Friday, December 24, 2021

Natal, Menghormati Martabat Perempuan

 oleh Indro Suprobo



Narasi Injil Lukas tentang peristiwa kelahiran Yesus (Luk 2:1-14) merupakan kesaksian dan refleksi iman yang menyediakan inspirasi menarik dan fundamental tentang penghormatan terhadap martabat perempuan. Saat ini, perspektif ini sangat penting dan kontekstual bagi masyarakat pada umumnya maupun bagi umat kristiani secara khusus. Injil Lukas mengisahkan bahwa pada saat Kaisar Agustus mengeluarkan perintah tentang penyelenggaraan sensus penduduk, Yusuf meninggalkan kota Nasareth di Galilea menuju ke kota Betlehem di tanah Yudea, bersama dengan Maria, tunangannya yang sedang mengandung. Di Betlehem itulah Maria melahirkan Yesus di palungan, karena sudah tak ada tempat di rumah penginapan. Para gembala mendapatkan kabar dari malaikat tentang peristiwa itu.

 Kisah yang sangat ringkas dan padat itu menyimpan kompleksitas yang sangat kaya dan penting. Tulisan singkat ini hendak menggali kompleksitas itu beserta implikasi pentingnya bagi kehidupan saat ini.

 Pertama, menurut hukum Romawi, Maria tidak diharuskan untuk ikut mendaftarkan diri dalam sensus itu. Namun, Yusuf dan Maria bersepakat untuk bersama-sama meninggalkan kota Nasareth dan pergi menuju kota Betlehem. Bagi pasangan itu, keputusan ini merupakan keputusan yang penting. Kehamilan Maria, yang bagi umat Kristen dan Islam diimani sebagai kehamilan oleh karena rahmat dari Yang Suci tanpa hubungan biologis dengan seorang lelaki, oleh sebagian besar orang di sekitarnya pada masa itu, dianggap sebagai aib yang menimbulkan beragam fitnah dan prasangka. Ketegangan ini tidak dicatat dalam Injil dan tradisi kristen lainnya, namun terpelihara dalam narasi-narasi komunitas Muslim. Narasi-narasi legendaris yang berisi banyak mukjizat itu, sesuai dengan masanya, tentu saja tidak selalu mencerminkan fakta historisnya, tetapi menjadi petunjuk tentang adanya ketegangan yang tidak mudah itu. Tentu saja situasi itu memberikan tekanan yang berat bagi mereka berdua, terutama bagi Maria sebagai perempuan. Dapat dibayangkan bagaimana tekanan batin yang dialami oleh Maria dalam menghadapi situasi itu. Boleh dikatakan bahwa lingkungan yang dihadapi oleh Maria pada masa itu adalah lingkungan yang bersifat toxic, meracuni pertumbuhan mental seseorang melalui prasangka, fitnah, dan semua jenis sikap serta perilaku yang melemahkan mental (character killing). Yusuf dan Maria pasti berbagi pikiran dan gagasan untuk menghadapi situasi ini. Dengan adanya sensus penduduk ini, mereka pasti berbagi pandangan dan pertimbangan apakah akan berangkat sendiri saja ataukah berangkat bersama. Mereka menimbang semua risiko yang mungkin terjadi.

 Dalam konteks itu, keputusan untuk bersama-sama meninggalkan kota Nasareth adalah keputusan untuk meneguhkan partnership dalam untung dan malang. Dalam situasi sulit ini, Yusup mempertimbangkan beban mental yang akan dihadapi oleh tunangannya apabila ia ditinggal sendirian, dan berempati kepadanya dengan mengambil keputusan untuk meninggalkan Nasareth bersama-sama. Ini merupakan cerminan dari adanya relasi yang setara dan penuh empati antara Yusuf dan Maria. Relasi setara yang penuh empati ini memungkinkan keduanya untuk berbagi pandangan dan perspektif, membuka ruang bagi perbedaan pendapat, dan secara ikhlas bersedia untuk saling mendengarkan, menyelami perasaan dan kecemasan, dan saling memahami kebutuhan mendasar yang pantas dipenuhi sebagai pribadi demi ketenangan dan kenyamanan batin. Semuanya itu akan berdampak kepada kesehatan mental dan pertumbuhan pribadi masing-masing.

 Relasi setara dan empati antara Yusuf dan Maria, merupakan nilai fundamental yang melandasi hubungan sebagai pasangan. Dalam relasi semacam ini, setiap pribadi ditempatkan sebagai subjek mandiri dan utuh yang memiliki kebebasan untuk menyatakan pikiran, perasaan, pertimbangan, dan keputusan menyangkut apa yang baik dan penting bagi dirinya. Di tengah situasi yang berpotensi membebani mental, Yusuf dan Maria saling memberi ruang untuk bersama-sama menelusur keputusan terbaik bagi mereka. Yusuf tak semena-mena mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan pendapat dan perasaan Maria. Ia mempertimbangkannya, mendengarkannya, dan menempatkan Maria sebagai pribadi yang penting dan memiliki hak utama untuk mengambil keputusan karena Maria adalah pihak yang akan menuai dampak paling besar dari keputusan itu. Empati Yusuf, membuat pertimbangan dan keputusan Maria, memiliki ruang, dukungan, dan peneguhan. Inilah inspirasi pertama yang dapat digali dari narasi ringkas ini.

 Kedua, perjalanan yang harus ditempuh dari Nasareth ke Betlehem cukup jauh, yakni kurang lebih 81 mil atau sekitar 128 kilometer. Dengan menaiki keledai di siang hari dan beristirahat di malam hari, perjalanan itu memakan waktu kurang lebih 3 hari. Bagi perempuan yang mendekati masa melahirkan, perjalanan semacam itu tentu saja merupakan perjalanan yang berat. Ini merupakan risiko dari keputusan bersama. Selama perjalanan ini, Yusuf tentu saja menghadirkan dirinya sebagai pelindung, penolong, penghibur, sekaligus sahabat bagi Maria sehingga seluruh kesulitan dalam perjalanan itu dapat dilampaui. Ini merupakan bentuk tanggung jawab yang dijalankan oleh Yusuf dan mencerminkan kualitas pribadinya. Tanggung jawab itu juga mencerminkan keikhlasan, rasa syukur dan kesanggupan untuk menanggung risiko dari keputusan.

 Menanggung konsekuensi dari keputusan bersama bukanlah hal yang sederhana. Seringkali hal ini tidak mudah karena seringkali tidak semua risiko itu dapat diantisipasi dan disiapkan sejak awal mula. Ada banyak hal yang seringkali baru muncul dalam perjalanan pelaksanaan keputusan. Tanggung jawab untuk menanggung risiko dalam keikhlasan, kesabaran, keterbukaan terhadap kemungkinan, disertai pikiran positip dan selalu dilandasi oleh orientasi kepada menemukan kebaikan dan kepentingan bersama sebagai pasangan, merupakan hal yang fundamental dan menjadi ciri dari kualitas pribadi dari mereka yang menjalankannya. Menanggung konsekuensi dari sebuah keputusan bersama selalu membutuhkan support dari masing-masing pribadi, saling mendukung, saling memperbesar tabungan emosi agar selalu memiliki energi yang cukup untuk terus berjalan dan berproses. Dalam proses ini, Yusuf dan Maria saling berbagi energi, kompetensi, dan keutamaan pribadi, sekaligus saling memahami keterbatasan dan kelemahan kontekstual yang ada di setiap keunikan situasi. Inilah inspirasi kedua.

