oleh Indro Suprobo
Narasi Injil Lukas tentang peristiwa kelahiran Yesus (Luk 2:1-14)
merupakan kesaksian dan refleksi iman yang menyediakan inspirasi menarik dan
fundamental tentang penghormatan terhadap martabat perempuan. Saat ini,
perspektif ini sangat penting dan kontekstual bagi masyarakat pada umumnya
maupun bagi umat kristiani secara khusus. Injil Lukas mengisahkan bahwa pada saat Kaisar
Agustus mengeluarkan perintah tentang penyelenggaraan sensus penduduk, Yusuf
meninggalkan kota Nasareth di Galilea menuju ke kota Betlehem di tanah Yudea,
bersama dengan Maria, tunangannya yang sedang mengandung. Di Betlehem itulah
Maria melahirkan Yesus di palungan, karena sudah tak ada tempat di rumah
penginapan. Para gembala mendapatkan kabar dari malaikat tentang peristiwa itu.
Kisah yang sangat ringkas dan padat itu
menyimpan kompleksitas yang sangat kaya dan penting. Tulisan
singkat ini hendak menggali kompleksitas itu beserta implikasi pentingnya bagi
kehidupan saat ini.
Pertama, menurut hukum Romawi, Maria tidak diharuskan
untuk ikut mendaftarkan diri dalam sensus itu. Namun, Yusuf dan Maria
bersepakat untuk bersama-sama meninggalkan kota Nasareth dan pergi menuju kota
Betlehem. Bagi pasangan itu, keputusan ini merupakan keputusan yang penting.
Kehamilan Maria, yang bagi umat Kristen dan Islam diimani sebagai
kehamilan oleh karena rahmat dari Yang Suci tanpa hubungan biologis dengan
seorang lelaki, oleh sebagian besar orang di sekitarnya pada masa itu, dianggap
sebagai aib yang menimbulkan beragam fitnah dan prasangka. Ketegangan ini tidak
dicatat dalam Injil dan tradisi kristen lainnya, namun terpelihara dalam
narasi-narasi komunitas Muslim. Narasi-narasi legendaris yang berisi banyak
mukjizat itu, sesuai dengan masanya, tentu saja tidak selalu mencerminkan fakta
historisnya, tetapi menjadi petunjuk tentang adanya ketegangan yang tidak mudah
itu. Tentu saja situasi itu memberikan
tekanan yang berat bagi mereka berdua, terutama bagi
Maria sebagai perempuan. Dapat dibayangkan bagaimana tekanan batin yang dialami
oleh Maria dalam menghadapi situasi itu. Boleh dikatakan bahwa lingkungan yang
dihadapi oleh Maria pada masa itu adalah lingkungan yang bersifat toxic, meracuni pertumbuhan mental
seseorang melalui
prasangka, fitnah, dan semua jenis sikap serta perilaku yang melemahkan mental
(character killing). Yusuf dan Maria pasti berbagi pikiran dan
gagasan untuk menghadapi situasi ini. Dengan adanya sensus penduduk ini, mereka
pasti berbagi
pandangan dan pertimbangan apakah akan
berangkat sendiri saja ataukah berangkat bersama. Mereka menimbang semua risiko
yang mungkin terjadi.
Dalam konteks itu,
keputusan untuk bersama-sama meninggalkan kota Nasareth adalah keputusan untuk
meneguhkan partnership dalam untung
dan malang. Dalam situasi sulit ini, Yusup mempertimbangkan beban mental yang akan
dihadapi oleh tunangannya apabila ia ditinggal sendirian, dan berempati
kepadanya dengan mengambil keputusan untuk meninggalkan Nasareth bersama-sama. Ini merupakan cerminan dari adanya relasi yang
setara dan penuh empati antara Yusuf dan Maria. Relasi setara yang penuh empati ini memungkinkan keduanya untuk
berbagi pandangan dan perspektif, membuka ruang bagi perbedaan pendapat, dan secara
ikhlas bersedia untuk saling mendengarkan, menyelami perasaan dan kecemasan,
dan saling memahami kebutuhan mendasar yang pantas dipenuhi sebagai pribadi demi ketenangan dan kenyamanan batin. Semuanya
itu akan berdampak kepada kesehatan mental dan pertumbuhan pribadi
masing-masing.
Relasi setara
dan empati antara Yusuf dan Maria, merupakan nilai fundamental yang melandasi
hubungan sebagai pasangan. Dalam relasi semacam ini, setiap pribadi ditempatkan
sebagai subjek mandiri dan utuh yang memiliki kebebasan untuk menyatakan
pikiran, perasaan, pertimbangan, dan keputusan menyangkut apa yang baik dan
penting bagi dirinya. Di tengah situasi yang berpotensi membebani mental, Yusuf
dan Maria saling memberi ruang untuk bersama-sama menelusur keputusan terbaik
bagi mereka. Yusuf tak semena-mena mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan
pendapat dan perasaan Maria. Ia mempertimbangkannya, mendengarkannya, dan menempatkan
Maria sebagai pribadi yang penting dan memiliki hak utama untuk mengambil
keputusan karena Maria adalah pihak yang akan menuai dampak paling besar dari
keputusan itu. Empati Yusuf, membuat pertimbangan dan keputusan Maria, memiliki
ruang, dukungan, dan peneguhan. Inilah inspirasi pertama yang dapat digali dari
narasi ringkas ini.
Kedua, perjalanan yang harus ditempuh dari Nasareth
ke Betlehem cukup jauh, yakni kurang lebih 81 mil atau sekitar 128 kilometer. Dengan
menaiki keledai di siang hari dan beristirahat di malam hari, perjalanan itu
memakan waktu kurang lebih 3 hari. Bagi perempuan yang mendekati masa
melahirkan, perjalanan semacam itu tentu saja merupakan perjalanan yang berat.
Ini merupakan risiko dari keputusan bersama. Selama perjalanan ini, Yusuf tentu
saja menghadirkan dirinya sebagai pelindung, penolong, penghibur, sekaligus
sahabat bagi Maria sehingga seluruh kesulitan dalam perjalanan itu dapat
dilampaui. Ini merupakan bentuk tanggung jawab yang dijalankan oleh
Yusuf dan
mencerminkan kualitas pribadinya. Tanggung jawab
itu juga mencerminkan keikhlasan, rasa syukur dan kesanggupan untuk menanggung
risiko dari keputusan.
Menanggung
konsekuensi dari keputusan bersama bukanlah hal yang sederhana. Seringkali hal
ini tidak mudah karena seringkali tidak semua risiko itu dapat diantisipasi dan
disiapkan sejak awal mula. Ada banyak hal yang seringkali baru muncul dalam perjalanan
pelaksanaan keputusan. Tanggung jawab untuk menanggung risiko dalam keikhlasan,
kesabaran, keterbukaan terhadap kemungkinan, disertai pikiran positip dan
selalu dilandasi oleh orientasi kepada menemukan kebaikan dan kepentingan
bersama sebagai pasangan, merupakan hal yang fundamental dan menjadi ciri dari
kualitas pribadi dari mereka yang menjalankannya. Menanggung konsekuensi dari
sebuah keputusan bersama selalu membutuhkan support
dari masing-masing pribadi, saling mendukung, saling memperbesar tabungan emosi
agar selalu memiliki energi yang cukup untuk terus berjalan dan berproses.
Dalam proses ini, Yusuf dan Maria saling berbagi energi, kompetensi, dan
keutamaan pribadi, sekaligus saling memahami keterbatasan dan kelemahan
kontekstual yang ada di setiap keunikan situasi. Inilah inspirasi kedua.
Ketiga, keputusan untuk melakukan perjalanan bersama
yang jauh itu pasti juga dilandasi oleh pertimbangan bahwa sebentar lagi Maria
akan segera melahirkan. Dengan mengikutsertakan Maria dalam perjalanan sensus
itu, Yusuf menunjukkan komitmennya untuk membersamai dan menghadirkan dirinya
dalam seluruh proses melahirkan itu, sehingga Maria tidak melahirkan sendirian.
