Friday, December 24, 2021

Natal, Menghormati Martabat Perempuan

 oleh Indro Suprobo



Narasi Injil Lukas tentang peristiwa kelahiran Yesus (Luk 2:1-14) merupakan kesaksian dan refleksi iman yang menyediakan inspirasi menarik dan fundamental tentang penghormatan terhadap martabat perempuan. Saat ini, perspektif ini sangat penting dan kontekstual bagi masyarakat pada umumnya maupun bagi umat kristiani secara khusus. Injil Lukas mengisahkan bahwa pada saat Kaisar Agustus mengeluarkan perintah tentang penyelenggaraan sensus penduduk, Yusuf meninggalkan kota Nasareth di Galilea menuju ke kota Betlehem di tanah Yudea, bersama dengan Maria, tunangannya yang sedang mengandung. Di Betlehem itulah Maria melahirkan Yesus di palungan, karena sudah tak ada tempat di rumah penginapan. Para gembala mendapatkan kabar dari malaikat tentang peristiwa itu.

 Kisah yang sangat ringkas dan padat itu menyimpan kompleksitas yang sangat kaya dan penting. Tulisan singkat ini hendak menggali kompleksitas itu beserta implikasi pentingnya bagi kehidupan saat ini.

 Pertama, menurut hukum Romawi, Maria tidak diharuskan untuk ikut mendaftarkan diri dalam sensus itu. Namun, Yusuf dan Maria bersepakat untuk bersama-sama meninggalkan kota Nasareth dan pergi menuju kota Betlehem. Bagi pasangan itu, keputusan ini merupakan keputusan yang penting. Kehamilan Maria, yang bagi umat Kristen dan Islam diimani sebagai kehamilan oleh karena rahmat dari Yang Suci tanpa hubungan biologis dengan seorang lelaki, oleh sebagian besar orang di sekitarnya pada masa itu, dianggap sebagai aib yang menimbulkan beragam fitnah dan prasangka. Ketegangan ini tidak dicatat dalam Injil dan tradisi kristen lainnya, namun terpelihara dalam narasi-narasi komunitas Muslim. Narasi-narasi legendaris yang berisi banyak mukjizat itu, sesuai dengan masanya, tentu saja tidak selalu mencerminkan fakta historisnya, tetapi menjadi petunjuk tentang adanya ketegangan yang tidak mudah itu. Tentu saja situasi itu memberikan tekanan yang berat bagi mereka berdua, terutama bagi Maria sebagai perempuan. Dapat dibayangkan bagaimana tekanan batin yang dialami oleh Maria dalam menghadapi situasi itu. Boleh dikatakan bahwa lingkungan yang dihadapi oleh Maria pada masa itu adalah lingkungan yang bersifat toxic, meracuni pertumbuhan mental seseorang melalui prasangka, fitnah, dan semua jenis sikap serta perilaku yang melemahkan mental (character killing). Yusuf dan Maria pasti berbagi pikiran dan gagasan untuk menghadapi situasi ini. Dengan adanya sensus penduduk ini, mereka pasti berbagi pandangan dan pertimbangan apakah akan berangkat sendiri saja ataukah berangkat bersama. Mereka menimbang semua risiko yang mungkin terjadi.

 Dalam konteks itu, keputusan untuk bersama-sama meninggalkan kota Nasareth adalah keputusan untuk meneguhkan partnership dalam untung dan malang. Dalam situasi sulit ini, Yusup mempertimbangkan beban mental yang akan dihadapi oleh tunangannya apabila ia ditinggal sendirian, dan berempati kepadanya dengan mengambil keputusan untuk meninggalkan Nasareth bersama-sama. Ini merupakan cerminan dari adanya relasi yang setara dan penuh empati antara Yusuf dan Maria. Relasi setara yang penuh empati ini memungkinkan keduanya untuk berbagi pandangan dan perspektif, membuka ruang bagi perbedaan pendapat, dan secara ikhlas bersedia untuk saling mendengarkan, menyelami perasaan dan kecemasan, dan saling memahami kebutuhan mendasar yang pantas dipenuhi sebagai pribadi demi ketenangan dan kenyamanan batin. Semuanya itu akan berdampak kepada kesehatan mental dan pertumbuhan pribadi masing-masing.

