Tuesday, October 15, 2019

Merumuskan Sikap dan Keberpihakan terhadap Nilai

 


Oleh Indro Suprobo

Buku Pro-Eksistensi dan Konsistensi yang berada di tangan pembaca ini merupakan catatan-catatan reflektif atas sikap dan keberpihakan penulis terhadap nilai-nilai dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai itu terutama terkait penghormatan terhadap martabat kemanusiaan, empati dan dukungan terhadap mereka yang terpaksa mengalami kemalangan, penderitaan dan pengasingan, ketulusan dalam membangun persahabatan dan persaudaraan dalam begitu banyak perbedaan yang nyata, keterbukaan dan kerendahan hati untuk menyelami spiritualitas dan religiositas agama-agama serta kepercayaan, dan sikap kritis ter-hadap semua hal yang bersifat korup dan manipulatif. 

Rumusan dan catatan reflektif ini terbagi dalam tujuh bagian. Pertama, tentang Konflik dan Pengungsian. Pada bagian ini penulis merefleksikan pengalaman dan realitas orang-orang yang terpaksa mengungsi untuk menyelamatkan diri dari konflik dan kekerasan yang mengancam nyawa. Para pengungsi lintas batas negara maupun para pengungsi internal di negeri sendiri, adalah subyek utama dari refleksi ini. Catatan-catatan ini dilandasi oleh keterlibatan langsung bersama mereka selama kurang lebih empat tahun. Kedua, tentang Relasi Orang Beragama. Catatan pada bagian ini berasal dari pergulatan dan keterlibatan langsung yang sangat panjang dalam kehidupan penulis. Penulis berupaya mengambil jarak terhadap pengalaman relasi antar perbedaan, pengalaman didiskriminasi, maupun pengalaman diskriminasi yang dialami oleh orang lain, dan menempatkannya dalam kerangka struktural yang lebih luas. Dua hal penting dalam upaya mewujudkan relasi antar perbedaan ini adalah perjumpaan langsung yang intensif dan pengembangan wawasan yang luas. Kedua hal ini akan membantu untuk membongkar prasangka dan reduksi pengetahuan tentang yang lain, selanjutnya membangun pengenalan yang lebih tepat dan mendalam, dalam keterbukaan. Ketiga, tentang Empati, Kesederhanaan dan Persahabatan. Ini merupakan catatan atas prinsip-prinsip hidup bersama yang penting dan pantas diperjuangkan terus-menerus. Ini juga merupakan catatan tentang kaitan antara spiritualitas dan perubahan sosial. Keempat, tentang Religiositas Sehari-hari. Pada bagian ini, penulis lebih banyak mengulas komentar dan pernyataan Paus Fransiskus dalam beberapa kesempatan. Catatan-catatan ini pada awalnya adalah permintaan dari pihak lain yang ingin belajar memahami komentar dan pernyataan Paus secara lebih mendalam dan lebih mudah. Kelima, tentang Tragedi 1965. Keenam, tentang Sikap Kritis. Ketujuh, tentang Relasi Adil Jender. Catatan reflektif ini ditulis dalam perjalanan waktu kurang lebih lima belas tahun, seiring dengan pergulatan, pekerjaan, dan keterlibatan penulis dalam tema-tema tersebut. Sebagian catatan reflektif ini dilahirkan dari pengalaman keterlibatan langsung dan intensif. Sebagian lainnya dirumuskan sebagai keberpihakan sikap, pikiran dan tindakan yang tidak berasal dari keterlibatan langsung dan intensif, namun menjadi perhatian dan keprihatinan yang serius. 

Namun sejujurnya, seluruh catatan reflektif yang terangkum di dalam buku ini merupakan ekspresi dan luberan dari komitmen dan perhatian penulis dalam gerakan dan kajian Teologi Sosial, yang merupakan minat studi penulis selama belajar di Perguruan Tinggi. Seluruh catatan ini semoga boleh disebut sebagai rumusan-rumusan Teologi Sosial dalam bahasa yang lebih populer dan sederhana,  yang sekaligus merupakan praksis dari upaya berteologi dari pengalaman. 

Teologi sosial yang dijalankan dalam praksis berteologi dari pengalaman, secara sederhana sebenarnya merupakan upaya mengaitkan pokok-pokok hidup beriman (apapun agamanya) dengan situasi konkret yang dihadapi dalam kehidupan di tengah masyarakat. Secara metodis, hal ini dijalankan pertama-tama melalui pengamatan dan analisis sosial-kultural-ekonomi-politik-ideologis terhadap kenyataan real yang dihadapi dan dialami, menemukan pokok-pokok keprihatinannya, merefleksikan pokok-pokok keprihatinan itu dalam kerangka nilai-nilai hidup beriman (apapun agamanya), lalu merumuskan pilihan cara berpikir, bersikap, dan bertindak. Tentu saja, agar analisis sosial yang dijalankan itu memiliki landasan yang lebih kokoh, realitas yang dihadapi itu perlu dicermati, diselami, dan dipahami secara lebih mendalam, terutama melalui keterlibatan dan pengalaman langsung di dalamnya sehingga sungguh-sungguh merasakan bagaimana "hidup di dalamnya" secara nyata atau biasa disebut "live in". Pengalaman dan keterlibatan langsung yang mendalam dan intensif ini pada umumnya akan memberikan insight-insight yang seringkali tak dapat ditangkap dari pengamatan luaran semata. Insight-insight itu dapat diperoleh dari peristiwa sederhana, kesaksian langsung, komentar-komentar, kebiasaan-kebiasaan yang ditemui, pengulangan-pengulangan sikap dan sebagainya. Semuanya itu akan membantu untuk mencapai pengenalan yang lebih mendalam tentang realitas yang menuntut untuk direfleksikan secara lebih mendalam pula. 