Melalui pilihan ini,
Yusuf menunjukkan dan mewujudkan solidaritasnya terhadap Maria. Komitmen untuk hadir di samping Maria dalam
proses melahirkan itu juga mencerminkan sikap hormatnya terhadap rahim
perempuan. Rahim yang menenun kehidupan baru di dalam tubuh perempuan adalah
ruang suci bagi kehidupan. Rahim adalah baitul kudus, ruang di mana yang Maha
Suci melakukan keajaiban dan keagungan, yakni penciptaan kehidupan. Sangat
dimungkinkan, dalam proses melahirkan itu, Maria dan Yusuf dibantu oleh
beberapa perempuan lain di sekitar mereka yang sama-sama dalam perjalanan untuk
mendaftarkan diri dalam sensus. Dalam seluruh proses itu, Yusuf akan sibuk membantu
proses kelahiran sesuai dengan arahan perempuan-perempuan lain yang ada bersama
mereka sehingga seluruh proses persalinan berjalan lancar. Ketika anak itu
lahir, Yusuf ada di samping Maria dan menyambut sang bayi sebagai anaknya dan
meneguhkan kepada semua yang hadir, “inilah anak kami”. Seluruh tindakan ini sangat berarti terutama bagi Maria, yang karena
kehamilannya, harus menanggung fitnah dan prasangka, disudutkan sebagai
perempuan hina.
Pantas
dibayangkan bahwa di antara orang-orang yang hadir di sekitar palungan di
Betlehem itu, terdapat juga orang-orang yang berasal dari lingkungan dekat
Yusuf dan Maria di Nasareth. Itu artinya, sangat dimungkinkan bahwa di antara
mereka ada juga orang-orang yang tergolong dalam barisan penyuka prasangka dan
fitnah kepada Maria. Ini berarti bahwa Maria sebagai perempuan senantiasa
menghadapi kerentanan sebagai pihak yang cenderung dipersalahkan. Dalam situasi
itu, kehadiran Yusuf untuk membersamainya dalam proses kelahiran, bukan
semata-mata kehadiran fisik sebagai pasangan hidup, melainkan kehadiran dalam
kepenuhan aspek pribadinya, yang merupakan cerminan dari keberpihakan,
solidaritas, pembelaan terhadap posisi Maria dalam keseluruhan dirinya.
Kehadiran
Yusuf di samping Maria di saat kelahiran Yesus itu sekaligus meneguhkan bahwa
di tengah segala badai prasangka dan fitnah terhadap perempuan yang bernama
Maria itu, yang boleh disebut sebagai wacana diskriminatif (discriminatory discourse) terhadap
Maria, Kehadiran Yusuf adalah sebuah wacana
pembelaan (counter discourse) dan
perlawanan yang subversif terhadap semuanya itu. Wacana diskriminatif (discriminatory discourse) itu cenderung menghancurkan martabat keperempuanan Maria, namun
kehadiran Yusuf di samping Maria sebagai counter
discourse, merupakan tindakan nyata yang memulihkan martabat keperempuanannya. Dengan demikian, anak
yang dilahirkan dari rahimnya, dibebaskan dari segala fitnah dan prasangka, dan
diberi ruang untuk menjadi pribadi yang bermartabat, yang di kemudian hari
bertumbuh menjadi panutan, inspirasi, teladan, guru, dan beragam peran penting
lainnya sebagaimana tercermin dalam beragam gelar yang disematkan kepadanya,
yang sangat bermakna bagi orang-orang yang akhirnya menjadi para murid dan
pengikutnya. Inilah inspirasi ketiga.
Pentingnya tiga
inspirasi fundamental itu ditegaskan melalui kisah para gembala yang
mendapatkan kabar dari malaikat. Kisah itu tidak dimaksudkan untuk menceritakan
peristiwa faktual historis berupa hadirnya malaikat dan bala tentara surgawi yang mengiringi kelahiran Yesus, melainkan berfungsi sebagai
sarana metaforis-mitologis untuk mengungkapkan refleksi penulis Injil bahwa
seluruh peristiwa kelahiran itu merupakan peristiwa yang sangat penting dan
pribadi yang dilahirkan itu di kemudian hari menjadi pribadi yang istimewa bagi
mereka yang percaya dan mengikutinya. Kisah metaforis tentang para gembala dan malaikat itu berfungsi juga
untuk menyatakan bahwa seluruh proses
dan nilai-nilai yang dihidupi oleh Yusuf dan Maria baik dalam pikiran, perkataan, sikap,
maupun perbuatan mereka berdua, merupakan partisipasi dalam seluruh nilai dan
kehendak Ilahi. Seluruh nilai itu dikehendaki dan direstui oleh yang Ilahi.
