Tuesday, May 12, 2009

Mandat Agama dalam Pendidikan Politik

Oleh Indro Suprobo “Bangsa yang cerdas hidupnya akan mudah bersikap demokratis dan mempertahankan demokrasi, sebab totaliterisme hanya dapat berjalan di atas kebodohan (atau frustrasi) massa. Bangsa yang tidak dibuat cerdas sangat mudah dijadikan kuli, jongos atau babu dan sangat gampang dieksploitasi, bahkan mengkonsolidasi eksploitasi terhadap dirinya sendiri. Bangsa yang cerdas mudah memerdekakan diri dari segala bentuk belenggu dan akan memperteguh kemerdekaan kepada bangsa lain juga” YB. Mangunwijaya, dalam Reformasi Politik, Kebangkitan Agama dan Konsumerisme, hlm.28 Sampai dengan bulan Juli 2009 ini, warga negara Indonesia disibukkan oleh perhelatan politik berupa Pemilihan Umum Legislatif pada bulan April dan Pemilihan Presiden pada bulan Juli. Ini merupakan peristiwa yang penting meskipun perlu tetap diperlakukan sebagai sebuah peristiwa yang biasa dan lumrah sebagaimana dinyatakan oleh pengajar ilmu politik Universitas Gadjah Mada, Purwo Santoso PhD. Sikap masyarakat yang memperlakukan pemilihan umum sebagai peristiwa yang biasa dan lumrah, meskipun memiliki nilai penting, merupakan petunjuk dari kedewasaan dalam berpolitik.[1] Hal ini dapat dilihat dalam gejala tidak dimanfaatkannya kesempatan pemilu untuk ugal-ugalan atas nama “pesta demokrasi”. Konteks yang menantang Mekanisme pemilu 2009 ini berbeda dari mekanisme pemilu 2004, di mana warga masyarakat tidak lagi memilih partai yang akan menentukan calon-calon wakilnya dalam lembaga legislatif di tingkat pusat maupun daerah, melainkan secara langsung memilih seorang calon legislatif dari suatu partai baik untuk tingkat pusat, propinsi, maupun kabupaten atau kota. Mekanisme ini membuat suasana persaingan antar calon legislatif, bahkan dalam partai yang sama, menjadi semakin terasa. Para pengamat politik memperkirakan bahwa praktik vote buying[2] (pembelian suara) masih tetap menjadi kemungkinan yang mencemaskan. Praktik vote buying ini di antaranya dapat dijumpai di komunitas-komunitas desa, di mana para calon legislatif menjalankan sosialisasi pencalonan dirinya untuk menjadi anggota legislatif dari partai tertentu. Salah satu model yang umum dari vote buying ini adalah para calon legislatif ini mendatangi komunitas-komunitas desa, menyelenggarakan pertemuan warga dan membiayai seluruh keperluan pertemuan itu, memberikan sejumlah uang kepada komunitas warga, dan meminta agar warga setempat memilihnya pada saat pemilu nanti. Pada saat pertemuan itu, calon legislatif ini mengedarkan daftar presensi atau daftar nama pendukung disertai tanda tangan masing-masing. Bagi warga desa pada umumnya, tidak mengisi daftar hadir dan tidak menandatangani edaran dukungan itu dalam suasana publik (di hadapan umum), seringkali merupakan hal yang tidak mengenakkan, sehingga mau tidak mau ia harus mengisi dan menandatangani daftar dukungan tersebut. Yang paling tidak mengenakkan bagi warga desa adalah ketika pada akhir pertemuan, sang calon legislatif atau salah seorang tim suksesnya mengajukan pertanyaan kepada semua warga tentang kesanggupan untuk sungguh-sungguh memilih calon legislatif yang bersangkutan, dan harus dijawab secara terbuka pula dalam forum tersebut, dengan disertai pernyataan bahwa Allah menyaksikan pernyataan warga tersebut dan bahwa Allah mencatat orang-orang yang nantinya akan berbohong. Ini hanyalah salah satu model. Tentu saja ada banyak model yang lain. Ini merupakan tantangan pertama. Tantangan kedua yang kiranya pantas