 Relasi setara dan empati antara Yusuf dan Maria, merupakan nilai fundamental yang melandasi hubungan sebagai pasangan. Dalam relasi semacam ini, setiap pribadi ditempatkan sebagai subjek mandiri dan utuh yang memiliki kebebasan untuk menyatakan pikiran, perasaan, pertimbangan, dan keputusan menyangkut apa yang baik dan penting bagi dirinya. Di tengah situasi yang berpotensi membebani mental, Yusuf dan Maria saling memberi ruang untuk bersama-sama menelusur keputusan terbaik bagi mereka. Yusuf tak semena-mena mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan pendapat dan perasaan Maria. Ia mempertimbangkannya, mendengarkannya, dan menempatkan Maria sebagai pribadi yang penting dan memiliki hak utama untuk mengambil keputusan karena Maria adalah pihak yang akan menuai dampak paling besar dari keputusan itu. Empati Yusuf, membuat pertimbangan dan keputusan Maria, memiliki ruang, dukungan, dan peneguhan. Inilah inspirasi pertama yang dapat digali dari narasi ringkas ini.

 Kedua, perjalanan yang harus ditempuh dari Nasareth ke Betlehem cukup jauh, yakni kurang lebih 81 mil atau sekitar 128 kilometer. Dengan menaiki keledai di siang hari dan beristirahat di malam hari, perjalanan itu memakan waktu kurang lebih 3 hari. Bagi perempuan yang mendekati masa melahirkan, perjalanan semacam itu tentu saja merupakan perjalanan yang berat. Ini merupakan risiko dari keputusan bersama. Selama perjalanan ini, Yusuf tentu saja menghadirkan dirinya sebagai pelindung, penolong, penghibur, sekaligus sahabat bagi Maria sehingga seluruh kesulitan dalam perjalanan itu dapat dilampaui. Ini merupakan bentuk tanggung jawab yang dijalankan oleh Yusuf dan mencerminkan kualitas pribadinya. Tanggung jawab itu juga mencerminkan keikhlasan, rasa syukur dan kesanggupan untuk menanggung risiko dari keputusan.

 Menanggung konsekuensi dari keputusan bersama bukanlah hal yang sederhana. Seringkali hal ini tidak mudah karena seringkali tidak semua risiko itu dapat diantisipasi dan disiapkan sejak awal mula. Ada banyak hal yang seringkali baru muncul dalam perjalanan pelaksanaan keputusan. Tanggung jawab untuk menanggung risiko dalam keikhlasan, kesabaran, keterbukaan terhadap kemungkinan, disertai pikiran positip dan selalu dilandasi oleh orientasi kepada menemukan kebaikan dan kepentingan bersama sebagai pasangan, merupakan hal yang fundamental dan menjadi ciri dari kualitas pribadi dari mereka yang menjalankannya. Menanggung konsekuensi dari sebuah keputusan bersama selalu membutuhkan support dari masing-masing pribadi, saling mendukung, saling memperbesar tabungan emosi agar selalu memiliki energi yang cukup untuk terus berjalan dan berproses. Dalam proses ini, Yusuf dan Maria saling berbagi energi, kompetensi, dan keutamaan pribadi, sekaligus saling memahami keterbatasan dan kelemahan kontekstual yang ada di setiap keunikan situasi. Inilah inspirasi kedua.

