Thursday, December 27, 2007

Keluarga Adil Jender

oleh Indro Suprobo Suatu hari selepas maghrib, di sebuah perkampungan sederhana, terjadilah dialog kecil dalam sebuah keluarga muda. Suami istri dalam keluarga itu keduanya bekerja di tempat yang berbeda dan telah dianugerahi buah hati yang telah menikmati pendidikan tingkat sekolah dasar. Dalam dialog itu, sang istri mengajukan pertanyaan apakah mereka berencana untuk memiliki anak lagi ataukah tidak. Di luar dugaan sang istri, sang suami justru mengajukan dua pilihan sebagai bahan pertimbngan. Pilihan pertama adalah memiliki anak lagi dengan resiko sang istri akan hamil dan mengundurkan diri dari beragam aktivitas produktif selama kurang lebih dua tahun. Pilihan kedua adalah tidak hamil lagi, tetapi sang istri mempunyai waktu lebih banyak untuk beraktivitas secara produktif. Di luar dugaan sang istri pula, ternyata sang suami lebih cenderung mengambil pilihan kedua, yakni tidak hamil lagi. Alasannya, ia menganggap bahwa pilihan beraktivitas produktif bagi istrinya itu akan memiliki dampak yang jauh lebih positip bagi keduanya. Melalui beragam aktivitas produktif itu, sang istri akan memiliki pertumbuhan diri yang lebih subur dalam banyak aspeknya, baik itu aspek intelektual, sosial, emosional, maupun ekonomis. Resikonya, suami istri ini harus memiliki manajemen waktu yang bagus, terutama berkaitan dengan pembagian tugas dan peran dalam mendidik anaknya. Mereka bersepakat untuk saling berganti peran ketika salah satu sedang menjalankan tanggungjawab dalam aktivitas publik. Sudah merupakan hal yang biasa bagi keduanya apabila sang istri sedang menjalankan tanggungjawab kantor di luar pulau selama beberapa hari, sang suami secara penuh melakukan seluruh pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak sendirian. Mencuci, berbelanja di pasar tradisional, memasak, bersih-bersih rumah, memandikan anak, menyuapi, dan mendongeng untuk anak, bahkan mewakili istri untuk menghadiri arisan ibu-ibu di kampung, merupakan aktivitas harian yang dijalankan dengan ringan hati tanpa merasa sebagai hal yang tabu. Sudah menjadi kewajaran pula bagi para tetangga apabila pagi-pagi sekali sang suami itu tergopoh-gopoh mencari bawang putih dan loncang seledri di warung sebelah karena persediaan habis ketika sedang menyiapkan sop cakar ayam untuk sarapan anaknya. Manajemen waktu harian yang disepakati, berbagi informasi tentang agenda kegiatan, bergantian menemani anak dalam bermain sambil belajar, berbagi gagasan tentang cara mengatasi persoalan pekerjaan masing-masing, dan yang tidak boleh dilupakan juga dalam keseluruhan itu adalah berbagi pujian-pujian kecil sederhana sebagai bentuk dukungan dan penghargaan satu sama lain, merupakan sarana-sarana nyata dalam mewujudkan apa yang disebut sebagai keadilan jender dalam keluarga. Berkaitan dengan KB, sang istri dibebaskan dari segala alat kontrasepsi yang sejatinya memiliki banyak resiko bagi tubuhnya. Suamilah yang ber-KB dengan alat kontrasepsi laki-laki yang paling aman dan tanpa resiko bagi keduanya. Partnership atau persahabatan suami-istri dalam keluarga menjadi istilah kunci, bukan kuasa dan dominasi. Salah kaprah kodrat Pantas diakui bahwa dalam pengalaman sehari-hari masih sering terjadi salah kaprah dalam memahami arti kodrat baik itu oleh laki-laki maupun perempuan sendiri. Kodrat sebagai ciri dasar inheren yang membedakan dan tak dapat dipertukarkan satu sama lain antara laki-laki dan perempuan (menstruasi, melahirkan dan menyusui) masih sering disamakan dengan beraneka macam peran yang sesungguhnya tidak inheren, dapat dipertukarkan dan merupakan konstruksi sosial budaya (peran domestik dan publik). Segala macam pernik-pernik urusan rumah tangga seperti menyapu, memasak, memandikan anak, mencuci dan menyeterika pakaian, berbelanja dan sebagainya masih sering dicangkokkan ke dalam peran perempuan secara sepihak dan tak dapat dipertukarkan. Dalam konteks sosial budaya tertentu dan terbatas, ketika laki-laki menjalankan hal-hal itu memang terdapat anggapan tabu. Dalam konteks sosial budaya yang lain hal semacam itu sudah merupakan kebiasaan yang tidak menimbulkan masalah apapun. Pembagian dan pertukaran peran antara laki-laki dan perempuan akan menimbulkan masalah ketika salah satu pihak masih memiliki pemahaman yang keliru tentang kodrat, entah itu pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Ketika keduanya telah mengatasi persoalan pemaham tentang kodrat, yang harus dihadapi tinggal pandangan lingkungan sekitar tentang hal itu, yang seringkali terlontar dalam komentar atau pertanyaan bernada menggugat. Feminismophobia Perjuangan keadilan jender di seluruh dunia memang tidak dapat dilepaskan dari sejarah gerakan feminisme yang berkembang sesuai dengan konteks sosial-politik-ekonomi-budaya jamannya. Masing-masing konteks menampilkan wajah feminisme yang khas dengan fokus utama tertentu namun senantiasa berkait satu sama lain. Mary Wollstonecraft (1759-1797) yang lahir dalam sebuah keluarga yang didominasi oleh ayah yang cerewet, pemalas, dan sering melakukan kekerasan saat mabuk, sementara sang ibu merupakan perempuan yang menerima dan membiarkan semua itu, adalah peletak dasar gerakan feminisme di Inggris. Bukunya yang berjudul A Vindication of The Rights of Woman (1792), menjadi batu pondasi bagi feminisme modern. Ia menyebut tirani rumah tangga sebagai penghalang utama bagi keadilan perempuan. Peminggiran terhadap hak politik, pendidikan, dan pekerjaan yang setara antara laki dan perempuan merupakan tirani. Standar ganda terhadap perilaku laki-perempuan, ketergantungan ekonomi kaum perempuan terhadap suami, model pendidikan yang membuat perempuan menjadi subordinat, pembagian kerja yang tidak seimbang dan membuat perempuan harus mengorbankan kesehatan, kebebasan dan pertumbuhan pribadi mereka, merupakan hal-hal yang harus dihapus. Semuanya itu adalah konstruksi, bikinan manusia dalam sejarah kebudayaan dan bukan kodrat. Bagi sebagian kalangan yang masih terbuai oleh bawah sadar patriarkis (baik laki-laki maupun perempuan), kritik semacam ini terasa sangat tajam seumpama menunjam sampai ke ulu hati dan menimbulkan resistensi. Ini dapat dipahami karena kritik feminisme ini merupakan alat yang membedah dan mengurai ketidakadilan terhadap perempuan secara mendalam dan radikal sampai kepada wilayah paling privat dalam kehidupan. Ketidaksiapan dalam menghadapi kritik semacam ini di satu pihak dan strategi komunikasi sebagian kecil kaum feminis sendiri yang barangkali kadang-kadang kurang arif, pada gilirannya justru menimbulkan penolakan dan ketakutan terhadap feminisme. Pada gilirannya, gerakan feminis lalu cenderung dipahami secara sangat sempit dan tidak proporsional sebagai gerakan kaum perempuan yang menolak, menyerang, dan anti laki-laki. Ada pula yang menganggap gerakan feminisme sebagai gerakan sekumpulan perempuan yang kecewa. Lebih heboh lagi, beberapa kalangan (bahkan ada pula yang terpelajar), justru menempatkan feminisme sebagai aktor utama yang menimbulkan keretakan dan perpecahan banyak keluarga dewasa ini. Proyek Kebudayaan Usaha menegakkan keadilan jender, keadilan bagi laki-laki dan perempuan, merupakan usaha yang masih harus diperjuangkan dan dilanjutkan sepanjang sejarah kemanusiaan dan kebudayaan. Karena ketidakadilan jender yang selama ini dialami terutama dan pertama-tama oleh kaum perempuan itu merupakan sebuah konstruksi sosial-budaya, maka keadilan jender pun merupakan sebuah langkah konstruktif secara sosial dan budaya. Ini merupakan usaha mengurai nilai-nilai yang telah berkelit dan bekelindan dalam bawah sadar kebudayaan, mengambil jarak terhadapnya, memilahnya, menyusun kembali dan menambahkan nilai baru ke dalamnya, dan mengangkatnya ke dalam kesadaran, serta menjagainya sebagai kesadaran baru melalui beragam tata cara dan kebiasaan sehingga seluruh wujud keadilan itu menjadi kewajaran. Keluarga adalah unit paling kecil dan utama dalam seluruh usaha ini. Mewujudkan keadilan jender dalam keseharian hidup keluarga, sejak dalam cara berpikir sampai pada tindakan praktis dan spontan, merupakan langkah bersahaja namun agung dalam menyusun kebudayaan manusia yang baru. Dialog dan kesepakatan pilihan sebagaimana tercermin dalam sebuah keluarga yang penulis jumpai pada awal tulisan kecil ini adalah salah satu contoh nyata dari sekian banyak contoh yang dapat ditemukan di berbagai tempat. Tantangan di depan masihlah banyak, terutama dalam kaitan antara keadilan jender dan agama-agama di Indonesia. Sebagian besar kalangan masih beranggapan bahwa agama-agama itu telah selesai dan sempurna dalam menuntun kemanusiaan. Padahal, pantaslah diakui dalam kerendahan hati bahwa agama-agama adalah kebudayaan yang masih selalu berziarah dalam ketidakcukupan dan kerentanan untuk menggapai keagungan yang mahaluas.*** (Artikel pernah dikirim ke KOMPAS Jogja, ditolak)

