Sunday, November 11, 2018

Politik Uang Menghasilkan Pemimpin tak Berkualitas

Oleh Indro Suprobo












Memasuki masa kampanye dan pemilu 2019, beberapa pengamat politik memprediksi maraknya politik uang. Sebagian warga negara memandang politik uang sebagai kewajaran bahkan sebagai kesempatan yang dinantikan karena menjanjikan keuntungan. Tulisan kecil ini akan mengurai tiga hal terkait politik uang. Pertama, apa itu politik uang? Kedua, apakah politik uang merupakan kewajaran? Ketiga, bagaimana warga masyarakat musti bersikap terhadap politik uang? Tiga pertanyaan dasar itu akan dilengkapi dengan alasan dan pertimbangan yang diperlukan demi terciptanya praktik demokrasi Pancasila yang semakin baik di negeri ini.

Pengertian Politik Uang
Secara sederhana politik uang dipahami sebagai upaya yang disengaja untuk mempengaruhi atau mengarahkan suara dalam proses pemilihan umum dengan memberikan atau menjanjikan uang atau materi lainnya. Secara tegas, dalam bahasa larangan, PKPU No.23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum, Pasal 69 ayat (1) huruf j menyatakan, Pelaksana, peserta, dan Tim Kampanye Pemilu dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye. Ditegaskan pula dalam pasal 72 bahwa Pelaksana dan/atau Tim Kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye secara langsung atau tidak langsung untuk: (a) tidak menggunakan hak pilihnya, (b) menggunakan hak pilihnya dengan memilih Peserta Pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, (c) memilih Pasangan Calon tertentu, (d) memilih Partai Politik Peserta Pemilu tertentu; dan/atau (e) memilih calon anggota DPD tertentu.

Lebih mendasar lagi, UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pasal 286 ayat (1) menyatakan Pasangan Calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota, pelaksana kampanye, dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi Penyelenggara Pemilu dan/atau Pemilih. Jika semua yang dilarang ini tetap dilanggar dan dilakukan, UU Pemilu maupun dalam PKPU menyebutnya sebagai tindak Pidana Pemilu dengan implikasi sangsi yang jelas.

Lalu bagaimana contoh konkret politik uang itu? Contoh praktik politik uang itu misalnya ketika ada calon anggota legislatif atau tim kampanye yang menjanjikan atau memberikan sejumlah uang atau barang berupa tenda, sound-system, karpet untuk masjid atau kursi untuk tempat ibadah lainnya dengan maksud agar mereka yang menerima barang itu akhirnya memilih calon anggota legislatif tertentu. Apabila secara jelas terdapat praktik “menjanjikan atau memberikan uang atau materi lain” dan praktik “mengajak, menganjurkan, mengarahkan, meminta, bahkan mewajibkan” untuk memilih calon tertentu, maka secara sangat gamblang itu sudah disebut sebagai praktik politik uang.

Apakah Politik Uang itu sebuah Kewajaran?
Secara sangat jelas Undang-Undang tentang Pemilu dan Peraturan KPU menyatakan bahwa politik uang itu bukanlah kewajaran dan bahkan merupakan praktik yang dilarang dan disebut sebagai tindak pidana pemilu. Tetapi mengapa sebagian masyarakat menganggapnya sebagai kewajaran? Pantas dijelaskan bahwa sebagian besar masyarakat menganggap politik uang itu sebagai kewajaran karena dalam kehidupan sehari-hari, sebagian masyarakat tidak terbiasa menjalankan prinsip-prinsip moralitas secara konsisten. Sebagian masyarakat tidak memiliki kebiasaan melakukan pendidikan nilai sejak di dalam keluarga-keluarga. Ditambah lagi, selama masa pemerintahan Orde Baru, semua jenis praktik suap dan korupsi telah menjadi kebiasaan umum di banyak tempat. Akibatnya, sebagian masyarakat, bahkan mereka yang mengenyam pendidikan tinggipun, tidak terdidik dalam hal prinsip-prinsip dan nilai kejujuran dan integritas. Mereka menganggap ketidakjujuran sebagai hal yang wajar dan bukan persoalan.  