Dengan kata lain, perwujudan seluruh nilai dalam kerangka relasi perempuan
sebagaimana dijalankan oleh Yusuf dan Maria itu adalah tindakan yang
mengakibatkan sukacita surgawi. Ini adalah tindakan yang
diridhoi oleh yang Ilahi.
Oleh karena
itu, peringatan Natal adalah sebuah penegasan tentang penghormatan terhadap
martabat perempuan. Peringatan Natal adalah sebuah kritik yang hendak
menyatakan bahwa perempuan bukanlah sumber fitnah, bukan penggoda yang
melunturkan kesucian para pemimpin agama, bukan obyek yang harus senantiasa
diatur dan ditata dalam relasi kuasa. Perempuan adalah subyek dan pribadi yang
utuh, mandiri, dan bermartabat, yang seluruh peran aktifnya dapat mengakibatkan
sukacita surgawi.
Pantas dinyatakan
di sini bahwa prasangka dan cara memandang perempuan sebagai sumber fitnah dan
penggoda, dalam psikoanalisis Lacanian dapat dikategorikan sebagai fantasi
subyek patriarkhis tentang tercurinya kenikmatan (jouissance) oleh perempuan, yang mengakibatkan situasi kekurangan (lack), yang sekaligus mengakibatkan rasa
sakit (pain) di dalam diri subyek
patriarkis. Dengan demikian, prasangka dan cara memandang perempuan sebagai
sumber fitnah sebenarnya adalah cerminan dari rasa berkekurangan, perasaan
terancam dan trauma yang dimiliki oleh subyek patriarkhis itu sendiri. Ini
dapat menjadi petunjuk bahwa semua tindakan kekerasan terhadap perempuan yang
terjadi di tengah masyarakat, tidak disebabkan oleh sikap maupun perilaku
perempuan itu sendiri, melainkan berasal dari cara berpikir subyek patriarkhis
terhadap perempuan. Sejak dalam pikiran, perempuan telah ditempatkan sebagai
obyek dan direndahkan martabatnya.
Inspirasi
Natal yang ditemukan dari narasi Injil Lukas ini juga dapat dijadikan sebagai
landasan kritis internal bagi institusi Gereja sendiri agar mulai serius dan
penuh komitmen untuk mencegah dan menyelesaikan kasus-kasus perendahan martabat
perempuan yang terjadi di lingkungan anggotanya secara transparan, bertanggung
jawab, penuh empati, tegas, membela martabat perempuan, mengutamakan kehadiran
yang berpihak kepada korban. Gereja perlu serius belajar dari pribadi Yusuf,
suami Maria, untuk bersikap kritis terhadap wacana diskriminatif (discriminatory discourse) terhadap
martabat perempuan yang bekerja dalam alam ketaksadaran patriarkhisnya, dan
semakin berani hadir dalam solidaritas nyata terhadap penghormatan martabat
perempuan sebagai wacana pembelaan (counter
discourse), dengan cara mengangkat seluruh kasus perendahan martabat
perempuan yang dilakukan oleh anggota-anggotanya ke dalam hukum publik, karena
tindakan itu adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, yang merupakan urusan
publik. Langkah ini pada awalnya barangkali akan menyakitkan bagi institusi
karena memberi kesan tentang merosotnya kewibawaan (the theft of enjoyment), namun jika sanggup melampauinya, ini
justru akan menjadi cerminan dari kualitas kewibawaan itu sendiri, yang
sekaligus memancarkan martabat. Gereja
perlu melepaskan diri dari fantasi traumatik tentang kemerosotan wibawa, menuju
kepada kehadiran emansipatoris yang membebaskan dan empatik.
Semoga,
penghormatan terhadap martabat perempuan semakin menjadi cara hidup kita
sehari-hari. Selamat Natal untuk semua saudara dan saudari yang merayakan.