Tragedi 1965 dan Teologi Kristiani

oleh Indro Suprobo Apa yang sesungguhnya terjadi setelah peristiwa subuh 1 Oktober 1965 adalah sebuah tragedi manusia dan kemanusiaan. Bahkan M.R. Siregar almarhum menyebutnya sebagai holokaus terbesar yang terjadi setelah Nazi (M.R. Siregar, 2007). Ratusan ribu bahkan mungkin jutaan manusia Indonesia menjadi korban dan seringkali tanpa mengetahui apa yang menjadi kesalahan. Yang paling membuat terkesima adalah kenyataan betapa hampir semua orang beragama, baik orang biasa maupun para pemuka, dapat melakukan tindakan yang sesungguhnya melukai peradaban. Pada saat itu, agama-agama menunjukkan wajah kontradiktifnya yang sempurna. Para korban politik tahun 1965 selanjutnya harus menjalani hidup di bawah bayang-bayang kegelapan stigma. Kuasa politik pemenang menempatkan mereka di sudut pengap sebagai para penjahat dan pengkhianat. Tak mengherankan apabila kehidupan para korban sangat rentan kehilangan harkat, martabat dan sanjungan hormat. Mereka, yang sebenarnya adalah sesama dan saudara, telah diciptakan menjadi kaum tak berkisah yang dipinggirkan dalam sejarah. Mantra Politik dan Pewarisan Ingatan Untuk melanggengkan kuasa peminggiran ini, politik pemenang telah memproduksi sebuah mesin kebudayaan yang disebut pewarisan ingatan (Budiawan, 2004). Ia bekerja di wilayah kesadaran dan pemikiran yang menjagai dakwaan abadi bahwa kaum komunis dan perempuan Gerwani adalah penjahat dan pengkhianat yang tak pernah pantas mendapatkan hormat. Pewarisan ingatan ini menjadi mantra politik yang menangkap kesadaran, mempengaruhinya, menyihir, menelikung dan mengarahkannya untuk bekerja berdasarkan sekaligus demi kepentingan kekuasaan. Bagi kekuasaan, mantra politik ini membawa segala kekayaan, namun bagi para korban, ia menjerumuskannya ke dalam segala kemiskinan. Mantra politik tahun 1965 senyatanya menjadi kekuatan yang mematikan bagi para korban. Ia membunuh seluruh pengharapan akan kehidupan dan melukai harkat martabat kemanusiaan. Mantra politik yang substansinya adalah sebuah dakwaan itu, sebenarnya tak bersambung dengan kenyataan. Visum et repertum yang dihasilkan oleh para dokter ahli Roebiono Kertopati, Frans Pattiasina, Sutomo Tjokronegoro, Liauw Yan Siang, dan Lim Joe Thay atas jenasah para perwira korban Lubang Buaya menjadi bukti nyata bahwa dakwaan itu tak berdasar fakta (Dhakidae, 2003). Namun aneh tapi nyata, dakwaan itu selalu saja dijaga setia, diuri-uri agar lestari dalam seluruh kesadaran generasi kemudian melalui pewarisan ingatan. Ini berarti bahwa kekuatan yang mematikan, yang mengancam kehidupan dan meminggirkan kemanusiaan tetap dilestarikan serta terus-menerus menganugerahi penderitaan bagi para korban. Tantangan Teologi Kenyataan penderitaan para korban yang senyatanya tak pernah mengetahui alasan dan kesalahan sebagai akibat dari kekuatan mesin pewarisan ingatan yang mematikan, meminggirkan dan mengancam kehidupan merupakan kenyataan yang mau tidak mau menantang teologi kristiani. Dalam perspektif teologi kristiani, segala daya dan kekuatan yang mengancam kehidupan (peminggiran, diskriminasi, penindasan, dan pemiskinan) yang bekerja secara struktural dikategorikan sebagai kekuatan dosa dan secara teknis teologis disebut sebagai dosa struktural. Kehadiran teologi kristiani sudah sangat jelas dan tegas membawa mandat untuk menciptakan dan memperjuangkan struktur rahmat. Berhadapan dengan struktur dosa yang meminggirkan dan mengancam harkat martabat kemanusiaan, teologi kristiani memiliki sikap dasar yang tak bisa ditawar yakni preferential option for the poor, berpihak kepada para korban peminggiran dan ketidakadilan. Keberpihakan dan keterlibatan kristiani untuk menata masyarakat manusia di sini dan pada saat ini, serta perlawanan kristiani terhadap segala ketidakadilan yang mengganggu perdamaian antara umat manusia, tidak hanya secara alkitabiah dapat dibenarkan tetapi harus dialami sebagai ibadat sekular yang dituntut oleh inti biblis kristianitas (Pieris, 1996). Dengan demikian, menghadapi kenyataan peminggiran, stigmatisasi, pewarisan ingatan yang mematikan hormat terhadap harkat martabat kemanusiaan, dan penciptaan kaum Indonesia tanpa kisah dalam sejarah, teologi kristiani jelas-jelas tak bisa memilih untuk bersikap netral. Dalam realitas semacam itu, netralitas teologi kristiani hanya akan membawanya menjadi alat peneguh peminggiran, stigmatisasi, pelanggengan pewarisan ingatan, penindasan terhadap harkat martabat kemanusiaan dan menjadi karib bagi kaum status quo yang selalu setia menjagai dakwaan abadi (John Bowden,2005). Rekonsiliasi Gerakan sosial yang menjadi praksis teologi kristiani dalam konteks semacam ini adalah menyediakan ruang luas bagi kaum korban politik 1965 untuk membuka kisah tentang dan bagi sejarah dari perspektif mereka yang selama ini terpaksa menjadi kaum kalah. Kemerdekaan dan hak mereka sebagai kaum berkisah musti diangkat penuh hormat sehingga boleh kembali menjadi kaum berkisah yang memiliki andil untuk menguntai sejarah. Musti dibuka ruang luas untuk berkisah tentang mengapa, apa yang sesungguhnya terjadi, apa yang dialami, apa yang dipikirkan dan diharapkan sebagai cita-cita masa depan. Seluruh kisah ini akan menjadi sebuah proses konsientisasi, yakni proses membebaskan pikiran dan kesadaran dari telikungan gelap dakwaan dan pencitraan oleh pewarisan ingatan. Meminjam istilah Budiawan, konsientisasi ini disebut sebagai proses mematahkan pewarisan ingatan. Dalam terminologi teologi kristiani, proses ini disebut sebagai penyelamatan, pemerdekaan atau pembebasan. Pada gilirannya, semua ini merupakan langkah fundamental bagi rekonsiliasi. (Artikel ini pernah dikirim ke Suara Merdeka, tanpa kabar)