Secara serius bahkan harus dikatakan bahwa politik uang adalah sebuah tindakan yang mengkhianati semua nilai dalam Pancasila. Politik uang adalah bentuk ketidakjujuran yang mengkhianati sila Ketuhanan Yang Mahaesa karena dalam perbuatan itu orang menganggap tak ada siapapun yang mengetahuinya, padahal ketika tak seorang manusiapun mengetahui perbuatan seseorang, masih ada Tuhan yang mengetahuinya. Oleh karena itu, politik uang adalah bentuk atheisme praktis, yakni ketidakpercayaan akan adanya Tuhan yang dijalankan dalam praktik, meskipun orang tersebut mengatakan memiliki keyakinan terhadap adanya Tuhan. Dalam hal ini, semua jenis keuntungan baik berupa uang, materi lain, maupun jabatan politik telah disembah sebagai berhala baru yang membuat seseorang menomorduakan sang Pencipta dan nilai-nilai kebaikan yang diwahyukanNya. Semua jenis ketidakjujuran demi sesuatu yang kurang bernilai atau bernilai rendah (misalnya keuntungan material atau jabatan politik) sudah pasti bertentangan dengan semua ajaran agama manapun. Namun pantas dicatat di sini bahwa orang atheispun bahkan menolak politik uang karena bertentangan dengan prinsip moralitas mereka, meskipun moralitasnya tidak didasarkan pada nilai-nilai yang berketuhanan, melainkan moralitas yang dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan universal. Jika demikian halnya, maka orang atheis yang menolak politik uang justru lebih beradab dan lebih religius daripada orang beragama yang menyetujui politik uang.

Politik uang mengkhianati sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, karena merendahkan kehormatan pribadi manusia dengan segala kebebasannya, dengan cara menempatkannya hanya sebagai sesuatu yang nilainya bersifat transaksional dan dapat diperjualbelikan. Kehormatan pribadi manusia hanya dinilai dengan sejumlah uang atau materi lainnya yang nilainya barangkali hanya puluhan juta rupiah. Dalam praktik politik uang, pribadi manusia ditempatkan sebagai budak bagi kepentingan politik sempit dan temporer (sementara) atau bagi kepentingan praktis tertentu. Selanjutnya, politik uang menciderai sila ketiga, Persatuan Indonesia, karena merusak rasa saling percaya masyarakat. Persatuan masyarakat Indonesia yang semestinya diikat oleh saling percaya terhadap sistem hidup bersama yang adil dan menjamin nilai-nilai keadaban demi kepentingan seluruh masyarakat, dihancurkan oleh praktik politik uang karena ia mengkhianati sistem dan tatanan bersama yang semestinya dimaksudkan menjagai keadaban. Politik uang adalah praktik ketidakjujuran yang tentu saja tidak beradab dan merusak sistem serta tatanan hidup bersama. Ini merupakan praktik jahiliyah di jaman modern.

Politik uang mengkhianati sila keempat, karena kedaulatan rakyat yang semestinya dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan, yakni dipimpin oleh etika dalam berdemokrasi, justru dirusak oleh tindakan yang melanggar etika publik. Yang dimaksud dengan etika dalam berdemokrasi adalah refleksi atas seluruh standar atau norma yang menentukan baik-buruk dan benar-salah suatu perilaku, tindakan, dan keputusan yang mengarahkan praktik demokrasi demi terpenuhinya seluruh kepentingan demos atau rakyat. Kedaulatan rakyat digerogoti oleh ketidakjujuran dan praktik transaksional yang hanya menguntungkan segelintir orang. Tak ada lagi hikmat/kebijaksanaan karena yang memimpin adalah ketamakan akan uang, materi lain dan jabatan. Seorang calon anggota legislatif yang menjalankan politik uang dalam proses pemilu sangat dipastikan bahwa ia bukanlah orang yang berkualitas, berintegiritas dan berhikmat/kebijaksanaan, sehingga ketika ia menduduki jabatan politik, ia tak akan sanggup menjalankan prinsip kedaulatan rakyat dalam permusyawaratan/perwakilan, karena ia hanya akan menimbang kepentingan diri sendiri atau kelompoknya, serta berorientasi kepada nilai-nilai yang rendah dan sempit. Ia tak akan sanggup menghasilkan kebijakan publik yang berkualitas dan mengutamakan kepentingan publik.