 Ketiga, keputusan untuk melakukan perjalanan bersama yang jauh itu pasti juga dilandasi oleh pertimbangan bahwa sebentar lagi Maria akan segera melahirkan. Dengan mengikutsertakan Maria dalam perjalanan sensus itu, Yusuf menunjukkan komitmennya untuk membersamai dan menghadirkan dirinya dalam seluruh proses melahirkan itu, sehingga Maria tidak melahirkan sendirian. Melalui pilihan ini, Yusuf menunjukkan dan mewujudkan solidaritasnya terhadap Maria. Komitmen untuk hadir di samping Maria dalam proses melahirkan itu juga mencerminkan sikap hormatnya terhadap rahim perempuan. Rahim yang menenun kehidupan baru di dalam tubuh perempuan adalah ruang suci bagi kehidupan. Rahim adalah baitul kudus, ruang di mana yang Maha Suci melakukan keajaiban dan keagungan, yakni penciptaan kehidupan. Sangat dimungkinkan, dalam proses melahirkan itu, Maria dan Yusuf dibantu oleh beberapa perempuan lain di sekitar mereka yang sama-sama dalam perjalanan untuk mendaftarkan diri dalam sensus. Dalam seluruh proses itu, Yusuf akan sibuk membantu proses kelahiran sesuai dengan arahan perempuan-perempuan lain yang ada bersama mereka sehingga seluruh proses persalinan berjalan lancar. Ketika anak itu lahir, Yusuf ada di samping Maria dan menyambut sang bayi sebagai anaknya dan meneguhkan kepada semua yang hadir, inilah anak kami. Seluruh tindakan ini sangat berarti terutama bagi Maria, yang karena kehamilannya, harus menanggung fitnah dan prasangka, disudutkan sebagai perempuan hina.

 Pantas dibayangkan bahwa di antara orang-orang yang hadir di sekitar palungan di Betlehem itu, terdapat juga orang-orang yang berasal dari lingkungan dekat Yusuf dan Maria di Nasareth. Itu artinya, sangat dimungkinkan bahwa di antara mereka ada juga orang-orang yang tergolong dalam barisan penyuka prasangka dan fitnah kepada Maria. Ini berarti bahwa Maria sebagai perempuan senantiasa menghadapi kerentanan sebagai pihak yang cenderung dipersalahkan. Dalam situasi itu, kehadiran Yusuf untuk membersamainya dalam proses kelahiran, bukan semata-mata kehadiran fisik sebagai pasangan hidup, melainkan kehadiran dalam kepenuhan aspek pribadinya, yang merupakan cerminan dari keberpihakan, solidaritas, pembelaan terhadap posisi Maria dalam keseluruhan dirinya.

 Kehadiran Yusuf di samping Maria di saat kelahiran Yesus itu sekaligus meneguhkan bahwa di tengah segala badai prasangka dan fitnah terhadap perempuan yang bernama Maria itu, yang boleh disebut sebagai wacana diskriminatif (discriminatory discourse) terhadap Maria, Kehadiran Yusuf adalah sebuah wacana pembelaan (counter discourse) dan perlawanan yang subversif terhadap semuanya itu. Wacana diskriminatif (discriminatory discourse) itu cenderung menghancurkan martabat keperempuanan Maria, namun kehadiran Yusuf di samping Maria sebagai counter discourse, merupakan tindakan nyata yang memulihkan martabat keperempuanannya. Dengan demikian, anak yang dilahirkan dari rahimnya, dibebaskan dari segala fitnah dan prasangka, dan diberi ruang untuk menjadi pribadi yang bermartabat, yang di kemudian hari bertumbuh menjadi panutan, inspirasi, teladan, guru, dan beragam peran penting lainnya sebagaimana tercermin dalam beragam gelar yang disematkan kepadanya, yang sangat bermakna bagi orang-orang yang akhirnya menjadi para murid dan pengikutnya. Inilah inspirasi ketiga.

 Pentingnya tiga inspirasi fundamental itu ditegaskan melalui kisah para gembala yang mendapatkan kabar dari malaikat. Kisah itu tidak dimaksudkan untuk menceritakan peristiwa faktual historis berupa hadirnya malaikat dan bala tentara surgawi yang mengiringi kelahiran Yesus, melainkan berfungsi sebagai sarana metaforis-mitologis untuk mengungkapkan refleksi penulis Injil bahwa seluruh peristiwa kelahiran itu merupakan peristiwa yang sangat penting dan pribadi yang dilahirkan itu di kemudian hari menjadi pribadi yang istimewa bagi mereka yang percaya dan mengikutinya. Kisah metaforis tentang para gembala dan malaikat itu berfungsi juga untuk menyatakan bahwa seluruh proses dan nilai-nilai yang dihidupi oleh Yusuf dan Maria baik dalam pikiran, perkataan, sikap, maupun perbuatan mereka berdua, merupakan partisipasi dalam seluruh nilai dan kehendak Ilahi. Seluruh nilai itu dikehendaki dan direstui oleh yang Ilahi. Dengan kata lain, perwujudan seluruh nilai dalam kerangka relasi perempuan sebagaimana dijalankan oleh Yusuf dan Maria itu adalah tindakan yang mengakibatkan sukacita surgawi. Ini adalah tindakan yang diridhoi oleh yang Ilahi.

 Oleh karena itu, peringatan Natal adalah sebuah penegasan tentang penghormatan terhadap martabat perempuan. Peringatan Natal adalah sebuah kritik yang hendak menyatakan bahwa perempuan bukanlah sumber fitnah, bukan penggoda yang melunturkan kesucian para pemimpin agama, bukan obyek yang harus senantiasa diatur dan ditata dalam relasi kuasa. Perempuan adalah subyek dan pribadi yang utuh, mandiri, dan bermartabat, yang seluruh peran aktifnya dapat mengakibatkan sukacita surgawi.

 Pantas dinyatakan di sini bahwa prasangka dan cara memandang perempuan sebagai sumber fitnah dan penggoda, dalam psikoanalisis Lacanian dapat dikategorikan sebagai fantasi subyek patriarkhis tentang tercurinya kenikmatan (jouissance) oleh perempuan, yang mengakibatkan situasi kekurangan (lack), yang sekaligus mengakibatkan rasa sakit (pain) di dalam diri subyek patriarkis. Dengan demikian, prasangka dan cara memandang perempuan sebagai sumber fitnah sebenarnya adalah cerminan dari rasa berkekurangan, perasaan terancam dan trauma yang dimiliki oleh subyek patriarkhis itu sendiri. Ini dapat menjadi petunjuk bahwa semua tindakan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di tengah masyarakat, tidak disebabkan oleh sikap maupun perilaku perempuan itu sendiri, melainkan berasal dari cara berpikir subyek patriarkhis terhadap perempuan. Sejak dalam pikiran, perempuan telah ditempatkan sebagai obyek dan direndahkan martabatnya.

Inspirasi Natal yang ditemukan dari narasi Injil Lukas ini juga dapat dijadikan sebagai landasan kritis internal bagi institusi Gereja sendiri agar mulai serius dan penuh komitmen untuk mencegah dan menyelesaikan kasus-kasus perendahan martabat perempuan yang terjadi di lingkungan anggotanya secara transparan, bertanggung jawab, penuh empati, tegas, membela martabat perempuan, mengutamakan kehadiran yang berpihak kepada korban. Gereja perlu serius belajar dari pribadi Yusuf, suami Maria, untuk bersikap kritis terhadap wacana diskriminatif (discriminatory discourse) terhadap martabat perempuan yang bekerja dalam alam ketaksadaran patriarkhisnya, dan semakin berani hadir dalam solidaritas nyata terhadap penghormatan martabat perempuan sebagai wacana pembelaan (counter discourse), dengan cara mengangkat seluruh kasus perendahan martabat perempuan yang dilakukan oleh anggota-anggotanya ke dalam hukum publik, karena tindakan itu adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, yang merupakan urusan publik. Langkah ini pada awalnya barangkali akan menyakitkan bagi institusi karena memberi kesan tentang merosotnya kewibawaan (the theft of enjoyment), namun jika sanggup melampauinya, ini justru akan menjadi cerminan dari kualitas kewibawaan itu sendiri, yang sekaligus memancarkan martabat. Gereja perlu melepaskan diri dari fantasi traumatik tentang kemerosotan wibawa, menuju kepada kehadiran emansipatoris yang membebaskan dan empatik.

 Semoga, penghormatan terhadap martabat perempuan semakin menjadi cara hidup kita sehari-hari. Selamat Natal untuk semua saudara dan saudari yang merayakan.


Saturday, December 18, 2021

Timeless Moment, Sebuah Epilog

 


Oleh Indro Suprobo

Kapanpun dan di manapun, setiap orang senantiasa menghadapi realitas harian. Di dalamnya tersedia banyak sekali peristiwa dan hal-hal yang dapat dijumpai. Namun pantas diakui bahwa seringkali banyak hal dan peristiwa yang tersedia di dalam realitas harian itu, lepas begitu saja dari perhatian dan pemahaman sese-orang. Ia lewat dan lenyap tanpa jejak, tak tersimpan sedikitpun dalam ingatan. Menghilang tanpa bisa dikenang.

Inner Journey, Perjalanan Jauh ke Dalam, adalah buku ketiga Ruy Pamadiken yang menawarkan cara berbeda dalam menghadapi realitas harian. Meminjam istilah yang digunakan oleh Abraham Maslow, seorang pengusung psikologi humanistik ternama, melalui narasi-narasi pendek yang ada di dalamnya, buku ini menawarkan cara menghadapi realitas harian dengan apa yang disebut sebagai Being-Cognition atau disingkat B-cognition, yakni memahami, mengenali, menyelami dan memaknai realitas harian dengan being, menjadi, terlibat secara mendalam dan partisipatif, menyatu di dalamnya secara keseluruhan, sehingga realitas harian itu menjadi terbuka, menyingkapkan dirinya, menawarkan kesatuan utuh dengan keseluruhan, dan melepaskan ikatannya dengan waktu linear, menjadi sebuah momen yang tak terbatas waktu, yang tersingkap dan terbuka senantiasa, ....menjadi timeless moment. Ia menjadi saat yang tak lekang oleh pembatasan waktu, menyatukan masa lalu dan masa depan dalam saat sekarang yang agung dan mendalam. 

Melalui being-cognition, buku ini mengajak setiap orang yang membacanya untuk menghadapi realitas harian bukan semata-mata sebagai realitas instrumental yang menjadi alat untuk mencapai tujuan yang lainnya,  melainkan sebagai realitas yang menarik setiap orang untuk masuk ke dalam makna terdalam, mengalami kepenuhan, merasakan kesatuan dengan segala sesuatu yang berada di luar dirinya dan yang lebih besar dari dirinya. Dengan demikian Timeless Moment ini menjadi peak experience, sebuah pengalaman puncak yang membawa setiap orang kepada kepenuhan makna dan keutuhan dalam kesatuan dengan semesta. 

Dalam tradisi Kitab Suci Kristen, cara menghadapi realitas harian seperti ini tercermin dalam pilihan Maria untuk duduk di dekat kaki Yesus, mendengarkan dan belajar dari-Nya. (Luk 10:38-42). Ini sebuah pilihan yang berbeda dengan pilihan Marta yang bersifat instrumental. Kedua cara menghadapi realitas harian ini, sebagaimana dipilih oleh Maria dan Marta, bukanlah pilihan yang beroposisi biner, bukan pilihan mana yang lebih baik dan mana yang lebih buruk, melainkan sebuah pilihan dalam keseimbangan. Keduanya penting. Realitas harian musti dihadapi secara instrumental demi tujuan tertentu, namun sekaligus perlu dihadapi seba-gai sabbath, saat hening dan saat kepenuhan. 

Ruy Pamadiken dalam buku ini sedang menunjukkan dan mengajak para pembaca untuk menyelami proses keseimbangan itu. Kisah-kisah yang ditawarkan di dalam buku ini, dari dalam dirinya juga menarik pembaca untuk terlibat, menyelami,  berparti-sipasi, meresapi dan mencecap seluruh elemen pengalaman yang dikisahkan itu. Melalui cara ini, pembaca diajak untuk menjadi Maria yang mendekati sebanyak mungkin realitas harian sebagai timeless moment, dan pengalaman puncak yang menyediakan mak-na keseluruhan dan kepenuhan. Realitas harian yang dihadapi oleh penulis, ketika dibaca dan dinikmati, membuka dirinya menjadi pengalaman pembaca, menjadi peristiwa atau moment yang senantiasa terbuka bagi siapapun yang mau terlibat dan berpartisipasi di dalamnya, sehingga pembaca merasakan dan mengalami, serta menemukan semua yang berharga yang dapat ditemukan di dalamnya. Kegembiraan, air mata, ketakjuban, mukjizat yang bekerja secara tak dinyana-nyana, keterbatasan diri, kelemahan yang dibentuk oleh pembiasaan, semuanya dapat ikut ditemukan dan dialami sebagai pengalaman diri dan memasuki peak experience yang menyediakan "aha!".

Timeless Moment menjadi saat di mana realitas dan pengalaman harian dihayati dalam aktualisasi diri yang paling dalam, sehingga seluruh kekayaan yang tersembunyi di dalamnya, memancar, memenuhi seluruh kesadaran, berbicara dalam denting keheningannya yang paling sempurna, menyatakan dirinya, membiarkan diri ditemukan, dan pada gilirannya, menyediakan kebaharuan. 

