Thursday, December 27, 2007

Mantra Politik dan Sejarah Yang Terluka

oleh Indro Suprobo Sebuah buku yang menyediakan analogi sangat bagus dalam mencoba memahami peristiwa sejarah sebagaimana dicatat dalam buku Tragedi Manusia dan Kemanusiaan, Holokaus Terbesar Setelah Nazi, karya M.R. Siregar adalah novel kecil karangan Pramoedya Ananta Toer berjudul Cerita Calon Arang. Novel kecil itu mengisahkan seorang pendeta yang sangat jahat, yang demi memuaskan kepentingan-kepentingannya, telah menyebarkan mantra-mantra teluh ke seluruh desa di kerajaan Daha. Mantra-mantra teluh ini mengakibatkan penyakit, penderitaan dan kematian bagi banyak sekali penduduk desa baik laki-laki, perempuan, bahkan anak-anak. Mereka yang terkena penyakit, penderitaan bahkan kematian ini, tak pernah mengetahui alasan mengapa mereka harus menjadi korban. Yang lebih mengerikan, mereka tak punya kekuatan sedikitpun untuk menangkal mantra teluh ini. Satu-satunya pilihan adalah menghadapi sakit, penderitaan, atau kematian. Menurut Pramoedya, Calon Arang melakukan semua kejahatan ini karena dua alasan dasar. Pertama, pada dasarnya, Calon arang ini memang jahat. Kedua, karena kemarahan akibat tak ada lelaki yang mau menyunting anaknya, Ratna Manggali yang cantik sebagai istri. Tak seorangpun lelaki berani menyunting anaknya itu karena takut kepada kejahatan Calon Arang. Seluruh kejahatan Calon Arang itu akhirnya dikalahkan oleh Empu Baradah melalui dua cara. Pertama, dengan menyuruh muridnya, Empu Bahula untuk meminang Ratna Manggali. Kedua, melalui Empu Bahula ini ia bisa menguasai Kitab Bertuah yang menyimpan seluruh rahasia kekuatan mantra teluh Calon arang. Empu Baradah melawan dan mengalahkan Calon Arang juga dengan mantra-mantra. Melalui mantra pula Empu Baradah menyembuhkan semua yang sakit, bahkan menghidupkan yang sudah mati asal belum membusuk (Pramoedya, 2003). Mantra Politik Tentara Pasca drama subuh 1 Oktober 1965, yang menjadi mantra politik tentara (yang selanjutnya akan menjadi pemegang kekuasaan Orba) adalah semua kebohongan yang dijadikan berita dan disebarkan melalui media. Berita Yudha, Angkatan Bersenjata, Api Pancasila, dan Kantor Berita Antara adalah media utama yang menyebarkan mantra-mantra politik tentara. Isi utama dari mantra itu adalah bahwa Partai Komunis Indonesia dan Gerwani telah melakukan aniaya keji terhadap para jenderal di Lubang Buaya. Apa yang disebut sebagai aniaya itu sejatinya tak pernah ada. Hasil visum et repertum atas jenasah para jenderal yang dilakukan oleh para dokter ahli Roebiono Kertopati, Frans Pattiasina, Sutomo Tjokronegoro, Liauw Yan Siang, dan Lim Joe Thay menjadi bukti nyata bahwa isi dari mantra-mantra media tentara itu bohong belaka. Namun malang tak bisa dikira, mantra itu telah menyulut emosi massa yang dengan segera, dalam dukungan penuh tentara, semua warga termasuk golongan agama baik orang biasa maupun para pemuka, melakukan aniaya sempurna yang mengakibatkan sengsara dan hilangnya nyawa ratusan ribu, atau mungkin jutaan manusia. Pada saat itu semua orang beragama menunjukkan wajah kontradiktifnya yang luar biasa. Sungguh layak dan sepantasnya apabila M.R. Siregar memberi judul bagi bukunya Tragedi Manusia. Karena tragedi manusia inilah sejarah Indonesia mengalami luka. Seluruh proses interogasi terhadap para perwira berkaitan dengan drama subuh 1 oktober 1965 pada