahkan oleh jarak pedalaman Syam-Yordania. Persoalannya, kalau yang dituju itu adalah Kanaan yang letaknya di sebelah barat Ur-Kasdim, mengapa Ibrahim dan rombongannya harus menyimpang jauh ke arah utara menuju Haran yang termasuk wilayah perbatasan Armenia-Turki Kuno? Selanjutnya, kalau para ahli telah menetapkan bahwa tanah asal kelahiran nabi Ibrahim adalah Ur-Kasdim di selatan sungai Efrat, mengapa di beberapa tempat yang berbeda, teks-teks Taurat justru menunjuk nama-nama kota di wilayah utara sebagai tanah asal Ibrahim dan klannya? Misalnya, ketika mencarikan istri bagi Ishak, Ibrahim menyebut kota Nahor yakni Aram-Mesopotamia sebagai tanah leluhur (Kej 24), atau ketika Ishak memberi saran kepada Yakub untuk mengambil istri dari tanah leluhur di wilayah Padan-Aram (Kej 28:1,2,7,10). Kitab Taurat juga selalu menegaskan bahwa rumpun Ibrahim adalah rumpun Harani dan Ibrahim adalah sosok Arami, seorang pengembara.
Kota Ur-Kasdim yang terletak di sekitar Efrat dan diyakini oleh para ahli sampai saat ini sebagai tanah asal Ibrahim, berdasarkan informasi sejarah dan arkeologi ternyata baru berdiri 1000 tahun lebih setelah berakhirnya masa hidup Ibrahim, dan dikenal sebagai Negara Kaldan. Ini berarti bahwa tidak ada kecocokan waktu secara histories antara masa hidup Ibrahim dan keberadaan kota tersebut. Karena itu, berdasarkan isyarat-isyarat teks Taurat yang menyebut wilayah utara sebagai tanah leluhur Ibrahim, dengan memanfaatkan arkeologi bahasa, Sayyid Mahmud menyimpulkan bahwa kota Arpaksad di Armenia adalah kota yang dimaksudkan sebagai Ur-Kasdim. Simpulan ini didukung oleh penyebutan yang diberikan oleh penduduk Rafidin (Transoxania) Kuno terhadap warga di wilayah utara ini dengan istilah al-Kasiyin atau al-Kasi. Bentuk plural al-Kasi dalam bahasa Ibrani adalah al-Kasdim. Dengan demikian, nabi Ibrahim dinyatakan berasal dari wilayah Armenia.
Focus kedua dalam penelitian Sayyid Mahmud adalah menemukan kaitan antara nabi Ibrahim dan semenanjung Arab. Kitab Taurat tidak memberi informasi sedikitpun tentang hal ini. Taurat hanya mengatakan bahwa setelah keluar dari Mesir, Abram menuju ke tanah Negeb dari dari tanah Negeb ke tanah dekat Betel di mana mula-mula kemahnya berdiri. Para peneliti berusaha menafsirkan kata “Negeb” (ha-Najub) dalam bahasa asli Ibrani dengan arti an-Naqab, yaitu gurun Naqab di palestina Selatan. Dengan menggunakan pola konversi bahasa, kata ha-Najub bisa juga diartikan sebagai al-Janub yang berarti selatan. Arti inilah yang dipakai oleh terjemahan Taurat versi Arab. Dalam konteks nabi Ibrahim, yang dimaksud dengan selatan setelah ia keluar dari Mesir dan melewati kerajaan Geerar, yang menurut peta versi Taurat terletak di sisi Gaza, tidak lain dan tidak bukan adalah semenanjung Arab (hlm.86).
Sayyid Mahmud menafsir bahwa Taurat sengaja memutus hubungan antara Ibrahim dan semenanjung Arab dengan maksud untuk memproduksi wacana tentang keunggulan dan kemurnian darah Ibrani. Produksi wacana tentang “keibranian” ini kiranya berkaitan erat dan didukung oleh pengulang-ulangan pernyataan dalam Taurat bahwa Ishak adalah anak tunggal Ibrahim, yang dengan demikian sekaligus menghapus dan menafikan eksistensi Ismail dalam sejarah karena ia tidak berdarah Ibrani murni melainkan campuran dengan darah Mesir dan budak. Dalam nalar demikian ini, sangatlah mudah dipahami mengapa Taurat menyatakan bahwa yang dikorbankan oleh Ibrahim adalah Ishak, -anak tunggalnya-, dan bukan Ismail, -anak pertamanya-, meskipun hal itu menyalahi konvensi tentang pengorbanan anak pertama dalam adat Ibrani (hlm.94).