Meskipun catatan reflektif ini merupakan catatan atas peristiwa dan pengalaman yang sudah terjadi pada masa lalu, penulis memiliki keyakinan bahwa tema-tema dasar yang direfleksikan dalam buku ini masih akan menjadi tema-tema yang relevan dan masih akan terus dihadapi dalam perjalanan kehidupan masya-rakat di masa sekarang dan masa depan. Bahkan mungkin, beberapa tema tertentu justru semakin menuntut upaya refleksi yang jauh lebih maju dan mendalam serta mengundang pilihan cara berpikir, bersikap dan bertindak yang semakin mendesak. 

Tema hubungan antara orang beragama dan hubungan antar perbedaan di masyarakat Indonesia, penulis anggap sebagai tema yang semakin mendesak dan relevan, mengingat akhir-akhir ini terdapat kecenderungan pola hubungan yang semakin tersegregasi dan terkotak-kotak antara "kita" dan "mereka".  Tidak jarang pula, relasi antar orang beragama dan antar perbedaan ini melahirkan tindakan diskriminasi dan kekerasan yang memperihatinkan dan tidak masuk akal. 

Tema tentang sikap kritis juga penulis anggap sebagai tema yang krusial pada masa kini karena masyarakat kita telah meng-hadapi era paska kebenaran (post truth) yang wilayah kerjanya berada di dalam cara berpikir dan cara kerja otak, yang sungguh-sungguh membutuhkan disiplin untuk melakukan pengambilan jarak, detachment atau distansiasi. Pekerjaan yang paling sulit di era paska kebenaran (post truth) seperti sekarang ini justru ketika orang harus mengambil jarak terhadap dinamika cara berpikirnya sendiri, terhadap mekanisme kerja otak di dalam dirinya, yang menuntut orang untuk menyelami bawah sadarnya dan mengangkatnya menjadi kesadaran. Detachment dan distansiasi ini akan membawa orang untuk selalu melakukan pengecekan fakta dan mengecek ulang fakta, sehingga ia dapat membedakan antara fakta dan opini atau informasi yang manipulatif. Detachment dan distansiasi juga akan membantu individu untuk mengenali motif-motif bawah sadarnya yang mudah "tersetrum" oleh simbol, perkataan, istilah atau peristiwa tertentu, yang mengakibatkan munculnya perasaan terancam, khawatir atau ketakutan yang tidak rasional di dalam dirinya sendiri, yang sangat mempengaruhi cara dirinya memberikan tanggapan terhadap realitas yang dihadapinya itu. 

Tema yang masih relevan dan masih menghadapi tantangan berat adalah tema tentang tragedi 1965. Upaya-upaya untuk membangun rekonsiliasi yang berkeadilan memang telah dilakukan oleh banyak pihak, namun tampaknya masih menghadapi kesulitan. Penulis beranggapan bahwa yang paling menentukan dalam upaya rekonsiliasi yang adil dalam hal ini adalah para penyintas dan keluarga-keluarga para penyintas sendiri. Keputusan dan pilihan mereka untuk menyelesaikan rekonsiliasi yang adil, ada-lah yang terbaik yang pantas diterima dan didukung oleh semua orang lain yang berada di luar lingkaran. Mengapa demikian? Karena para penyintas dan keluarga penyintas itulah yang paling mengerti isi pengalaman tragedi itu dan oleh karena itu merekalah yang paling berwenang untuk mengambil pilihan dan keputusan tentang rekonsiliasi yang adil. Semoga rekonsiliasi yang adil atas peristiwa dan tragedi 1965 semakin maju menuju titik yang mendamaikan bagi semuanya. Seluruh prasangka musti ditanggalkan dan ketulusan musti dikedepankan. 

Menuliskan catatan reflektif seperti penulis lakukan dalam buku ini semoga juga boleh disebut sebagai "laku" spiritual, atau menjalankan spiritualitas karena menulis catatan reflektif itu bagaimanapun juga menuntut discernment, detachment dan distansiasi yang harus terus-menerus dilakukan sehingga menjadi jalan atau gaya hidup (the way of life). Lebih tepatnya, laku menulis catatan reflektif ini merupakan wujud dari latihan rohani atau spiritual exercise. Dengan demikian, merumuskan catatan menjadi jalan untuk belajar memilah-milah, menimbang-nimbang, mencermati, dan membedakan gerakan-gerakan batin sehingga sanggup untuk merumuskan pilihan cara berpikir, cara bersikap dan cara bertindak di tengah realitas masyarakat yang nyata dan menantang. Menulis catatan reflektif pada akhirnya menjadi on going spiritual exercise.

Akhirnya, semoga catatan reflektif ini sungguh mencerminkan pilihan keberpihakan dan loyalitas penulis kepada nilai-nilai fundamental kehidupan yang dapat membantu setiap orang untuk bertumbuh dan berkembang sebagai manusia yang bermartabat dan berharga di hadapan Tuhan, apapun perbedaan dan keunikan yang dimilikinya. Dengan demikian Pro-eksistensi dan konsistensi adalah prinsip yang berpihak terutama kepada nilai fundamental kehidupan, bukan kepada orang, kelompok, atau golongan apapun. 

Karena penulis bukanlah ahli, melainkan hanyalah orang kampung yang belajar terlibat dan berperhatian, tentu saja catatan-catatan yang terkumpul dalam buku ini memiliki banyak sekali kelemahan dan kekurangan. Untuk itu penulis akan sangat berterima kasih kepada siapapun yang berkenan memberikan masukan dan sumbangan pemikiran untuk perbaikan dan kemajuan. Apabila dari antara catatan yang terkumpul dalam buku ini ada yang memberikan manfaat bagi pembaca, maka itu adalah kebahagiaan terbesar bagi penulis. 


Vihara Ngaglik, Oktober 2019


Tuesday, October 08, 2019

Juru Kamera, Epilog

 


Oleh Indro Suprobo

Raphael Udik Yunianto atau RUY Pamadiken, adalah seorang juru kamera kehidupan, yang sanggup memotret pengalaman dan peristiwa, bahkan yang paling sederhana sekalipun. Oleh karena itu, buku yang disusunnya ini boleh disebut sebagai album kenangan, hasil bidikan kameranya.

Keahlian seorang juru kamera yang seringkali tidak dimiliki oleh orang lain adalah kepekaannya untuk melihat nilai yang tersembunyi dalam satu peristiwa. Orang lain barangkali tidak peduli kepada peristiwa itu dan tak melihat potensi tentang keindahan dan makna di dalamnya. Bagi seorang juru kamera, setiap peristiwa selalu merupakan undangan untuk ditangkap, dilihat lebih mendalam, dan didengarkan dalam kebeningan. Ketika "saat" atau momentum yang ditangkapnya itu dibagikan kepada orang lain, ia telah menjadi percikan peristiwa yang bermakna, dan bersuara, sehingga orang lain ikut menangkap dan mendengarkan isi terdalamnya. Bidikan kamera itu lalu menghantar orang lain menuju pengertian lebih mendalam, ketertarikan, perasaan yang menggetarkan, tremendum et fascinosum, kebahagiaan yang lembut, keharuan yang menyusup dalam diam, pengampunan, belas kasih, bahkan menggerakkan orang untuk melakukan tindakan berkualitas dan menghidupkan, moving and motivating. 

Hasil bidikan sang juru kamera, pada gilirannya juga mempunyai fungsi sebagai undangan bagi setiap orang untuk berhenti sejenak, memandang, mencermati, memperhatikan, mendalami, mengenali secara lebih baik, merenung, mengunyah, dan menemukan nilai yang tak sempat ditemukannya pada saat peristiwa itu benar-benar berlangsung. Hasil bidikan sang juru kamera, juga merupakan undangan untuk mengambil jarak, membangun distansiasi, mengajak orang untuk melakukan detachment, mele-paskan rasa lekat diri yang tak teratur terhadap segala sesuatu, dan menempatkan peristiwa-peristiwa itu di dalam kerangka yang lebih besar, saling terkait, saling terjaring, sehingga tersusunlah sebuah pemahaman yang integral. 

RUY PAMADIKEN, sebagai juru kamera peristiwa hidup, telah berupaya membangun galeri pengalaman dan peristiwa melalui buku ini. Buku galeri dan album pengalaman ini sebagai keseluruhan merupakan ajakan kepada setiap orang untuk terlibat secara lebih cermat di dalam pengalaman hidup masing-masing dan menikmatinya, serta merangkainya sebagai sebuah laku spiritualitas integral, yakni spiritualitas hidup yang memandang dan menempatkan pengalaman-pengalaman tidak secara terpisah-pisah atau terkotak-kotak, melainkan saling terhubung, saling memperkaya makna, dan saling mengutuhkan. 

Saya percaya, buku album dan galeri pengalaman hidup ini adalah buku yang akan senantiasa nikmat untuk dibaca berulang-ulang dalam banyak kesempatan, terutama dalam keheningan dan kesunyian, karena akan selalu relevan dan menyediakan nilai yang baru serta kaya. Maka pantaslah bahwa buku ini diberi judul Inner Journey, sebuah perjalanan ke dalam menuju kedalaman, karena seluruh isi buku ini mengajak para pembaca untuk semakin berani belajar menghayati silentium, solitudo, bersunyi diri untuk "memasuki pengalaman keheningan agar semakin sanggup mendengarkan isi terdalam dari segala keramaian".