mendapatkan perhatian serius di satu sisi adalah munculnya partai-partai baru yang didukung oleh kekuatan-kekuatan militer lama yang pada masanya dipandang memiliki kemungkinan keterlibatan dalam beberapa tindakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Di sisi lain, terdapat fenomena yang menunjukkan bahwa sebagian masyarakat dapat dengan mudah melupakan peristiwa-peristiwa pelanggaran terhadap hak asasi manusia pada masa lalu dan menerima begitu saja kehadiran partai-partai baru yang menjadi kendaraan bagi kekuatan militer lama. Memang, mereka yang merupakan bagian dari kekuatan militer lama dan pernah didakwa sebagai yang harus bertanggungjawab terhadap ketidakadilan kemanusiaan ini telah menjalani proses pengadilan dan pada akhirnya mendapatkan putusan bebas. Persoalannya, proses pengadilan telah dijalankan, namun keadilan terutama bagi para korban belum didapatkan sampai sekarang. Para korban dan keluarganya tetap menangung resiko dari tindak ketidakadilan, namun tak pernah ada pelaku yang dapat memberikan pertanggungjawaban dan mendapatkan sangsi. Yang menarik adalah bahwa kekuatan militer lama yang mengusung kendaraan baru dalam pemilu 2009 ini, secara menggiurkan mampu menawarkan program-program yang menarik dan menyentuh kebutuhan mendesak masyarakat selama ini, terutama program ekonomi dan sosial yang berorientasi kepada masyarakat luas namun seringkali terpinggirkan seperti nelayan, petani, pedagang kecil, dan kelompok masyarakat tuna karya. Dengan tawaran program sosial dan ekonomi yang menggiurkan itu, sebagian masyarakat menjadi lupa bahwa di negeri ini masih tersisa persoalan besar berupa aneka ragam tindak pelanggaran kemanusiaan yang belum pernah mencapai titik kesudahan. Persoalan ini seolah-olah tersisa hanya menjadi persoalan dan kesibukan bagi keluarga korban. Ini merupakan tantangan besar bagi perjuangan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia yang semestinya membutuhkan solidaritas luas dari seluruh elemen masyarakat, dan bukan hanya menjadi pekerjaan kelompok kecil para pejuang HAM dan keluarga korban.[3] Tantangan ketiga adalah semakin bertambahnya partai yang berdiri dengan platform keagamaan. Dari 44 partai peserta pemilu tahun 2009 ini, 6 di antaranya merupakan partai yang secara umum berplatform Islam. 6 partai itu adalah Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia, Partai Kebangkitan Nasional Ulama, Partai Bintang Reformasi, Partai Bulan Bintang, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Keadilan Sejahtera. Sementara itu 2 partai di antaranya punya kaitan dengan agama Kristen yakni Partai Damai Sejahtera dan Partai Kasih Demokrasi Indonesia. Berkaitan dengan partai Islam, Burhanuddin Muhtadi menyatakan bahwa karakteristik partai Islam pada umumnya dilihat dari dua hal, yakni dari asasnya dan dari basis masanya. Dari sisi asasnya, PPP, PBB dan PKS dapat disebut sebagai partai Islam karena asas dan ideologinya adalah Islam. Sementara itu, PKB dan PAN dapat dikategorikan sebagai partai Islam karena mengandalkan basis masa muslim meskipun kedua partai tersebut mengusung ideologi pluralis. Namun demikian, partai-partai Islam itu tidak homogen. Sebagian partai Islam disebut Islamis karena menempatkan Islam bukan hanya sebagai konstruksi teologis, melainkan juga sebagai penyedia perangkat sosial politik yang tidak memisahkan antara agama dan negara. Sementara sebagian partai Islam yang lain tidak disebut Islamis karena lebih memperhatikan nilai universal Islam sehingga tidak perlu mendukung perda-perda syariat dalam kehidupan masyarakat.