Pengolahan focus yang kedua ini terasa sangat menarik dan mengesankan ketika penulis mengemukakan data-data arkeologi tempat, sejarah kebudayaan, arkeologi bahasa, perkembangan pembagian peta dunia beserta deskripsi batas-batas wilayahnya yang mengantar seluruh kerja penelitian ini menuju kunci pembuka misteri sejarah sang Nabi. Penguraian mengenai kata-kata kunci baik itu berkaitan dengan nama tempat, nama komunitas, nama benda peninggalan sejarah, maupun nama orang, dan kaitan yang runtut antara kata-kata kunci itu menunjukkan sebuah studi yang mengesankan dan memberi informasi yang mengagumkan tentang relasi antara kehidupan nabi Ibrahim dan semenanjung Arab. Berdasarkan informasi sejarah dan arkeologi budaya, penulis menunjukkan bukti bahwa orang-orang Mesir pernah mendiami negeri Yaman. Hal ini didukung oleh berita dari surat kabar harian Mesir Al-Ahram yang menyatakan bahwa telah ditemukan sample-sampel mungil patung Spinx yang bertorehkan tulisan Hierogliph di sebuah pekuburan kampung di Bahrain Utara (hlm.127-128). Ini menjadi petunjuk kuat bahwa nabi Ibrahim pernah melakukan hijrah ke selatan menuju Yaman bersama-sama dengan penduduk Mesir pada waktu itu. Orang-orang Mesir yang hidup di Yaman ini pulalah yang ditunjuk sebagai para pembangun Ka’bah di Yaman dan setelah ka’bah itu hancur karena banjir bandang dan keruntuhan bendungan Ma’arib, komunitas Mesir di Yaman ini mengungsi ke utara dan membangun ka’bah lagi di Makah. Baitullah di Makah ini dijuluki al-“Atiq, yang oleh penulis cenderung diartikan sebagai al-qadim atau kuno, sebagai penegas dan pengingat (kenangan) akan baitullah kuno yang dulu dibangun di Yaman (hlm.150-151).
Kisah tentang kota Sodom dan Gomora yang ada dalam Taurat adalah petunjuk lain tentang masa hidup Ibrahim di semenanjung Arab. Dengan menggunakan informasi sejarah dan geografi, penulis menunjukkan bahwa kota Sodom dan Gomora (atau Amurah) yang dimaksudkan oleh Taurat adalah kota Tsamud dan Armao atau ‘Ad di Yaman (semenanjung Arab bagian selatan). Sementara itu, informasi sejarah tentang bencana alam yang pernah terjadi di wilayah itu, yakni letusan hebat gunung berapi, dapat dijadikan sebagai konteks yang melahirkan kisah tentang Sodom dan Gomora atau Tsamud dan ‘Ad (Amurah) tersebut.
Kalau demikian halnya, rute perjalanan nabi Ibrahim sebagaimana diyakini sampai sekarang dan sebagaimana tergambar dalam peta Kitab Suci Perjanjian Lama (Taurat) mendapatkan tantangan yang luar biasa untuk diteliti kembali atau untuk dikoreksi. Penemuan penulis buku ini menjadikan rute perjalanan nabi Ibrahim menjadi lebih runtut, realistis dan mudah dipahami oleh nalar. Peta tentang dunia kitab suci tentu saja mendapatkan tantangan yang sama.
Keprihatinan utama penulis dalam penelusuran kritis bagian kedua ini sebenarnya adalah menunjukkan dan mengungkap bahwa latar belakang “ke-Mesir-an” Ibrahim dengan seluruh kebudayaannya merupakan hal fundamental yang mempengaruhi seluruh sejarah kemudian, termasuk di dalamnya adalah sejarah Islam. Kalau dicermati dengan jelas keprihatinan penulis sebenarnya adalah mau membela “ke-Mesir-an” sebagai keunggulan kebudayaan yang pantas diperhitungkan, sekaligus sebagai ungkapan potes dan perlawanannya atas “Arabisasi” yang telah melanda sendi-sendi kehidupan Mesir masa sekarang ini. Meminjam istilah Ben Anderson, Sayyid Mahmud berusaha merebut dan mengisi ruang pemaknaan baru atas "ke-Mesir-an" sebagai "Imagined Community", atau merebut makna "Imagined Egypt" dari dominasi Arab.
Seluruh pemaparan Sayyid Mahmud yang merupakan temuan baru dari hasil penelitian panjang mengenai misteri kehidupan Ibrahim ini dengan demikian merupakan sebuah gugatan atas klaim dan keyakinan agama-agama tentang sang Nabi. Boleh dikatakan bahwa temuan baru ini juga menyodorkan cara berpikir lain atas wacana berbasis kenabian yang diproduksi oleh masing-masing agama dan kitab sucinya. Sebagai catatan akhir, judul buku versi terjemahan yang dirumuskan oleh redaksi ini memang memiliki kelemahan, yakni mengaburkan keprihatinan dasar yang sebenarnya dimaksudkan oleh penulis, dan bergeser kepada tema lain yakni relasi agama-agama. Keprihatinan dasarnya sekali lagi adalah mengungkap keluhuran kebudayaan Mesir yang telah “direndahkan” oleh gelombang Arabisasi dalam konteks hidup masyarakat Mesir kontemporer dan pendongkrakan keunggulan Ibrani dalam teks-teks kitab suci perjanjian lama.***