Teologi Sosial dan Keadilan

oleh Indro Suprobo Tulisan Mohammad Nasih berjudul “Korupsi dan Atheisme Praksis” dan tulisan AR Damyati berjudul “Intelektualitas dalam Islam” (Republika, 05/10/07) adalah dua tulisan terpisah yang menarik untuk diperbincangkan lebih lanjut sebagai kesatuan korelatif. Mohammad Nasih menguraikan inti gagasan yang tegas dan penuh komitmen bahwa korupsi sesungguhnya merupakan praktik syirik sosial yang dosanya paling besar dan tak terampuni. Dalam kerangka ini, orang yang khusyuk menjalankan ritual agama namun tetap tenang menjalankan praktik korupsi sebenarnya sedang melakukan hal yang sangat kontradiktif. Sementara itu, AR Damyati memaparkan adanya dua jenis intelektual secara garis besar, yakni intelektual profetik dan intelektual diabolik. Perbincangan mengenai kaitan antara religiositas secara luas atau hidup beragama secara lebih khusus, intelektualitas dan praksis sosial sehari-hari dalam studi tentang spiritualitas dirangkum dalam apa yang disebut sebagai spiritualitas integral (holistic spirituality). Spiritualitas integral secara simbolik memandang kehidupan terbedakan dalam tiga kategori dasar yakni kehidupan imami (berkaitan dengan hidup beriman atau beragama), kehidupan rajawi (berkaitan dengan hidup sekular/duniawi), dan kehidupan kenabian (berkaitan dengan sikap kritis atau pengambilan jarak terhadap dua kategori yang lain). Ketiga kategori ini selanjutnya dapat disebut sebagai dimensi. Secara sederhana, spiritualitas integral membedakan tiga dimensi kehidupan namun ketiganya merupakan satu kesatuan tak terpisahkan. Dimensi imami secara mudah dipahami sebagai segala seluk beluk berkaitan dengan kehidupan religiositas, iman atau keagamaan. Dimensi rajawi dipahami sebagai segala seluk beluk berkaitan dengan kehidupan duniawi yang meliputi politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Dimensi kenabian atau dimensi profetis dipahami sebagai seluk beluk yang berkaitan dengan pengambilan jarak, sikap kritis, pengingatan kepada nilai utama dan mendasar, serta perutusan tugas kenabian). Dimensi imami yang terlepas dari dimensi rajawi akan menempatkan kehidupan keagamaan dalam menara yang tidak memiliki pertanggungjawaban kepada kehidupan nyata sehari-hari. Orang akan sibuk menjalankan ribuan ritual agama namun tak pernah punya perhatian dengan kemiskinan dan ketidakdilan di sekitarnya. Orang beragama yang melakukan korupsi adalah contoh konkret dari situasi ini. Dimensi rajawi tanpa kaitan dengan dimensi imami akan menjadikan manusia terlalu dicengkeram oleh kehidupan duniawi dan membahayakan kemanusiaan karena dekat dengan ketamakan, kuasa, ketidakpedulian dan sebagainya. Intelektual yang haus akan kedudukan dan kekayaan yang tak peduli kepada kemelaratan ribuan tetangga adalah contohnya. Inilah yang oleh AR Damyati disebut sebagai intelektual diabolik atau dalam istilah yang lain disebut sebagai intelektual yang mengabdi kepada kuasa mamon, dajjal. Sebaliknya, dimensi imami yang sangat kental berkarib dengan dimensi rajawi, tanpa dilengkapi dimensi profetis, akan membuat kehidupan agama cenderung bersekongkol dengan kekuasaan (politik maupun ekonomi) dan tetap beresiko untuk melupakan mereka yang terpinggirkan. Ketika ini terjadi, agama dapat jatuh sebagai alat legitimasi bagi kekuasaan yang membuat mereka yang mengalami kemiskinan secara struktural harus menerima itu sebagai sebuah kesabaran dan ujian dari Tuhan, bukan sebagai ketidakadilan yang sebenarnya harus dilawan karena membawa kepada kekufuran. Dalam konteks terbatas inilah sebenarnya Karl Marx mengkritik agama sebagai candu masyarakat dan menyeru agar agama menjalankan fungsi dasar profetiknya sebagai rahmat bagi manusia yang menumbuhkan iman, rasa aman, keadilan, pembebasan dari kemiskinan dan penindasan, serta menghadirkan perdamaian. Teologi Sosial Salah satu perspektif dalam studi teologi keagamaan yang secara khusus memperhatikan kaitan antara kehidupan beriman, intelektualitas dan kenyataan hidup sosial adalah teologi sosial. Ini merupakan sebuah rangkaian pertanggungjawaban integral antara iman keagamaan, analisis sosial, dan kenyataan ketidakadilan. Teologi sosial berusaha menjawab tantangan bagaimana hidup keimanan seseorang musti terwujud dalam praksis sosial di tengah situasi ketidakadilan yang nyata. Nilai-nilai iman manakah yang mendasari seseorang untuk mengambil pilihan sikap dan tindakan dalam situasi konkret yang tidak adil dan mendatangkan banyak penderitaan bagi masyarakat. Dalam bingkai spiritualitas integral, teologi sosial merupakan salah satu wujud nyata perjumbuhan total (holistic integrality) hidup iman keagamaan dalam realitas dunia yang penuh ketidakadilan, yang disinari oleh analisis sosial-struktural pendorong pilihan sikap dan tindakan nyata penuh keberpihakan demi keadilan. Kehidupan Nabi Muhammad sendiri merupakan teladan tak tersangkal dari praksis teologi sosial yang semestinya lebih dihidupkan lagi dalam konteks kehidupan sekarang ini. Iman Muhammad kepada Allah yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari di tengah kehidupan fakir miskin merupakan bukti nyata. Itulah sebabnya beliau disebut nabi karena seluruh hidup beliau menampakkan secara sangat gamblang dan sempurna dimensi kenabian itu di tengah masyarakat. Dakwah dan seruan beliau kepada saudagar-saudagar kaya di Mekah merupakan pilihan sikap yang tegas berdasarkan iman kepada Allah. Al-Qur’an menyebutkan,”Mereka mengumpulkan kekayaan dan menimbunnya, mereka mengira kekayaannya akan mengekalkannya. Sama sekali tidak! Mereka akan dilontarkan ke dalam Huthamah. Apakah Huthamah itu? Yaitu api yang dinyalakan Allah…”(Al-Qur’an 104)[Asghar Ali Engineer,2000]. Teologi sosial dalam Islam merupakan sebuah usaha nyata untuk menggapai apa yang disebut sebagai ketaqwaan karena teologi sosial memiliki perhatian yang sangat serius terhadap persoalan ketidakadilan. Sementara dalam Al-Qur’an, ketaqwaan itu tidak dapat dilepaskan dari keadilan. “Berlakulah adil, dan itu lebih dekat kepada taqwa” (Al-Qur’an, 5:8). Sangatlah jelas dipahami bahwa ketaqwaan dalam Islam tidak hanya dipersempit dalam segala pernak-pernik menjalankan ibadah ritual saja. Ketika ketidakadilan hadir secara nyata dalam kehidupan, ketaqwaan tergusur ke pinggiran. Ketika ketaqwaan meraja, keadilan semestinya memancar sebagai fajar. Seruan adzan Allahu Akbar! Allahu Akbar! adalah seruan kesaksian bahwa hanya Allahlah yang mahabesar sehingga tak dapat ditolerir jika ada monopoli dalam kehidupan dunia ini. Segala macam monopoli politik, ekonomi, sosial, budaya merupakan peminggiran terhadap persaksian agung ini. Menumpuk kekayaan tanpa peduli dan korupsi bertubi-tubi juga merupakan bentuk monopoli yang meminggirkan kesaksian ini. Seruan adzan adalah seruan untuk menghadirkan ketaqwaan dan keadilan secara nyata dalam kehidupan. Dalam kehidupan modern, ada banyak contoh bagaimana teologi sosial menjadi daya dorong perubahan sosial sebagai tanggapan penuh pertanggungjawaban atas situasi ketidakadilan yang dihadapi. Salah satu contoh yang dapat disebut adalah revolusi Islam Iran oleh Ayatollah Khomeini. Westernisasi dan pembangunan di Iran yang tidak profetis, yang hanya menguntungkan sekelompok elit kecil dan tidak berakar pada masyarakat telah mengakibatkan pengasingan terhadap kehidupan religius dan kebudayaan. Terjadilah apa yang disebut sebagai migrasi besar-besaran dari pedesaan ke perkotaan yang serba kacau. Desa-desa menjadi semakin miskin dan terpinggir. Orang desa yang berpindah ke kota tidak juga mendapatkan secuil harapan kecuali kemiskinan, penderitaan, dan penuh kebencian harus menyaksikan segelintir orang yang bergelimang kekayaan melalui korupsi, yang sama atinya dengan mencuri hak kaum papa tak terperi. Konteks inilah yang membuat kharisma Ayatollah Khomeini diterima oleh mayoritas rakyat Iran yang sengsara dan terpinggirkan untuk menjalankan sebuah perubahan revolusioner berdasarkan nilai-nilai religius Islami, yang diterangi oleh analisis sosial yang konkret. Struktur sosial ekonomi politik yang menyengsarakan ribuan rakyat adalah struktur dosa tanpa rahmat. Struktur ini musti digantikan oleh struktur rahmat, yakni struktur kehidupan yang dilandasi oleh nilai-nilai keimanan Islam sebagai rahmat bagi kemanusiaan. Teologi sosial sebagaimana ditampakkan oleh revolusi Islam Iran menunjukkan wajah yang anti kemapanan atau status quo. Wajah kehidupan sosial yang kurang lebih sama, dapat dijumpai juga dalam konteks Indonesia. Kemelaratan, kesulitan mendapatkan pekerjaan, ketidakmampuan banyak keluarga untuk membiayai pendidikan dan kesehatan, kemewahan segelintir orang yang asyik dengan segala macam konsumsi, dan meluasnya korupsi merupakan tantangan nyata bagi teologi sosial agama di Indonesia. Tantangan teologi sosial menjadi jauh lebih besar karena kecenderungan agama-agama untuk berasyik mesra dengan ideologi pasar juga telah semakin membesar. Peran profetis kenabian yang menyeru lantang untuk menghadirkan keadilan dan ketaqwaan semakin menjadi tuntutan. Setiap orang beragama dipanggil untuk tugas berat dan mulia ini. Seluruh ceramah, dakwah, dan gerakan keagamaan sudah semestinya lebih digiatkan sebagai praksis nyata integral teologi sosial, agar kehidupan keimanan dan keagamaan tidak terpenjara dan terasing di menara gading. Panggilan adzan dari seribu mushala setiap hari, merupakan peringatan yang semoga saja semakin mengusik segala hati. (Artikel ini pernah dikirim ke Republika, tanpa kabar)