Timeless moment adalah undangan dan kesempatan yang senantiasa tersedia di dalam setiap realitas harian kita. Jika seseorang tak merasa terpanggil untuk menjawab undangan dan kesempatan itu, segala sesuatu yang tersedia di dalamnya, akan hilang lenyap. Ia hanya dapat dicecapi dan diselami oleh mereka yang memiliki kecintaan dan kemauan untuk memasukinya. Ia akan diselami oleh mereka yang senantiasa ikhlas untuk melangkah dalam perjalanan jauh ke dalam. Duc in altum.


Saturday, June 05, 2021

TWK KPK sebagai Praktik Kekuasaan dan Wacana Kolonial

 oleh Indro Suprobo

TWK di KPK dalam pandangan saya tidak mencerminkan praksis perwujudan nilai-nilai dan prinsip-prinsip wawasan kebangsaan sebagaimana diusung di dalam judulnya. Ini adalah sebenar-benarnya praktik kekuasaan yang dijalankan secara murni dan konsekuen. Mengapa demikian? Karena para penyelenggaranya, tanpa harus menyatakannya secara eksplisit, namun melalui praktik sangat nyata, telah mendaku sebagai satu-satunya otoritas yang memiliki kewenangan untuk menafsirkan, merumuskan, dan menentukan kriteria tentang wawasan kebangsaan tanpa memberikan ruang kepada pihak-pihak lain untuk secara terbuka dan dialogis terlibat di dalamnya. Barangsiapa mendaku sebagai satu-satunya aktor dalam produksi pengetahuan, adalah sebenar-benarnya pihak yang menjalankan kekuasaan. Lebih-lebih, jika produksi pengetahuan itu secara semena-mena meminggirkan pihak lain. 

Dalam konteks itu, TWK adalah sebuah produksi wacana kolonial sekaligus praksisnya yang sekali lagi, murni dan konsekuen. 

Wawasan kebangsaan adalah cara pandang tentang keseluruhan diri, lingkungan dan semua gerak relasional-dinamis yang dihadapinya, dengan mengacu kepada nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang telah disepakati sebagai pandangan hidup berbangsa yang sekaligus menjadi landasan ideologis konstitusionalnya, yakni Pancasila. Merumuskan, menafsirkan, dan menentukan kriteria wawasan itu merupakan hak sekaligus kewajiban setiap individu warga negara yang telah mengikatkan diri kepada pandangan hidup berbangsa itu. Hak dan kewajiban setiap individu warga negara untuk terlibat dalam proses penafsiran, perumusan dan penentuan kriteria tentang wawasan kebangsaan itu, secara gamblang telah dijamin baik di dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab, maupun dalam sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Jaminan atas keterlibatan itu dimaksudkan untuk menjagai dan mencapai apa yang dinyatakan dalam sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Oleh karena itu, pengabaian terhadap hak atas keterlibatan dalam penafsiran, perumusan dan penentuan kriteria tentang wawasan kebangsaan itu, justru secara jelas dan terbuka merupakan pengingkaran paling dalam terhadap nilai wawasan kebangsaan itu, dan merupakan pengabaian terhadap pandangan hidup berbangsa yang justru menjadi landasan fundamentalnya. Boleh dikatakan, praksis ini justru merupakan sebuah contradictio in terminis, sebuah kontradiksi sejak dalam pikiran.

Tak mengherankan jika bahkan mereka yang lolos tes wawancarapun, mengajukan pertanyaan kritis dan gugatan serta ketidaksetujuan atas hasil pelaksanaannya. Tak mengherankan jika ada banyak pihak maupun lembaga yang tetap menunjukan sikap kritis terhadap praktik TWK dan konsekuensi di belakangnya. 


Menjadi semakin jelas bahwa ini merupakan praktik kekuasaan dan bukan perwujudan dari nilai wawasan kebangsaan itu, dapat dicermati dari kebebalan pihak penyelenggara dan sikap tutup telinga terhadap semua suara kritik dan gugatan yang ada di sekitarnya dengan segala rasionalisasi yang dikemukakannya. 

Sekali lagi, ini merupakan produksi wacana kolonial yakni wacana yang dianggap dan seolah-olah mengandung seluruh kebenaran tanpa sikap kritis, namun sebenarnya tetap menyimpan dan menyembunyikan superioritas sekaligus kepentingan yang sangat berpotensi meminggirkan liyan. Ini adalah sebuah proses mendefinisikan orang lain tanpa sedikitpun memberikan ruang bagi orang lain untuk mendefinisikan dirinya sendiri. 

Dalam situasi seperti ini, apa yang dinyatakan oleh pihak-pihak yang mengajukan kritik dan gugatan tampaknya sejalan dengan apa yang diingatkan secara jelas oleh pemikir pasca-kolonial, Gayatri Spivak, saat ia menuliskan "Let subaltern speaks".

Foto: Amnesty Internasional Indonesia, dan poster pelemahan KPK (meminjam dari pameran poster dan diskusi Jogja "Berani Jujur, Pecat", dg kurator Anang Saptoto))


Monday, May 17, 2021

Arik Ascherman dan Rabbis for Human Right

 Oleh Indro Suprobo


Arik Ascherman adalah seorang Rabbi Yahudi, mantan direktur eksekutif sebuah lembaga kemanusiaan bernama Rabbis for Human Right. Ia dan lembaganya itu memiliki misi utama melakukan apapun semaksimal mungkin untuk mencegah atau menghentikan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia di Israel, tanpa pandang bulu, entah hak siapa yang dilanggar, orang Yahudi Israel, orang Arab warga negara Israel, orang Palestina di wilayah pendudukan, pekerja asing, maupun para pengungsi dari Afrika.

Melandaskan diri pada perintah Taurat dalam kitab Keluaran 22:21 yang menyatakan,"Janganlah kau tindas atau kau tekan orang asing, sebab kamupun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir", ia menegaskan prinsip untuk berpihak kepada yang tertindas, preferential option for the oppresses. Ia memahami perintah dan prinsip itu sebagai pesan dari Tuhan bahwa sejarah penindasan yang dialami oleh orang Yahudi di Mesir pada masa kuno itu hendaknya diterima dan dipahami sebagai landasan untuk peka, berempati dan memahami orang lain yang mengalami penindasan pada masa kini, bukan sebagai landasan untuk membalas dendam apalagi untuk melegitimasi kekerasan. Bagi Arik Ascherman, menindas dan melakukan kekerasan kepada orang lain adalah tindakan melukai sesama, yang berarti merusak citra Tuhan di dunia dan melawan Tuhan, karena sesama manusia itu diciptakan menurut gambar Tuhan.

Mengapa orang asing mendapat prioritas untuk dilindungi dari penindasan? Arik Ascherman mengutip kitab Ulangan 27:19 yang menyatakan "Terkutuklah orang yang memperkosa hak orang asing, anak yatim dan janda", karena mereka itu lemah, paling rentan, dan tak memiliki pembela atau penolong.

Dari sini tampak bahwa, Rabbi Arik Ascherman telah sanggup mengolah pengalaman luka, pengalaman negatif, pengalaman ketertindasan dalam dirinya sendiri menjadi landasan konstruktif bagi empati dan compassion sehingga ia mampu menjangkau pengalaman luka dan penderitaan orang lain. Inilah landasan sikap pro-eksistennya, yakni melindungi dan membela hak orang lain yang sedang menghadapi pelanggaran. 

Oleh karena itu, pilihan tindakannya tak didasarkan kepada ikatan emosional dan keyakinan kelompoknya sendiri melainkan didasarkan pada prinsip membela yang tertindas.

Dalam situasi konflik Arab-Israel yang berkepanjangan ini, ia seringkali memilih untuk membela orang-orang Palestina, para pemuda, kaum perempuan dan anak-anak, maupun para petani, yang tanpa alasan apapun harus menghadapi penindasan, kesewenang-wenangan, atau kekerasan tak rasional, hanya karena mereka adalah orang Palestina. Dalam rasionalitas dan kejernihan akal budinya, ia mewujudkan prinsip preferential option for the oppressed secara konsisten. Akibatnya ia seringkali harus menanggung risiko berhadapan dengan kelompok primordialnya sendiri, entah tentara Israel, entah orang Yahudi pada umumnya. 

Pada 8 Mei 2021 yang lalu, karena membela petani Palestina yang lahannya dirusak oleh kawanan ternak milik orang-orang Yahudi, ia dipukul dengan kayu oleh sesama saudaranya sendiri, pemuda Yahudi, sehingga terpaksa dibawa ke rumah sakit di Yerusalem.

Setiap komunitas yang bertikai, membutuhkan kehadiran orang-orang seperti rabbi Arik Ascherman ini di dalamnya. Dapat dipastikan bahwa di antara komunitas orang-orang Palestina, ada orang-orang yang memperjuangkan perdamaian seperti ini. Keprihatinan mereka mewakili kerinduan para perempuan dan anak-anak di kedua komunitas yang mendambakan perdamaian, dijauhkan dari hasrat dan kepentingan sempit sekelompok kecil elit yang tak peduli kepada orang lain dan cenderung kehilangan imajinasi tentang liyan.

Dalam situasi konflik yang menghancurkan kemanusiaan kedua pihak ini, tantangan kita adalah mengambil jarak dari produksi emosi yang menggeneralisir cara berpikir, agar senantiasa sanggup membedakan antara kerinduan nyata sebagian besar rakyat atas perdamaian, keamanan dan persaudaraan di satu pihak, dan kepentingan kekuasaan elit kedua kelompok di pihak lain. 

Sebagai catatan kecil, lahirnya zionisme dan pendudukan kembali tanah Palestina menimbulkan banyak pertentangan di kalangan Yahudi sendiri karena dianggap mencederai keyakinan Yahudi. 

Semoga solusi damai yang adil untuk kedua komunitas segera tercapai.

Friday, May 14, 2021

Integritas

Oleh Indro Suprobo


Sebagaimana atas nama Tuhan dan agama seseorang atau sekelompok orang dapat saja menghancurkan kemanusiaan yang semestinya dimuliakan dalam kemartabatan, atau atas nama pembangunan dan nasionalisme, seseorang atau sekelompok orang dapat saja menyingkirkan hak-hak warga negara yang semestinya justru harus dijamin dan dilindunginya, demikian juga atas nama wawasan kebangsaan, seseorang atau sekelompok orang dapat saja melecehkan integritas panjang penuh risiko keamanan dan keselamatan yang sesungguhnya merupakan praksis nyata loyalitas terhadap nilai-nilai dasar kebangsaan yang semestinya diperjuangkan. 

Praksis-praksis semacam ini barangkali merupakan tindakan yang sering disebut sebagai bersifat instrumentalis, yakni menjadi alat untuk mengabdi kepada suatu kepentingan, dan bukan tindakan yang bersifat emansipatoris, yakni yang menghargai dan mengakui kesetaraan keberadaan liyan dalam komunikasi dialogis demi mengarah kepada pembebasan tanpa dominasi dan represi. 

Dalam pemahaman saya yang terbatas, wawasan kebangsaan adalah cara berpikir, pilihan sikap dan pilihan tindakan yang didasarkan dan diorientasikan kepada nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh landasan ideologis-konstitusional dan dijamin oleh konstitusi. Integritas bertahun-tahun dalam kerja-kerja pencegahan dan pemberantasan korupsi dengan menanggung segala risiko yang mengancam keselamatan dan keamanan jiwa adalah salah satu wujud dan praksis nyatanya. Ia merupakan konsistensi antara pikiran, sikap dan pilihan tindakan. Oleh karena itu, pelecehan terhadap integritas bertahun-tahun dan penuh risiko itu merupakan sebuah contradictio in actione. Tindakan semacam itu barangkali boleh disebut sebagai ilusi loyalitas kebangsaan karena ia lebih berorientasi kepada kepentingan dan kekuasaan, bukan kepada nilai-nilai dasar. 

Ilusi loyalitas kebangsaan semacam ini jika tidak disikapi secara kritis, berpotensi membahayakan seluruh cita-cita dan perjuangan untuk meraih keadilan dan martabat kemanusiaan. Ia menelikung kesadaran dan orientasi kepada nilai, mengaburkannya dan membelokkannya kepada kepentingan. Ia bisa jatuh sebagai bentuk kezaliman.

Jauh-jauh hari sebelum diangkat ke surga, Yesus secara tegas telah menyatakan sebuah peringatan soal integritas ini: "Bukan mereka yang berseru kepadaku...Tuhan....Tuhan..., yang akan masuk ke dalam kerajaan sorga, melainkan mereka yang melakukan kehendak Bapaku yang di sorga" (Mat 7:21).

Dalam pidato perpisahannya, yang dikenal sebagai pidato haji wada, Muhammad Rasulullah memberikan peringatan tentang betapa pentingnya melawan kezaliman karena penegakan keadilan merupakan wujud integral dari ketaqwaan. Pidato itu merupakan landasan hak asasi manusia di dalam Islam. 

Hari raya Idul Fitri dan Kenaikan Isa Al Masih, barangkali menjadi kesempatan yang sangat baik untuk mengingat penegasan dan peringatan penting dari dua guru kehidupan itu, Yesus dan Muhammad.

Thursday, May 13, 2021

Kebesaran Hati dan Kasih Sayang

 Oleh Indro Suprobo

Orang-orang yang memiliki spiritualitas mendalam dan kualitas kedekatan dengan Allah, pada umumnya lebih sanggup mengambil jarak terhadap dirinya sendiri dan sanggup menghadirkan kebesaran hati serta kasih sayang dalam pikiran, ucapan maupun tindakannya.

Dalam tradisi kristen dikisahkan bahwa pada puncak kesengsaraan di kayu salib, Yesus memohonkan ampunan bagi orang-orang yang menganiayanya dengan mengatakan,"Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat."

Dalam tradisi Islam dikisahkan bahwa pada masa hidupnya, Muhammad Rasulullah setiap hari dengan setia menyuapi seseorang yang tuna netra, yang pada saat disuapi itu selalu saja mencela dan mencaci maki sehabis-habisnya, orang yang namanya Muhammad. Sampai suatu saat, ketika Muhammad SAW telah wafat, seorang sahabat Nabi menggantikan perannya, menyuapi orang yang tuna netra itu setiap hari. Karena ada yang dirasakan berbeda, si tuna netra itu berkata,"Tampaknya engkau bukan orang yang biasanya menyuapiku". Sahabat nabi menjawabnya,"Iya, dia yang biasa menyuapimu telah wafat".

"Siapakah dia yg biasa menyuapiku itu? Apakah engkau mengenalnya", tanya si tuna netra.

"Ya, saya mengenalnya, dialah Muhammad, orang yang senantiasa engkau caci maki itu".

Mendengar jawaban itu, runtuhlah seluruh langit-langit batin si tuna netra itu. Lalu ia melihat rembulan utuh yang bersinar lembut di dalam hatinya.

Itulah sebabnya mengapa Yesus disebut Anak Allah dan Muhammad SAW disebut kekasih Allah. Keduanya adalah orang yang dekat dengan Allah. "Anak" dan "kekasih" adalah bahasa puitis untuk menggambarkan kedekatan relasional itu. 

Dalam sebuah forum internasional yang disebut The Act for Happines, Karen Armstrong menyatakan bahwa "compassion" hanya dapat muncul dalam diri orang-orang yang sanggup menerima diri sendiri dengan segala derita terdalamnya shg ia sanggup menyelami derita terdalam yang dialami oleh orang lain sebagaimana deritanya sendiri. Oleh karena itu, orang-orang yang tak sanggup menghadirkan compassion kepada orang lain, pada umumnya adalah orang-orang yang tak sanggup menerima dirinya. Ujaran kebencian, stereotyping dan stigma terhadap orang lain bisa jadi merupakan cerminan dari kegagalan seseorang menerima realitas dirinya.

Yesus dan Muhammad adalah teladan nyata tentang mengambil jarak terhadap diri, menerima ketakpantasan diri, dan mengakui Dia yang kebesaran hati, pengampunan dan kasih sayangNya teramat luas dan tak terbayangkan.

Barangkali, di balik ujaran kebencian yang berseliweran di dunia kita, sebenarnya tersembunyi luka dan penderitaan yang perlu disembuhkan.

Namo Buddhaya....

Monday, March 29, 2021

Terorisme Sudah Tua Umurnya

 oleh Indro Suprobo


Terorisme itu umurnya sudah tua sekali. Tindakan Persekongkolan Serbuk Mesiu (Gunpowder Plot) yang terjadi pada 5 November 1605 sebagai upaya pembunuhan terhadap Raja James I (penganut Kristen Protestan) dengan cara meledakkan istana Westminster Inggris adalah pendahulunya. Tindakan ini dilakukan oleh sekelompok orang penganut Katolik di Inggris. Meskipun konsep terorisme belum muncul pada abad ke-17, David C. Rapoport dan Lindsay Clutterbuck dalam buku volume I berjudul "Terrorism: The First or Anarchist Wave", terbitan Routledge, 2006, menyatakan bahwa persekongkolan yang menggunakan bahan peledak ini adalah pendahulu terorisme anarkis abad ke-19. Dalam keempat volume tulisannya, Rapoport membagi terorisme ini ke dalam empat gelombang. Gelombang terakhir atau keempat disebut sebagai terorisme religius.

Terkait terorisme religius itu, dalam jurnal The American Political Science Review Vol. 78, No. 3 (Sep., 1984), hlm. 658-677, melalui artikel berjudul "Fear and Trembling: Terrorism in Three Religious Traditions", Rapoport memberikan contoh tiga gerakan teror dalam tiga tradisi agama yang berbeda yakni Hindu, Islam dan Yahudi melalui gerakan yang disebut "the Thugs, Assassins, dan Zealots-Sicarii" yang masing-masing memiliki karakter berbeda, namun semuanya menghasilkan ketakutan dan kekerasan di masyarakat.

Lalu mengapa agama-agama yang dianggap sebagai gerakan yang mengusung nilai-nilai luhur dan religiositas demi pertumbuhan kemanusiaan itu dapat melahirkan anggota-anggota yang melakukan kekerasan dan mengakibatkan luka dan kematian bagi manusia lain yang disebut juga sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan? Dalam artikel yang berjudul "Why does Religion turn Violent? A Psychoanalytic Exploration of Religious Terrorism", James W. Jones menyatakan bahwa perasaan malu dan perasaan terhina diidentifikasi sebagai motivasi dasar dari para pelaku teror dan kekerasan. Tindakan teror dan kekerasan yang dilandasi oleh perasaan malu dan terhina ini ditempatkan dalam kerangka pemaknaan tertentu yakni sebagai langkah pemurnian, pengorbanan, penyerahan, sekaligus penyucian diri untuk meraih kemuliaan surgawi. Pemaknaan ini merupakan konstruksi intensif dalam lingkungan internal terbatas yang berlangsung terus-menerus. Mereka yang tergabung dalam gerakan-gerakan terror ini pada umumnya telah mengalami keterhinaan selama sekian waktu dalam hidup mereka. Rasa terhina ini juga dimaknai sebagai akibat dari tindakan liyan yang pantas untuk dibalas melalui tindakan suci. Bagi mereka, peledakan bom yang menghancurkan diri sendiri dan orang lain ini bukanlah tindakan bunuh diri. Bukan! Bagi mereka, tindakan ini dimaknai sebagai kemuliaan. Bukan perendahan kemanusiaan melainkan pemuliaan. Penderitaan diri bahkan kematian dan kehancuran diri bukanlah tindakan sia-sia, melainkan sebuah langkah penyucian dan pemuliaan. Sebuah tindakan paradoksal.

Dengan demikian, konsep-konsep yang tersedia di dalam agama-agama, digunakan sebagai kerangka yang legitim untuk memaknai hidup dan tindakan mereka.

Tetapi, mengapa sebagaian orang yang akhirnya memilih tindakan teror ini dapat mengalami apa yang disebut sebagai rasa malu dan terhina? Mengapa mereka merasa malu dan terhina? Menjawab ini, Karen Armstrong memberikan analisis bahwa penyebabnya adalah sekularisme yang agresif dan tak peduli terhadap cara berpikir dan cara memandang hidup orang-orang ini. Tak ada dialog dan komunikasi yang baik antara pengusung sekularisme dan orang-orang ini. Akibatnya, perasaan malu dan terhina yang terakumulasi ini melahirkan penilaian konspiratif bahwa mereka yang mengusung sekularisme memang sengaja ingin menghancurkan mereka dengan beragam cara. Oleh karenanya, perlawanan dengan kekerasan adalah pilihannya. (Karen Armstrong, "Berperang Demi Tuhan"). Dalam pilihan itu, selain rasa malu dan terhina, tersembunyi pula perasaan takut dan terancam di dalam ketaksadaran yang mendalam. Gabungan antara rasa terhina dan perasaan terancam, telah menjadikan mereka kehilangan imajinasi tentang orang lain. Ini dialami oleh semua orang dari semua agama, yang akhirnya mengambil jalan teror dan kekerasan yang menghancurkan kemanusiaan.

Dalam konteks Indonesia, mereka yang melakukan teror dan disebut teroris ini sebenarnya tak mengalami rasa malu dan keterhinaan sebagaimana dialami oleh mereka yang senyatanya berjuang di negeri-negeri Timur Tengah, asal mula lahirnya tafsir jihadis yang keras yang melahirkan tindakan teror. Para teroris di Indonesia mengambil alih rasa malu dan keterhinaan itu secara ilusif di dalam cara berpikir mereka dan mengaitkannya dengan bukti-bukti parsial yang ditafsirkan sebagai ancaman yang menghancurkan keyakinan dirinya dan komunitasnya. Situasi ini menjadi mungkin dan menjadi parah ketika ilmu-ilmu dan pendidikan agama tak dilengkap dengan ilmu-ilmu interdisipliner yang bersifat kritis.

Barangkali, upaya-upaya deradikalisasi yang selama ini diupayakan itu perlu mempertimbangkan aspek "rasa terhina dan terancam itu" sebagai bagian sangat penting untuk disentuh dan disembuhkan. Tentu saja ini tidak mudah karena membutuhkan alat yang disebut sikap kritis. Sikap kritis adalah alat yang barangkali perlu dimiliki oleh setiap orang agar ia bisa mengambil jarak terhadap diri dan cara berpikirnya, termasuk apa yang dirasakannya, terutama rasa malu, rasa terhina dan rasa terancam. Jika seseorang berhasil bersikap kritis dan mengambil jarak terhadap perasaan dan pengalaman negatif di dalam ketaksadarannya ini, mungkin ia akan lebih mudah untuk memeluk kasih sayang dan membagikannya kepada liyan.

semoga semakin ditemukan upaya produktif dari berbagai kalangan untuk mengurangi teror dan kekerasan di tengah masyarakat.

Dalam keprihatinan.


Tuesday, March 16, 2021

Yang ditemukan dari Perbedaan dan Persamaan

 oleh Indro Suprobo


Dalam tiga tradisi keyakinan, yakni Kristen, Islam dan Ahmadiyah, Yesus atau Isa merupakan satu pribadi yang dibaca dalam tiga narasi berbeda. Barangkali boleh dikatakan bahwa Yesus/Isa merupakan satu penanda (signifier) yang sama, namun memiliki tinanda (signified) atau gambaran konsep mental yang berbeda-beda. Narasi tentang Yesus/Isa dalam tiga tradisi ini merupakan tinanda (signified) itu.

Tiga narasi dalam tiga tradisi itu memiliki titik sambung (irisan) namun juga memiliki titik pembeda yang merupakan keunikan atau kekhasan dalam masing-masing narasi. Titik sambung dan titik pembeda itu dapat dilihat di dalam gambar.



Jika mengikuti teori-teori linguistik tentang sistem tanda, tampaknya dapat dikatakan juga bahwa hubungan antara Yesus/Isa sebagai penanda (signifier) dan gambaran konsep mentalnya sebagai tinanda (signified) dalam ketiga tradisi itu bersifat arbitrer (sewenang-wenang tanpa ketentuan yg mengikat) dan merupakan konvensi di dalam masing-masing tradisi, sehingga hubungan itu hanya berlaku di dalam tradisi masing-masing, serta tak dapat diperbandingkan, tak dapat dijadikan sebagai kriteria otoritatif utk menilai tradisi yang lain. Itu artinya, kebenarannya bersifat parsial dan relatif (hanya dalam sistem relasi milik tradisi itu sendiri).

Namun demikian, ketiga narasi itu ternyata ditopang oleh satu nalar dasar yang serupa, yakni "Yesus/Isa adalah orang yang dibenarkan oleh Allah dan diselamatkan" (gambar lingkaran biru). Nalar dasar ini diekspresikan, dibaca (membaca = iqra), dan dinarasikan secara berbeda-beda oleh tiga tradisi itu. Perbedaan cara membaca atau cara mengekspresikan nalar ini barangkali dipengaruhi oleh mental model masing-masing tradisi, yg awalnya merupakan personal mental model dan terstrukturisasi menjadi communal mental model. 

Narasi-narasi itu barangkali dapat juga disebut sebagai cerita-cerita. Nah, sebagai cerita, ia memiliki beberapa ceritem atau mithem di dalamnya. Ceritem-ceritem atau mithem-mithem itu hanya dapat dipahami dalam keseluruhan cerita. Ini ada dalam gambar tabel. Keseluruhan ceritem atau mithem itu membentuk satu kesatuan makna cerita yg secara implisit mengungkapkan nalar dasarnya.



Membaca narasi dalam tiga tradisi dan berupaya menemukan nalar dasar dari persamaan dan perbedaannya itu, membantu kita untuk belajar mengambil jarak terhadap "struktur dasar" yang seringkali secara tak sadar telah memengaruhi keseluruhan cara kita berpikir dan bertindak. Persetujuan, pilihan dan kecocokan masing-masing orang terhadap narasi dalam tradisi-tradisi itu pantas diakui sebagai buah dari habitus yang berproses dalam kurun waktu panjang. Karena merupakan hasil dari habitus, maka kecocokan dan pilihan thd narasi itu juga tidak mudah diubah.

Saya sendiri melihat narasi-narasi dalam tradisi itu bukan soal benar dan salah, melainkan lebih soal bagaimana narasi-narasi itu berfungsi bagi setiap orang yang memilihnya sehingga ia sanggup membangun kerangka makna di dalam hidupnya, yang mengarahkan dan mendorongnya untuk mendukung pertumbuhan kemanusiaan dan relasi antar sesama sebagaimana tersirat di dalam nalar dasarnya, yakni menemukan prinsip dasar dari satu orang yang dibenarkan dan diselamatkan oleh Allah. Nalar dasar ini dapat dirumuskan juga sebagai gambaran tentang Allah yang adil. Mengapa lebih melihat fungsinya? Karena sifatnya yang arbitrer, konvensional dan relatif-parsial di dalam sistemnya sendiri. Dengan demikian, tak akan ada faedahnya memperdebatkan perbedaan-perbedaan itu karena sifat dasarnya yg arbitrer dan konvensional. Namun sangatlah penting memahami perbedaannya dan menemukan nalar dasarnya.

Semoga berguna.


Sunday, March 14, 2021

Tentang Penutup Kepala

 Oleh Indro Suprobo


Berdasarkan Kitab Suci Perjanjian Baru, salah satunya Surat Paulus kepada jemaat di Korinthus, yakni 1 Kor 11:3-15, Kitab Hukum Kanonik (KHK) Gereja Katolik edisi tahun 1917, Kanon 1262 artikel 2 menegaskan bahwa kaum perempuan diharuskan mengenakan penutup kepala (kerudung atau jilbab) pada saat menjalankan ibadah di gereja. Dengan demikian, mengenakan kerudung atau jilbab dg beragam modelnya merupakan bagian dari kebiasaan kaum perempuan kristen/katolik masa itu. Pada tahun 1983, Kitab Hukum Kanonik edisi pembaharuan sudah tidak mencantumkan lagi ketentuan tentang penutup kepala bagi perempuan itu. Namun demikian, kebiasaan itu masih tetap dilestarikan oleh sebagian besar perempuan biarawati dari berbagai macam ordo dan konggregasi. Beberapa ordo biarawati bahkan mengenakan kerudung lengkap dengan cadar penutup wajah sebagai simbol tentang pengikatan diri kepada Sang Mempelai, Yesus Kristus.




(Gambar para biarawati Kristen dengan penutup kepala dan cadar dalam beragam aktivitas)


Dari kenyataan ini kita dapat belajar bahwa penutup kepala dengan beragam modelnya, sebenarnya merupakan kebiasaan banyak perempuan dari beragam tradisi budaya dan dilestarikan serta diinstitusionalisasikan oleh agama-agama.

Sayangnya, dinamika relasi antar komunitas dan politik identitas kadang-kadang melahirkan sikap saling berprasangka terkait penutup kepala itu. Sebagian orang merasa tidak suka, tidak hormat, curiga, bahkan mungkin membenci ketika melihat perempuan yang mengenakan penutup kepala entah itu penutup kepala para biarawati, perempuan kristen ortodok atau kristen lainnya, maupun perempuan muslim. Sikap tidak suka itu kadang-kadang tidak rasional.

Apabila memahami secara lebih baik sejarah kebudayaan, relasi kontinuitas dan diskontinuitas antar budaya, inovasi pemaknaan dan spiritualitas di balik tradisi penutup kepala itu, barangkali prasangka-prasangka dan kebencian antar komunitas itu bisa berkurang banyak dan bersikap lebih santai terhadapnya.

Membongkar prasangka antar komunitas agama, memang membutuhkan keluasan wawasan lintas disiplin, namun yang paling utama adalah pendidikan kritis.

Sebagai catatan, akhir-akhir ini semakin sering dijumpai kaum perempuan kristen/katolik yang mengenakan penutup kepala ketika beribadah dan bertugas khusus di gereja, ketika melayat, atau menengok orang sakit. Ini menarik. Yang penting tidak ada pemaksaan atau larangan sewenang-wenang.

Semoga relasi antar komunitas agama semakin maju dan produktif, lebih santai dengan beragam perbedaan, dan lebih berkomitmen kepada upaya memajukan keadilan dalam semangat pro-eksisten, sebab itulah wujud nyata dari ketakwaan.



Sunday, March 07, 2021

Konggres Luar Biasa (KLB) dalam Tradisi Mitologis Kuno

 oleh Indro Suprobo

Pada masa awal bangsa Israel kuno, kaum perempuan memiliki kekuatan, wibawa, peran dan posisi yg sejajar dengan kaum lelaki. Para istri sejajar dengan para suami, saling mendukung, berbagi peran dan saling menghormati. Maka dikenal nama-nama seperti Deborah, Judith, dan Ester sebagai panglima perang dan pahlawan-pahlawan. Namun ketika konsepsi monotheisme dan kedudukan Yahweh sebagai Tuhan bangsa Israel semakin kuat, ia mengalahkan konsepsi dewa-dewi Kanaan dan Timur Tengah dan menjadi satu-satunya Tuhan. Kultus dewa-dewi semakin menyusut, urusan agama semakin diambil alih oleh lelaki. Sejalan dengan itu, posisi dan peran perempuan juga menyusut, dipinggirkan oleh peran dan posisi laki-laki.

Proses kemenangan Yahweh, Tuhan Israel kuno, dalam menempati posisi sebagai Tuhan yang Esa, mengatasi segala dewa-dewi yang lain itu, diraih dengan susah payah, melibatkan penderitaan, kekerasan, pertentangan, konfrontasi. Ini semua menunjukkan bahwa konsepsi monotheisme di antara orang-orang Israel kuno itu tidak datang dan diterima dengan mudah. (Konsepsi) keunggulan monotheistik Yahweh itu tak bisa berdamai dg konsepsi dewa-dewi dan akibatnya, dewa-dewi itu harus dikalahkan habis-habisan.

Untuk itu diselenggarakanlah Konggres Luar Biasa Majelis dewa-dewi suci untuk menentukan kriteria kepemimpinan monotheistik Yahweh. Ini terdokumentasi dalam kitab Mazmur (kitab Zabur) 82. Isinya demikian:

Yahweh mengambil posisi dalam Majelis El

untuk membuat keputusan di antara para allah

"Berapa lama lagi kamu menghakimi dengan zalim dan memihak lepada orang fasik?

Berilah keadilan kepada orang yang lemah dan kepada anak yatim, belalah hak orang yang sengsara dan orang yang kekurangan!

Luputkanlah orang yang lemah dan yang miskin, lepaskanlah mereka dari tangan orang fasik!"

Mereka tidak tahu dan tidak mengerti apa-apa, dalam kegelapan mereka berjalan, goyanglah segala dasar bumi.

Aku sendiri telah berfirman,"Kamu adalah allah, dan anak-anak Yang Mahatinggi (El Elyon) kamu sekalian. Namun seperti manusia, kalian akan mati dan seperti salah seorang pembesar kamu akan tewas."

Dalam Konggres Luar Biasa Mitologis yang suci itu, Yahweh menetapkan kriteria untuk menduduki posisi sebagai pemimpin monotheistik para illah, yakni kesanggupannya untuk menjamin semua bentuk nyata keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh realitas hidup bangsa Israel kuno sehari-hari. Melalui konggres luar biasa mitologis itu, Yahweh menyiapkan diri menempati posisi tertinggi dan berhak untuk disembah sebagai satu-satunya Tuhan semesta alam, mengalahkan semua dewa-dewi yang lain.

Konsepsi monotheistik bangsa Israel kuno, perlahan-lahan berjalan ke depan dan Yahweh yang dipercaya sebagai Tuhan tertinggi, semakin meninggalkan sifatnya yg parsial sbg Tuhan suku-suku Israel, dan semakin menjadi universal, melintasi bangsa-bangsa, dan disebut Elohim, Tuhan Pencipta semesta alam. Konggres Luar Biasa ini tentu sah karena dihadiri oleh para illah suku-suku di seantero negeri.

Ini sepenggal perjalanan sejarah konsepsi Tuhan pada jaman Israel kuno, yang berpengaruh pada praksis peminggiran peran perempuan dalam kultur kemudian.

(Disarikan dari penggalan bacaan Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, hlm.92-95)