Judul buku : Nabi Ibrahim, Titik Temu - Titik Tengkar Agama-agama
Judul asli : Nabi Ibrahim, wa at-Tarikh al-Majhul
Penulis : Sayyid Mahmud al-Qimni
Penerbit : LKiS Jogjakarta 2004

Belajar dari Kasus Kutipan Paus Benedictus XVI

Indro Suprobo 

Sebagai orang yang dibesarkan dan belajar dalam tradisi kristen katolik, saya secara personal merasa sangat prihatin oleh peristiwa kutipan Paus beberapa waktu lalu, bukan oleh kritik atas kutipan itu. Ketika membaca ceramah paus baik dalam versi inggris maupun dalam versi terjemahan bahasa Indonesia, saya menangkap ada bagian "lowong" yang mustinya diberi isi oleh paus sebagai orang terpelajar yang sudah sangat akrab dengan soal kutip-mengutip pendapat. Bagian lowong ini tampaknya memang tidak disadari oleh paus sendiri. Ini bukan soal kesadaran rasional ilmiah belaka, melainkan menyangkut kesadaran empatis atau simpatis, yakni kesadaran akan sebesar-besar nuansa dalam lingkup yang lain. Dalam hal ini, saya memahami bahwa paus belum memiliki kesadaran simpatis atau empatis semacam ini berkaitan dengan seluruh nuansa keislaman. 

Kesadaran simpatis atau empatis ini hanya akan terbentuk kalau seseorang telah merasuki pengalaman yang lain dengan segala kecermatan, keterbukaan, dan keikhlasan yang mendalam. Pergaulan harian dengan yang lain itu merupakan salah satu media yang membantu terbentuknya kesadaran semacam ini. Kesadaran simpatis dan empatis inilah yang barangkali boleh juga dirumuskan sebagai "sensitivitas". Kesadaran empatis atau simpatis itu bukanlah untuk menghindari "ketidaknyamanan" karena perasaan takut menyinggung, melainkan berangkat dari rasa hormat yang dalam dan ikhlas akan kekayaan nuansa dari yang lain. 

Barangkali saya adalah salah satu dari sekian banyak orang kristen katolik yang memandang tindakan paus ini sebagai kekeliruan, ketidakpantasan yang bisa terjadi dalam diri seseorang karena keterbatasan-keterbatasan real dan manusiawi. Infalibilitas paus itu hanya mencakup wilayah yang terbatas yakni dalam ajaran iman dan moral kristiani. Tetapi dalam hal mengutip pendapat, tentu saja ia sangat bisa keliru, dan itu tidak termasuk dalam infalibilitas paus. Karena kutipan itu tidak disertai dengan penjelasan sikap pribadi atas kutipan itu sendiri, maka sangatlah terbuka untuk diartikan sebagai persetujuan atas apa yang dikutip. Dalam hal ini saya sangat prihatin. 

Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap paus, saya mengira, paus memang memiliki keterbatasan pergaulan dengan nuansa keislaman. Orang muda menyebutnya "nggak gaul". Barangkali paus memang bergaul dengan banyak orang Islam, kaum terpelajar Islam, dsb, tetapi tidak bergaul dengan nuansa keislaman yang ada dalam diri orang-orang Islam dan para terpelajar Islam tersebut. Pergaulan dengan nuansa keislaman itu membutuhkan taraf pergaulan yang lebih mendalam daripada pergaulan diskursif, argumentatif, apalagi protokoler administratif. Seandainya, paus memiliki modal pergaulan dengan nuansa keislaman ini, saya sangat yakin bahwa ia tidak akan pernah menggunakan kutipan itu apalagi tanpa penegasan sikap pribadi. 

Mereka yang sudah terbiasa dengan pergaulan dan dialog agama-agama, dan dengan segala jerih lelah mengusahakan relasi harmonis, dan membongkar segala prasangka yang telah tertanam, terbiasa menyelidik perbedaan-perbedaan secara seksama dengan berbagai pendekatan keilmuan demi tumbuhnya pemahaman mendalam atas perbedaan, pasti tidak akan pernah menggunakan kutipan sebagaimana dikutip oleh paus, apalagi tanpa penegasan sikap yang jelas. Karena menurut saya, penggunaan kutipan itu justru mereproduksi relasi buram yang pernah terjadi antara kekristenan dan keislaman. 