 Ketiga, keputusan untuk melakukan perjalanan bersama yang jauh itu pasti juga dilandasi oleh pertimbangan bahwa sebentar lagi Maria akan segera melahirkan. Dengan mengikutsertakan Maria dalam perjalanan sensus itu, Yusuf menunjukkan komitmennya untuk membersamai dan menghadirkan dirinya dalam seluruh proses melahirkan itu, sehingga Maria tidak melahirkan sendirian. Melalui pilihan ini, Yusuf menunjukkan dan mewujudkan solidaritasnya terhadap Maria. Komitmen untuk hadir di samping Maria dalam proses melahirkan itu juga mencerminkan sikap hormatnya terhadap rahim perempuan. Rahim yang menenun kehidupan baru di dalam tubuh perempuan adalah ruang suci bagi kehidupan. Rahim adalah baitul kudus, ruang di mana yang Maha Suci melakukan keajaiban dan keagungan, yakni penciptaan kehidupan. Sangat dimungkinkan, dalam proses melahirkan itu, Maria dan Yusuf dibantu oleh beberapa perempuan lain di sekitar mereka yang sama-sama dalam perjalanan untuk mendaftarkan diri dalam sensus. Dalam seluruh proses itu, Yusuf akan sibuk membantu proses kelahiran sesuai dengan arahan perempuan-perempuan lain yang ada bersama mereka sehingga seluruh proses persalinan berjalan lancar. Ketika anak itu lahir, Yusuf ada di samping Maria dan menyambut sang bayi sebagai anaknya dan meneguhkan kepada semua yang hadir, inilah anak kami. Seluruh tindakan ini sangat berarti terutama bagi Maria, yang karena kehamilannya, harus menanggung fitnah dan prasangka, disudutkan sebagai perempuan hina.

 Pantas dibayangkan bahwa di antara orang-orang yang hadir di sekitar palungan di Betlehem itu, terdapat juga orang-orang yang berasal dari lingkungan dekat Yusuf dan Maria di Nasareth. Itu artinya, sangat dimungkinkan bahwa di antara mereka ada juga orang-orang yang tergolong dalam barisan penyuka prasangka dan fitnah kepada Maria. Ini berarti bahwa Maria sebagai perempuan senantiasa menghadapi kerentanan sebagai pihak yang cenderung dipersalahkan. Dalam situasi itu, kehadiran Yusuf untuk membersamainya dalam proses kelahiran, bukan semata-mata kehadiran fisik sebagai pasangan hidup, melainkan kehadiran dalam kepenuhan aspek pribadinya, yang merupakan cerminan dari keberpihakan, solidaritas, pembelaan terhadap posisi Maria dalam keseluruhan dirinya.

 Kehadiran Yusuf di samping Maria di saat kelahiran Yesus itu sekaligus meneguhkan bahwa di tengah segala badai prasangka dan fitnah terhadap perempuan yang bernama Maria itu, yang boleh disebut sebagai wacana diskriminatif (discriminatory discourse) terhadap Maria, Kehadiran Yusuf adalah sebuah wacana pembelaan (counter discourse) dan perlawanan yang subversif terhadap semuanya itu. Wacana diskriminatif (discriminatory discourse) itu cenderung menghancurkan martabat keperempuanan Maria, namun kehadiran Yusuf di samping Maria sebagai counter discourse, merupakan tindakan nyata yang memulihkan martabat keperempuanannya. Dengan demikian, anak yang dilahirkan dari rahimnya, dibebaskan dari segala fitnah dan prasangka, dan diberi ruang untuk menjadi pribadi yang bermartabat, yang di kemudian hari bertumbuh menjadi panutan, inspirasi, teladan, guru, dan beragam peran penting lainnya sebagaimana tercermin dalam beragam gelar yang disematkan kepadanya, yang sangat bermakna bagi orang-orang yang akhirnya menjadi para murid dan pengikutnya. Inilah inspirasi ketiga.

 Pentingnya tiga inspirasi fundamental itu ditegaskan melalui kisah para gembala yang mendapatkan kabar dari malaikat. Kisah itu tidak dimaksudkan untuk menceritakan peristiwa faktual historis berupa hadirnya malaikat dan bala tentara surgawi yang mengiringi kelahiran Yesus, melainkan berfungsi sebagai sarana metaforis-mitologis untuk mengungkapkan refleksi penulis Injil bahwa seluruh peristiwa kelahiran itu merupakan peristiwa yang sangat penting dan pribadi yang dilahirkan itu di kemudian hari menjadi pribadi yang istimewa bagi mereka yang percaya dan mengikutinya. Kisah metaforis tentang para gembala dan malaikat itu berfungsi juga untuk menyatakan bahwa seluruh proses dan nilai-nilai yang dihidupi oleh Yusuf dan Maria baik dalam pikiran, perkataan, sikap, maupun perbuatan mereka berdua, merupakan partisipasi dalam seluruh nilai dan kehendak Ilahi. Seluruh nilai itu dikehendaki dan direstui oleh yang Ilahi. Dengan kata lain, perwujudan seluruh nilai dalam kerangka relasi perempuan sebagaimana dijalankan oleh Yusuf dan Maria itu adalah tindakan yang mengakibatkan sukacita surgawi. Ini adalah tindakan yang diridhoi oleh yang Ilahi.