Akhirnya, politik uang menciderai sila kelima, Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, karena pada dasarnya praktik politik uang sendiri merupakan praktik ketidakadilan yang mendasar. Ini disebut sebagai praktik ketidakadilan karena mengkhianati orang-orang lain yang menjalankan pemilu secara jujur dan berintegritas. Mereka yang jujur dan berintegritas, yang semestinya memiliki kesempatan untuk terpilih, dikalahkan hanya oleh uang atau materi lain. Jika demikian, hanya mereka yang memiliki sumberdaya finansial besar yang dapat terpilih dalam pemilu, sementara dari banyak aspek lainnya belum tentu mereka itu memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan misalnya kompetensi atau keahlian, komitmen, kejujuran, ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas yang seluruhnya akan mendukung proses pengambilan keputusan dalam perumusan kebijakan publik. Politik uang menciderai keadilan bagi seluruh rakyat karena ia hanya menguntungkan para pihak yang terlibat dalam relasi transaksional.

Bagaimana menyikapi Politik Uang?
Politik uang tidak dapat ditolerir karena selain menghasilkan pemimpin yang tak berkualitas, ia juga merusak institusi demokrasi. Pemimpin yang menjalankan politik uang dipastikan tak memiliki integritas dan tak berkualitas sehingga tak akan sanggup memproduksi kebijakan-kebijakan publik yang bermanfaat bagi kepentingan masyarakat banyak dan non partisan. Karena dalam proses pemilu telah menggunakan politik uang, maka ketika terpilih sebagai pemimpin atau sebagai anggota legislatif, mereka juga akan memikirkan bagaimana cara mengembalikan modal yang telah dikeluarkannya. Akibatnya, orientasinya bukan lagi kepada kepentingan publik melainkan kepentingan dan keuntungan diri sendiri, kelompok atau partainya.

Karena tujuan dari Pemilu yang jujur dan berintegritas itu adalah menghasilkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas, yang memiliki kompetensi, keahlian, ilmu pengetahuan, keterampilan dan wawasan, serta komitmen yang mendukung seluruh proses produksi kebijakan publik yang berkualitas dan adil, maka terhadap praktik dan tawaran politik uang, hanya ada satu cara untuk menyikapinya, yakni TOLAK dan LAWAN!!!

Dalam situasi politik jahiliyah di jaman modern sekarang ini, yakni situasi yang menghalalkan politik uang, sikap tegas untuk menolak dan melawan politik uang di tengah masyarakat seringkali menghadapi tantangan berat. Mereka yang menolak politik uang seringkali dicap sebagai “penghalang kepentingan kelompok”, pengkhianat atau predikat lainnya. Selain membutuhkan keberanian, komitmen dan sikap tegas untuk menolak politik uang itu juga membutuhkan ilmu pengetahuan, wawasan dan pemahaman yang lebih luas tentang politik, demokrasi, hak asasi manusia, nilai-nilai religiositas atau spiritualitas (bukan hanya pengetahuan tentang ajaran formal agama-agama), gerakan sosial dan ilmu-ilmu sosial kritis. Oleh karena itu, untuk menghadapi kondisi politik jahiliyah di jaman modern ini dibutuhkan proses pendidikan politik yang memadai dan terus-menerus. Ini semua dapat dimulai dari kampung maupun desa. Ingatlah, menolak politik uang adalah bagian dari iman.***

Thursday, February 22, 2018

Imperialisme Ilmu-Ilmu Sosial di Indonesia

Sebuah catatan yang diolah dari diskusi bersama DR. Revrisond Baswir dan Max Lane di MAP Corner UGM, Selasa 21 Februari 2018


Bagi Soekarno dan Mohammad Hatta, serta kaum pergerakan pada masanya, imperialisme dan kolonialisme adalah anak kandung dari kapitalisme yang sangat menyengsarakan banyak warga bangsa di seluruh dunia. Bagi kaum pergerakan pada masa itu, termasuk bagi Soekarno dan Mohammad Hatta, untuk dapat mendorong semangat dan cita-cita mencapai kemerdekaan sekaligus melawan imperialisme dan kolonialisme itu, tidak ada pilihan ideologi lain kecuali sosialisme. Oleh karena itu, kaum pergerakan pada masa itu sangat giat dan bertekun untuk membaca, mempelajari dan menghidupkan prinsip-prinsip sosialisme itu di dalam peri kehidupan masyarakat. Tidak mengherankan jika setelah berhasil mencapai kemerdekaan pada tahun 1945, dengan beberapa
kelemahan dan kesulitan yang masih tetap dihadapi sebagai akibat dari hasil Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949 di mana Indonesia masih harus menerima kehadiran perusahaan asing, dan mewarisi hutang Pemerintah Hindia Belanda kepada Amerika, Mohammad Hatta menulis sebuah buku berjudul “Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia” dan diterbitkan oleh Penerbit Djambatan pada tahun 1953. Orientasi ekonomi politik para pendiri bangsa adalah terbangunnya sebuah negeri dengan watak dasar sosialis karena banyaknya kecocokan, salah satunya adalah watak gotong royong. Pancasila dan UUD 1945 yang dirumuskan sebagai landasan kehidupan berbangsa itupun merupakan manifestasi dari watak dasar sosialisme yang secara nyata tercermin dalam lima sila dan secara sangat tegas terumuskan dalam Pasal 33 UUD 1945.

Watak sosialisme sebagai semangat dasar perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme yang menyengsarakan banyak warga bangsa itu tetap hidup dan semakin dikembangkan termasuk dalam membangun relasi dan aliansi dengan negara-negara yang masih berada dalam ancaman imperialisme dan kolonialisme. Hal ini terwujud dalam perhelatan Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung, yang melahirkan citra tentang gerakan bangsa-bangsa penentang imperialisme dan kolonialisme dengan istilah “The Emerging Forces”. Tentu saja, gerakan ini dianggap sebagai ancaman bagi negara-negara kapitalis yang telah mendapatkan keuntungan besar dari praktik kolonialisme selama ini. Indonesia menjadi salah satu negara yang mengancam dan pantas untuk dijadikan target “proses pelumpuhan”. The Emerging Forces ini harus dilumpuhkan dan ditundukkan menjadi “market” bagi seluruh produk kapitalisme baik secara material maupun secara ideologis.

Proses pelumpuhan secara ideologis ini dilakukan dengan banyak cara, salah satunya adalah dengan membaca peta kekuatan masyarakat Indonesia, menyelami basis suprastruktur ideologis yang membentuk kerangka berpikir dan menentukan pilihan tindakan masyarakat Indonesia. Dengan demikian, peta-peta dan cara pembacaan itu akan membantu untuk menemukan strategi
pelumpuhannya yang efektif. Jeanne S. Mintz, adalah salah seorang yang memiliki peran penting dalam proses itu. Ia adalah tenaga ahli di Pentagon dan seorang analis politik-ekonomi bagi pemerintah Hindia Belanda di Pengasingan, dan tenaga ahli senior di Special Operations Research Office di Washington. Ia berhasil membuat peta kekuatan dan kerangka ideologis masyarakat Indonesia dan pada akhirnya tertuang dalam sebuah buku yang diterbitkan pada bulan Januari tahun 1965, berjudul “Mohammed, Marx and Marhaen. The Root of Indonesian Socialism”. Delapan bulan setelah penerbitan buku ini, kekuatan sosialisme di Indonesia benar-benar dilumpuhkan dan dikuburkan baik melalui aparatus ideologis maupun melalui kekerasan, yakni dalam tragedi Oktober 1965, yang menorehkan trauma bagi banyak generasi kemudian.