Teologi Kisah dan Sejarah Yang Patah

oleh Indro Suprobo

Salah satu buku yang menyediakan analogi sangat bagus untuk melukiskan tragedi manusia dan kemanusiaan dalam sejarah Indonesia tahun 1965 adalah novel kecil karangan almarhum Pramoedya Ananta Toer berjudul Calon Arang. Novel kecil ini bercerita tentang kekuatan mantra seorang pendeta bernama Calon Arang yang tinggal di sebuah desa dalam wilayah kerajaan Daha, pada masa pemerintahan raja Erlangga. Mantra-mantra sakti mandraguna ini mengakibatkan penyakit, penderitaan dan kematian bagi ratusan ribu bahkan jutaan penduduk di desa-desa, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak yang masih menyusu di dada ibu. Mereka yang terkena penyakit, penderitaan, bahkan kematian ini, seringkali tak pernah mengetahui alasan mengapa mereka harus menjadi korban. Yang lebih mengerikan lagi, mereka tak memiliki kekuatan sedikitpun untuk menangkal mantra sakti mandraguna ini. Satu-satunya pilihan adalah menghadapi sakit, penderitaan, atau kematian.

Sang pendeta Calon Arang melakukan semua ini karena marah dan kecewa bahwa anak perempuannya yang cantik jelita, Ratna Manggali, tak juga dipersunting sebagai istri oleh seorang lelaki. Namun anehnya, ketika Empu Bahula, seorang murid Empu Baradah, telah menikahi Ratna Manggali, sang pendeta Calon Arang tidak juga menghentikan mantra-mantranya. Penyakit, penderitaan, dan kematian semakin merajalela ke seluruh penjuru negeri Daha. Terpaksalah, Empu Baradah harus mempelajari Kitab Bertuah milik sang pendeta untuk mengalahkannya dengan mantra-mantra pula. Bahkan mantra-mantra dari Kitab Bertuah itu dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit dan menghidupkan orang-orang yang sudah dijemput kematian. (Pramoedya, 2003)

Mantra dalam Sejarah
Pasca drama subuh 1 Oktober 1965, ada mantra yang telah disebarkan dalam sejarah yang pada gilirannya telah mengakibatkan ratusan ribu bahkan mungkin jutaan manusia dan kemanusiaan Indonesia menjadi manusia dan kemanusiaan yang patah. Dengan kuasa magisnya, mantra itu telah menyihir kesadaran massa dan menggerakkan sebuah tragedi kemanusiaan yang memakan ratusan ribu korban. Laki-laki, perempuan, dewasa, maupun anak-anak telah menanggung penderitaan bahkan kematian tanpa pernah mengetahui apa yang menjadi alasan dan kesalahan. Tragedi itu berlangsung selama bulan oktober sampai dengan desember 1965.

Mantra yang disebarkan itu berisi sebuah dakwaan bahwa kaum komunis dan perempuan Gerwani telah melakukan aniaya kepada para perwira di Lubang Buaya. Apa yang digambarkan sebagai aniaya (mencungkil mata, menyayat tubuh, memotong kemaluan perwira) melalui beragam media itu sejatinya tak pernah ada. Visum et repertum atas jenasah para perwira di Lubang Buaya yang dijalankan oleh para dokter ahli Roebiono Kertopati, Frans Pattiasina, Sutomo Tjokronegoro, Liauw Yan Siang, dan Lim Joe Thay menjadi bukti nyata bahwa penggambaran aniaya itu tak berdasar fakta (Dhakidae, 2003 dan M.R. Siregar, 2007). Namun malang tak bisa dihadang, mantra-mantra itu tetap saja disebar ke mana-mana. Ia telah menyihir kesadaran dan bertahta sebagai satu-satunya kebenaran. Mantra yang penuh daya magis dan kuasa itu telah menyulut emosi massa yang dengan segera, dalam dukungan penuh angkatan bersenjata, semua warga melakukan pembalasan dengan aniaya tiada terkira yang mengakibatkan sengsara dan hilangnya nyawa ratusan ribu manusia yang sebenar-benarnya adalah saudara. Pada saat itu, semua orang beragama menunjukkan wajah kontradiktifnya yang sempurna.

Inilah mantra yang mematikan dan melukai seluruh kemanusiaan. Mantra ini pulalah yang telah menjadikan ratusan ribu manusia secara terpaksa harus memasuki pengalaman kalah dan menciptakan sejarah yang patah. Sampai saat ini, mantra-mantra sakti mandaraguna ini tampaknya masih cenderung terus-menerus dijaga, diuri-uri kuasa magisnya agar lestari melalui banyak cara dan merasuki setiap relung institusi. Pembakaran buku-buku, hanyalah salah satu saja dari sekian banyak caranya.