 Oleh karena itu, peringatan Natal adalah sebuah penegasan tentang penghormatan terhadap martabat perempuan. Peringatan Natal adalah sebuah kritik yang hendak menyatakan bahwa perempuan bukanlah sumber fitnah, bukan penggoda yang melunturkan kesucian para pemimpin agama, bukan obyek yang harus senantiasa diatur dan ditata dalam relasi kuasa. Perempuan adalah subyek dan pribadi yang utuh, mandiri, dan bermartabat, yang seluruh peran aktifnya dapat mengakibatkan sukacita surgawi.

 Pantas dinyatakan di sini bahwa prasangka dan cara memandang perempuan sebagai sumber fitnah dan penggoda, dalam psikoanalisis Lacanian dapat dikategorikan sebagai fantasi subyek patriarkhis tentang tercurinya kenikmatan (jouissance) oleh perempuan, yang mengakibatkan situasi kekurangan (lack), yang sekaligus mengakibatkan rasa sakit (pain) di dalam diri subyek patriarkis. Dengan demikian, prasangka dan cara memandang perempuan sebagai sumber fitnah sebenarnya adalah cerminan dari rasa berkekurangan, perasaan terancam dan trauma yang dimiliki oleh subyek patriarkhis itu sendiri. Ini dapat menjadi petunjuk bahwa semua tindakan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di tengah masyarakat, tidak disebabkan oleh sikap maupun perilaku perempuan itu sendiri, melainkan berasal dari cara berpikir subyek patriarkhis terhadap perempuan. Sejak dalam pikiran, perempuan telah ditempatkan sebagai obyek dan direndahkan martabatnya.

Inspirasi Natal yang ditemukan dari narasi Injil Lukas ini juga dapat dijadikan sebagai landasan kritis internal bagi institusi Gereja sendiri agar mulai serius dan penuh komitmen untuk mencegah dan menyelesaikan kasus-kasus perendahan martabat perempuan yang terjadi di lingkungan anggotanya secara transparan, bertanggung jawab, penuh empati, tegas, membela martabat perempuan, mengutamakan kehadiran yang berpihak kepada korban. Gereja perlu serius belajar dari pribadi Yusuf, suami Maria, untuk bersikap kritis terhadap wacana diskriminatif (discriminatory discourse) terhadap martabat perempuan yang bekerja dalam alam ketaksadaran patriarkhisnya, dan semakin berani hadir dalam solidaritas nyata terhadap penghormatan martabat perempuan sebagai wacana pembelaan (counter discourse), dengan cara mengangkat seluruh kasus perendahan martabat perempuan yang dilakukan oleh anggota-anggotanya ke dalam hukum publik, karena tindakan itu adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, yang merupakan urusan publik. Langkah ini pada awalnya barangkali akan menyakitkan bagi institusi karena memberi kesan tentang merosotnya kewibawaan (the theft of enjoyment), namun jika sanggup melampauinya, ini justru akan menjadi cerminan dari kualitas kewibawaan itu sendiri, yang sekaligus memancarkan martabat. Gereja perlu melepaskan diri dari fantasi traumatik tentang kemerosotan wibawa, menuju kepada kehadiran emansipatoris yang membebaskan dan empatik.

 Semoga, penghormatan terhadap martabat perempuan semakin menjadi cara hidup kita sehari-hari. Selamat Natal untuk semua saudara dan saudari yang merayakan.


No comments: