Tuesday, December 27, 2016

Damai Sejak dalam Pikiran:

Merayakan Natal dalam Kemajemukan

oleh Indro Suprobo


Sebuah perikop singkat dan padat yang memberikan landasan inspiratif dan produktif bagi upaya membangun perdamaian dalam keragaman dan perbedaan adalah kisah tentang seorang yang bukan pengikut Yesus mengusir setan (Luk 9:49-50 atau paralelnya Mrk 9:38-40). Perikop singkat itu berbunyi demikian:

Yohanes berkata:”Guru, kami lihat seorang mengusir setan demi namaMu, lalu kami cegah orang itu, karena ia bukan pengikut kita.” Yesus berkata kepadanya:”Jangan kamu cegah, sebab barangsiapa tidak melawan kamu, ia ada di pihak kamu.”

Pernyataan Yesus ini sangat mendasar dan dasyat. Di dalamnya terkandung sebuah cara berpikir positip tentang orang atau kelompok lain. Semua orang yang mendaku sebagai murid-Nya, semestinya berpikir secara positip dan meninggalkan segala bentuk prasangka maupun stigma terhadap orang lain yang berbeda. Secara sangat gamblang, Yesus menegaskan sebuah prinsip dasar dalam membangun relasi dengan kelompok yang berbeda, yakni damailah sejak dalam pikiran!

Damai yang bersemayam sejak dalam pikiran, akan mengalir ke dalam sikap dan tindakan relasional dengan siapapun, juga dengan mereka yang “bukan pengikut kita”. Damai sejak dalam pikiran, menandakan tersedianya ruang luas dan ramah di dalam batin seseorang, ruang yang siap untuk menerima kehadiran orang lain secara terhormat. Ini merupakan kesanggupan untuk menemukan sesuatu yang bernilai, yang terhormat, yang baik, yang suci dan yang membangkitkan syukur di dalam diri orang lain. Inilah prinsip dasar yang dasyat dan inspiratif yang dapat dipelajari dari pernyataan Yesus.

Dalam perjalanan sejarah Gereja, melalui Konsili Vatikan II, prinsip ini secara sangat bagus dirumuskan di dalam pernyataan Nostra Aetate, yakni pernyataan tentang hubungan Gereja dengan Agama-agama bukan Kristen.

....Gereja Katolik tidak menolak apapun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang....” (Nostra Aetate, Artikel 2).

Dalam prinsip dasar yang dasyat itu, pernyataan “mengusir setan demi nama-Mu” pantas dimaknai secara lebih luas dan esensial sebagai pernyataan tentang “beragam tindakan nyata mengupayakan kebaikan, keluhuran, kebenaran dan kesucian yang selaras dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Yesus”, meskipun dilakukan oleh mereka yang secara formal-institusional tergolong “bukan pengikut kita”. Pemaknaan ini akan lebih sanggup membantu dan mendorong setiap orang untuk masuk ke dalam inti spiritualitas “memperjuangkan kesucian dan keluhuran manusia serta seluruh ciptaan” yang dilakukan melalui beragam tradisi keagamaan dan kepercayaan.

Dengan demikian, semoga perayaan Natal dapat dimaknai sebagai ungkapan syukur atas anugerah kehadiran Yesus, sang Guru, Junjungan, Teladan, dan Jalan Kehidupan yang telah memberikan landasan inspiratif, tegas dan dasyat tentang prinsip berdamai sejak dalam pikiran. Semoga murid-murid Yesus semakin sanggup menghadirkan damai sejak dari dalam dirinya, dan meluber ke dalam sikap dan tindakan nyata dalam kehidupan yang serba majemuk. ***

Artikel dimuat dalam Majalah Cor Unum Edisi Desember 2016

Friday, July 01, 2016

Kepemimpinan yang Menemani (Accompanying Leadership)*

Oleh Indro Suprobo




Tulisan kecil ini dimaksudkan sebagai upaya berbagi perspektif atas pengalaman menjadi Sub Pamong Medan Utama Seminari Menengah Mertoyudan. Judul tulisan dirumuskan demikian karena menurut hemat penulis, seluruh proses menjalani masa Orientasi Pastoral sebagai Sub Pamong itu merupakan proses kehadiran sebagai “sahabat” bagi para seminaris dan merupakan proses “saling menemani” dalam menapaki hidup panggilan.

Perjalanan persahabatan dengan para seminaris yang memiliki keunikan kepribadian, merupakan perjalanan yang sangat memperkaya. Persahabatan itu memperkaya ketika masing-masing membuka diri dan saling menerima yang lain sebagai anugerah dalam hidup. 

Ruang yang Ramah

Landasan utama dari Kepemimpinan yang Menemani (Accompanying Leadership) tiada lain kecuali ruang batin yang ramah, yang oleh Henry JM. Nouwen dinyatakan sebagai keheningan yang produktif. Ruang batin yang ramah adalah situasi batin yang memungkinkan orang lain dan Tuhan hadir secara penuh tanpa terhalangi oleh beragam kepentingan diri. Ruang yang ramah hanya dapat diciptakan oleh pribadi yang berani mengatasi rasa takut dan segala kecemasan dalam dirinya sehingga iapun sanggup memberikan ruang yang aman bagi orang lain, bahkan orang asing yang menjadi tamu.

Keramahtamahan Abraham yang menyambut kehadiran tamu (Kej 18:1-15) dan keramahtamahan para murid dalam perjalanan Emaus (Luk 24: 13-35) merupakan inspirasi penting dari kebajikan memberikan ruang yang ramah bagi orang lain. Ruang yang ramah menjadikan orang lain yang hadir itu sungguh-sungguh “menyatakan diri dan menyatakan otentisitas dirinya”. Di sisi lain, ruang yang ramah itu membuat si penyambut tamu itu sendiri mengalami “pernyataan berkat” (Kej 18: 10, 13-14) dan “pengenalan akan kehadiran Tuhan” (Luk 24: 31-32) sehingga mampu menyelami kenyataan “hati yang berkobar”. “Pernyataan berkat” dalam kisah Kejadian 18 itu dapat dipahami sebagai pernyataan kehadiran otentik Allah yang memberikan berkat. Otentisitas Allah yang memberikan berkat itu sungguh-sungguh terungkap karena keramahtamahan yang disediakan oleh Abraham. Demikian juga pengalaman “pengenalan akan kehadiran Tuhan” dalam kisah Emaus merupakan hasil dari otentisitas kehadiran Tuhan dalam diri para murid sehingga mereka sanggup “mengenali-Nya”. Otentisitas kehadiran Tuhan dalam pengalaman Emaus itu dilambangkan dengan semua “indikator” yang telah dikenali oleh para murid dan indikator itu menunjuk kepada pribadi Yesus. Indikator kepribadian Yesus yang paling kuat dalam kisah Emaus ditunjukkan oleh peristiwa memecah roti.

Dalam konteks relasi antarpribadi, pengalaman “pernyataan berkat” dan “pengenalan akan kehadiran Tuhan” itu dapat dipahami sebagai relasi resiproksitas. Dalam ruang yang ramah itu pribadi-pribadi yang hadir “saling menyatakan berkat” dan “saling mengenali kehadiran Tuhan” dalam otentisitas masing-masing. Dengan demikian, hadir secara otentik dalam relasi antarpribadi merupakan sebuah kehadiran yang saling menyatakan berkat dan saling memfasilitasi proses pengenalan akan kehadiran Tuhan.

Kehadiran Apresiatif

Kesanggupan untuk membangun ruang yang ramah bagi orang lain (dan bagi Tuhan sendiri) melalui beragam cara mengelola keheningan batin, pada gilirannya akan melahirkan kesanggupan untuk hadir secara apresiatif bagi orang lain. Hadir secara apresiatif bagi orang lain adalah sikap batin yang menempatkan orang lain sebagai sahabat dan pribadi apa adanya, untuk mendorong otentisitas pribadinya berekspresi secara bebas, sehingga seluruh daya dan kekuatan pribadinya yang tersembunyi dan tersamar semakin tampak, menyatakan diri, dan mewujud di dalam kehidupan sehari-hari.

Kehadiran apresiatif bagi orang lain adalah kehadiran yang tetap mengakui bahwa orang lain itu memiliki kelemahan-kelemahan dan kekurangan, namun kelemahan dan kekurangan itu tidak dijadikan sebagai fokus dalam relasi. Fokus utama dalam relasi kehadiran apresiatif adalah penemuan dan pengakuan terhadap daya-daya dan kekuatan pribadi yang telah terbukti nyata dimiliki dan terekspresi, sambil terus mendorong daya-daya dan kekuatan lain yang tersembunyi dan tersamar, semakin menyatakan diri.

Kehadiran apresiatif juga berfokus kepada upaya mendukung orientasi-orientasi positif orang lain tentang masa depan, serta menemaninya agar orientasi-orientasi positif itu menemukan cara perwujudannya melalui tahap-tahap yang mungkin untuk dijalankan.


Prinsip-prinsip Utama

Kepemimpinan yang menemani adalah kebajikan kepemimpinan yang menyambut orang lain sebagai sahabat dan teman, yang memberikan ruang ramah bagi kehadirannya, dan yang berorientasi kepada penemuan daya-daya dan kekuatan pribadi, serta berupaya mendukung perwujudan orientasi-orientasi positif orang lain. Kepemimpinan yang menenami memiliki 6 (enam) prinsip sebagai berikut:

1. Kebebasan untuk dikenali

Kepemimpinan yang menemani adalah kepemimpinan yang menciptakan suasana kebebasan untuk dikenali. Suasana yang diwarnai kebebasan untuk dikenali memungkinkan setiap pribadi yang terlibat di dalam relasi ini merasa nyaman dan dipanggil untuk menghadirkan keunikan dirinya. Dalam suasana ini setiap pribadi merasa nyaman untuk hadir secara apa adanya, tanpa merasa takut untuk dinilai. Dalam kebebasan ini, setiap pribadi merasa aman dan bergembira untuk dikenali sebagai dirinya yang khas, tanpa merasa takut bahwa orang lain akan mengenali kelemahan dan kekurangannya. Dalam konteks penemanan terhadap para seminaris yang dianggap “bermasalah”, yang pertama-tama dibangun adalah suasana yang membuat seminaris itu tidak merasa dirinya ditempatkan sebagai orang yang bermasalah, melainkan sebagai orang yang diberi ruang untuk dikenali siapa dirinya secara apa adanya.

Kebebasan untuk dikenali ini memungkinkan setiap pribadi untuk menyatakan dirinya secara otentik, ringan, tanpa beban, tanpa cemas dan takut. Tentu saja pantas diakui bahwa barangkali tidak seratus prosen ketakutan atau kekhawatiran itu absen dalam relasi ini. Dapat terjadi masih ada sekian prosen rasa takut atau khawatir, namun secara umum suasana yang terbangun adalah suasan yang jauh lebih positif dan aman, yang mendorong otentisitas pribadi itu lebih mengemuka. Penyediaan ruang kebebasan untuk dikenali ini semakin lama akan semakin mampu meminggirkan halangan-halangan untuk hadir secara otentik.

2. Kebebasan untuk didengarkan

Ruang yang memberikan rasa nyaman untuk dikenali pada gilirannya melahirkan ruang yang nyaman untuk didengarkan. Setiap pribadi merasa bebas untuk didengarkan sebagai pribadi yang unik. Ia akan merasa bebas dan nyaman untuk menghadirkan cara pandang, cara berpikir, pertimbangan, sikap dan pilihan terhadap beragam hal. Ia akan merasa nyaman untuk menghadapi kenyataan bahwa ia barangkali memiliki “sesuatu yang berbeda” dari orang-orang lain dan sanggup menerima bahwa perbedaan itu merupakan sesuatu yang sah dan aman untuk dinyatakan. Demikian juga setiap pribadi akan merasa nyaman untuk menghadapi kenyataan bahwa orang lain memiliki perbedaan yang sah untuk dinyatakan juga.

Terciptanya ruang yang bebas untuk didengarkan ini sekali lagi mendorong hadirnya otentisitas setiap pribadi. Suasana kebebasan ini akan melahirkan kekayaan cara pandang, keragaman pilihan sikap, dan alternatif pertimbangan. Namun hal paling mendasar yang tumbuh dari suasana kebebasan untuk didengarkan adalah keyakinan dan rasa bermartabat sebagai pribadi yang mendapatkan kehormatan dalam relasi. Tumbuhnya keyakinan akan martabat diri sebagai pribadi yang unik inilah yang memungkinkan segala hal yang positip di dalam dirinya terstimulasi untuk bertumbuh, berkembang dan semakin menyatakan diri. Daya-daya positip yang tersamar dan tersembunyi semakin memiliki ruang untuk terekspresikan dan mengalir secara spontan. Semakin besar pertumbuhan daya-daya positip dalam diri pribadi, pada gilirannya akan semakin memperkecil kecenderungan negatif yang ada di dalam diri, dan bahkan menggantikan kecenderungan negatif itu dengan daya-daya yang jauh lebih positip. Dengan demikian, kreativitas, optimisme, inovasi, perubahan, kritik atas diri sendiri, dan kesanggupan untuk memilih hal-hal yang jauh lebih positif menjadi lebih dominan. Dengan kata lain, perubahan-perubahan positif dan transformatif juga memiliki kemungkinan untuk berkembang.

Kisah Emaus memberikan penggambaran yang jelas tentang perubahan positif dan transformatif yang terjadi sebagai akibat dari kebebasan untuk didengarkan. Para murid yang diberi ruang untuk didengarkan dalam seluruh perjalanan, diberi ruang untuk menyatakan segala sesuatu yang mereka ketahui, mereka pikirkan dan mereka rasakan, pada akhirnya mengalami pertumbuhan daya positif di dalam dirinya, yakni daya pengenalan akan kehadiran Tuhan, sehingga mengalami perubahan positif dan transformatif. Daya dan kecenderungan negatif seperti rasa kecewa, putus asa, kehilangan keyakinan dan sebagainya, digantikan oleh pencerahan (satori), pengenalan, hati yang berkobar-kobar, keyakinan dan pilihan untuk segera mewartakan apa yang terjadi.

3. Kebebasan untuk membangun orientasi

Martabat diri dan otentisitas pribadi yang telah mulai dilahirkan melalui kebebasan untuk dikenali dan didengarkan, yang menumbuhkan daya-daya positif, kreatif dan penyembuhan dari dalam, selanjutnya diberi ruang yang ramah untuk mendorong dan membangun orientasi kepada masa depan yang lebih baik, transformatif dan menjadi harapan diri. Keyakinan akan martabat, keunikan dan kekuatan-kekuatan potensial yang ada di dalam diri, dalam suasana yang nyaman dan aman difasilitasi agar digunakan untuk membangun perubahan dan capaian di masa depan, baik capaian dalam jangka jauh maupun dalam jangka yang lebih pendek. Orientasi masa depan itu dapat pula dipraktikkan melalui tahapan-tahapan capaian dalam jangka yang paling terukur baik harian, mingguan, bulanan, maupun tahunan.

Kepemimpinan yang menemani merupakan kebajikan kepemimpinan yang memberi ruang kepada orang lain sebagai sahabat sehingga ia merasa bebas untuk membangun orientasi dirinya sendiri pada masa depan. Upaya menemani ini secara konkret dihadirkan dalam wujud senantiasa membangun ingatan akan apa yang hendak dicapai, memberi semangat untuk mencapainya, memberikan harapan akan kebahagiaan dan suka cita yang akan dialami ketika orientasi dalam jangka tertentu itu dapat dicapai, meneguhkan harapan bahwa akan ada kebahagiaan dan kebanggan dari dalam ketika sebuah perubahan yang digambarkan itu dapat diraih dan terjadi dalam jangka tertentu. Kepemimpinan yang menemani juga memberikan ruang yang ramah bagi sahabat untuk secara tekun dan disiplin melatih diri untuk terus-menerus setia dan berupaya melangkah menuju orientasi tentang masa depan.

Memberikan ruang kebebasan untuk membangun orientasi berarti menyediakan ruang yang ramah bagi setiap pribadi untuk menimbang, merumuskan, menggambarkan, dan mengambil pilihan-pilihan tentang masa depan yang positif yang sesuai dengan harapan dan seluruh kecenderungan daya kreatif dalam dirinya. Yang utama dalam prinsip ini adalah menumbuhkan keyakinan dan kemantaban bahwa orientasi dan pilihan-pilihan perubahan positif di masa depan itu merupakan sesuatu yang mungkin dan dapat dicapai dan diwujudkan.

Dalam beberapa kasus, para seminaris yang dikategorikan “membutuhkan penemanan khusus”, seringkali membutuhkan penemanan lebih intens dalam hal ini. Mereka yang menunjukkan perilaku “nakal” dalam beragam bentuknya, seringkali menyadari diri bahwa mereka merasa tidak bebas untuk menentukan orientasi hidupnya di masa depan. Dapat pula terjadi bahwa mereka merasa orientasi yang ingin dibangunnya dianggap sebagai orientasi yang tidak pada tempatnya, keliru, tidak pantas, tidak layak dan sebagainya. Dalam beberapa kasus, ada pula yang sebenarnya mengalami disorientasi atau tak mampu merumuskan gambaran orientasi dirinya tentang masa depan yang hendak dibangun.

Ketika mereka merasakan kebebasan untuk membangun orientasi, atau ketika merasakan bahwa orientasi positif masa depan yang hendak dibangunnya itu merupakan orientasi yang sah, pantas, layak dan bermartabat, pada umumnya mereka akan mengalami perubahan-perubahan perilaku dalam hidup sehari-hari. Rasa berharga dan bermartabat untuk dapat membangun orientasi positif masa depan, melahirkan daya-daya positif untuk menghadirkan perilaku-perilaku yang lebih positif pula dalam kehidupan harian.

4. Kebebasan memilih cara berkontribusi

Setiap pribadi itu unik dan memiliki daya-daya positif yang berbeda. Oleh karenanya setiap pribadi memiliki kesanggupan yang berbeda-beda untuk dapat berkontribusi dalam kehidupan bersama dengan orang lain. Kebebasan untuk memilih cara berkontribusi ini memberi ruang yang ramah bagi setiap pribadi untuk memberikan kontribusi dalam hidup bersama secara lebih berkualitas. Kebebasan, kegembiraan, rasa berharga, perasaan berguna dan bermanfaat, perasaan bermakna karena dapat memberikan kontribusi kepada hidup bersama, pada gilirannya justru melahirkan dorongan yang lebih kuat untuk meningkatkan kualitas kebermanfaatan diri atau kontribusi diri bagi hidup bersama.

Apresiasi terhadap cara berkontribusi yang dipilih akan semakin memberikan daya dorong yang melahirkan kreativitas dan kualitas kontribusi. Energi positif yang ditimbulkannya akan terus mengalir bagai spiral yang terus-menerus melahirkan daya dorong baru untuk semakin meningkatkan kualitas kontribusi. Dalam suasana kebebasan semacam ini, pribadi-pribadi akan bertumbuh secara sehat dan produktif.

Pantas dipahami bahwa kebebasan untuk memilih cara berkontribusi ini dilatarbelakangi oleh cara berpikir yang berorientasi kepada hasil. Yang menjadi utama adalah hasil atau perubahan positif yang hendak dicapai oleh sebuah komunitas hidup bersama. Perubahan positif atau hasil yang hendak dicapai itu menjadi orientasi utama dan komitmen utama masing-masing anggota komunitas. Karena orientasi utamanya adalah pencapaian perubahan positif atau hasil yang diharapkan, maka soal bagaimana cara memberikan kontribusi agar perubahan positif atau hasil yang diharapkan itu dapat dicapai merupakan hal yang tidak diseragamkan, melainkan disesuaikan dengan kesanggupan masing-masing pribadi untuk dapat berkontribusi secara berkualitas demi pencapaian hasil tersebut.

Kebebasan untuk berkontribusi memang akan sangat mempengaruhi kualitas kontribusi, yang pada umumnya justru melahirkan kualitas maksimal dalam kontribusi sehingga melahirkan kemungkinan yang jauh lebih besar untuk dapat mencapai hasil atau perubahan positif yang dicita-citakan dalam hidup bersama. Ini semua karena setiap pribadi merasa bergembira, bahagia, bermanfaat, bermakna, dan bermartabat untuk dapat memberikan kontribusi sesuai dengan kesanggupan dan caranya masing-masing. Sekali lagi, kebebasan untuk memilih cara berkontribusi memiliki kecenderungan yang besar untuk menghasilkan kualitas kontribusi yang jauh lebih baik. Pada gilirannya, setiap pribadi yang merasa bahagia dan bermakna karena dapat berkontribusi bagi hidup bersama, akan mengalami pertumbuhan pribadi dan kapasitas yang semakin besar serta semakin menciptakan produktivitas dan kreativitas.

Hal lain yang lahir dari kebebasan untuk memilih cara berkontribusi adalah munculnya semangat untuk belajar. Kebebasan untuk memilih cara berkontribusi mendorong setiap pribadi untuk belajar tentang bagaimana ia dapat memberikan kontribusi secara lebih berkualitas dan lebih baik demi perubahan positif yang dapat dicapai oleh hidup bersama. Semangat untuk belajar ini juga akan berimplikasi kepada semakin besarnya kapasitas untuk memberikan kontribusi. Dengan demikian pertumbuhan kapasitas pribadi akan semakin segar dan positif.

5. Kebebasan untuk bertindak dalam dukungan

Karena merasakan kebebasan untuk dikenal, didengarkan, untuk membangun orientasi, dan untuk memilih cara berkontribusi, setiap pribadi akan merasakan kebebasan untuk bertindak di dalam dukungan lingkungannya. Setiap pribadi merasakan bahwa pilihan-pilihan tindakannya mendapatkan ruang yang ramah dan mendapatkan dukungan. Ini berarti pribadi ini akan menemukan keyakinan diri untuk mengambil pilihan tindakan yang positif baik bagi dirinya sendiri maupun bagi komunitas.

Kebebasan untuk bertindak di dalam dukungan akan melahirkan tindakan-tindakan yang semakin produktif dan kreatif. Selain itu, ia akan merasakan bahwa ia tidak sendirian melainkan bertindak dalam kerangka sebuah tim atau komunitas dan demi perubahan-perubahan positif dalam hidup bersama. Kebebasan untuk bertindak dalam dukungan ini juga akan melahirkan tindakan-tindakan yang cenderung semakin berkualitas karena diorientasikan kepada perubahan positif di masa depan yang dibangunnya, dan dihayati sebagai sebuah cara berkontribusi yang positif, serta menumbuhkan perasaan gembira dan bermakna karena memiliki manfaat bagi kehidupan bersama.

Setiap pribadi akan merasakan bahwa orang-orang lain peduli dan memiliki perhatian terhadap tindakan-tindakan yang ia pilih dan memiliki keinginan untuk saling bekerja sama. Masing-masing pribadi merasakan nyaman dan aman serta mendapatkan dukungan untuk melakukan percobaan, inovasi, tindakan kreatif, dan terus-menerus belajar meningkatkan kualitas tindakan. Dengan demikian, dalam suasana kebebasan untuk bertindak dalam dukungan, setiap pribadi merasakan adaya sistem keseluruhan yang merangsang setiap pribadi untuk menghadapi tantangan dan berani mengambil resiko, serta mendorong setiap pribadi untuk bertindak dalam kerjasama demi mencapai perubahan paling positif bagi hidup mereka bersama.

6. Kebebasan untuk bersikap positif

Pada akhirnya, seluruh ruang yang ramah dan menyediakan kebebasan itu, akan melahirkan kebebasan untuk bersikap positif dan merasa bergembira dalam setiap pilihan dan tindakan. Masing-masing pribadi akan merasakan bergembira melakukan segala sesuatu baik secara pribadi maupun secara bersama-sama. Kegembiraan yang tumbuh di dalam diri akan mendorong lebih banyak hal positif lain yang tersembunyi dan tersamar. Ia akan menjadi pribadi-pribadi yang bergembira, bersuka-cita serta bersemangat untuk melakukan banyak hal: untuk terus-menerus belajar, untuk terus-menerus memberikan kontribusi, untuk terus-menerus memberikan manfaat bagi orang lain dan komunitas, untuk terus-menerus mencari pembaharuan dan inovasi, untuk terus-menerus meningkatkan kapasitas diri, untuk terus-menerus berani menghadapi tantangan baru, serta terus-menerus semakin berani belajar mengambil resiko demi sebesar-besar perubahan positif, yakni perubahan positif yang menjadi orientasi pribadi maupun yang menjadi orientasi hidup bersama dalam komunitas.

Pengalaman para murid yang telah berkobar-kobar hatinya setelah mengenali kehadiran Tuhan melalui seluruh proses dialog, persahabatan, pertemenan dan terutama melalui peristiwa pemecahan roti, melambangkan sikap positif dan kegembiraan yang tumbuh, yang mengakibatkan mereka berani untuk segera bergegas mengabarkan semua ini kepada yang lain, menghadapi tantangan baru dan mengambil resiko.


Menjadi Murid Tuhan dalam Beragam Pilihan

Seluruh proses kepemimpinan yang menemani ini pada akhirnya berujung kepada orientasi jangka panjang bahwa apapun pilihan yang akan diambil pada periode selanjutnya (menjadi imam maupun menjadi awam), masing-masing pribadi adalah orang-orang yang dipanggil untuk senantiasa menjadi murid-murid Tuhan (discipulorum Domini) yang begembira untuk selalu menghadirkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip hidup sebagaimana telah diajarkan dan diteladankan oleh Yesus sendiri: mencintai sesama seperti mencintai diri sendiri, menghadirkan keadilan terutama bagi mereka yang ditindas dan tersingkir, menghadirkan kedamaian bagi semua, membangun kesetaraan antarmanusia dalam seluruh perbedaan dalam keyakinan akan kesatuan Bapa, dan senantiasa berani secara rendah hati memasuki hening-sunyi Getsemani dalam diri untuk membiarkan diri berada dalam tuntunan Allah. Pantas diakui bahwa hari-hari ini, seluruh tantangan yang dihadapi tidaklah mudah. ***


* Artikel kecil ini merupakan refleksi atas pengalaman sebagai Sub Pamong Medan Utama Seminari Menengah Mertoyudan periode 1996-1997 

Sub Pamong adalah staf pendidik di Seminari yang bertanggung jawab untuk menemani proses edukasi para calon imam/pastor.

Medan Utama Seminari Menengah Mertoyudan adalah jenjang pendidikan tahap akhir di Seminari Mertoyudan (tahun ke-empat bagi mereka yang masuk sejak lulus SMP dan kelas persiapan atas bagi mereka yang masuk seminari setelah lulus SMA).



Suatu Senja di Cleveland

Oleh Indro Suprobo


Bagi orang kampung yang sehari-harinya terbiasa berkain sarung seperti saya, mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke kota Cleveland di Negara bagian Ohio, Amerika Serikat, merupakan pengalaman yang langka. Ini terjadi karena sahabat saya, seorang Kyai muda pengasuh sebuah Pondok Pesantren mahasiswa di Surakarta mendapatkan dua undangan gratis untuk menghadiri workshop di sana. Satu undangan gratis itu ditawarkan kepada saya karena kebetulan tema workshop itu, Appreciative Inquiry, pernah menjadi bahan diskusi panjang kami berdua.
Workshop itu diselenggarakan oleh Weatherhead School of Management, Case Western Reserve University, sebuah universitas swasta yang memiliki keunggulan di bidang manajemen pengembangan organisasi. Kebetulan yang menjadi fasilitator utamanya adalah Profesor David L. Cooperrider, sang penemu dan pemikir kreatif metode pengembangan organisasi berbasis pikiran positif dan keunggulan nyata, sekaligus penulis buku Appreciative Inquiry: A Positive Revolution in Change.
“Appreciative Inquiry adalah sebuah pendekatan konstruksionis untuk merancang dan mengelola perubahan di masa depan berdasarkan kekuatan positif dan pengalaman terbaik di masa lalu yang telah dicapai oleh individu maupun kelompok,” kata Profesor Cooperrider dalam sessi workshop dengan penuh keyakinan dan persuasi.
“Dalam pendekatan ini, setiap individu mendapatkan ruang luas untuk mengeksplorasi pengalaman terbaiknya pada masa lalu dan menemukan kekuatan positif yang mempengaruhinya. Berdasarkan pengalaman terbaik dan kekuatan positif itu, individu diberi kesempatan untuk membangun mimpi dan imajinasi yang positf di masa depan serta merancang segala kemungkinan terbaik masa depan yang dapat dicapai dalam kehidupannya. Itulah perubahan positif yang mungkin dan dapat dikerjakan sejak sekarang,” lanjut Cooperrider. “Oleh karena itu, dalam pendekatan ini, penggunaan pertanyaan-pertanyaan yang positif untuk menuntun proses identifikasi pengalaman terbaik dan kekuatan positif masa lalu, menjadi sangat vital dan penting,” paparnya.
Dengan keingintahuan yang besar, sahabat saya yang Kyai Pondok Pesantren itu memberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan,”Profesor, mengapa pertanyaan positif menjadi sangat vital dan penting? Apakah dengan demikian metode ini tidak mengakui kekurangan dan defisit dalam pengalaman masa lalu?”
“Pertanyaan Anda bagus sekali pak Kyai,” jawab sang Profesor apresiatif.
“Metode ini menghargai pertanyaan positif sebagai hal sangat penting karena meyakini prinsip simultansi dalam psikologi tentang perilaku. Pertanyaan positif yang diajukan sejak awal identifikasi tentang pengalaman terbaik dan kekuatan positif yang dialami seseorang, akan mengarahkan seluruh energi positif di dalam dirinya untuk berorientasi kepada perilaku yang positif di masa depan. Dengan demikian, sejak pertanyaan positif itu diajukan, ia sudah mengarahkan perubahan positif di masa depan. Itulah prinsip simultansi,” kata sang Profesor memberikan penjelasan.
“Dalam metode ini, pengalaman negatif tidak diabaikan. Pengalaman negatif dan kekurangan tetap diakui ada dalam kenyataan, namun hal itu tidak dijadikan sebagai fokus dalam metode ini, karena dari banyak pengalaman, identifikasi pengalaman negatif dan kekurangan cenderung melahirkan keputusasaan dan depresi serta menurunkan tingkat kreativitas. Sebaliknya, pertanyaan positif dan pengakuan atas pengalaman terbaik cenderung membangkitkan antusiasme dan kreativitas, serta keberanian untuk menciptakan kemungkinan di masa depan,” lanjut Profesor penuh keyakinan.
Workshop yang berlangsung tiga hari itu terasa sangat menyegarkan dan membangkitkan semangat para pesertanya. Tanya jawab, dialog dan proses berbagi pengalaman positif antar pribadi terasa memberikan nutrisi bagi setiap orang yang merasakan aura positif dan apresiatif dalam forum itu. Ruangan yang nyaman di kompleks Universitas itu juga membuat semua orang merasa betah.
Sore itu, setelah selesai workshop hari kedua, sambil berkain sarung dan berkaos oblong, saya berkesempatan menikmati obrolan pribadi bersama Profesor Cooperrider di bangku taman di halaman belakang penginapan. Penginapan kami terletak di dekat kampus universitas di pinggiran kota Cleveland. Tak jauh dari penginapan kami, ada Severance Hall, sebuah gedung orkestra yang terkemuka di Cleveland. Taman di belakang penginapan kami cukup luas dengan beraneka ragam tanaman dan hamparan rumput, serta jalan setapak. Ada kolam kecil dengan air mancur.
“Profesor, saya membaca bahwa selama dua puluh tahun belakangan ini, banyak lembaga, organisasi dan komunitas telah memberikan kesaksian bahwa mereka mengalami perubahan positif yang luar biasa setelah menerapkan metode Appreciative Inquiry ini,” celetuk saya memulai pembicaraan.
“Ya, Anda benar sekali. Hal itu telah mendorong kolega saya, Diana Whitney dan Amanda Trosten-Bloom melakukan penyelidikan tentang apa yang membuat pendekatan ini berhasil di berbagai tempat. Mereka menemukan enam faktor kunci yang mereka sebut sebagai enam kebebasan, yakni kebebasan untuk dikenali dan diakui di dalam relasi antar pribadi, kebebasan untuk didengarkan, kebebasan untuk membangun mimpi di dalam komunitas, kebebasan untuk memilih cara berkontribusi, kebebasan untuk bertindak dalam dukungan, dan kebebasan untuk bersikap positif ” jawab pak Profesor penuh keceriaan.
“Ya benar. Saya telah membaca hasil penelitian itu. Tetapi yang menarik bagi saya adalah bahwa sebelum Anda mencetuskan pendekatan Appreciative Inquiry ini pada tahun 1980an, saya dan semua siswa yang lain telah mengalami praksis enam kebebasan itu di sekolah kami, Seminari Menengah Mertoyudan. Praksis itu saya pikir sudah dimulai sejak lama sekali dan sudah mendarah daging dalam seluruh metode pendidikan Seminari Mertoyudan bahkan sudah melewati usia 100 tahun,” jawab saya penuh percaya diri.
“Oh ya? Wah menarik sekali sekolah Anda itu? Apakah anda bisa menceritakannya kepada saya?” kata pak Profesor penasaran. Wajahnya tampak cerah dan matanya berbinar ketika mendengar pernyataan saya.
“Ya, enam kebebasan yang dirumuskan oleh Diana Whitney itu telah benar-benar kami alami selama menjalani pendidikan di Seminari Mertoyudan,” dengan penuh semangat saya menjelaskan.
“Wah saya tertarik untuk mendengarkan bagaimana hal-hal itu secara konkret Anda alami. Bagaimana sekolah Anda memfasilitasi keenam kebebasan positif itu?” lanjut Profesor semakin penasaran.
“Berkaitan dengan kebebasan untuk dikenali, sekolah kami memfasilitasi beberapa model membangun relasi antar pribadi, antara lain dengan membentuk kelompok basis dan mekanisme menuliskan sumbangan rohani untuk teman-teman terdekat. Kelompok basis menjadi ruang bagi setiap individu untuk saling mengenali secara mendalam, untuk berbagi pengalaman personal bahkan untuk saling berkonsultasi dalam sikap saling percaya. Menulis sumbangan rohani menjadi cara untuk saling memberikan apresiasi, menunjukkan kekuatan dan kelebihan, serta memberikan rekomendasi tentang perubahan yang mungkin dilakukan di masa depan oleh masing-masing pribadi. Ada pula catatan tentang hal-hal yang sebaiknya diperhatikan secara serius oleh pribadi-pribadi. Semua itu disampaikan dalam sikap hormat dan doa agar apa yang dituliskan itu benar-benar menjadi rahmat bagi orang lain. Semua ini memberikan kebebasan kepada individu untuk dikenali sebagai pribadi yang menjadi dirinya sendiri. Setiap orang diberi kebebasan untuk menenun identitas dan keunikannya,” jelas saya.
“Wah, Anda sangat beruntung mendapatkan pengalaman semacam itu,” kata Profesor.
“Kelompok basis itu juga menyediakan kebebasan untuk didengarkan. Selain itu, para guru yang menemani proses belajar di dalam kelas juga menyediakan ruang bagi kami untuk didengarkan. Apalagi dalam proses belajar sastra. Setiap siswa diberi kesempatan untuk membaca satu buah karya sastra yang bermutu lalu diberi kesempatan untuk menyampaikan seluruh gagasan, komentar maupun analisis pribadinya tentang karya yang telah dibacanya. Semua siswa yang lain juga diberi ruang luas untuk mengajukan tanggapan dan pandangan tentang karya itu maupun tentang pandangan teman lain. Proses belajar semacam itu sungguh-sungguh membuat kami merasa berarti karena diberi ruang untuk didengarkan. Setiap orang belajar untuk mendengarkan secara jujur dan berempati,” lanjut saya.
“Saya perlu mengatakan secara jujur bahwa proses belajar semacam itu sangat apresiatif dan memberikan dampak positif yang luar biasa. Merasa berharga karena didengarkan itu sangat luar biasa. Para guru yang menemani proses itu pasti sangat profesional dan benar-benar memenuhi kriteria sebagai pendidik,” kata Profesor menanggapi.
“Benar sekali Profesor. Sampai saat ini kami merasakan bahwa para guru itu adalah sahabat-sahabat kami. Dengan penuh komitmen, mereka telah menemani dalam proses belajar. Mereka benar-benar menjadi teman dan sahabat untuk belajar. Kami juga mendapatkan kebebasan untuk membangun mimpi dan memilih cara berkontribusi dengan diberi banyak pilihan untuk mengembangkan keterampilan. Ada kesempatan untuk belajar menulis, mempelajari beragam alat musik, mempelajari keterampilan pertukangan, mempelajari seni dekorasi dan podium, ada sidang akademi di mana setiap orang diberi kesempatan belajar mempresentasikan karya ilmiah atau keterampilan debat, serta kesempatan belajar bertanggung jawab dalam tugas-tugas tertentu. Kesempatan ini membuat kami merasa diberi kebebasan untuk membangun mimpi, yakni mau menjadi pribadi seperti apa pada masa depan dan bagaimana berkontribusi bagi orang lain sesuai dengan keunikan dan kemampun terbaik yang kami miliki.”
“Dari pengamatan dan pengalaman Anda, apakah salah satu dari kesempatan belajar itu benar-benar memberikan daya hidup bagi Anda dan teman-teman Anda pada masa kemudian?” tanya Profesor menyelidik.
“Ya, masing-masing memetik buah yang memberdayakan hidup pribadi di masa depan. Ada yang membangun mimpi menjadi pribadi yang menikmati dunia tulis-menulis dan berkontribusi melalui tulisan. Ada yang menghidupkan mimpi dan berkontribusi dalam hidup melalui dunia musik. Ada pula yang membangun ketekunan dalam keterampilan-keterampilan tertentu. Kebebasan untuk memilih cara berkontribusi itu ternyata membangkitkan daya yang malahirkan komitmen dan kemauan untuk belajar, kreativitas, serta ketekunan. Ini melahirkan pribadi-pribadi yang positif dan produktif. Banyak dari antar kami, yang karena terdorong untuk berkomitmen dan terus-menerus belajar, akhirnya benar-benar memiliki keunggulan dan kualitas yang teruji dalam pilihan mereka, sehingga semakin dipercaya untuk mengemban tanggung jawab yang semakin besar di komunitas, di universitas, di tempat kerja, di lingkungan tempat tinggal dan sebagainya,” jawab saya mantab.
“Wah bagus sekali. Sungguh, itu pengalaman bagus. Begitulah prinsip-prinsip Appreciative Inquiry mempengaruhi pertumbuhan pribadi seseorang dan komunitas,” kata Profesor Cooperrider sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Kami terdiam sejenak. Lampu-lampu taman sudah mulai menyala di sana-sini. Suasana semakin terasa hening. Ada daun kering jatuh di atas kain sarung saya. Warnanya kekuningan dan berlobang kecil-kecil. Mungkin bekas dimakan ulat.
“Bagaimana kebebasan untuk bertindak dalam dukungan dan untuk bersikap positif diberi ruang oleh lingkungan sekolah Anda?” tanya Profesor melanjutkan obrolan.
“Ada banyak media sebenarnya. Beberapa yang saya ingat adalah kegiatan-kegiatan khusus yang diselengarakan secara rutin sebagai media mewujudkan ekspresi dan kreativitas pribadi. Misalnya beragam perlombaan dalam Malam Kreativitas. Ada lomba untuk menulis drama, menulis cerpen, membaca puisi, bermain teater, menulis artikel sastra dan sebagainya. Semua itu memberi ruang bagi individu untuk mengeksplorasikan kreativitas dan belajar berkarya dalam dukungan seluruh sistem. Ini benar-benar memberikan ruang kebebasan untuk bertindak dalam dukungan. Individu sungguh-sungguh diberi ruang belajar untuk melakukan tindakan produktif dan mendapatkan apresiasi. Namun demikian ada pula model yang bersifat spiritual yang disebut Bimbingan Rohani. Setiap individu diberi ruang belajar untuk menimbang dan mengambil pilihan atas situasi dan pengalaman hidupnya,” jawab saya.
“Dari pengalaman bertemu dengan banyak orang yang mampu menggali pengalaman terbaik masa lalu dan masa kini, saya menemukan bahwa orang-orang semacam ini cenderung memiliki kapasitas untuk menularkan hal positif kepada orang lain, menumbuhkan semangat, antusiasme, rasa gembira dan kreativitas. Bahkan ketika menghadapi masa sulit dan kesulitan, mereka cenderung memiliki ketenangan untuk tetap memilih yang positif bagi dirinya,” jelas pak Profesor.
“Nah, ada satu hal lagi yang tidak disebut oleh Diana Whitney namun difasilitasi oleh Seminari Mertoyudan, dan itu menjadi wadah serta landasan kokoh bagi semua kebebasan yang disebutkan itu,” tegas saya.
“Wah, apalagi itu?” tanya pak Profesor penasaran.
“Yang satu ini tertanan dan terinternalisasi sangat mendalam dalam hidup kami dan tak mudah hilang, yaitu kebiasaan untuk menjaga “silentium”. Ini merupakan praktik membangun keheningan batin setiap saat agar di dalam batin individu senantiasa tersedia ruang luas bagi kehadiran Yang Mahapositif dan Yang Mahaapresiatif. Ini semacam latihan sederhana namun berdaya bagi individu untuk senantiasa hening, membangun koneksi dengan Yang Mahapositif dan Mahaapresiatif itu. Secara sederhana, ini boleh disebut sebagai proses untuk selalu melakukan Inquiry, penelusuran atas kehadiran Yang Mahapositif dan Mahaapresiatif dalam setiap pengalaman hidup. Inilah pengalaman paling positif yang kami alami selama menjalani pendidikan di Seminari Mertoyudan. Keheningan yang dibangun setiap saat itu, mendorong energi spiritual yang positif dan mendasar, yakni energi syukur atas segala anugerah. Semakin mampu bersyukur, semakin besar pula energi positif untuk kreatif, produktif, dan membaca kemungkinan terbaik dalam segala situasi hidup. Itu semua membuat individu terus-menerus bertumbuh,” jawab saya penuh keyakinan.
“Wah, saya pikir itu kebiasaan yang sangat dibutuhkan. Semua pikiran positif dan energi positif yang menuntun perilaku individu sangat membutuhkan landasan keheningan. Hanya dalam keheningan, individu sanggup mengeksplorasi pengalaman positif yang paling dalam dan memilih tindakan-tindakan positif yang membawa kemungkinan besar bagi perubahan dan pertumbuhan,” kata Profesor.
“Wah terima kasih profesor, saya sangat beruntung Anda sudah berkenan ngobrol. Semoga suatu saat Profesor berkesempatan mengunjungi sekolah saya dan bertemu langsung dengan suasana aselinya. Pasti akan sangat menarik,” jawab saya.
“Iya, semoga saya berkesempatan untuk mengunjunginya dan berbagi pengalaman dengan semua yang terlibat di dalamnya. Itu pasti akan memberikan energi positif juga bagi saya,” kata Profesor.
Kami lalu saling berpamitan dan kembali ke kamar masing-masing untuk melanjutkan aktivitas. Setelah menulis sebentar di kamar, saya langsung berangkat tidur supaya esok hari tetap segar mengikuti workshop hari terakhir.
Esok hari ketika bangun, saya terkejut. Di luar jendela terdengar keramaian orang berkelakar dalam bahasa Jawa. Aneh, sejak kemarin tak satupun orang Jawa saya temui di sekitar penginapan, kecuali pak Kyai sahabat saya. Ketika membuka jendela, saya baru sadar. Saya melihat simbok-simbok petani sedang bergerombol menanam padi di persawahan samping rumah. Oh, ternyata saya bangun pagi di rumah sendiri. Ah, benar-benar tidur yang nyenyak dan mimpi yang produktif.***


Tulisan ini merupakan refleksi atas pendidikan Seminari Menengah Mertoyudan, dalam rangka Reuni Lintas Angkatan pada bulan Juni 2016. Terima kasih untuk para Pendidik.