Saturday, June 10, 2017

Kesanggupan untuk Mendengarkan adalah Landasan Utama bagi Perdamaian


Seperti hari-hari Minggu biasanya, pada tengah hari sebelum menjalankan doa Malaikat Tuhan bersama dengan umat beriman yang hadir di lapangan Santo Petrus, Bapa Fransiskus menyampaikan refleksi atas bacaan Injil pada hari itu, yakni tentang kisah Yesus yang mengunjungi Maria dan Marta dan tentang bagaimana masing-masing perempuan itu memilih cara menyambut kehadiran Yesus. Maria memilih duduk di dekat kaki Yesus dan mendengarkan dia, sementara Marta sibuk dengan banyak urusan rumah tangga untuk menerima Yesus. Marta bertanya kepada Yesus,”Tuan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah ia membantu aku.” Tetapi Yesus menjawabnya,”Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu, Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.” (Luk 10:38-42).

Dalam refleksinya, Bapa Fransiskus menjelaskan bahwa dengan menyibukkan dirinya, Marta telah menanggung resiko melupakan kehadiran tamunya, yakni Yesus sendiri. Menurut Bapa Fransiskus, inilah masalah utamanya. Yang paling utama dalam menyambut kehadiran tamu bukanlah melakukan banyak hal lain seperti melayani, memberi makan, merawat dan sebagainya, melainkan mendengarkan tamu itu. Ketika ada tamu yang hadir, ia perlu disambut sebagai pribadi, lengkap dengan seluruh sejarah dan keunikan dirinya sehingga tamu itu merasa betah berada di rumah itu di tengah-tengah keluarga. Ketika tamu itu diterima dengan sepenuh hati dan didengarkan, ia akan merasa diterima sebagai pribadi yang bermartabat. Dalam bahasa Jawa, istilah yang tepat adalah “diuwongke”. Namun jika tamu itu dibiarkan duduk sendirian sementara kita sibuk dengan banyak hal lain, maka satu sama lain kita akan berada dalam situasi diam, tanpa komunikasi. Bisa jadi sang tamu akan merasa tidak nyaman dan seolah-olah dianggap sebagai batu.

Jawaban yang diberikan oleh Yesus kepada Marta bahwa hanya ada satu hal saja yang perlu, mendapatkan maknanya yang paling penuh ketika mengacu kepada Sabda Yesus sendiri, yakni Firman yang mencerahkan dan menopang seluruh keberadaan kita serta semua yang kita kerjakan. Bapa Paus memberikan contoh,”apabila kita berdoa di hadapan salib, lalu kita berbicara dan terus menerus berbicara, lalu setelah itu kita segera pergi, dengan demikian kita sama sekali tidak mendengarkan Yesus. Kita tak memberikan kesempatan bagi Yesus sendiri untuk berbicara kepada hati kita. Kata kunci yang tidak boleh kita lupakan adalah bahwa sebelum menjadi Tuan dan Guru, Yesus yang hadir di rumah Maria dan Marta, pertama-tama adalah Yesus yang hadir sebagai peziarah dan tamu. Oleh karna itu, jawaban Yesus kepada Marta merupakan hal yang sangat penting. Ketika Yesus hadir sebagai tamu, tak ada hal lain yang lebih penting untuk dilakukan kecuali menerima dia dan mendengarkan dia. Janganlah terlalu sibuk dengan banyak hal lain sehingga kita justru melupakan kehadiran sang tamu. Mendengarkan Dia, merupakan sebuah wujud dari persaudaraan yang membuat sang tamu merasa nyaman serta menjadi bagian dari anggota keluarga, dan bukan hanya sebagai orang yang menginap sementara.

Dalam pemahaman demikian ini, keramahtamahan, yang merupakan salah satu karya belas kasih, dapat dimengerti sebagai sebuah kebajikan yang sungguh-sungguh manusiawi sekaligus kristiani. Dalam dunia sekarang ini, kebajikan semacam ini, sangat rentan untuk dikesampingkan begitu saja. Memang, ada banyak sekali rumah-rumah penginapan untuk menerima tamu, namun di tempat-tempat itu, orang tidak selalu dapat menemukan keramahtamahan yang sejati. Banyak lembaga didirikan untuk membantu beragam jenis penyakit, kesepian, dan keterpinggiran, namun semakin sedikit peluang bagi seorang asing atau orang yang terpinggirkan untuk menemukan orang yang sungguh-sungguh mau mendengarkan dia, mendengarkan kisah hidupnya yang penuh derita. Bahkan dalam sebuah keluarga, di antara anggota keluarga sendiripun, semakin sulit untuk menemukan pengalaman didengarkan dan diterima.

Dalam kehidupan saat ini, banyak orang terlalu sibuk dan terperangkap oleh banyak sekali urusan, bahkan seringkali urusan-urusan yang tidak penting. Kesibukan dan kekawatiran terhadap bayak hal seringkali membuat orang kehilangan ruang untuk sekedar diam, heniing, mendengarkan diri sendiri, mendengarkan orang lain, serta mendengarkan Tuhan. Kesiapsediaan dan kesanggupan untuk mendengarkan memang harus dilatihkan. Menyediakan waktu untuk “silentium” atau untuk hening setiap hari, merupakan latihan yang sangat berharga. Kebiasaan untuk hening, akan membantu orang untuk melatih diri menyediakan ruang bagi yang lain, menyediakan ruang untuk sanggup mendengarkan pasangan maupun anak-anak dalam keluarga, untuk mendengarkan pengalaman orang lain yang berbeda latar belakang dengan diri kita sendiri. Kesanggupan untuk mendengarkan, adalah kesanggupan untuk menerima orang lain apa adanya dengan segala keunikan dan sejarah hidupnya. Dengan demikian, kesanggupan untuk mendengarkan orang lain adalah kesanggupan untuk menciptakan perdamaian di dalam batin sehingga lebih mampu menerima orang lain dalam seluruh martabat hidup yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya.

Henry J.M. Nouwen dalam buku Menggapai Kematangan Hidup Rohani, menyatakan bahwa kesanggupan untuk mendengarkan adalah kesanggupan untuk menyediakan ruang yang ramah di dalam batin sehingga orang lain dapat hadir secara nyaman dan penuh damai. Dengan lain kata, kesanggupan untuk mendengarkan adalah sebuah hospitalitas atau keramahtamahan. Hanya dengan keramahtamahan, seorang pribadi dapat membangun perdamaian sejak di dalam batinnya. Di dalam batinnya tak ada ruang bagi sebuah perasaan terancam meskipun yang hadir itu adalah orang lain yang sangat berbeda dengan dirinya. Itulah tanda lahirnya perdamaian yang hakiki.


(Indro Suprobo)

Tuesday, June 06, 2017

Kita musti berdoa agar meraih kemenangan melalui perdamaian, bukan melalui peperangan

Dalam sebuah perayaan ekaristi untuk mengukuhkan (kanonisasi) tujuh orang suci baru di Basilika Santo Petrus, Bapa Fransiskus menyatakan,”Kita berdoa bukan untuk berlindung di sebuah dunia yang ideal, juga bukan untuk melarikan diri ke dalam ketenangan yang semu dan penuh cinta diri. Sebaliknya, kita berdoa untuk berjuang, dan juga untuk membiarkan Roh Kudus berdoa di dalam diri kita. Karena Roh Kuduslah yang mengajari kita untuk berdoa. Ia menuntun kita dalam doa dan membuat kita sanggup berdoa sebagai anak-anak Bapa”.

Menurut Bapa Fransiskus, santo dan santa adalah orang-orang yang sungguh-sungguh berani menyelami misteri doa. Mereka adalah laki-laki maupun perempuan yang berjuang dengan doa dan membiarkan Roh Kudus berdoa serta berjuang di dalam diri mereka. Mereka berjuang sampai titik akhir, dengan segala daya mereka, sampai akhirnyua mereka mencapai kemenangan. Namun kemenangan itu bukan karena usaha mereka sendiri, melainkan karena kemenangan Tuhan yang ada di dalam diri mereka dan bersama dengan mereka. Oleh karena itu, tujuh orang suci yang pada hari itu dikukuhkan sebagai santo dan santa, juga telah melaksanakan perjuangan iman dan cinta melalui doa-doa mereka. “Itulah sebabnya mengapa mereka tetap kuat di dalam iman, disertai dengan ketabahan dan kemurahan hati”. Melalui teladan para santo dan santa itu, Bapa Fransiskus juga berharap semoga Tuhan juga memberi daya dan kekuatan kepada kita agar menjadi pribadi-pribadi pendoa. Bapa Fransiskus mengajak kita semua untuk setiap saat berseru kepada Tuhan, baik siang maupun malam. Bapa Suci berharap kita semua sanggup menyediakan ruang dalam batin kita dan membiarkan Roh Kudus sendiri berdoa di dalam diri kita, saling mendukung satu sama lain di dalam doa, agar kita semua tetap tegar sampai pada akhirnya, rahmat dan belas kasih Allah sendiri mencapai kemenangan.

Menjadi manusia pendoa bukanlah sebuah kewajiban, melainkan sebuah gaya hidup yang dipilih dan ditekuni hari-demi hari, saat demi saat. Menjadi manusia pendoa membutuhkan latihan, ketekunan, pembiasaan dan disiplin. Dalam suatu kesempatan, Ibu Theresa pernah berpesan,”Berdoalah, justru pada saat dirimu merasa sulit untuk berdoa”. Ini merupakan pesan mendasar bagi kita untuk berlatih tegar dan tekun.

Karena berdoa bukanlah sebuah upaya untuk berlindung di sebuah dunia yang ideal, atau untuk melarikan diri ke dalam sebuah ketenangan yang semu, maka berdoa pada dasarnya dapat dilakukan kapanpun dan di manapun, serta dalam kondisi seperti apapun. Di antara kesibukan kerja, sekolah, di pasar, di tengah keramaian, dalam kerumunan, saat berdiri di depan teras rumah sambil memandang tanaman, di kebun, saat mengerjakan sawah, saat melakukan jogging, dalam perjalanan dan sebagainya. Yang paling utama dari sebuah doa adalah kehendak hati untuk hening lalu menyampaikan sesuatu kepada Tuhan serta, jangan lupa, membiarkan Roh Kudus berbicara dan berdoa dalam diri kita.
Meskipun demikian, dalam hidup kita, ada saat-saat yang dapat disebut sebagai waktu terbaik untuk membiarkan diri masuk ke dalam doa. Waktu-waktu terbaik itu telah dipilih sebagai kebiasaan oleh banyak agama. Saudara-saudari muslim memiliki lima waktu terbaik yang telah menjadi tradisi dan dikenal dengan shalat lima waktu. Tradisi kuno agama kristen dan sampai saat ini masih dijalankan di beberapa biara, memiliki kebiasaan doa brevir tujuh waktu dalam sehari dengan pilihan waktu yang hampir sama dengan tradisi saudara-saudari Muslim. Namun demikian, paling tidak ada tiga waktu terbaik yang sebaiknya dimanfaatkan sebagai waktu hening, supaya batin kita terlatih menjadi manusia pendoa. Tiga waktu hening itu adalah pagi hari sebelum matahari terbit (saat subuh dalam tradisi muslim), tengah hari (saat doa angelus dalam tradisi kristen atau saat dhuhur dalam tradisi muslim), serta sore hari setelah matahari terbenam (saat maghrib dalam tradisi muslim). Waktu-waktu itu akan membantu kita untuk melatih diri dan membiasakan diri menjadi manusia pendoa sehingga, tanpa harus diingat-ingat, diri kita akan memiliki kesadaran praktis (kesadaran yang spontan) untuk melakukan hening dan berdoa pada waktu-waktu itu, seumpama sebuah kebutuhan mendasar yang akhirnya menjadi gaya hidup. Melaluinya, kita akan terbiasa untuk senantiasa berjuang di dalam doa dan membiarkan Roh Kudus berdoa di dalam diri kita dan bersama kita, sehingga kita dapat mencapai kemenangan di dalam Tuhan.

Doa yang mengalir dari batin kita setiap saat, akan menjadi kekuatan untuk memilih cara-cara yang damai dalam mengupayakan kehidupan bersama. Manusia pendoa adalah manusia yang selalu berhasil meraih kedamaian di dalam batinnya dan kedamaian itu mengalir dalam seluruh pikiran, ucapan dan tindakan sehari-hari menyangkut banyak hal dalam kehidupan, tanpa kontradiksi. Seumpama sebuah bejana, manusia akan mencipratkan apapun yang di dalamnya. Jika bejana itu berisi air jernih, maka air jernih itulah yang akan terciprat dari dalamnya. Jika bejana itu berisi air keruh, maka air keruh itu pula yang terciprat dari dalamnya. Maka jika batin manusia itu berisi kedamaian, maka kedamaian itu pulalah yang terciprat dari dalamnya. Kedamaian itu akan mengalir ke dalam pikiran, ucapan maupun tindakan, baik dari sisi cara maupun isinya.  

Karena bukan merupakan pelarian diri ke dalam ketenangan semu, maka doa sekaligus merupakan sebuah pergulatan batin manusia dalam keprihatinan-keprihatinan sosial. Tidak mengherankan jika, ketika melakukan doa angelus di siang hari, Bapa Fransikus mengajak seluruh umat beriman yang hadir untuk berdoa bagi upaya melawan kemiskinan dunia. “Marilah kita menyatukan segala kekuatan moral dan ekonomi untuk berjuang melawan kemiskinan, yang telah merendahkan dan membunuh begitu banyak saudara dan saudari kita, melalui pelaksanaan kebijakan yang serius tentang keluarga dan kaum pekerja”. Karena menurut Bapa Suci, setiap orang memiliki hak atas standard hidup  yang layak bagi kesehatan dan kebaikan dirinya maupun keluarganya. “Marilah kita mempercayakan seluruh intensi doa kepada Perawan Maria, terutama doa-doa tulus dan terus-menerus demi perdamaian”, kata Bapa Fransiskus menutup doanya.


(Indro Suprobo)