masa-masa sesudahnya, dengan susah payah harus dihubung-hubungkan dengan Partai Komunis Indonesia dan organisasi yang berkaitan dengannya (Dhakidae, 2003) agar menambah daya magis mantra. Mantra tentara yang bekerja di dalam setiap kesadaran warga telah menjadi sesuatu yang penuh kuasa. Ia menentukan apa yang disebut sebagai kebenaran, melahirkan siapa yang disebut sebagai pemenang dan memiliki wewenang. Dalam waktu yang sangat lama, mantra-mantra itu dijaga, diperkuat, dan diuri-uri daya kuasanya melalui banyak cara, serta merasuki hampir setiap institusi. Karena substansi dari mantra itu adalah kebohongan, untuk menjaga daya magis dan kuasanya, ritual yang dijalankan adalah kekerasan yang terus-menerus selalu menelantarkan dan menyalahkan korban. Dalam kerangka ini sangat bisa dipahami apabila di negeri ini bertumpuk-tumpuk orang yang menjadi korban : yang mati tanpa diketahui siapa pembunuhnya, yang dipenjara tanpa pernah memahami apa salahnya, maupun yang hilang tanpa ada yang bisa membawanya pulang. Mantra dan Dampak Strukturalnya Selain mengakibatkan terjadinya pembantaian terhadap jutaan manusia yang dianggap sebagai punya kaitan dengan Partai Komunis Indonesia, mantra yang disebarkan oleh tentara itu pada gilirannya membawa dampak struktural yang oleh M.R. Siregar dipaparkan secara panjang lebar. Dampak struktural itu sangat kentara dalam seluruh masa kekuasaan negara tentara atau negara Orba. Dari sisi ekonomi, muncul apa yang disebut sebagai dominasi asing dan lahirnya dominasi konglomerat Indonesia. Perusahaan-perusahaan milik tentara menjadi pengeruk untung utama. Dari sisi ekologi, benalu feodalis dan kapitalis birokrat militer yang membuka perusahaan perkayuan telah merusak ribuan hektar hutan. Suku-suku yang memiliki sikap hormat dan arif terhadap lingkungan alam telah disingkirkan dengan label “suku terasing” dan haknya diambil alih oleh perusahaan dengan dukungan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah maupun Surat Keputusan Menteri. Dari sisi sosial, telah lahir generasi miskin yang meluas di Indonesia, yakni kaum pekerja yang bekerja keras dengan upah tak layak buat menjaga dasar hidup. Selain itu, hutang luar negeri semakin meninggi dengan cicilan dan bunga yang harus ditanggung oleh sekian generasi. Dari sisi politik, PKI jelas harus mati dan diikuti oleh kematian demokrasi. Pelarangan terbitan buku, pembatasan dan pembredelan pers, manipulasi pemilu, teror dan penguasaan militer ke segala penjuru menjadi wujud nyata. Dalam bingkai mantra tentara yang telah bekerja penuh kuasa di sekujur struktur kekuasaan ini, segala sesuatu yang memiliki kemungkinan sekecil apapun untuk mengusik keamanan dan daya magis mantra politik itu, yang dengan demikian berarti mengusik keleluasaan kesempatan mereguk keuntungan yang dimiliki oleh para penjaga mantra, akan berhadapan dengan kekerasan yang menempatkannya di sudut ruangan sebagai pembuat kesalahan, kehilangan seluruh hak kemanusiaan, rentan terhadap segala penyiksaan, kehilangan ingatan dan bahkan harus menerima kematian. Dalam bingkai ini, seluruh kejahatan kemanusiaan berlanjut di negeri ini: Tanjung Priok, Talangsari, Marsinah, Santa Cruz, Udin, dsb. Barangkali, yang sekarang ini menjadi lanjutan dari dampak struktural itu dan merupakan yang mutakhir adalah mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan. Dalam garis