Barangkali, akan lebih produktif, lebih bersifat reflektif dan kritis, dan barangkali pula akan mendatangkan rasa hormat yang dalam dari berbagai kalangan apabila Paus justru mengutip pengalaman gelap Gereja Katolik sendiri pada masa-masa inkuisisi di mana banyak orang harus menjadi korban. Kutipan yang membongkar pengalaman gelap diri sendiri sambil mengambil sikap kritis serta evaluatif atasnya, justru akan menunjukkan kerendahhatian dan kebesaran hati pemimpin Gereja atas kekeliruan sendiri yang telah diperbuat pada masa lalu, sambil penuh tunduk sujud berucap “mea culpa, mea culpa” (ampunilah kami, ampunilah kami) dan bertobat merintis sikap baru dalam pergaulan penuh damai. Dengan demikian justru akan tampak konsistensi dari apa yang dinyatakannya dalam kuliah terbuka itu (kaitan iman dan akal budi) dan tindakan nyata. 

Saya menghunjukkan rasa hormat kepada Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) yang dengan ikhlas hati menghaturkan permohonan maaf kepada seluruh umat muslim di Indonesia. Permohonan maaf ini mengandaikan pengakuan bahwa paus telah melakukan ketidakpantasan dalam komunikasi yang menimbulkan luka hati. Ini berarti pengakuan terhadap suatu bentuk kesalahan dalam berkomunikasi. 

Saya berharap peristiwa ini merupakan "teguran" bagi paus sendiri, dan menjadi peristiwa yang berharga untuk belajar bersimpati dan berempati terhadap nuansa yang lain, yang berbeda. Dengan lain kata, moga-moga peristiwa ini merupakan medan belajar bagi paus untuk bersensitivitas. 

Moga-moga, melalui peristiwa ini, paus juga akan belajar untuk membaca lebih luas nuansa keislaman itu, terutama dari berbagai dokumen yang menunjukkan betapa Muhammad Rasulullah, nabi junjungan saudara-saudari muslim, telah membagikan begitu banyak harta perdamaian dan perlindungan kepada kaum kristen dari segala bentuk penindasan, terutama kepada kaum kristen yang hidup dalam wilayah kekuasaan politik islam. Ada banyak contoh yang bisa ditemukan. Dan semuanya itu merupakan wujud luberan kedalaman keimanan dan budi pekerti seorang Rasul Allah yang diutus untuk menyemai nilai-nilai ketundukan dan hormat di hadapan sang Akhbar, sehingga setiap manusia, termasuk saya yang kristen ini bisa berucap dalam ketundukan yang sama penuh ikhlas hati: La ilaha illa-Allahu, Muhammadu-rasulullahi. 

