Tuesday, January 08, 2019

Empati



Oleh Indro Suprobo




“Empathy is about finding echoes of another person in yourself.”  Mohsin Hamid[1]
(Empati adalah menemukan gema orang lain di dalam dirimu) 




Pengertian Empati



Mohsin Hamid, sastrawan dan penulis novel yang berasal dari Lahore, Pakistan, menggambarkan pengertiannya tentang empati secara puitis. Ia menggambarkan empati sebagai menemukan gema orang lain yang ada di dalam diri kita. Penggambaran ini mau menyatakan bahwa empati adalah sebuah “kehadiran” orang lain di dalam diri kita. Kehadiran orang lain itu meliputi seluruh aspeknya, yakni pengalaman, perasaan, pikiran, harapan, duka, dan kecemasannya. Atau dengan cara yang lebih sederhana, empati adalah kesanggupan seseorang untuk ikut memahami dan merasakan pengalaman, perasaan, pikiran, harapan, duka dan kecemasan orang lain sehingga semua itu menjadi pengalaman, perasaan, pikiran, harapan, duka dan kecemasan kita sendiri. Ketika seseorang sudah sanggup memahami dan merasakan seluruh pengalaman, perasaan, dan pikiran orang lain secara lebih baik dan menjadi pengalaman, perasaan dan pikiran dirinya sendiri, pada saat itulah ia telah menemukan “gema”atau “kehadiran” orang lain di dalam dirinya sendiri.

Secara psikologis, empati adalah sebuah gerakan “keluar” (outreach) sekaligus gerakan “ke dalam” (include). Disebut gerakan “keluar” atau outreach karena empati adalah usaha untuk mengjangkau pengalaman dan perasaan orang lain agar seseorang dapat memahami, menerima dan mendukung orang lain itu demi pertumbuhan hidup bersama. Ini adalah upaya untuk “berada dalam posisi dan situasi orang lain” secara maksimal. Dalam gerakan “keluar” ini, empati adalah sebuah upaya untuk berada di pihak yang lain secara maksimal, atau upaya untuk “berpihak” kepada yang lain.

Disebut gerakan “ke dalam” atau include karena empati adalah sekaligus usaha untuk menghadirkan dan memasukkan pengalaman serta perasaan orang lain ke dalam pengalaman dan perasaan diri sendiri. Dengan memahami dan menerima seluruh situasi orang lain secara sebaik-baiknya itu dan menjadikannya sebagai pengalaman diri sendiri, seseorang sedang “membawa masuk situasi orang lain ke dalam diri sendiri”. Oleh karena itu menghadirkan situasi orang lain ke dalam diri sendiri disebut sebagai sebuah gerakan “ke dalam”.

Pemahaman tentang empati seperti digambarkan oleh sastrawan Pakistan ini, memiliki kemiripan dengan pemahaman yang dikemukakan oleh salah seorang ahli psikologi perkembangan bernama Gordon Allport. Allport menyatakan bahwa empati adalah “the imaginative transposing of oneself into the thinking, feeling, and acting of another”.[2] Jadi menurut Allport, empati adalah upaya imajinatif seseorang untuk memindahkan posisi dirinya ke dalam posisi orang lain, yakni ke dalam pikiran, perasaan, dan perilaku orang lain. Ada ungkapan yang sederhana namun membantu untuk memahami pengertian ini, yakni ungkapan “coba bayangkan, seandainya kamu menjadi dia”. Lalu biasanya dilanjutkan dengan pertanyaan,”seandainya kamu menjadi dia, coba apa yang kamu rasakan?”

Seorang ahli psikologi yang lain, Carl Rogers, menyatakan bahwa empati adalah upaya melihat kerangka berpikir internal orang lain secara akurat, memahami orang lain tersebut seolah-olah seseorang itu masuk ke dalam diri orang lain tersebut, sehingga dapat merasakan dan mengalami apa yang dirasakan dan dialami oleh orang lain tersebut, namun tanpa kehilangan identitas dirinya.[3] Pengertian empati yang dinyatakan oleh Carl Rogers ini menunjukkan unsur yang penting, yakni menempatkan diri dalam posisi orang lain, namun tidak hanyut dalam situasi orang lain itu sehingga tidak kehilangan identitas dirinya. Dalam pengertian ini, seseorang dapat memasuki pengalaman, perasaan dan pikiran orang lain, namun ia tetap dapat mengambil jarak secara rasional sehingga tidak terlarut ke dalam suasana emosional, melainkan secara sadar tetap dapat melakukan segala sesuatu dalam kesadaran yang penuh.