Setelah penghancuran dan penguburan seluruh kekuatan sosialisme di Indonesia pada tahun 1965, sejak 1967, seluruh aparatus ideologis maupun aparatus negara di Indonesia bekerja melancarkan jalan bagi kapitalisme dan neokolonialisme, sampai sekarang. Sejak itu, seluruh proyek ekonomi Indonesia menggunakan kerangka dasar pemikiran ekonom Walt Whitman Rostow yang terkenal dengan bukunya yang berjudul “The Stage of Economic Growth, a non-Communist Manifesto” dan terbit pertama kali pada tahun 1960, diterbitkan oleh Cambridge University Press. Tak mengherankan jika seluruh tahapan pembangunan yang disebut sebagai Repelita dan Pelita, seluruhnya menggunakan kerangka berpikir tentang tahap pertumbuhan ekonomi Rostow ini.

Sejak itu, hampir di seluruh universitas di Indonesia, dikembangkan ilmu-ilmu ekonomi yang sejalan dengan ideologi kapitalisme, dalam beragam bentuk dan cabangnya, disertai dengan proses lanjutan penghancuran gagasan sosialisme melalui segala macam penanaman stigma terhadapnya. Maka banyak kebijakan negara yang diproduksi untuk mengabdi bagi kepentingan itu. Tak ketinggalan, diproduksi pula beragam ilmu sosial lain yang menjadi aparatus ideologis bagi kepentingan itu. Bahkan sebenarnya, ekonomi yang diajarkan di universitas-universitas di Indonesia saat ini boleh disebut bukan sebagai ilmu, melainkan sebagai propaganda neokolonialisme. Propaganda ekonomi neokolonial itu bahkan sudah sampai pada taraf melahirkan “radikalisme” dan “fundamentalisme”, sudah hampir menjadi sama dengan agama. Akibatnya, ketika Indonesia meratifikasi kovenan HAM ekonomi, sosial dan budaya (ekosob), di samping HAM sipil dan politik, seorang ekonom internasional menyatakan bahwa “hak asasi manusia di bidang ekonomi itu tidak ada, karena hak asasi manusia di bidang ekonomi itu adalah produk orang-orang komunis”.

Oleh karena itu, sejak berkuasanya Soeharto, sistem ekonomi yang dijalankan di Indonesia adalah sistem ekonomi yang inkonstitusional karena tidak sesuai lagi dengan amanat konstitusi Indonesia, terutama pasal 33 UUD 1945.

Proses penghancuran dan penguburan sosialisme di Indonesia melalui kekerasan tahun 1965, mengakibatkan Indonesia tidak lagi memiliki aktor perubahan yang berasal dari rakyat itu sendiri. Kekuatan-kekuatan gerakan rakyat yang mencoba berpikir tentang perubahan dan alternatif sudah akan langsung dihadapi dengan beragam stigma dan bahkan kekerasan. Akibat lanjutnya adalah semakin berkurangnya pemahaman generasi muda tentang sejarah masa lalu. Selain karena berhadapan dengan aparatus negara maupun aparatus ideologis, segala bentuk informasi sejarah telah berada dalam kontrol kekuasaan.

Dalam situasi hidup di tengah-tengah neokolonialisme semacam ini, yang harus dilakukan adalah merawat gagasan-gagasan dasar yang telah diusung oleh kaum pergerakan dan para pendiri bangsa. Membaca gagasan-gagasan itu dari karya-karya mereka pada masa lalu dan dari seluruh bacaan pendukung yang tersedia pada masa kini menjadi hal yang sangat penting. Semuanya itu dilakukan hanya untuk satu tujuan yakni menegakkan konstitusi, yakni menegakkan prinsip-prinsip Pancasila dan UUD 1945 yang telah dirumuskan dan diperjuangkan oleh kaum pergerakan dan para pendiri bangsa ini dalam nafas dan watak sosialisme Indonesia, demi mencapai cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam keyakinan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpim oleh hikmat/kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

Pekerjaan ini tentu akan mengalami kesulitan karena yang terus akan dihadapi adalah aparatus ideologis kapitalis-neokolonial yang telah sedemikian kuat, dan tentu saja kekerasan yang digunakannya. Ini akan menjadi pekerjaan yang tidak ringan karena pada saat ini, Indonesia sudah bukan lagi menjadi salah satu “the emerging forces” sebagaimana dicita-citakan dan dirintis oleh Soekarno dan Hatta, melainkan cenderung menjadi salah satu “the emerging market” bagi negara-negara kapitalis besar dan kuat. Seluruh perilaku ideologis maupun ekonomisnya cenderung mengarah kepada apa yang didakwahkan oleh W.W. Rostow, yakni “the mass consumption”.