Teologi Kisah bagi Kaum Patah
Kuasa magis mantra yang telah bertahta sebagai pemenang, pemilik tunggal wewenang, dan penentu kebenaran di hampir setiap lubuk kesadaran selama puluhan tahun itu, pada gilirannya telah menciptakan kaum kalah yang tak berhak memiliki kisah. Merekalah yang disebut sebagai kaum patah di dalam perjalanan sejarah.

Kaum patah dalam sejarah Indonesia sebenarnya adalah para saudara sendiri yang karena mantra politik tahun 1965 dipaksa untuk diam dan kehilangan hak untuk berkisah. Jika tercium gelagat bahwa mereka akan mulai berkisah, dapat dipastikan bahwa mereka akan bertemu dengan pemeriksaan dan kesulitan. Kaum patah dalam sejarah Indonesia adalah para saudara sendiri yang oleh mantra politik telah disulap dan disihir menjadi orang luar yang harus dihindari. Mereka adalah kawan-kawan yang oleh mantra politik telah disihir menjadi lawan. Mereka adalah para sahabat yang oleh mantra politik telah disulap menjadi penjahat dan pengkhianat. Mereka adalah para gadis, para istri dan perempuan berhati luhur namun oleh mantra politik telah disihir menjadi gerombolan pelacur. Oleh karena itu, seluruh haknya sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat, cenderung dipinggirkan tanpa rasa hormat. Pada akhirnya, seluruh struktur telah memaksa mereka untuk terus-menerus berada di pinggiran sejarah tanpa kisah dan mendekam dalam lingkaran ketidakberdayaan.

Karena ditempatkan sebagai yang tak memiliki hak untuk berkisah, kaum yang patah telah dibungkam untuk tidak memiliki andil dalam membangun dan merumuskan sejarah. Pembungkaman dan peminggiran, yang ujung-ujungnya seringkali merupakan proses pemiskinan, sebenarnya merupakan bagian integral dari tindak ketidakadilan. Berhadapan dengan hal ini, semua agama dan religiositas memiliki sikap dan penentangan yang tegas. Tantangan agama-agama dan religiositas di Indonesia adalah membebaskan para pemeluknya dari ketidakadilan ini.

Dalam perspektif teologi kristiani, realitas penderitaan dan ketersingkiran kaum patah yang tak punya hak untuk berkisah, adalah tempat paling keramat bagi kehadiran Allah. Tantangan teologi kristiani yang paling nyata di sini adalah bagaimana memaknai kehadiran Allah yang peduli kepada sejarah dan berempati kepada kaum patah yang terbungkam untuk berkisah. Teologi kristiani diundang untuk menemukan wajah Allah yang tersembunyi di tempat keramat ini dan mempertanggungjawabkannya sebagai wujud nyata iman dalam praksis hidup sehari-hari.

Salah satu gambar Allah dalam teologi kristiani adalah Allah yang menyejarah. Ia berempati kepada kaum yang terbelenggu dan susah, serta berpihak kepada mereka yang berjerih payah memerdekakan diri membangun kisah dan membentuk sejarah sebagai umat perjanjian Allah. Allah yang menyejarah dengan demikian adalah Allah yang terus-menerus terlibat membangun kisah.

Mantra vs Kisah
Mantra-mantra dalam sejarah yang telah membungkam para korban tragedi manusia tahun 1965 adalah mantra-mantra yang membelenggu pikiran dan mematikan kemanusiaan. Mantra-mantra itu menyihir kesadaran sehingga tak lagi memiliki kejernihan untuk memandang kemanusiaan. Kesadaran yang telah tersihir tak lagi punya kemampuan untuk mengambil pilihan.

Sebaliknya, kisah adalah untaian kesadaran. Membangun sebuah kisah adalah proses menyusun beragam kesadaran tentang segala sesuatu dalam untaian yang membawa pemahaman sekaligus keindahan. Menyusun kisah adalah langkah membebaskan pikiran dari aneka macam belenggu . Dengan berkisah, pikiran orang tidak lagi menjadi patah dan terbelenggu, melainkan sebaliknya, pikiran itu justru mematahkan semua yang menjadi belenggu.

Pengharapan sekaligus Pembebasan
Empati dan keberpihakan kepada kaum yang patah, adalah salah satu wujud nyata dari sikap dasar preferential option for the poor yang pada gilirannya menjadikan teologi kristiani sebagai experiencial theology yang dibangun dari, oleh, bersama dan bagi pengalaman kaum patah. Dalam bingkai ini, teologi kisah bukanlah sebuah teologi kristiani yang secara politik bersifat netral, melainkan sebuah teologi yang jelas-jelas berpihak kepada kaum patah yang kehilangan hak untuk berkisah. Kenyataan peminggiran kaum patah oleh mantra-mantra sejarah, tidak menyediakan pilihan bagi teologi untuk bersifat netral, karena dalam realitas semacam itu, netralitas teologi kristiani hanya akan membawanya menjadi alat peneguh peminggiran, penindasan dan menjadi karib bagi kaum status quo yang selalu setia menjaga mantra (John Bowden,2005).

Teologi kristiani yang terlibat dalam pengalaman kaum patah tanpa kisah ini dengan demikian menjadi sebuah teologi pengharapan yang merefleksikan pengalaman-pengalaman penderitaan dan menemukan nilai-nilai dasar untuk bergelut dan bertahan sampai pada batas daya tahan. Namun sekaligus ia menjadi sebuah teologi pembebasan yang merefleksikan seluruh proses pemerdekaan kaum patah tanpa kisah dari segala belenggu mantra politik. Ia menyediakan refleksi kritis teologis mengenai kemendesakan kebutuhan transformasi dari kaum patah tanpa kisah yang terbelenggu mantra-mantra menuju kepada kaum berkisah yang memiliki kemerdekaan pikiran dan kemanusiaan. Ia menjadi teologi yang memberi kerangka iman bagi sebuah gerakan pembebasan dan terus-menerus berjuang dalam keberpihakan untuk mengubah struktur dosa yang dipenuhi mantra menjadi struktur rahmat dan anugerah yang menyediakan ruang luas untuk berkisah.
Pantaslah dikemukakan di sini bahwa pembebasan yang dimaksudkan ini mempunyai dua sisi, yakni pembebasan para korban sendiri (kaum patah tanpa kisah) sekaligus pembebasan bagi seluruh generasi kemudian. Kaum patah yang terus menerus berjuang untuk dapat berkisah, akan membebaskan pikiran dari belenggu mantra. Generasi kemudian yang mendengarkan dan berbagi kisah juga akan mengalami pembebasan dari segala mantra. Kisah-kisah ini akan membuka kepada pemahaman mengenai mengapa dan apa yang senyatanya terjadi, dialami, dirasakan, dipikirkan dicita-citakan, dan apa yang semestinya bisa diubah dalam sejarah. Berbagi kisah ini sendiri merupakan sebuah langkah konsientisasi yang sekaligus merupakan langkah pembebasan pada tingkat paling dasar, yakni pembebasan pikiran (Alan Richardson dan John Bowden, 1983). Berbagi kisah yang merupakan konsientisasi ini, selanjutnya menjadi langkah nyata bagi rekonsiliasi. Melalui cara ini, kehormatan, harkat dan martabat kemanusiaan kaum patah dapat diangkat dan dihidupkan. Dengan cara ini generasi kemudian tidak lagi terpecah oleh luka batin sejarah, melainkan memiliki kesanggupan untuk saling mengutuhkan. Pada akhirnya, kaum patah dan semua manusia lintas generasi akan bersama-sama dalam kemerdekaan membangun dan menjalin kisah sekaligus menguntai sejarah.


(Artikel yang ditolak oleh KOMPAS)

Mantra Politik dan Sejarah Yang Terluka

oleh Indro Suprobo Sebuah buku yang menyediakan analogi sangat bagus dalam mencoba memahami peristiwa sejarah sebagaimana dicatat dalam buku Tragedi Manusia dan Kemanusiaan, Holokaus Terbesar Setelah Nazi, karya M.R. Siregar adalah novel kecil karangan Pramoedya Ananta Toer berjudul Cerita Calon Arang. Novel kecil itu mengisahkan seorang pendeta yang sangat jahat, yang demi memuaskan kepentingan-kepentingannya, telah menyebarkan mantra-mantra teluh ke seluruh desa di kerajaan Daha. Mantra-mantra teluh ini mengakibatkan penyakit, penderitaan dan kematian bagi banyak sekali penduduk desa baik laki-laki, perempuan, bahkan anak-anak. Mereka yang terkena penyakit, penderitaan bahkan kematian ini, tak pernah mengetahui alasan mengapa mereka harus menjadi korban. Yang lebih mengerikan, mereka tak punya kekuatan sedikitpun untuk menangkal mantra teluh ini. Satu-satunya pilihan adalah menghadapi sakit, penderitaan, atau kematian. Menurut Pramoedya, Calon Arang melakukan semua kejahatan ini karena dua alasan dasar. Pertama, pada dasarnya, Calon arang ini memang jahat. Kedua, karena kemarahan akibat tak ada lelaki yang mau menyunting anaknya, Ratna Manggali yang cantik sebagai istri. Tak seorangpun lelaki berani menyunting anaknya itu karena takut kepada kejahatan Calon Arang. Seluruh kejahatan Calon Arang itu akhirnya dikalahkan oleh Empu Baradah melalui dua cara. Pertama, dengan menyuruh muridnya, Empu Bahula untuk meminang Ratna Manggali. Kedua, melalui Empu Bahula ini ia bisa menguasai Kitab Bertuah yang menyimpan seluruh rahasia kekuatan mantra teluh Calon arang. Empu Baradah melawan dan mengalahkan Calon Arang juga dengan mantra-mantra. Melalui mantra pula Empu Baradah menyembuhkan semua yang sakit, bahkan menghidupkan yang sudah mati asal belum membusuk (Pramoedya, 2003). Mantra Politik Tentara Pasca drama subuh 1 Oktober 1965, yang menjadi mantra politik tentara (yang selanjutnya akan menjadi pemegang kekuasaan Orba) adalah semua kebohongan yang dijadikan berita dan disebarkan melalui media. Berita Yudha, Angkatan Bersenjata, Api Pancasila, dan Kantor Berita Antara adalah media utama yang menyebarkan mantra-mantra politik tentara. Isi utama dari mantra itu adalah bahwa Partai Komunis Indonesia dan Gerwani telah melakukan aniaya keji terhadap para jenderal di Lubang Buaya. Apa yang disebut sebagai aniaya itu sejatinya tak pernah ada. Hasil visum et repertum atas jenasah para jenderal yang dilakukan oleh para dokter ahli Roebiono Kertopati, Frans Pattiasina, Sutomo Tjokronegoro, Liauw Yan Siang, dan Lim Joe Thay menjadi bukti nyata bahwa isi dari mantra-mantra media tentara itu bohong belaka. Namun malang tak bisa dikira, mantra itu telah menyulut emosi massa yang dengan segera, dalam dukungan penuh tentara, semua warga termasuk golongan agama baik orang biasa maupun para pemuka, melakukan aniaya sempurna yang mengakibatkan sengsara dan hilangnya nyawa ratusan ribu, atau mungkin jutaan manusia. Pada saat itu semua orang beragama menunjukkan wajah kontradiktifnya yang luar biasa. Sungguh layak dan sepantasnya apabila M.R. Siregar memberi judul bagi bukunya Tragedi Manusia. Karena tragedi manusia inilah sejarah Indonesia mengalami luka. Seluruh proses interogasi terhadap para perwira berkaitan dengan drama subuh 1 oktober 1965 pada masa-masa sesudahnya, dengan susah payah harus dihubung-hubungkan dengan Partai Komunis Indonesia dan organisasi yang berkaitan dengannya (Dhakidae, 2003) agar menambah daya magis mantra. Mantra tentara yang bekerja di dalam setiap kesadaran warga telah menjadi sesuatu yang penuh kuasa. Ia menentukan apa yang disebut sebagai kebenaran, melahirkan siapa yang disebut sebagai pemenang dan memiliki wewenang. Dalam waktu yang sangat lama, mantra-mantra itu dijaga, diperkuat, dan diuri-uri daya kuasanya melalui banyak cara, serta merasuki hampir setiap institusi. Karena substansi dari mantra itu adalah kebohongan, untuk menjaga daya magis dan kuasanya, ritual yang dijalankan adalah kekerasan yang terus-menerus selalu menelantarkan dan menyalahkan korban. Dalam kerangka ini sangat bisa dipahami apabila di negeri ini bertumpuk-tumpuk orang yang menjadi korban : yang mati tanpa diketahui siapa pembunuhnya, yang dipenjara tanpa pernah memahami apa salahnya, maupun yang hilang tanpa ada yang bisa membawanya pulang. Mantra dan Dampak Strukturalnya Selain mengakibatkan terjadinya pembantaian terhadap jutaan manusia yang dianggap sebagai punya kaitan dengan Partai Komunis Indonesia, mantra yang disebarkan oleh tentara itu pada gilirannya membawa dampak struktural yang oleh M.R. Siregar dipaparkan secara panjang lebar. Dampak struktural itu sangat kentara dalam seluruh masa kekuasaan negara tentara atau negara Orba. Dari sisi ekonomi, muncul apa yang disebut sebagai dominasi asing dan lahirnya dominasi konglomerat Indonesia. Perusahaan-perusahaan milik tentara menjadi pengeruk untung utama. Dari sisi ekologi, benalu feodalis dan kapitalis birokrat militer yang