Mengapa Empati itu Penting?

Sebagai makhluk sosial, setiap manusia selalu hidup bersama dengan orang lain dan selalu membutuhkan orang lain. Hidup bersama dengan orang lain, selain untuk saling menolong, juga untuk saling menumbuhkan, berkembang bersama sebagai manusia yang sehat jasmani dan rohani, dan menjadi semakin bermartabat. Dalam kehidupan bersama dengan orang lain itulah, empati sangat dibutuhkan dan menjadi penting. Berikut adalah beberapa alasan mengapa empati itu penting dalam kehidupan bersama:

a. Empati membuat manusia dapat menghargai keunikan dan perbedaan manusia lain.

Setiap manusia diciptakan oleh Tuhan secara unik atau khas. Kata unik berasal dari bahasa Latin “unus” yang berarti “satu”. Itu berarti bahwa setiap pribadi yang diciptakan oleh Tuhan di dunia ini hanya ada satu itu, tidak ada yang menyamainya. Barangkali ada yang mirip atau kembar, namun tidak pernah ada yang sama persis. Oleh karena itu setiap manusia disebut unik, tiada duanya.

Karena diciptakan secara unik, tiada duanya, maka secara kodrati setiap manusia itu berbeda-beda satu sama lain. Bahkan dalam satu keluarga yang samapun, tidak ada pribadi yang sama persis. Ini menunjukkan bahwa perbedaan-perbedaan manusia yang ada di seluruh dunia ini adalah ciptaan Tuhan, anugerah dari Sang Pencipta.

Oleh karena itu, menerima, memahami dan menghargai perbedaan merupakan tugas mulia setiap manusia karena menerima, memahami dan menghargai perbedaan manusia itu sama dengan menghargai dan menghormati Tuhan yang telah menciptakannya. Dalam konteks ini, empati sebagai kesanggupan seseorang untuk ikut memahami dan merasakan pengalaman, perasaan, pikiran, harapan, duka dan kecemasan orang lain, akan sangat membantu manusia untuk saling menghargai keunikan dan perbedaan manusia lain.

b. Empati menciptakan hidup bersama yang damai

Ketika setiap manusia sudah dapat menerima, memahami dan menghargai orang lain dengan segala perbedaannya, maka kehidupan bersama manusia itu akan terasa damai dan penuh persahabatan. Setiap orang merasa nyaman untuk hidup bersama yang lain, bergaul bersama orang lain, dan merasa aman ketika menyadari dan merasakan bahwa orang lain yang ada di sekitarnya itu menerima dan menghargainya. Oleh karena itu, empati sebagai kesanggupan untuk mmahami orang lain secara mendalam, merupakan hal yang sangat penting dalam upaya menciptakan kehidupan bersama yang damai.

c. Empati membuat manusia dapat memahami kebutuhan orang lain

Empati sebagai kesanggupan untuk memahami, menerima dan merasakan apa yang dialami dan dirasakan oleh orang lain, membantu manusia untuk memahami kebutuhan orang lain. Ketika sesorang sanggup menempatkan diri dalam posisi orang lain, terutama orang lain yang sedang menerima pengalaman pahit, kesusahan, dan penderitaan, ia akan memahami secara lebih baik apa yang benar-benar dibutuhkan oleh orang lain itu. Dengan mengetahui apa yang paling dibutuhkan oleh orang lain itu, ia dapat melakukan sesuatu yang tepat guna menjawab atau memenuhi kebutuhan itu. Dengan demikian, ia juga dapat menunjukkan sikap dan tindakan yang jauh lebih tepat dan sesuai dengan kebutuhan. Pada gilirannya, empati juga membantu setiap orang untuk dapat membahagiakan orang lain atau saling membahagiakan.

d. Empati membuat manusia terdorong untuk melindungi orang lain

Hal yang juga sangat mendasar, empati dapat membantu seseorang untuk memiliki keputusan, kesanggupan, dan keberanian untuk melindungi orang lain. Karena memahami, menerima, bahkan ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, ikut merasakan apa yang dirindukan dan dibutuhkan oleh orang lain secara mendalam, lebih-lebih ketika orang lain itu berada dalam situasi yang berbahaya dan mengancam keselamatannya, seseorang akan terdorong untuk mengambil keputusan, memilih sikap dan tindakan yang bersifat melindungi orang lain tersebut agar hidupnya terselamatkan. Hanya melalui empatilah, manusia yang hidup bersama dapat saling melindungi hak-hak hidupnya dan saling mengupayakan keselamatan bagi yang lain.

Contoh Empati dalam Pengalaman Konkret

Salah satu contoh konkret tentang empati terhadap orang lain, disajikan dalam kisah singkat berikut ini. Kisah ini bercerita tentang bagaimana orang-orang desa di sebuah kampung berusaha memahami, menerima dan merasakan apa yang dialami oleh para Pengungsi dan Pencari Suaka yang terpaksa tinggal sementara di Indonesia. Mereka adalah orang-orang baik yang terpaksa pergi dengan berbagai cara demi menyelamatkan hidup. Mereka berasal dari berbagai negara yang dilanda konflik dan peperangan. Kisah ini merupakan kisah nyata, namun demi perlindungan, sesuai dengan konvensi internasional tentang Pengungsi, nama-nama orang dalam kisah ini menggunakan nama samaran.[4]

Adalah Otang Sukarna, lelaki 50 tahun, warga sebuah desa di perbukitan Cipayung, Jawa Barat, yang dengan ketulusan hatinya, memberikan empati kepada para Pengungsi dan Pencari Suaka yang terpaksa tinggal di lingkungan kampungnya. Ia adalah orang desa yang menjadi sahabat bagi para Pengungsi dan Pencari Suaka. Melalui cara-cara yang sederhana dan nyata, ia memotivasi warga desa, ibu-ibu serta anak-anak, untuk bersikap ramah dan bersahabat kepada Pengungsi dan Pencari Suaka yang tinggal di sana. Persahabatan yang tulus dan sikap saling membantu sebagai saudara, adalah keramahtamahan yang nyata, sekaligus wujud perlindungan yang memberi rasa aman bagi mereka.

Ketika di tempat lain Pengungsi dan Pencari Suaka menghadapi penolakan, kecurigaan, stigma negatif, pengusiran dan pengasingan, Otang Sukarna dan warga di desanya justru menawarkan rumah sederhana dan nyaman untuk tinggal, suasana pergaulan yang akrab dan bersahabat, kegiatan bersama yang bermanfaat, dan pertolongan-pertolongan nyata yang membesarkan jiwa.

“Para imigran ini adalah orang-orang baik. Mereka bukan penjahat dan tidak berbuat onar. Mereka ke sini untuk mencari rasa aman karena negaranya kacau,” begitu kata Otang memaparkan pemahamannya. Meskipun belum pernah membaca dokumen internasional tentang Pengungsi, ia mampu menggambarkan pemahamannya dalam rumusan paling sederhana dan komunikatif, yang paling mudah diterima dan dimengerti oleh semua warga desa.

Otang Sukarna memiliki alasan mendasar mengapa ia bersikap ramah dan bersahabat dengan para Pengungsi dan Pencari Suaka. “Mereka adalah orang-orang yang memiliki anak seperti saya juga. Mereka juga mengalami kesusahan yang sama seperti saya. Jadi sudah semestinya saya bersikap baik dan membantu mereka. Bahkan kalau bisa, saya melindungi mereka karena sama-sama sebagai manusia biasa,” jelasnya. Menyelami, memahami dan membiarkan diri disentuh oleh pengalaman orang lain, adalah sebuah olah kesadaran yang empatik. Kesadaran ini melahirkan keterlibatan yang konkret.

Ketika media massa memberitakan adanya ancaman penolakan dan pengusiran terhadap para Pencari Suaka, Otang Sukarna dan Kepala Desa berkeliling kampung memberikan peneguhan kepada mereka. “Saya berkeliling bersama pak Lurah, mengunjungi mereka satu demi satu dan meyakinkan mereka beserta pemilik kontrakan untuk tidak merasa takut karena di wilayah ini situasinya dijamin aman,” katanya penuh semangat. Bahkan Kepala Desa sendiri menegaskan perlindungannya,”Nanti jika terpaksa memang ada orang luar yang datang ke sini untuk menganggu mereka, suruh mereka semua pindah ke rumah saya. Saya sendiri yang akan melindungi,” lanjutnya menirukan pernyataan Kepala Desa.

Otang Sukarna memiliki cara jitu dan sederhana untuk semakin mempererat hubungan antara warga desa dan Pencari Suaka. Hidup sehari-hari adalah medianya. “Saya sering mengajak mereka untuk ikut menghadiri acara pernikahan dan kematian. Bahkan mereka juga ikut mengangkat keranda jenasah sampai ke makam,” katanya. Hadir dan terlibat dalam kebiasaan-kebiasaan warga adalah tanda, sarana serta wujud kesediaan untuk menjadi bagian. Hal itu membuat hubungan mereka semakin dekat dan akrab. Mereka menjadi bagian dari warga, dan bukan lagi orang asing. “Karena dekatnya hubungan itu, salah satu imigran bahkan dibujuk oleh warga untuk menikah dengan orang sini dan menjadi keluarga mereka,” lanjut Otang.

Peringatan hari keagamaan juga menjadi sarana untuk saling berbagi. Pada peringatan 10 Muharram [Assyura], warga dan Pencari Suaka menyelenggarakan upacara keagamaan bersama. “Bahkan pak Lurah menyumbangkan satu ekor kambing. Mereka senang sekali.”

Pada masa awal kehadiran Pencari Suaka, selama beberapa waktu pernah diselenggarakan kegiatan belajar bahasa Inggris untuk anak-anak. Melalui kegiatan itu warga dan Pencari Suaka dapat saling belajar. Anak-anak belajar bahasa Inggris, sementara para Pencari Suaka belajar tentang kebiasaan hidup sehari-hari. “Wah dulu banyak sekali anak yang ikut belajar bahasa Inggris. Hampir tiga kelas penuh jumlah pesertanya.”

Berkat hubungan yang akrab ibu, tak mengherankan apabila di beberapa sudut jalan atau di dekat warung, terdengar kelakar dan canda tawa antara Pencari Suaka dan warga desa yang sedang mengisi waktu senggang mereka. Otang Sukarna dan warga desa di perbukitan Cipayung, adalah teladan nyata tentang bagaimana berempati kepada para Pengungsi dan Pencari Suaka, yang terpaksa pergi meninggalkan tanah kelahiran dan harta benda, demi mencari keselamatan.

Tantangan Nyata

Dalam kisah nyata di atas tampak sekali bagaimana Otang Sukarna dan warga desa memberikan empati terhadap orang lain yang terpaksa mengungsi ke negara tetangga karena ingin menyelamatkan kehidupan dari bahaya konflik dan peperangan yang telah menelan banyak korban. Otang Sukarna memahami dan menyelami apa yang dirasakan oleh para Pengungsi. Ia dapat merasakan kerinduan yang sama tentang hidup yang aman dan damai. Ia dapat merasakan kecemasan yang sama sebagaimana dialami oleh para Pengungsi dan Pencari Suaka. Empati yang ditunjukkan oleh Otang Sukarna, tampak jelas dalam pernyataannya,”Para imigran ini adalah orang-orang baik. Mereka bukan penjahat dan tidak berbuat onar. Mereka ke sini untuk mencari rasa aman karena negaranya kacau. Mereka adalah orang-orang yang memiliki anak seperti saya juga. Mereka juga mengalami kesusahan yang sama seperti saya. Jadi sudah semestinya saya bersikap baik dan membantu mereka. Bahkan kalau bisa, saya melindungi mereka karena sama-sama sebagai manusia biasa”.

Dalam pernyataan itu, Otang Sukarna telah memposisikan dirinya dalam posisi orang lain, yakni para Pengungsi dan Pencari Suaka. Demikian juga, ia telah menemukan gaung orang lain di dalam dirinya sendiri, sebagaimana ditulis oleh sastrawan Pakistan, Mohsin Hamid. Ia merasakan kehadiran orang lain di dalam dirinya. Itulah empati.

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia saat ini, empati sedang menghadapi tantangan yang tidak ringan. Kebhinnekaan, keragaman, perbedaan, dan keunikan masyarakat Indonesia sedang mudah sekali menjadi alat sekaligus pemicu bagi lahirnya pertentangan, perseteruan, bahkan konflik berdarah yang menimbulkan jatuhnya korban jiwa. Salah satu hal yang menggerus dan melemahkan empati adalah berkembangnya berita-berita yang bersifat menghasut, mengandung fitnah, tidak sesuai dengan kenyataan, menyulut kebencian terhadap orang atau kelompok lain, yang lebih dikenal dengan berita hoax. Berita-berita semacam itu adalah tanda dari sebuah upaya yang justru berlawanan dengan empati. Jika empati adalah upaya memahami dan merasakan apa yang benar-benar dialami dan dirasakan oleh orang lain, berita hoax justru menyodorkan pemahaman dan perasaan yang keliru, yang tidak sesuai dengan kenyataan. Berita hoax tidak berupaya untuk “memberikan pemahaman dan pengertian yang apa adanya sesuai dengan kenyataan”, melainkan justru “mengaburkan dan menghalangi pemahaman dan pengertian yang apa adanya, dan cenderung menjauhi kenyataan”.

Masyarakat Indonesia yang bhinneka, yang kaya akan keragaman, hanya dapat dipertahankan apabila setiap manusia Indonesia berupaya untuk mengenali dan memahami keunikan atau perbedaan satu sama lain secara mendalam dan sebaik-baiknya. Mengenali perbedaan secara lebih mendalam dan menerimanya, merupakan langkah mendasar dan penting bagi terbangunnya empati.

Oleh karena itu, untuk melatih empati dibutuhkan usaha nyata untuk belajar memahami, mengenali, mengakui dan menerima keunikan serta perbedaan orang lain (apapun latar belakangnya) secara sedalam-dalamnya. Hanya dengan memahami, mengenali, mengakui dan menerima keunikan serta perbedaan orang lain secara apa adanya, empati itu akan terbangun. Sehingga keunikan dan perbedaan itu tidak dianggap sebagai ancaman, melainkan sebagai kekayaan yang memperluas pemahaman, pengalaman dan perasaan setiap manusia.

Jika demikian, apakah saya memiliki kemauan dan keikhlasan untuk belajar memahami orang lain bahkan yang paling berbeda sekalipun secara lebih mendalam? Adakah halangan yang membuat saya mengalami kesulitan untuk memahami, mengenali, dan menerima orang lain? Jika saya telah terbiasa untuk belajar mengenali dan menerima orang lain serta tak lagi memiliki halangan untuk melakukannya, maka saya akan secara mudah membangun empati di dalam diri saya.



* Naskah ini merupakan salah satu bahan bacaan untuk pendidikan karakter bagi Taruna Akademi Kepolisian Republik Indonesia yang terdapat di dalam buku Modul Pengasuhan Gatra Karakter Akademi Kepolisian Republik Indonesia, PUSHAM-UII 2018, hlm. 203-220









[2] Lihat http://etheses.uin-malang.ac.id/1249/6/08410104_Bab_2.pdf, lihat juga Nailul Fauziah, Empati, Persahabatan dan Kecerdasan Adversitas Pada Mahasiswa yang Sedang Skripsi, dalam Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.1 April 2014, 78-92, terutama hlm.87-88
[3] Lihat http://etheses.uin-malang.ac.id/1249/6/08410104_Bab_2.pdf, lihat juga Nailul Fauziah, Empati, Persahabatan dan Kecerdasan Adversitas Pada Mahasiswa yang Sedang Skripsi, dalam Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.1 April 2014, 78-92, terutama hlm.87-88, lihat juga penjelasan Daniel Goleman yang serupa http://jurnal.umk.ac.id/index.php/gusjigang/article/view/718/717
[4] Kisah ini diambil dan diadaptasi seperlunya dari https://jrs.or.id/campaigns/urban-refugees/dalam-naungan-sayap-sayap-tuhan/