Thursday, January 27, 2022

Amoris Laetitia dalam Perspektif Dialog Agama-Agama

 


oleh Indro Suprobo


Tantangan Semua Agama

Dokumen Amoris Laetitia merupakan dokumen yang berupaya menekankan perspektif dan prinsip-prinsip dasar kristiani tentang kehidupan keluarga di tengah tantangan hidup berkeluarga yang dihadapi pada jaman ini. Tantangan hidup berkeluarga sebagaimana digambarkan dalam Bab 2 dokumen ini, merupakan tantangan yang dihadapi bukan hanya oleh Gereja Katolik, melainkan juga dihadapi oleh semua komunitas agama. Dalam situasi krisis kehidupan keluarga itu, dokumen ini mengundang keluarga-keluarga untuk menghargai anugerah perkawinan dan keluarga, dan untuk bertekun dalam cinta kasih yang diperkuat oleh nilai-nilai kemurahan hati, komitmen, kesetiaan dan kesabaran. Dokumen ini juga mendorong setiap orang agar menjadi tanda kerahiman dan kedekatan ketika kehidupan keluarga tidak terwujud secara sempurna atau tidak berjalan dengan damai dan sukacita.

Selain tantangan umum, ada beberapa tantangan yang agak khu-sus yang digambarkan sekaligus ditanggapi secara agak khusus juga yakni relasi setara antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga (53-55), menghadapi difabilitas di dalam keluarga (47, 82, 195, 197), dan tantangan ideologi gender yang tampaknya mengarah kepada persoalan LGBT (56), yang dalam dokumen ini disebut sebagai ideologi yang membayangkan sebuah masyarakat tanpa perbedaan seksual dan merongrong dasar antropologi keluarga, yang mempromosikan identi-tas pribadi dan keintiman emosional, yang secara radikal terlepas dari perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Tentang relasi laki-laki dan perempuan serta difabilitas, tampak bahwa tanggapan positip sudah muncul dalam dokumen ini. Khusus berkaitan dengan LGBT, tampaknya ini masih merupakan pekerjaan rumah yang besar yang membutuhkan discernment lebih panjang dan pendekatan-pendekatan lintas disiplin yang masih harus terus digali di masa depan.

Berkaitan dengan relasi agama-agama dan perkawinan, secara agak khusus, dokumen ini juga menyinggung soal perkawinan beda agama atau disparitas cultus (248). 


Spiritualitas Hidup Berkeluarga Lintas Agama

Bab Empat dalam dokumen ini, yang berjudul Cinta Kasih dalam Perkawinan, adalah spiritualitas hidup berkeluarga yang dapat dihayati oleh semua orang dari beragam latar belakang agama. Nilai-nilai dasar yang dipaparkan dan dijelaskan dalam bab ini merupakan nilai-nilai dasar yang terdapat dalam semua agama dan dapat dihayati oleh semua orang dalam berbagai latar belakang agama. Ini merupakan spiritualitas lintas iman yang mendasar dalam kehidupan berkeluarga. Gambaran-gambaran spiritualitas hidup berkeluarga yang dalam dokumen ini secara khas dijelaskan dalam kerangka Trinitarian, tetap dapat dihayati oleh keluarga-keluarga dari berbagai agama dalam kerangka sufistik tentang "relasi kesatuan dan pengalaman akan Allah", yang menunjukkan cara berpikir tentang pengalaman ketunggalan antara manusia dalam kasih yang dihayati dalam relasi kesatuan dengan yang ilahi. Nilai-nilai kesabaran, kebaikan hati, tidak iri hati, tak memegahkan dan tak menyombongkan diri, sikap ramah, murah hati, tanpa kemarahan batiniah, pengampunan, bersukacita bersama orang lain, menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, berharap, menanggung segala sesuatu, berbagi sepanjang hayat, dsb merupakan nilai-nilai dasar yang pantas dihayati oleh semua orang dalam hidup berkeluarga. Semuanya itu membawa kepada pertumbuhan pribadi, keindahan dan rasa hormat. 