membuka perusahaan perkayuan telah merusak ribuan hektar hutan. Suku-suku yang memiliki sikap hormat dan arif terhadap lingkungan alam telah disingkirkan dengan label “suku terasing” dan haknya diambil alih oleh perusahaan dengan dukungan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah maupun Surat Keputusan Menteri. Dari sisi sosial, telah lahir generasi miskin yang meluas di Indonesia, yakni kaum pekerja yang bekerja keras dengan upah tak layak buat menjaga dasar hidup. Selain itu, hutang luar negeri semakin meninggi dengan cicilan dan bunga yang harus ditanggung oleh sekian generasi. Dari sisi politik, PKI jelas harus mati dan diikuti oleh kematian demokrasi. Pelarangan terbitan buku, pembatasan dan pembredelan pers, manipulasi pemilu, teror dan penguasaan militer ke segala penjuru menjadi wujud nyata. Dalam bingkai mantra tentara yang telah bekerja penuh kuasa di sekujur struktur kekuasaan ini, segala sesuatu yang memiliki kemungkinan sekecil apapun untuk mengusik keamanan dan daya magis mantra politik itu, yang dengan demikian berarti mengusik keleluasaan kesempatan mereguk keuntungan yang dimiliki oleh para penjaga mantra, akan berhadapan dengan kekerasan yang menempatkannya di sudut ruangan sebagai pembuat kesalahan, kehilangan seluruh hak kemanusiaan, rentan terhadap segala penyiksaan, kehilangan ingatan dan bahkan harus menerima kematian. Dalam bingkai ini, seluruh kejahatan kemanusiaan berlanjut di negeri ini: Tanjung Priok, Talangsari, Marsinah, Santa Cruz, Udin, dsb. Barangkali, yang sekarang ini menjadi lanjutan dari dampak struktural itu dan merupakan yang mutakhir adalah mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan. Dalam garis besar, neokolonialisme dan imperialisme yang pada masa lalu secara sangat tegas dilawan oleh Partai Komunis Indonesia, sekarang ini justru dipertuan oleh negeri ini. Mantra Korban sebagai Perlawanan Mantra politik tentara sebagaimana dimulai sejak bulan Oktober 1965 analog dengan mantra teluh Calon Arang yang membawa penyakit dan kematian. Mantra itu mendatangkan kematian bagi kemanusiaan dalam banyak dimensinya, yakni dimensi ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan. Mantra teluh yang mematikan ini pantas mendapatkan imbangan atau perlawanan dari mantra yang menyembuhkan dan semoga saja menghidupkan, analog dengan mantra Empu Baradah. Mantra-mantra dari para korban, itulah yang dimaksudkan sebagai imbangan atau perlawanan. Penuturan tentang apa yang terjadi dan dialami (kisah para korban dan keluarga korban), tulisan pertanggungjawaban atas apa yang dituduhkan (pertanggungjawaban Sudisman di pengadilan), catatan kemanusiaan yang dirangkum dari berbagai saksi (catatan Femi Adi), film dokumentasi yang mengungkap kemungkinan bukti dan ingatan para saksi (luweng grubug Wonosari dan kuburan masal Wonosobo), paparan dan argumentasi mengenai apa yang terjadi (Imam Soejono, M.R. Siregar) adalah bagian-bagian penting dari mantra para korban yang berfungsi sebagai imbangan sekaligus perlawanan. Mantra-mantra para korban ini bersifat menyembuhkan luka sejarah, yang sekaligus adalah luka para korban, dan menghidupkan harapan, kepercayaan, harkat dan martabat kemanusiaan korban. Dalam rangka inilah Resist berjerih payah dengan segala keterbatasan yang disandang untuk menerbitkan buku Tragedi Manusia karya M.R. Siregar. Konsientisasi sebagai Rekonsiliasi Yang dapat dilakukan sebagai imbangan dan menginisiasi perubahan atau kebaharuan adalah konsientisasi lintas generasi. Membuka dan menawarkan bentuk kesadaran baru, perspektif alternatif terutama perspektif yang empatif terhadap para korban, menyediakan cara pandang lebih luas dan beragam mengenai perjalanan sejarah merupakan konsientisasi lintas generasi yang sekaligus merupakan bentuk rekonsiliasi. Melalui cara ini kehormatan, harkat dan martabat kemanusiaan korban dapat diangkat dan dihidupkan. Melalui cara ini, generasi mendatang tidak lagi terpecah oleh luka batin sejarah melainkan memiliki kesanggupan untuk saling mengutuhkan. Apa yang pada masa lalu telah hilang, semaksimal mungkin dapat dipanggil pulang. Yang tercerai-berai, semaksimal mungkin dapat dikumpulkan dalam satu bingkai. Yang telah patah, semaksimal mungkin dapat disambung tanpa kenal lelah. Yang telah pergi dan tak mungkin kembali, semaksimal mungkin dapat diterima dalam keikhlasan hati. Apa yang tak pernah diharapkan namun terjadi, semaksimal mungkin tak perlu terulang kembali. Demikianlah, konsientisasi berlaku terus-menerus dalam seluruh wujud proses rekonsiliasi. Semoga cita-cita agar tidak terpecah oleh luka batin sejarah, sebagaimana dipetik sebagai renungan profetis oleh almarhum Pramoedya dalam kebersamaan penderitaan penjara, bisa menjadi semakin nyata dalam generasi kita: “Semua manusia bersaudara satu sama lain. Karena itu tiap orang yang membutuhkan pertolongan harus memperoleh pertolongan. Tiap orang keluar dari satu turunan, karena itu satu sama lain adalah saudara” (Artikel disampaikan dalam diskusi buku di PUSDEP Univ. Sanata Dharma, 26 Sept 2007)