besar, neokolonialisme dan imperialisme yang pada masa lalu secara sangat tegas dilawan oleh Partai Komunis Indonesia, sekarang ini justru dipertuan oleh negeri ini. Mantra Korban sebagai Perlawanan Mantra politik tentara sebagaimana dimulai sejak bulan Oktober 1965 analog dengan mantra teluh Calon Arang yang membawa penyakit dan kematian. Mantra itu mendatangkan kematian bagi kemanusiaan dalam banyak dimensinya, yakni dimensi ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan. Mantra teluh yang mematikan ini pantas mendapatkan imbangan atau perlawanan dari mantra yang menyembuhkan dan semoga saja menghidupkan, analog dengan mantra Empu Baradah. Mantra-mantra dari para korban, itulah yang dimaksudkan sebagai imbangan atau perlawanan. Penuturan tentang apa yang terjadi dan dialami (kisah para korban dan keluarga korban), tulisan pertanggungjawaban atas apa yang dituduhkan (pertanggungjawaban Sudisman di pengadilan), catatan kemanusiaan yang dirangkum dari berbagai saksi (catatan Femi Adi), film dokumentasi yang mengungkap kemungkinan bukti dan ingatan para saksi (luweng grubug Wonosari dan kuburan masal Wonosobo), paparan dan argumentasi mengenai apa yang terjadi (Imam Soejono, M.R. Siregar) adalah bagian-bagian penting dari mantra para korban yang berfungsi sebagai imbangan sekaligus perlawanan. Mantra-mantra para korban ini bersifat menyembuhkan luka sejarah, yang sekaligus adalah luka para korban, dan menghidupkan harapan, kepercayaan, harkat dan martabat kemanusiaan korban. Dalam rangka inilah Resist berjerih payah dengan segala keterbatasan yang disandang untuk menerbitkan buku Tragedi Manusia karya M.R. Siregar. Konsientisasi sebagai Rekonsiliasi Yang dapat dilakukan sebagai imbangan dan menginisiasi perubahan atau kebaharuan adalah konsientisasi lintas generasi. Membuka dan menawarkan bentuk kesadaran baru, perspektif alternatif terutama perspektif yang empatif terhadap para korban, menyediakan cara pandang lebih luas dan beragam mengenai perjalanan sejarah merupakan konsientisasi lintas generasi yang sekaligus merupakan bentuk rekonsiliasi. Melalui cara ini kehormatan, harkat dan martabat kemanusiaan korban dapat diangkat dan dihidupkan. Melalui cara ini, generasi mendatang tidak lagi terpecah oleh luka batin sejarah melainkan memiliki kesanggupan untuk saling mengutuhkan. Apa yang pada masa lalu telah hilang, semaksimal mungkin dapat dipanggil pulang. Yang tercerai-berai, semaksimal mungkin dapat dikumpulkan dalam satu bingkai. Yang telah patah, semaksimal mungkin dapat disambung tanpa kenal lelah. Yang telah pergi dan tak mungkin kembali, semaksimal mungkin dapat diterima dalam keikhlasan hati. Apa yang tak pernah diharapkan namun terjadi, semaksimal mungkin tak perlu terulang kembali. Demikianlah, konsientisasi berlaku terus-menerus dalam seluruh wujud proses rekonsiliasi. Semoga cita-cita agar tidak terpecah oleh luka batin sejarah, sebagaimana dipetik sebagai renungan profetis oleh almarhum Pramoedya dalam kebersamaan penderitaan penjara, bisa menjadi semakin nyata dalam generasi kita: “Semua manusia bersaudara satu sama lain. Karena itu tiap orang yang membutuhkan pertolongan harus memperoleh pertolongan. Tiap orang keluar dari satu turunan, karena itu satu sama lain adalah saudara” (Artikel disampaikan dalam diskusi buku di PUSDEP Univ. Sanata Dharma, 26 Sept 2007)

No comments: