Tuesday, December 26, 2006

Kabar Duka dari Mushala

Oleh Indro Suprobo 

Suatu pagi di hari Minggu pada bulan ramadhan yang lalu, dari mushala di seberang desa diberitakan sebuah kabar duka dalam bahasa Jawa. “Sampun kapundhut ing ngarsanipun Pangeran, ibu Fransisca Suhartini [bukan nama sebenarnya]….(Telah meninggal dunia, ibu Fransisca Suhartini)”. Setelah itu setiap mushala terdekat secara bergantian mengabarkan kembali berita duka itu kepada semua warganya. Begitulah kebiasaan di desa-desa kecil di wilayah padukuhan Dayakan, kelurahan Sardonoharjo, kecamatan Ngaglik, Sleman, Jogjakarta. 

Yang menarik untuk dicermati kemudian adalah peristiwa setelah berita duka itu. Dari corong mushala yang berada di desa wilayah almarhumah itu menetap, terdengar lantunan kidung-kidung requiem, kidung-kidung duka yang biasa dinyanyikan oleh para saudara yang beriman Kristen Katolik yang sekaligus menjadi doa peneguh jiwa bagi keluarga yang ditinggalkan dan ungkapan ketundukan kepada keagungan Tuhan dalam peristiwa-peristiwa besar kehidupan manusia. Kidung requiem itu dilantunkan selama kurang lebih satu jam. Tak lama kemudian, selama kurang lebih satu jam pula, terdengar dari corong mushala yang sama, lantunan ayat-ayat suci al-Quran yang biasa dilantunkan pada saat ada orang meninggal dunia. Tanpa banyak komando, orang-orang desa segera berbagi tugas, salah satunya adalah menggali makam. Sementara sebagian besar warga desa berdatangan untuk melayat, sekitar jam sepuluh pagi, di rumah duka diselenggarakan upacara ibadat gerejani yang dihadiri oleh jemaat Kristen Katolik dan dipimpin oleh pemimpin jemaat setempat yang disebut prodiakon. 

Pada saat upacara melepas jenasah di siang hari, seluruh warga desa dan perangkat desa berkumpul di rumah duka. Dalam sambutannya, bapak kepala Dusun menyatakan,”Saya sebagai kepala Dusun di sini, meminta dan memohon dengan hormat kepada saudara-saudara yang beriman kristiani untuk memimpin seluruh upacara pelepasan jenasah ini hingga selesai”. Dan terjadilah. Seluruh upacara pelepasan jenasah itu dilakukan dalam tata cara ibadat Kristen katolik dan dihadiri oleh semua warga desa dari semua agama dan kepercayaan. Kaum perempuan berjilbab, tua maupun muda, tampak sangat biasa dengan semua ini dan mengikuti upacara dengan penuh hormat dan kidmat. 

Kekerabatan sebagai yang utama 
Bagi mereka yang menaruh perhatian kepada tema pluralisme dan dialog agama-agama di tengah masyarakat, apa yang terjadi di padukuhan Dayakan ini merupakan sebuah peristiwa yang menarik dan unik. Di tengah terpaan berita tentang konflik dan kekerasan agama-agama di beberapa wilayah di Indonesia, dukuh Dayakan ini menampilkan wajah alternative yang menyejukkan. Yang lebih menarik lagi, dari cerita para tetangga diketahui bahwa ibu Fansiska Suhartini yang meninggal dunia itu, ternyata sangat biasa melakukan shalat tarawih bersama warga desa, meskipun ia adalah seorang perempuan beriman Kristen Katolik. Malam hari sebelum meninggal, ia sempat terjatuh setelah menjalankan shalat tarawih dan tidak sadarkan diri. Esok harinya, kabar duka itu bergema dari corong mushala dan kidung-kidung requiem serta lantunan ayat suci Al-Quran mengiringi kepergiannya. “Requiem aeternam….semoga beristirahat dalam keabadian..” 

Menurut cerita para tetangga pula, rumah tempat tinggal almarhumah sudah biasa digunakan baik untuk sembahyangan para jemaat Kristen katolik dalam berbagai macam bentuknya maupun untuk doa-doa dalam tatacara Islam seperti tahlilan, kenduri dan sebagainya. Semuanya berjalan baik dan banyak keluarga menikmatinya secara wajar dan tanpa prasangka. Peristiwa unik semacam ini bisa terjadi karena kekerabatan di antara warga desa masih sangat kental. Suasana komunitarian sangat mewarnai kehidupan sehari-hari. “Di desa ini, paseduluran atau persaudaraan merupakan hal yang lebih diutamakan daripada hal-hal lain seperti agama dan kepercayaan”, ungkap salah satu ketua RT dalam salah satu obrolan malam di pos ronda. Sapa-aruh atau tegur-sapa akrab dalam perjumpaan sehari-hari merupakan kebiasaan yang masih sangat mudah dijumpai. Panggilan akrab seperti pakdhe Giyanto, mbah Sis, kang Jumari dan Lik Suroto, sangat sering terdengar dalam pergaulan harian. Saling berbagi hasil panen ladang di antara warga juga masih sangat terjaga. 