Tantangan Disparitas Cultus di Indonesia

Sebagaimana dinyatakan sejak dalam pembukaan dokumen bahwa hidup berkeluarga bukanlah persoalan melainkan sebuah kesempatan (7), perkawinan disparitas cultus juga dipahami sebagai sebuah kesempatan istimewa untuk dialog antaragama dalam kehidupan sehari-hari.. [...].. yang melibatkan kesulitan-kesulitan khusus menyangkut baik identitas keluarga Kristiani maupun pendidikan agama bagi anak-anak...(248). Dalam konteks khusus Indonesia, perkawinan disparitas cultus, terutama antara komunitas Kristen dan Islam, pantaslah diperhatikan tantangan khas yang ada. Tantangan khas itu antara lain adalah tantangan soal tafsir hukum yang secara mainstream masih berlaku yakni bahwa lelaki non muslim tidak dapat menikah dengan perempuan muslim tanpa mengubah identitas agamanya. Sementara perempuan non muslim masih dapat menikah dengan lelaki muslim tanpa mengubah identitas agamanya. 

Mereka yang sudah terbiasa dengan studi agama-agama, apalagi terbiasa dengan kajian antropologi agama, barangkali akan lebih mudah memahami bahwa tafsir mainstream ini merupakan produk dari konteks sosio-kultural tertentu dengan tujuan-tujuan yang tertentu pula. Tafsir mainstream ini merupakan produk ideologis agama (supra-strukrur) yang sangat dipengaruhi oleh "pengalaman basis" tertentu. Masih berlakunya tafsir mainstream ini merupakan realitas yang menantang dan musti dihadapi oleh calon pasangan dan pasangan yang menjalani perkawinan disparitas cultus

Karena realitas yang menantang ini masih belum mengalami perubahan dan barangkali masih akan bertahan untuk beberapa waktu ke depan, maka sudah layak dan sepantasnya, calon pasangan perkawinan disparitas cultus dalam konteks khusus ini semestinya mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan ini secara matang. Realitas yang menantang ini dapat juga ditempatkan sebagai kesempatan yang musti dimaknai oleh pasangan disparitas cultus sebagai ruang yang tetap terbuka bagi pertumbuhan pribadi untuk mencapai kepenuhan. 

Pasangan perkawinan disparitas cultus memiliki tantangan yang lebih berat dan nyata untuk sanggup melampaui "keterbatasan agama-agama" yang bagaimanapun juga tetaplah merupakan produk kebudayaan yang dilekati oleh kontekstualitas dan partialitas yang tak tersangkal. Pasangan-pasangan ini dituntut untuk mampu melampaui "rasa lekat tak teratur emosional" terhadap masing-masing agamanya, membongkar bawah sadar relasi-kuasa antar agama yang bersemayam di dalam dirinya, melepaskan diri dari perasaan menang-kalah, dan musti berani menghadapi stigma sosial yang biasa dikenakan kepada pasangan yang menjalani perkawinan disparitas cultus.

Mereka juga merupakan pasangan yang secara nyata harus membongkar prasangka-prasangka antara agama karena yang dihadapinya setiap saat adalah pasangannya sendiri, yang sangat dikasihinya, yang berangkat dari latar belakang agama yang berbeda. 

Tidak ada rumus umum yang dapat diberikan kepada pasangan disparitas cultus, kecuali kematangan pribadi dan kedewasaan iman yang sanggup melampaui segala bentuk formalisme dan perkara teknis agama-agama. Selebihnya, tantangan yang dihadapi akan sangat unik dan khas tergantung kepada kondisi keluarga dan komunitas konkret kontekstual yang dihadapi. Semua yang lainnya, harus dicari, digali, digeluti, ditekuni sendiri sesuai dengan kondisi realnya. Ini sangat menuntut "kebijaksanaan" pribadi dengan segala risiko yang sanggup ditanggung. Seluruh pergulatan rohani yang diolahnya sesuai dengan konteks tantangan realnya yang khas itu akan menjadi bekal utama bagi pasangan untuk menghadapi seluruh "penilaian publik" yang mungkin akan dihadapi dan dikenakan kepadanya. 


Kesempatan Saling Mendidik dan Saling Belajar

Keluarga dalam perkawinan disparitas cultus memiliki tantangan lebih besar untuk menjalani proses saling mendidik dan saling belajar di dalam iman. Seluruh prinsip dasar dan spiritualitas hidup keluarga sebagaimana digambarkan dalam Bab Empat dokumen Amoris Laetitia, menjadi fondasi utama sekaligus indikator kesehatan iman. Yang paling utama adalah bertumbuhnya iman kepada Allah Pencipta meskipun berada dalam forma dan kerangka berpikir agama-agama yang berbeda. Pilihan tentang model pendidikan iman, terutama untuk anak-anak yang dilahirkan di dalamnya, sepantasnya diserahkan kepada kebijaksanaan pasangan sesuai dengan kesanggupan untuk menjalankan dan menanggung semua risiko yang muncul darinya. Yang paling utama dan terutama adalah tumbuhnya pribadi-pribadi beriman di dalam keluarga, yakni pribadi-pribadi yang sanggup untuk senantiasa tunduk kepada Allah, konsisten menjalani nilai-nilai religius dasar yang menumbuhkan hormat kepada kemanusiaan dan sanggup hidup bergembira penuh kedamaian di dalam perbedaan-perbedaan. 

Keluarga-keluarga dengan perkawinan disparitas cultus justru menjadi kesempatan istimewa untuk saling mendidik dan saling belajar dalam hal iman. Dalam keluarga ini ada banyak kesempatan dan ruang untuk saling berbagi pemahaman tentang perbedaan yang ada, termasuk perbedaan-perbedaan yang paling krusial tanpa kehilangan rasa hormat, kasih sayang dan pembelaan (pro-eksistensi). Keluarga-keluarga disparitas cultus mengundang pribadi-pribadi di dalamnya untuk terus-menerus mengasah kerendahan hati dan keterbukaan serta kesanggupan mendalam untuk mengagumi nilai-nilai yang tersembunyi di dalam setiap perbedaan, sanggup membaca (iqra) tanda-tanda kehadiran dan keagungan Tuhan di dalam diri setiap pribadi, yang pada gilirannya semakin menumbuhkan kasih dan sayang satu sama lain. 

Proses saling belajar dan saling mendidik diri ini, ketika sudah menjadi gaya hidup harian, pada gilirannya akan membawa setiap pribadi dalam keluarga itu kepada kerendahan hati dan keterbukaan religius bahwa setiap pribadi dan setiap manusia memiliki pengalaman yang unik tentang Tuhan. Oleh karena itu ia juga akan sampai kepada pemahaman bahwa setiap agama pun demikian juga, masing-masing memiliki pengalaman yang unik tentang Tuhan, dan tak ada satu pun yang dapat mengungkapkan keseluruhan misteri ketuhanan itu dalam kesempurnaan. Tak ada kebenaran obyektif dan sempurna tentang Tuhan yang musti dianut oleh semua manusia, karena Tuhan senantiasa transenden terhadap semua keterbatasan manusia dan semua kategori. Dengan demikian, pendakuan atau chauvinisme agama yang mengorbankan agama orang lain tak dapat diterima. Masing-masing orang dan agama-agama menyadari keterbatasan dan relativitas dirinya di hadapan Tuhan. 

Kerendahan hati dan keterbukaan religius (iman) ini justru akan berdampak kepada saling hormat, tak memegahkan diri dan tidak sombong, dan membawa kepada pertumbuhan rohani yang mendalam, mendamaikan dan membahagiakan. 


Patriarkhy, Tantangan Hidup Berkeluarga Lintas Agama

Pengalaman hidup berkeluarga di masyarakat Indonesia menunjukkan bahwa tantangan nyata yang masih dihadapi oleh semua keluarga adalah patriarkhy, yakni kerangka berpikir bawah sadar yang memengaruhi seluruh jaringan hidup berkeluarga (pasangan suami-istri, mertua, keluarga dekat, keluarga besar, dan lingkungan tetangga). Dari hal-hal yang paling serius seperti menghadapi pilihan-pilihan sulit yang membutuhkan otonomi pribadi sampai kepada hal-hal remeh temeh soal penggunaan "kendhit" pasca melahirkan bagi perempuan, kerangka pikir patriarkhy senantiasa menyusup di dalamnya. Dalam kenyataan ini, perempuan cenderung menjadi prioritas korban. 

Kerangka berpikir patriarkhy juga menjadi penghalang utama bagi kebeneningan melihat atau menganalisis persoalan/krisis yang kadang-kadang dihadapi oleh pasangan. Dalam situasi-situasi krisis, perempuan cenderung menjadi subyek yang ditempatkan sebagai penyebab. Dalam situasi-situasi semacam itu, pihak laki-laki sebagai pihak yang cenderung diuntungkan, memiliki tantangan dan undangan untuk menghadirkan prinsip-prinsip pro-eksistensi bagi pasangannya, terutama ketika harus berhadapan dengan keluarga dekat pihak laki-laki (ibu, bibi, sepupu perempuan dan sebagainya). Tantangan patriarkhy ini menjadi lebih berat justru ketika kerangka berpikir patriarkhy itu justru dihidupi dan dihayati oleh kaum perempuan dalam jaringan keluarga. 

Dalam kenyataan semacam ini, hidup berkeluarga, terutama bagi pasangan jaman sekarang, semakin menjadi kesempatan untuk menjalankan edukasi baik bagi diri mereka sendiri maupun bagi keluarga dekat dan keluarga besar di sekitarnya, maupun kepada keluarga-keluarga lain yang berelasi dengannya. Meskipun gerakan kesadaran tentang keadilan relasi gender sudah berkembang di banyak tempat, pada kenyataannya, nalar patriarkhy masih bersemayam di dalam bawah sadar keluarga-keluarga. Ini merupakan tantangan iman yang nyata bagi keluarga-keluarga. Disebut sebagai tantangan beriman dalam keluarga karena patriarkhy pada dirinya sendiri merupakan ketidakadilan. Karena keluarga adalah partnership atau kemitraan yang setara di hadapan Allah, yang dipanggil untuk bertumbuh dalam kebebasan dan kasih sayang, maka ketidakadilan merupakan halangan yang besar dan pantas diselesaikan. Patriarkhy di dalam hidup berkeluarga merupakan bagian dari struktur dosa yang mengancam pertumbuhan pribadi dan kasih sayang. 

Dokumen 153-157 yang berbicara tentang Kekerasan dan Manipulasi, yang secara agak sempit berbicara tentang seksualitas, jika diperdalam sampai kepada dasar kerangka berpikirnya, ia berbicara tentang kritik dan kewaaspadaan terhadap patriarkhy. Masih dibutuhkan konsistensi berpikir, bersikap dan bertindak yang lebih besar terkait persoalan ini baik dalam tubuh Gereja Katolik maupun Agama-Agama lain pada umumnya. 


Wednesday, January 12, 2022

Orang Majus: Pergulatan Membaca Tanda

 


Oleh Indro Suprobo

Kisah orang majus dari Timur yang mengunjungi kanak-kanak Yesus (Matius 2:1-12) merupakan kisah yang khas dalam Injil Matius, dan tak ditemukan dalam narasi Injil yang lain. Dari sisi struktur, kisah ini merupakan bagian dari prolog Injil Matius yang mencerminkan sebagian konteks sekaligus konstruksi wacana teologis penulis Injil.

Ditulis sekitar tahun 70 M, Injil Matius mencerminkan situasi jemaat pada masa itu, yang mulai memiliki keunikan cara hidup dan semakin terbedakan dari tradisi Yudaisme. Pantas diakui, Injil Matius juga mencerminkan situasi polemik antara jemaat Kristen awal dan orang-orang Yahudi pada masa itu.[1] Dalam konteks polemik yang menantang itu, kisah orang Majus dari Timur memiliki peran dan pesan penting. Di satu sisi ia merupakan sarana untuk secara jelas menggambarkan dan membela keistimewaan Yesus, namun di sisi lain ia merupakan sarana untuk meneguhkan orang-orang Yahudi yang telah menjadi kristen agar tidak goyah terhadap keyakinan barunya, dan agar memiliki landasan legitimatif dalam cara berpikirnya, sehingga pilihan untuk percaya kepada Yesus itu merupakan pilihan yang berkualitas dan bertanggung jawab. Injil Matius tidak menyediakan informasi detail tentang siapa sebenarnya yang disebut sebagai orang Majus dari Timur itu, berapa jumlah orang Majus yang mengunjungi Yesus, bagaimana dan kapan mereka mengunjungi kanak-kanak Yesus, apakah mereka bersama-sama berkunjung sebagai satu rombongan ataukah mereka datang sendiri-sendiri secara bergantian, dari wilayah mana saja persisnya mereka datang, dan sebagainya. Selain itu, fakta historis tentang peristiwa seperti dinarasikan dalam kisah ini juga menjadi perdebatan karena banyak ahli sejarah yang dianggap kompeten seperti Flavius Yosephus sama sekali tak memiliki catatan tentang hal ini. Meskipun demikian, kisah ini menarik untuk direfleksikan sebagai bahan pembelajaran. Penulis cenderung melihat kisah ini sebagai narasi metaforis-mitologis yang tidak mencerminkan fakta historis namun secara kultural berfungsi sebagai sarana untuk membangun sebuah kerangka pemaknaan yang khas tentang siapakah Yesus bagi penulis Injil. Penulis lebih melihat kisah ini sebagai mitos yang di dalamnya mengandung sebuah kerangka berpikir jamannya, yang tetap menarik untuk dikaji dan dipahami. 

Jika dikaitkan dengan kisah infantisida, pembunuhan kanak-kanak oleh Herodes, yang dinarasikan dalam perikop berikutnya (Mat 2:13-18) secara sederhana kisah ini hendak menyatakan dua hal pokok. Pertama, Yesus adalah Musa baru (yang diselamatkan dari pembunuhan anak-anak), yang bahkan membuat orang-orang Majus dari negeri yang jauh dan asing pun, yang bukan orang Yahudi, hadir untuk menghormatinya. Penempatan Yesus sebagai Musa baru ini merupakan pemaknaan alegoris oleh penulis Injil yang di satu sisi menunjukkan kelanjutan dari karya keselamatan Allah dalam Perjanjian Lama (continuity) dan di sisi lain menunjukkan kebaharuan, perbedaan dan tentu saja keunggulan Yesus (discontinuity). Sementara itu, kehadiran orang Majus dari Timur ini berfungsi juga untuk menunjukkan nada universalitas keselamatan, bahwa keselamatan itu bukan hanya untuk orang Yahudi, melainkan juga untuk seluruh bangsa. Kedua, kualitas kemajusan mereka telah menjadikan mereka sanggup mengenali, menerima, menemukan dan menghormati Yesus sebagai pribadi yang bernilai. Maka siapapun dia, entah orang Yahudi entah bukan Yahudi, jika memiliki kualitas kemajusan, ia akan sanggup mengenali dan menemukan kehadiran pribadi yang bernilai dalam kehidupan. 

Tulisan reflektif ini tidak berfokus kepada kristologi Injil Matius, melainkan lebih memperhatikan aspek kemajusan yang secara figuratif menyediakan beberapa pembelajaran menarik. 

Pertama, di antara beragam pemaknaan tentang orang Majus, penulis cenderung memilih pengertian orang Majus dalam karakternya yang paling substansial dan fundamental, yakni sebagai orang-orang yang memiliki kecintaan terhadap proses belajar terus-menerus demi memperluas dan memperdalam wawasan sebagai sarana fundamental untuk lebih sanggup memahami, mendengarkan, mencermati, dan mengenali apa yang penting, yang baik, yang indah, yang luhur, yang adil dan yang bermanfaat dalam kehidupan. Pengertian ini dapat disandingkan dengan istilah "para pecinta ilmu, para santri, kaum pembelajar, learning people". Jika Gereja ditempatkan dalam kategori pengertian ini, maka ia akan disebut sebagai "ecclesia discent" (Gereja yang belajar). Dalam hal ini, wawasan itu dapat bersifat intelektual maupun spiritual-religius, yang oleh Mgr. J. Pujasumarta, Pr (alm) dirumuskan sebagai spiritualitas integral. 

Kecintaan untuk belajar terus-menerus ini merupakan gerak dinamis di dalam diri seseorang yang tidak lahir secara natural melainkan merupakan hasil dari pembelajaran dan pembiasaan yang panjang. Ia merupakan buah dari habitus, dalam arti selain merupakan hasil pembiasaan sekaligus juga merupakan hasil dari pilihan yang membedakan (distinctive) dari jenis pilihan lain. Ini merupakan gerak yang harus dilatih dan ditekuni setiap saat sehingga menjadi laku atau the way of life. Sungguh menarik, bahkan kecintaan untuk belajar pun harus dipelajari dan dilatihkan, serta dibiasakan...!!!

Kedua, orang majus adalah mereka yang dengan wawasan dan pengetahuan yang diperolehnya melalui kecintaan belajar itu, senantiasa berupaya untuk membaca tanda-tanda dalam kehidupan. Tanda selalu berisi dua elemen yakni penanda atau sesuatu yang menandakan, dan tinanda atau sesuatu lain yang ditandakan. Penanda itu bisa berupa apa saja, perkataan, ujaran, peristiwa, kecenderungan, kebiasaan, sikap, perilaku, kebijakan politik, konflik di tengah masyarakat, komentar di media, respon terhadap suatu peristiwa, dsb. Tinanda adalah apa yang kurang lebih menunjukkan isi, penjelasan, substansi, pengertian utama, maksud, kepentingan dasar, dinamika dari sesuatu yang menjadi penanda itu. 

Pergulatan untuk terus-menerus membaca relasi penanda dan tinanda di dalam kehidupan inilah yang menjadi panggilan dasar seorang yang memiliki kualias kemajusan. Seluruh pergulatan membaca tanda ini mengarah kepada pengenalan dan penemuan tentang apa yang mendasar dan penting, apa yang baik dan benar, apa yang indah dan mengagumkan di dalam kehidupan. Ini merupakan sebuah karakter keterbukaan, kesiapsediaan untuk menyelami dan melampaui. Sekaligus, ia menunjukkan karakter magis, menuju yang lebih. 

Mereka yang berada dalam panggilan kemajusan ini, pada umumnya memiliki sikap dan pandangan bahwa setiap orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah, setiap peristiwa dan pengalaman adalah materi pembelajaran. Ia senantiasa terbuka untuk mencari dan menemukan. Dalam kerangka spiritualitas, pergulatan membaca tanda ini diorientasikan untuk menemukan nilai-nilai fundamental dalam kehidupan yang memungkinkan manusia dapat menjalani dan mewarnai kehidupan menuju kepada pertumbuhan, perdamaian, kasih sayang, saling hormat, saling meneguhkan, kesetaraan, kemartabatan dan keadilan. 

Jika diimplementasikan di dalam teologi sosial, maka pergulatan membaca tanda ini juga memiliki keserupaan dengan seluruh pergulatan analisis sosio-kultural-struktural yang berorientasi kepada menemukan nilai spiritualitas dasar manakah yang pantas dan semestinya ditegakkan dalam situasi kontekstual itu. 

Ketiga, orang-orang majus adalah orang-orang yang pada akhirnya akan senantiasa bersikap kritis terhadap jebakan-jebakan ideologis yang tersebar di dalam kehidupan. Mimpi yang mengingatkan para majus untuk tidak kembali kepada Herodes adalah simbolisasi tentang sikap kritis terhadap ideologi politik dan kekuasaan yang seringkali menyembunyikan kepentingan yang justru dapat menghancurkan kehidupan dan pertumbuhan kemanusiaan. Sikap kritis selalu diorientasikan kepada pertumbuhan kehidupan, mekarnya kemanusiaan, dan meluas serta mendalamnya kasih sayang. Sikap kritis semakin dibutuhkan terutama pada masa sekarang ini karena beragam ideologi itu bekerja secara sangat halus dan seringkali tak terdeteksi oleh pikiran dalam banyak aspek kehidupan. 

Keempat, pilihan orang-orang Majus untuk tidak kembali kepada Herodes, selain merupakan sikap kritis, juga merupakan pilihan keberpihakan. Kemajusan menghantar kepada keberpihakan terhadap yang rentan, yang terancam kematian dan kehancuran kemanusiaan. Kemajusan mengarahkan kepada keberpihakan terhadap segala yang memungkinkan pertumbuhan dan kehidupan.

Dengan demikian, kisah orang majus ini dapat menjadi kisah yang mengundang kita untuk senantiasa membangun kualitas dan kedalaman kita sebagai orang-orang yang mencintai proses belajar terus-menerus, agar semakin memiliki kesanggupan untuk bertekun dan setia dalam pergulatan membaca tanda-tanda dalam kehidupan, disertai sikap kritis dan pengambilan jarak, sehingga semakin dapat menemukan nilai-nilai fundamental yang dibutuhkan dalam kehidupan bersama, yang pada gilirannya menjadi landasan bagi keberpihakan. Nilai-nilai fundamental seperti kebaikan, kebenaran, kasih sayang, kesetaraan, dan keadilan itulah yang akhirnya menjadi pegangan, acuan dan landasan bagi seluruh cara berpikir, bertutur kata, bersikap, dan bertindak di tengah kehidupan yang paling kontekstual. Proses ini berlangsung terus-menerus tanpa henti. 

Kualitas kemajusan yang kita jaga setiap saat akan menjadi sarana yang membantu kita untuk semakin sanggup menemukan apa yang benar-benar baik, indah, agung, memesona, luhur, penting, adil, menumbuhkan dan memekarkan kemanusiaan. Kesetiaan untuk menjagai kemajusan ini juga dapat menjadi sarana bagi kita agar dalam situasi apapun, dalam lingkungan apapun, nilai-nilai luhur dan fundamental yang diperjuangakan oleh para guru rohani sepanjang sejarah ini tak pernah hilang dan terlepas dari pertimbangan-pertimbangan dan pilihan kita. Bagi setiap orang dari beragam latar belakang keyakinan dan agama, nilai-nilai fundamental ini telah dijunjung tinggi dan diperjuangkan oleh para guru rohani mereka melalui perkataan maupun keteladanan. 

Akhirnya, kualitas kemajusan ini, yakni kecintaan untuk senantiasa belajar dan membuka diri, dapat membantu setiap manusia untuk mengenali dan menemukan segala yang baik dan indah, yang luhur dan yang adil, di dalam setiap komunitas kemanusiaan, di dalam keragaman kebudayaan, agama-agama, dan keyakinan-keyakinan leluhur,[2] yang pantas dikembangkan dalam kehidupan bersama.***

[1] Bdk. I. Suharyo, Pengantar Injil Sinoptik, Kanisius Yogyakarta, 1993, hlm. 77-82

[2] Bdk. Nostra Aetate artikel 2, dalam Dokumen Konsili II, Dokpen KWI dan Obor 1993, hlm. 310