Catatan reflektif:
Yang pantas diwaspadai bersama oleh bangsa Indonesia saat ini adalah selalu munculnya pola-pola adu domba menggunakan peta-peta yang telah dituliskan oleh Jeanne S. Mintz, yakni adu domba antara kekuatan “Mohammad” atau Islam, “Karl Marx” atau sosialisme, dan “Marhaen” atau kelompok miskin pedesaan. Adu domba itu juga dapat diperluas dalam kerangka “antar agama”, “antar etnis”, dan “antar kelas”. Seluruh produksi wacana tentang “kebangkitan komunisme”, “bahaya kristenisasi/islamisasi”, “pribumi/non-pribumi” adalah sebuah konstruksi tentang nalar konfliktual untuk memperlemah “persatuan” masyarakat Indonesia karena neokolonialisme itu terlalu kuat dan terlalu dasyat untuk dihadapi jika tanpa “persatuan” yang merupakan “the emerging force”. Apa yang dimaksud dengan “the emerging force” ini tidak hanya dalam manifestasi material berupa kekuatan militer, persenjataan dsb, melainkan juga dalam manifestasi ideologis-kulturalnya yakni “cara berpikir dan pemahaman mendasar tentang cita-cita sosialisme Indonesia” sebagaimana secara gamblang dituliskan oleh Mohammad Hatta dan secara final telah tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945.

Pengembangan sosialisme Indonesia itu harus dipahami sebagai sesuatu yang “sama sekali tidak sama” dengan bangkitnya komunisme, sebagaimana selalu dimunculkan sebagai isu politik terutama menjelang pemilu atau menjelang proses klarifikasi atas tragedi kemanusiaan terbesar 1965. Karena sosialisme Indonesia secara final telah termanifestasi dalam landasan ideologis dan landasan konstitusional, Pancasila dan UUD 1945. Dalam kerangka itu pula, seluruh studi/kajian/diskusi filosofis, sosial, kebudayaan, maupun ekonomis tentang tema-tema sosialisme pantas ditempatkan sebagai upaya untuk menggali spirit dasar Pancasila dan UUD 1945 demi mencapai cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tidak dicurigai sebagai upaya menggulingkan dasar negara dan landasan konstitusional bangsa karena seluruh landasan itu telah dibangun oleh kaum pergerakan dan para pendiri bangsa dengan darah dan air mata.

Pada saat ini, telah banyak berkembang ilmu-ilmu sosial kritis yang berlandaskan pada kerangka pemikiran Marx disertai dengan sikap kritis dan inovasi kontekstual yang sangat bermanfaat bagi pengembangan sikap kritis terhadap cara bekerjanya ideologi kapitalisme dan neoliberalisme di dalam cara berpikir masyarakat. Ilmu-ilmu itu seringkali disebut sebagai post-marxis maupun post-strukturalis. Michel Foucault, Pierre Bordieux, Derrida, Antonio Gramsci, adalah beberapa pemikir yang dapat disebut di antaranya. Semuanya menyediakan sikap kritis untuk membongkar cara bekerjanya ideologi dominan di dalam struktur ketidaksadaran manusia. Dalam ranah dunia pendidikan, ada juga Paulo Freire yang memberikan wawasan tentang filsafat manusia, konsep arkeologi kesadaran manusia, dan pendidikan sebagai proses politik. Mempelajari ilmu-ilmu itu, dipadukan dengan spiritualitas agama-agama, akan sangat membantu masyarakat untuk “membebaskan diri” dari belenggu neokolonialisme “sejak dalam pikiran”. ***

(Indro Suprobo)