[4] Meskipun jumlah partai berasas Islam yang mengikuti pemilu 2009 mengalami penambahan, hasil beberapa survey menyatakan bahwa peminat partai Islam mengalami penurunan yang berarti. Turunnya jumlah peminat partai Islam ini disinyalir karena pada satu sisi, partai-partai Islam itu dinilai cenderung hanya membicarakan masalah-masalah agama dan moral, dan gagal mengangkat isu-isu ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang menjadi masalah mendasar bangsa Indonesia. Di sisi lain, para pemilih muslim dalam pemilu 2009 sekarang ini dinilai jauh lebih rasional dalam menentukan pilihan sehingga cenderung memilih kompetensi sebuah partai untuk menjalankan program-program kesejahteraan bagi masyarakat daripada memilih partai berdasarkan identitas keagamaan.[5] Hal yang serupa juga berlaku dalam kemunculan partai-partai berazas Kristen. Para pemilih Kristen juga cenderung tidak berminat terhadap partai-partai berazas Kristen, dan cenderung lebih memilih partai-partai yang memiliki program kesejahteraan bagi masyarakat lebih luas. Prof. DR. Warsito Utomo MA, pengajar Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada bahkan menyatakan bahwa dalam konteks Indonesia, partai berazas Kristen sebenarnya tidak mendesak diperlukan. Orang-orang Kristen justru disarankan untuk masuk dan terlibat dalam berbagai partai politik yang ada sebagai wadah yang lebih produktif untuk mewujudkan nilai-nilai yang diajarkan oleh agama Kristen dalam kegiatan politik dan dalam produk-produk kebijakan yang bermanfaat bagi rakyat banyak. Selain itu, seluruh praktik politik yang dijalankan oleh orang kristen harus dijauhkan dari segala kepentingan uang.[6] Dari fenomena ini dapat dilihat sebuah tantangan bahwa akan hadir ketegangan atau tarik ulur antara kelompok kecil yang menginginkan agar Islam dijadikan sebagai penyedia perangkat sosial politik yang tidak memisahkan antara agama dan negara, di satu pihak, dan kelompok yang menginginkan agar nilai-nilai universal Islam sajalah yang dijadikan patokan dalam kehidupan bernegara, di lain pihak. Ketegangan ini akan mewarnai dinamika demokrasi masyarakat Indonesia ke depan sesudah seluruh proses pemilu legislatif dan pemilu presiden ini berakhir. Salah satu contohnya adalah ketegangan yang masih harus dihadapi dalam membangun demokrasi di Indonesia di mana terdapat perbedaan cara pandang berkaitan dengan pluralisme agama dan kesetaraan gender. Sebagian kelompok masyarakat memandang gerakan pluralisme dan kesetaraan gender merupakan hal yang meruntuhkan fondasi Islam, mendangkalkan aqidah Islam, merombak tatanan keluarga dan sistem sosial Islam, yang semuanya itu dinilai sebagai upaya yang dilakukan oleh mereka yang dianggap sebagai kelompok yang memiliki Islamophobia.[7] Sementara sebagian masyarakat yang lain memandang pluralisme agama dan kesetaraan gender merupakan kewajaran yang pantas untuk didukung sebagai bagian penting dari demokrasi dan upaya perwujudan keadilan bagi seluruh masyarakat. Kontekstualisasi Mandat Agama Salah satu mandat agama adalah menjalankan fungsi profetisnya dalam pemerdekaan manusia dari segala belenggu yang menghalangi dan mengerdilkan pertumbuhan kemanusiaan. Belenggu itu dapat berupa pembodohan, pertikaian, kekerasan, ketidakadilan, pemiskinan, peminggiran, diskriminasi, dan sebagainya. Sudah sejak semula, para pembaharu dan pendiri spiritualitas agama-agama adalah orang-orang yang memiliki keprihatinan mendalam terhadap pembelengguan martabat kemanusiaan ini dan menjalankan upaya-upaya pemerdekaan melalui seluruh hidup, kata-kata (atau ajaran) dan tindakan nyata. Kenyataan ini merupakan dasar yang sahih dan kokoh bagi agama-agama untuk menjalankan fungsi profetiknya dalam bidang sosial dan politik pada masa sekarang ini dengan keragaman konteksnya. Di negeri-negeri seperti Iran, Libanon, Polandia, Irlandia, Filipina, dan di beberapa negeri Amerika Latin, agama-agama telah menjalankan fungsi menampung aspirasi rakyat banyak serta mengambil bagian aktif dalam proses-proses demokratisasi. Di sana agama-agama menjalankan peran modernisasi politik yang sangat penting, terutama menjalankan fungsi oposisi terhadap berbagai rejim yang otoriter dan tidak adil. Agama-agama di negeri-negeri ini telah merevitalisasi pesan-pesan profetisnya dengan semangat baru, melalui keterlibatan dalam perjuangan untuk menegakkan keadilan sosial, keadilan ekonomi, dan hak politik yang sama bagi seluruh warga masyarakat, terutama mereka yang cenderung menjadi korban dan dipinggirkan.[8] Dalam konteks kekristenan, peran-peran progresif agama-agama dalam kehidupan sosial-politik ini dikenal dengan gerakan-gerakan teologi pembebasan atau teologi pemerdekaan. Gustavo Gutieres, Joan Luis Segundo, Leonardo Boff, Michael Amalados, uskup Romero adalah beberapa nama yang dapat disebutkan sebagai para penggerak teologi pembebasan itu. Teologi Minjung di Korea, Teologi Perjuangan di Filipina, Teologi Dalit di India, merupakan contoh teologi-teologi pembebasan dalam wajah lebih khusus, yakni wajah Asia. Sementara itu, Maulana Sayyid Abul A’la Maududi, Ali Shariati, dan Asghar Ali Engineer adalah para pemikir dan penggerak Teologi Islam Progresif yang dapat disebutkan. Dalam sejarah gerakan sosial politik di Indonesia, agama-agama memiliki sumbangan yang tidak kecil, terutama kalau ditelusur dari peran para tokohnya. Tokoh-tokoh gerakan sosial politik di Indonesia sebagian besar berasal dari gerakan keagamaan atau merupakan hasil didikan sekolah keagamaan pada masa kecilnya. Kiai Haji Samanhudi (Sarekat Dagang Islam), Haji Oemar Said Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim (Sarekat Islam), Mohammad Natsir (Masyumi dan pernah menjadi Perdana Menteri), Kyai Haji Mas Mansur (Pusat Tenaga Rakyat/PUTERA), Mohammad Hatta (Hindia Poetra), Sjafruddin Prawiranegara (Pimpinan Pemerintahan Darurat RI), adalah tokoh-tokoh muslim yang mewujudkan agama sebagai inspirasi bagi gerakan sosial politik yang membela kemerdekaan, martabat manusia, dan keadilan. Dengan caranya masing-masing, mereka melakukan pendidikan sosial politik sebagai wujud nyata fungsi profetis agama yang dianutnya bagi pemerdekaan kemanusiaan. Bahkan secara sangat progresif, Sjafruddin Prawiranegara menunjukkan opsi pendidikan politiknya yang radikal dengan menyatakan bahwa manusia yang beragama dan beriman, tidak bisa lain, ia pasti kiri.[9] Artinya, setiap orang beragama sudah semestinya berpihak pertama-tama dan terutama kepada sesama manusia yang ditindas, dipinggirkan dan dicerabut hak-haknya oleh struktur yang tidak adil. Dalam periode lebih modern, almarhum YB. Mangunwijaya barangkali boleh disebut sebagai salah satu dari sekian banyak orang yang berupaya menjalankan peran profetis agama dalam pemerdekaan martabat manusia melalui gerakan pendidikan. Bukan hanya melalui kata-kata, pilihan dan praksis hidupnya bersama mereka yang dikalahkan oleh struktur ketidakadilan, juga merupakan bentuk pendidikan politik yang sangat gamblang bagi semua mata. Pendidikan Politik Demi pemerdekaan kemanusiaan dan secara khusus demi kedaulatan rakyat, terutama pada masa-masa pemilu ini, agama-agama di Indonesia ditantang untuk menjalankan pendidikan politik bagi masyarakat. Tiga tantangan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, yakni pembelian suara (vote buying), munculnya figur-figur militer yang mengancam diabaikannya proses penuntutan pelanggaran HAM pada masa lalu, dan ketegangan antar faksi yang mempengaruhi proses demokrasi di Indonesia, sangat membutuhkan kedaulatan dan kecerdasan masyarakat untuk menghadapinya. Dalam rangka itulah, pendidikan politik masyarakat merupakan langkah yang wajib dijalankan oleh agama-agama. Secara umum, pendidikan politik yang dijalankan oleh agama-agama diorientasikan kepada empat hal[10]. Pertama, pengetahuan politik yang mengacu kepada konsep, informasi dan pertimbangan faktual tentang sistem pemerintahan dan politik, sehingga tidak diarahkan kepada pemilihan terhadap partai politik tertentu. Kedua, keterampilan intelektual untuk membaca, menjelaskan dan menginterpretasikan fenomena politik sebagai penguatan independensi daya pikir rakyat. Ketiga, keterampilan partisipasi politik yang memperkuat kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, bekerjasama dalam kelompok dan dengan orang lain, serta bernegosiasi dalam pengambilan keputusan politik. Keempat, sikap politik sebagai kesanggupan untuk mengambil pilihan-pilihan tindakan politik, menanggapi secara kritis promosi-promosi kepentingan politik, menghargai perbedaan pandangan, dan berkomitmen kepada nasionalisme dan kemanusiaan. Secara khusus, pendidikan politik ini diarahkan kepada pembentukan harga diri rakyat dalam berpolitik, terutama dalam memilih calon pemimpin politik, sehingga dapat bersikap kritis dan tegas terhadap segala bentuk vote buying yang ditawarkan, dapat memilih calon-calon pemimpin yang dapat menjamin tegaknya perjuangan penegakan HAM dan penyesaian kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu, serta dapat mengupayakan terwujudnya nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan nyata pada tingkat yang paling lokal. Dengan cara ini, agama-agama mengejawantahkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip spiritualitasnya dalam seluruh proses konsientisasi sehingga umat beragama menjadi warga negara yang berharga diri, berkomitmen terhadap masa depan yang lebih adil, emoh terhadap segala upaya suap dan jual beli suara yang merendahkan martabat pilihan politisnya, mampu membaca rekam jejak dan karakter calon pemimpin yang memiliki energi besar untuk berdaya tahan melanjutkan pengungkapan kasus-kasus pelanggaran HAM (penuntasan kasus terbunuhnya Munir, pengungkapan kasus penghilangan orang secara paksa, dsb), bersikap kritis terhadap pemuka-pemuka agama yang memiliki gelagat memanfaatkan warga beragama sebagai alat bagi pemenuhan kepentingan politik sempitnya sendiri, mampu mengidentifikasi calon-calon pemimpin yang memiliki kesanggupan untuk menghargai keragaman dan perbedaan tanpa harus mematahkan hak hidup kelompok lain yang berbeda, serta mampu mengidentifikasi calon pemimpin yang memiliki visi kemanusiaan yang tinggi, yang mengkritisi ketidakadilan gender sebagai konstruksi sosial-budaya yang dapat diubah, sehingga perempuan dan laki-laki ditempatkan sebagai ciptaan yang setara dan sama dalam hak dan kewajiban, dan hanya memiliki perbedaan kodrati dalam empat hal, yakni kemampuan untuk mengandung, melahirkan, menyusui, dan menstruasi; selebihnya adalah hal-hal yang dapat saling dipertukarkan (domestik dan publik). Pendidikan politik yang dijalankan oleh agama-agama ini sebenarnya merupakan sebuah proses saling mendidik dan saling belajar di antara seluruh warga beragama. Baik para pemimpin agama-agama maupun warga umat beragama berada dalam proses saling mendidik secara dialogis melalui sharing pengetahuan, pandangan, sikap maupun tindakan politik. Upaya pendidikan politik semacam ini oleh AAG. Ari Dwipayana, pengajar ilmu politik Universitas Gadjah Mada, disebut sebagai horizontal learning terutama dalam konteks pendidikan pemilih di mana warga masyarakat saling memberikan informasi tentang sejauhmana para kandidat pemimpin politik yang muncul itu dapat mewakili aspirasi mereka. Warga saling berbagi informasi dasar mengenai rekam jejak para kandidat pemimpin politik tersebut, apakah mereka pernah melanggar HAM, apakah mereka pernah korupsi, apakah mereka pernah melakukan kejahatan lingkungan dsb.[11] Melalui horizontal learning dalam pendidikan politik yang lebih luas (bukan hanya pendidikan pemilih), agama-agama itu justru akan semakin memperkuat dirinya sendiri (empowering) dalam menjalankan fungsi profetisnya di bidang politik, sehingga agama-agama atau warga beragama menjadi semakin cerdas, semakin berdaulat, semakin berharga diri, dan semakin sanggup untuk terlibat dalam kehidupan politik tanpa harus menjadi terlipat oleh dunia politik.*** ------------ [1] Lih. Pemilu Rumit, Kedaulatan Rakyat, Rabu, 1 April 2009, kolom Analisis. [2] Istilah vote buying diperkenalkan oleh Purwo Santoso, PhD, sebagai istilah pengganti yang lebih tepat daripada istilah money politic. [3] Perlunya solidaritas luas untuk penyelesaian kasus HAM di Indonesia ini dinyatakan oleh Ifdhal Kasim, Ketua Komnas HAM, dalam serial diskusi HAM Asia Tenggara di PAU Sosial UGM, 25 Maret 2009. Solidaritas ini dibutuhkan untuk mendesak kemauan politik negara dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Kasus terakhir adalah terbunuhnya Munir yang sampai sekarang belum mendapatkan kejelasan siapa pelaku yang harus bertanggungjawab. Muhdi Pr, yang telah menjadi tersangka dalam kasus ini dinyatakan bebas oleh pengadilan dan bergabung dalam Partai Gerindra yang diketuai oleh Prabowo Subiyanto. [4] Lih. Burhanuddin Muhtadi, Prospek Partai Partai Islam dalam Pemilu 2009, http://www.islamlib.com/ 23 September 2008. [5] Lih. Suara Partai Islam diprediksi Menurun dalam www.antaranews.com , 20 Maret 2009 [6] Pernyataan ini disampaikan dalam diskusi buku Manifesto Politik Yesus, Kamis 23 april 2009, di Wisma Imannuel GMKI, Samirono, Yogyakarta, kerjasama antara PMKRI, GMKI, GAMKI, Forum Muda Katolik, dan Komunitas Kristiani DIY. [7] Pandangan semacam ini disampaikan oleh Adian Husaini, seorang doktor dalam peradaban Islam di International Institute of Islamic Thought and Civilization International Islamic University Malaysia, dalam acara tasyakuran dan orasi ilmiah di Jakarta. Lih. Republika, 20 April 2009. Ini merupakan pandangan sebagian masyarakat di Indonesia. [8] Lih. Th. Sumartana, Kebangkitan Agama dalam Era Globalisasi, dalam Reformasi Politik, Kebangkitan Agama dan Konsumerisme, Institut Dian/Interfidei, 2000, hlm.80-81 [9] YB. Mangunwijaya, Kiri dan Kanan Dalam Sprachspiele, dalam Menuju Republik Indonesia Serikat, Gramedia 1999, hlm.209 [10] Lih. Ahmad Noor Fida, Pemilu 2009, Golput dan Pendidikan Politik, www.pelita.or.id, Rabu 29 April 2009 [11] Lih. Pendidikan Politik Melalui Pembelajaran Horisontal, Situs Kabar UGM, www.ugm.ac.id