Semoga semua makhluk berbahagia

Senja Bersama Hatta

Indro Suprobo Dua cangkir kopi kental beraroma sedap, diletakkan di meja teras rumah yang terbuka. “Silakan dinikmati. Saya sendiri yang membuatnya, moga-moga rasanya pas”, kata lelaki tua yang masih kelihatan segar dan cerdas itu penuh keramahan. Mohammad Hatta namanya. Mantan proklamator dan perintis kemerdekaan Republik Indonesia. Orang lebih akrab memanggilnya dengan Bung Hatta. Suguhan kopi sedap membuka obrolan kami saat itu. Rambut di sekitar telinga dan jidatnya masih basah oleh sedikti air. Wajahnya kelihatan segar. Bung Hatta memang tak pernah lepas dari disiplin sholat. Baginya, sembahyang sholat bukan lagi kewajiban melainkan bagaikan tarian jiwa menyelami keheningan dan kedalaman hidup. Teras yang terbuka tempat kami ngobrol itu terasa nyaman dan segar karena dikelilingi oleh beragam tanaman hijau di halaman. Angin yang terhirup oleh hidung terasa bersih dan sehat, menyusup ke dalam tubuh dan membangkitkan energi positip. Sesekali wangi bunga tanaman kanthil menyusup lembut, menciptakan suasana relaks. “Ini adalah rumah yang pertama kali saya tempati setelah menikah sekitar bulan nopember tahun 1945. Sekarang menjadi tempat istirahat keluarga pada saat akhir pekan dan hari libur”, kata bung Hatta menjelaskan. “Nyaman sekali. Udaranya segar. Tampaknya sangat cocok untuk menenangkan hati”, kataku menimpali. “Betul sekali. Sangat tenang dan membantu saya memasuki ruang-ruang batin, mencermati peristiwa-peristiwa yang seringkali sangat susah dieja karena terlindas oleh kebisingan kesibukan”, jawabnya tenang menyiratkan kesadaran yang tak pupus oleh keramaian dunia. “Ketenangan semacam ini tentu menjauhkan kita dari beban pikiran yang berat, lalu menjadi lebih sehat”, sambungku mantab. “Memang ini bisa menjauhkan dari beban pikiran berat, tetapi tidak berarti menjadi kehilangan kegelisahan”, tegasnya. Dahiku tiba-tiba mengerut mendengar pernyataannya terakhir. Kegelisahan macam apa yang masih bisa menggelayuti hati orang besar seperti lelaki yang sedang aku hadapi ini? Bukankah kata orang, pengetahuan dan wawasan yang luas, pengalaman yang kaya dengan asam garam kehidupan mampu meminggirkan kegelisahan-kegelisahan yang mengganggu pikiran? “Maaf, anda masih mengalami kegelisahan?”, tanyaku tidak percaya. “Oh, tentu saja masih. Justru semakin sering saya memasuki ruang-ruang batin yang jernih dan tenang, semakin saya menemukan kegelisahan yang menggoncang-goncang pikiran saya. Apalagi jika saya melihat kenyataan hidup yang seringkali sangat susah untuk dipahami, susah untuk dieja, sehingga membutuhkan keseriusan tinggi untuk bisa membacanya”, jawabnya serius sekali. Ia menggaruk bagian belakang telinga kanannya sebentar, mungkin karena ada rasa gatal. Lalu melanjutkan penjelasannya. “Coba anda cermati. Bisakah anda tidak merasa gelisah ketika anda menghadapi kenyataan betapa praksis korupsi seperti sudah menjadi kebiasaan sehari-hari yang diamini tanpa sangsi? Bisakah tidak merasa gelisah ketika menghadapi kebingungan banyak orang untuk menyekolahkan anaknya karena biaya pendidikan yang melambung tinggi? Bisakah merasa tidak gelisah ketika melihat sekian banyaknya anak hidup dalam ketidakberdayaan kemiskinan, serba kekurangan dan terhimpit banyak kesulitan? Bisakah tidak merasa gelisah ketika kemakmuran dan beragam kemudahan hanya menumpuk pada dan dinikmati oleh segelintir orang sementara lebih banyak orang berada dalam situasi sebaliknya? Bisakah tidak merasa gelisah ketika usaha-usaha ekonomi bersama yang dicita-citakan untuk menjamin kesejahteraan sebanyak-banyak orang sudah terpelintir menjadi usaha milik kumpulan para majikan? Bagaimana mungkin tidak merasa gelisah ketika melihat kenyataan bahwa uang sekian miliar dollar harus dibayarkan untuk cicilan hutang luar negeri? Sementara uang sebanyak itu kalau dimanfaatkan untuk memfasilitasi biaya pendidikan anak-anak yang tidak mampu bayar sekolah pastilah sangat berarti. Bisakah tidak merasa geram ketika orang ingin memasang instalasi listrik di rumahnya harus bayar sekian kali lipat supaya bisa lebih cepat menyala, sementara kalau bayar biasa harus menunggu-nunggu waktu yang lama dan seringkali dengan beragam alasan yang tidak jelas? Lebih menggelisahkan lagi ketika melihat nasib kemanusiaan terjungkir balik tak karuan. Bagaimana mungkin perempuan pekerja yang memperjuangkan nasib dirinya dan teman-teman pekerja lainnya harus menderita kematian penuh siksaan tanpa diketahui siapa pelakunya. Bagaimana menjelaskan nasib orang yang tiba-tiba hilang tak diketahui rimbanya dan tak pernah ada jejak yang dapat menunjukkan jalan kepada pengungkapan hilangnya. Bagaimana mungkin tidak gelisah ketika mendengar jeritan sedih dan teriakan amarah tanpa daya dari orang-orang yang tergusur hidupnya tanpa bisa melawan? Bagaimana mungkin tidak gelisah melihat semua itu? Dan semuanya ada di depan mata. Bung Hatta mengusap rambut kepalanya, sementara matanya menerawang jauh menembus pepohonan hijau di halaman rumahnya. Kami sama-sama diam mencecapi kata-kata yang baru saja masuk dalam telinga, menembus dalam lubuk hati, menggoncang ketenangan pikiran, dan mengusik seluruh komitmen diri atas kehidupan. Lengang…… Kelengangan yang hadir di antara kami ini menciptakan kesunyian dalam diri masing-masing. Dan kesunyian adalah peristiwa yang sangat berharga menurut para sufi penyelam samudera rohani. Ketika manusia telah merasuki kesunyian, keramaian dan hiruk pikuk kecemasan bukan lagi sesuatu yang menganggu maupun melawan. Keramaian menjadi satu titik kecil yang bisa dilihat dengan jarak yang teramat jelas, lalu perlahan-lahan titik itu memecah dan melebur dalam daya hidup yang dinamakan bening. Ada daun kering yang jatuh di lantai teras rumah, tepat di sebelah telapak kakiku. Angin senja telah memutusnya dari ranting dan menerbangkannya. Suaranya terasa jelas. Mungkin memang begitulah hukum alam berlaku. Dalam kesunyian, segala sesuatu menjadi lebih jelas, berjarak, dan dapat dieja secara lebih cermat. Tanganku meraih cangkir kopi. Menempelkannya di bibirku, lalu menyeruput kopi kental yang masih hangat. Kehangatan perlahan-lahan menjalar dalam tubuhku. Melihat itu, bung Hatta menyilakan aku minum. “Oh ya, mari silakan dinikmati”, seraya meraih cangkir di depannya. “Semua peristiwa yang menimbulkan kegelisahan itu bukanlah takdir yang tak bisa ditolak”, lanjutnya. “Peristiwa-peristiwa semacam itu adalah hasil dari sebuah pilihan dan tindakan manusia yang sadar. Jadi itu adalah akibat dari pilihan tindakan manusia” “Sepakat”, jawabku singkat “Semua pilihan tindakan manusia tidak bisa dilepaskan dari cara berpikir tentang segala aspek kehidupan. Ketika manusia bisa membongkar cara berpikir yang mempengaruhi seluruh pilihan tindakannya, mencermatinya dan mengambil jarak terhadapnya, maka dia termasuk ke dalam golongan manusia merdeka. Pada gilirannya, manusia merdeka akan mengambil pilihan-pilihan tindakan yang juga memerdekakan sebanyak mungkin orang”, lanjutnya penuh ketegasan. Mendengar hal itu, aku tiba-tiba teringat akan masa muda bung Hatta. Jalan pikiran sebagaimana baru saja aku dengar itu pernah tercetus secara gamblang dalam tulisan-tulisannya di Hindia Poetra, sebuah majalah dua bulanan yang diterbitkan oleh perkumpulan mahasiswa Indonesia di Belanda yang bernama Perhimpoenan Indonesia. Tulisannya dalam edisi perdana menjadi buah bibir banyak orang karena tentu saja mengguncang kemapanan cara berpikir pada umumnya. Melalui judul “De economische positie van den Indonesischen grondverhuurder” (Kedudukan ekonomi orang Indonesia yang menyewakan tanah) dan “ Eenige aantekeningen betreffende de grondhuur-ordonnantie in Indonesie” (Beberapa catatan tentang ordonansi penyewaan tanah di Indonesia), Hatta mendukung tuntutan petani Indonesia agar para majikan penguasa perkebunan tebu dan pabrik gula di jawa menaikkan sewa tanah petani yang mereka pakai. Sewa tanah yang berjalan selama itu sangatlah tidak adil bagi para petani, apalagi dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh oleh para majikan perkebunan tebu dan pabrik gula. Pada masa mudanya, Hatta telah mengemukakan pikiran tentang memerdekakan kaum tani dari proses marginalisasi. “Ketika orang harus berada dalam kedudukan yang daripadanya dituntut pertanggungjawaban penuh atas cara bekerjanya sistem-sistem yang melekat dengan kedudukan itu, sementara ia tidak memiliki kesanggupan untuk mempertanggungjawabkan pilihan atas cara bekerjanya sistem tertentu, karena menurut pertimbangannya cara bekerjanya sistem itu tidak membuat sebanyak mungkin orang mengalami kemerdekaan, kemakmuran yang selayaknya, dan harkat-martabat yang sepantasnya, maka sebaik-baiknyalah apabila orang itu melepaskan kedudukan tersebut demi pilihan yang lebih sanggup dipertanggungjawabkannya, dan menjalani pilihan baru dengan segala resikonya”, kata Hatta memecah lamunanku tentang masa mudanya. Aku tergagap oleh rangkaian prinsip-prinsip dasar berpikirnya yang beruntun menghujani kesadaranku tanpa memberi waktu jeda untuk memikirkannya ulang. Namun segera saja aku langsung teringat pada peristiwa pengunduran dirinya dari jabatan wakil presiden dengan segala jaminan yang melekat pada jabatan itu. Jantungku tak bisa lagi memendam sorak sorai gemuruh yang meluap karena rasa hormat dan kagum atas prinsip-prinsip yang baru saja kubaca wujudnya secara nyata. Dan di depan mataku, pada senja itu, kupandangi jiwa merdeka yang berkomitmen terhadap kemerdekaan sebanyak mungkin jiwa-jiwa yang lain. Aku meneguk tetes kopi terakhir yang diseduh sendiri oleh Hatta, berpamitan, dan mengucap terima kasih atas percakapan yang telah terjadi. Dia mengantar sampai di pagar halaman yang berupa tanaman perdu hijau. Sepanjang perjalanan pulang, aku mengurai semua percakapan senja itu dan memaklumi bahwa sebelum menjadi proklamator kemerdekaan, jauh-jauh hari sebelumnya, ia telah memerdekakan dirinya dari segala kebisingan dan hiruk pikuk kepentingan sesaat, dan senantiasa setia sampai di senja hidupnya. Moga-moga masih ada sedikit teman dalam kesunyiannya. *** (Resist-Info Agustus 2006)

Thursday, October 05, 2006

Selembar Kertas

Indro Suprobo Adzan subuh membangunkan Jumari dari tidur lelapnya. Bergegas ia menuju ke padasan untuk mengambil air wudlu. Dingin air yang menyentuh daun telinga semakin membuatnya lepas dari sisa kantuk yang ada. Mushala kecil tak seberapa jauh dari rumahnya. Di sanalah ia biasa berjamaah bersama dengan warga kampung yang umumnya sudah lanjut usia. Kang Midin telah sekian lama dipercaya menjadi imam shalat meskipun usianya relatif lebih muda. Jumlah anak mudanya bisa dihitung dengan jari. “Rika sida budhal maring Ambarawa, Jum?” (kamu jadi berangkat ke Ambarawa Jum?), tanya kang Midin selepas shalat. “Iya kang, inyong wis sewulan ora tilik ramane. Melasi. Sewulan bae rasane kaya wis lawas temen” (Iya kang, saya sudah sebulan tidak menjenguk ayah saya. Kasihan. Satu bulan saja terasa sudah terlalu lama). Sebulan sekali Jumari memang menjenguk ayahnya yang dipenjara di Ambarawa meskipun tak ada yang tahu apa sebabnya. Ia sudah berkali-kali meminta keterangan dari teman-teman ayahnya di kantor koramil, tetapi tak pernah ada jawaban yang memuaskan. Ketika mencari keterangan itu ia selalu dilempar dari satu petugas kepada petugas yang lain. Tapi yang jelas, banyak orang yang selenthang-selenthing mengatakan kalau ayahnya terlibat sebuah gerakan yang membahayakan keselamatan Negara. Ayah Jumari dianggap terlibat gerakan partai komunis Indonesia. Sembilan tahun sudah ayahnya mendekam di penjara. Jumari bisa bertemu ayahnya terakhir kali empat tahun yang lalu ketika masih berada di penjara Banyumas, sebelum dipindahkan ke Ambarawa. Ketika dipindah, tak ada kabar untuk keluarga. Setelah itu keluarganya tak mendapatkan ijin untuk bertemu langsung dengan ayahnya. Setiap kali menjenguk ayahnya, Jumari akan berdiri di pinggir pagar dekat sawah yang mengelilingi penjara. Dari kejauhan ia akan melambai-lambaikan daun pisang sebagai bahasa komunikasi dengan ayahnya. Dari kejauhan pula, dari tingkat atas penjara, ayahnya akan melambai-lambaikan bajunya. Setelah itu Jumari akan membuat bentuk-bentuk huruf dari lambaian daun pisang yang bisa dibaca dari jauh oleh ayahnya: “Kiye inyong, pak” (Ini aku pak). Lalu ayahnya akan membalas dengan cara yang sama menggunakan lambaian bajunya: “Iya, biyung waras?” (Iya, ibumu sehat?). “Waras, bapak kepriwe?” (Sehat, bapak sendiri bagaimana?) “Inyong waras. Sinau sregep ya. Jaga biyunge” (Saya sehat. Rajinlah belajar. Jagalah ibumu) “Siki Sumi wis bongsor ndeyan?” (Sekarang Sumi tentu sudah besar ya?) “Sumi kelas telu SD pak, durung tau weruh bapak. Melasi.” (Sumi kelas tiga SD pak, belum pernah melihat bapak. Kasihan) Sumi adalah adik Jumari yang paling kecil. Ia belum pernah melihat wajah ayahnya karena ketika ayahnya dipenjara, ia masih dalam kandungan. Sambil menangis dalam kesedihan, rindu dan perut lapar, Jumari biasanya berkomunikasi dengan cara demikian selama kurang lebih satu jam. Ia baru akan sampai di rumah biasanya lepas maghrib. Di akhir percakapan itu, ayahnya selalu berpesan: “Anake inyong sing padha tabah ya. Sedhela maning inyong bali ngumah” (Anak-anakku semoga selalu tabah. Sebentar lagi aku pulang ke rumah) *** Sudah sekian lama, gaji bulanan dan beras jatah ayah Jumari tak diterima lagi oleh keluarga. Rumah dinas yang telah lunas cicilannya dari potongan gaji juga telah disita oleh kantor koramil. Semuanya tak disertai alasan jelas, dihentikan dan dirampas begitu saja. Kemelaratan, kesedihan, amarah dan ketakberdayaan sungguh telah merenggut hidup mereka. Semua yang dimiliki telah dijual oleh biyung Jumari untuk membiayai hidup sehari-hari dengan sembilan orang anak. Meja, kursi, almari, tempat tidur, gelas dan piring, semuanya telah terjual. Makan sehari-hari juga seadanya saja. Belum tentu dalam seminggu bisa makan telor sekali. Kalau kebetulan bisa makan dengan lauk telor, adik-adik Jumari biasanya tidak mau mencuci tangan supaya ketika saat makan lagi, bau telor di tangan masih tersisa sehingga terasa makan dengan lauk telor. Dalam kemelaratan yang demikian, makan telor adalah peristiwa yang sangat istimewa. Suatu hari di waktu lebaran, terjadilah peristiwa yang tak akan pernah terlupakan sepanjang hidup Jumari dan adik-adiknya. Biyung Jumari sudah sama sekali tak memiliki uang lagi untuk membelikan sekedar baju baru bagi anak-anaknya. Karena tidak ingin melihat anak-anaknya merasa minder kepada teman-teman sebayanya yang semuanya memakai baju baru saat lebaran, biyung Jumari membuat sendiri baju untuk anak-anaknya dari kain jarit yang masih dimilikinya. Ia memotong kain jarit itu sesuai dengan ukuran badan anak-anak lalu menjahitnya dengan tangan, tanpa mesin karena tentu saja tak punya mesin dan tak mampu bayar ongkos tukang jahit. Lebaran pagi, ketika semua anak kampung mengenakan baju baru, Jumari dan adik-adiknya mengenakan baju dari kain jarit bikinan biyung. Tetapi, apa yang terjadi? Baju itu pas sekali dengan badan dan bagian lengannya tak bisa buat bergerak nyaman. Jadi seperti wayang. Kain jarit yang dimiliki biyung tak mencukupi untuk membuat baju yang lebih longgar. Kali lain, ketika biyung Jumari mendapat sedikit rejeki dan bisa membeli ikan, Jumari sangat berharap hari itu ia bisa menikmati ikan. Selesai menggoreng ikan, semua adik Jumari kebagian makan dengan lauk ikan. Karena harus bekerja di toko besi selepas sekolah, Jumari baru akan makan di rumah sore harinya menjelang maghrib. Jatah makanan berlauk ikan buat Jumari itu diletakkan di atas tungku, ditutupi jengkok kayu yang berat. Ketika Jumari pulang, jengkok itu sudah terguling di tanah, sementara nasi dan ikannya hanya tersisa sedikit saja. Tanpa ada yang tahu, jatah makanan Jumari telah menjadi santapan kucing. Terpaksa, sore itu Jumari makan nasi yang diurapi sedikit garam. Kesulitan demi kesulitan silih berganti dihadapi oleh Jumari dan adik-adiknya. Selesai sekolah, tak satupun dari antara adik-adiknya yang bisa bekerja sebagai pegawai negeri karena selalu dicap sebagai anak tapol. Setelah lulus sekolah, Jumari sendiri merantau ke Jakarta sebagai kuli bangunan, sementara adik-adiknya yang lain tersebar ke berbagai kota mencari pekerjaan apa saja yang penting bisa buat bertahan hidup. Hanya si bungsu Sumi yang masih tetap di rumah karena dia belum lulus sekolah dan menemani biyung. Suatu hari menjelang maghrib, ketika Sumi sedang menyapu halaman dan biyung sedang di dapur, seorang lelaki tua berdiri di dekat pohon depan rumah. Lelaki itu kurus kering, mengenakan baju hijau bertambal-tambal di sana sini, menjinjing tas plastik hitam dan bersandal jepit. Sumi memperhatikan lelaki itu sekilas saja karena mengiranya sebagai pengemis yang kebetulan lewat. Tetapi lelaki itu berhenti di dekat pohon dan memperhatikan Sumi lama sekali. “Kula nuwun dik” (Permisi dik), sapa lelaki itu. “Mangga pak. Wonten napa?” (Silakan pak. Ada apa), jawab Sumi balik bertanya. “Nuwun sewu, griyanipun bu Surati niku sing pundi nggih?” (Maaf, rumahnya bu Surati itu yang mana?) “Lha niki griyanipun. Sekedhap nggih pak” (Ini rumahnya. Sebentar ya pak), jawab Sumi sambil bergegas masuk ke rumah karena lelaki tua itu menanyakan nama ibunya. “Yung, kae ana wong kaya wong ngemis nggoleti biyunge” (Ibu itu ada lelaki seperti pengemis mencari ibu), kata Sumi kepada ibunya. Ibunya segera keluar rumah. Sumi mengikuti ibunya. Sesampai di luar ibunya mengamati lelaki itu. Maghrib membuat wajah oarng itu samara-samar. Ibunya hampir tak mengenali lelaki itu sampai ketika lelaki itu menyapanya. “Kiye inyong” (Ini aku), kata lelaki itu tetap berdiri di dekat pohon sambil menjing tas plastik hitam. Selanjutnya adalah tangisan dan pelukan. Entahlah apa yang dirasakan oleh keduanya, kesedihan, kebahagiaan, keharuan? Hanya kedalaman yang mengetahuinya. Maghrib itulah, untuk pertama kalinya Sumi melihat wajah bapaknya. Di dalam tas plastik hitam yang dibawa ayahnya, hanya ada satu stel pakaian yang dibawa dan amplop berisi selembar kertas pernyataan yang bertuliskan: “ Orang yang namanya tercantum di bawah ini, tidak terbukti memiliki keterlibatan dengan organisasi terlarang dan menyetujui untuk tidak melakukan tuntutan” Setelah tiga belas tahun dipenjara, kehilangan segala hak dan harta benda, menanggung segala kepedihan dan kemelaratan, ia hanya diberi selembar kertas dan tak boleh melakukan tuntutan.*** (Resist-Info September 2006)