Dalam suasana hidup yang mengutamakan kekerabatan, persaudaraan dan sifat-sifat komunitarian semacam ini, perbedaan agama dan kepercayaan tak lagi punya tempat untuk memecah belah dan menyulut konflik di antara warga. Agama dan kepercayaan, tidak termasuk dalam prioritas persyaratan hidup bersama warga masyarakat. Tegur sapa, kesediaan untuk terlibat dalam aktivitas gotong royong warga, kerelaan untuk ikut menjalankan ronda malam, keikhlasan untuk menyediakan uang jimpitan, kegembiraan yang dipancarkan dalam kehadiran pada saat muyen (berkunjung ketika ada kelahiran bayi), jagong manten (acara pernikahan), dan ketulusan untuk hadir dalam kenduri, justru merupakan hal-hal yang lebih utama dalam persyaratan hidup bersama antar warga. Prioritas kepada paguyuban warga ini dengan sendirinya telah menjadi alat sensor terhadap munculnya prasangka antar agama. 

Ketika ada anggota warga yang mencoba mempersoalkan isu-isu agama, yang bisa menimbulkan rusaknya rasa hormat terhadap perbedaan, ia akan segera mendapatkan kritik dan teguran dari warga lainnya. Jika kritik dan teguran itu tak dihiraukan juga, ia justru akan menerima sangsi social dalam berbagai macam bentuknya antara lain pendapat dan gagasannya tidak akan mendapat tempat di hati warga (dalam bahasa Jawa, “ora usah digubris”). Apabila yang mempersoalkan isu-isu agama itu adalah mereka yang berasal dari luar desa yang mempunyai fungsi sebagai pemuka agama, ia akan mendapatkan teguran dan kritik yang sama dari warga. Apabila kritik dan teguran itu tak juga dihiraukan, ia akan mendapatkan sangsi social dalam bentuk “tidak akan diundang lagi” untuk menjalankan fungsinya. Dalam kehidupan warga desa yang mengutamakan paguyuban dan persaudaraan ini, perbedaan-perbedaan agama telah diterima sebagai sebuah kewajaran kehidupan. Perbedaan adalah keniscayaan yang pantas dihormati, diterima dengan segala kearifan dan keikhlasan budi, dijalani dan dinikmati sebagai sebuah kebiasaan. 

Mushala sebagai pusat 
Meskipun agama tidak menjadi prioritas dalam persyaratan hidup bersama antar warga, mushala di desa itu tetap merupakan pusat kegiatan. Shalat berjamaah pada saat maghrib dan isya dijalankan secara rutin, pengajian malam jumat diselenggarakan secara terencana, panggilan adzan selalu bergema akrab di telinga, segala bentuk pengumuman dan berita disampaikan dari corong mushala, pertemuan remaja dan orang muda diselenggarakan dengan jadual yang tertata, obrolan tentang perbaikan parit dan jalan desa dilakukan sesuai kebutuhan. Semua itu terjadi di mushala desa. 

Karena tidak dipersempit semata-mata sebagai tempat aktivitas keagamamaan, melainkan sebagai pusat aktivitas seluruh dinamika warga yang meliputi aktivitas social dan cultural, mushala telah menjadi tempat yang diakrabi oleh seluruh warga desa apapun agamanya. Fungsi-fungsi social sebuah mushala yang berkait dengan paguyuban dan kekerabatan antar warga desa menjadi lebih mengemuka. Semua warga, apapun agamanya, merasa memiliki mushala itu sebagai bagian dari hidup hariannya, dan bukan sebagai sesuatu yang asing di luar dirinya. Kehadiran Mushala desa yang demikian ini pada gilirannya merupakan kehadiran yang membawa suasana damai, persaudaraan, saling memperhatikan, dan menandai kehidupan sebuah komunitas desa. Dalam bahasa keindahan, Mushala desa yang demikian ini barangkali boleh disebut sebagai “Mushala yang merangkul seribu hati”. 

Melawan Prasangka Agama 
Mushala desa yang mengabarkan berita duka itu merupakan potret dari perlawanan warga desa terhadap prasangka antar agama, karena ia menyuguhkan sebuah alternative sekaligus kritik atas fenomena mainstream relasi agama-agama di Indonesia. Selama sekian lamanya, masyarakat Indonesia hidup dalam carut-marut prasangka. Pergaulan antar agama selalu berada dalam suasana rentan, mudah terpecah, mudah disulut kemarahan dan kekerasan, dan cenderung saling curiga. 

Penanaman prasangka terjadi melalui berbagai cara, di berbagai tempat, bahkan sampai merasuk dalam unit-unit keluarga. Prasangka antar agama bertumbuh subur karena disemai oleh perasaan superioritas satu sama lain. Rasa superior ini telah menutup banyak pintu bagi suasana saling belajar, usaha mengenali secara lebih dekat, dan menjalin komunikasi secara lebih akrab. Akibatnya, perbedaan-perbedaan tak pernah terpahami, pengalaman dari yang lain tak pernah terselami, dan segala bentuk relasi tak pernah tersusun dari ketulusan hati. 

Di tengah situasi seperti ini, syair requiem yang dikidungkan dari corong Mushala, telah mendobrak kebekuan relasi agama-agama yang diwarnai prasangka. Seolah-olah ia hendak berkata-kata,”Wahai dengarlah, kami menyeru kepada Dia yang sama dalam bahasa yang beragam rupa”

Suatu pagi di hari Minggu, pada bulan Ramadhan yang lalu, kabar duka dari Mushala telah menjadi bukti nyata bahwa kearifan komunitas-komunitas desa telah mampu mengelola relasi agama-agama dalam damai yang didamba, dalam hormat setulus hati dan dengan ikhlas di kedalaman sanubari. Semoga semakin banyak mushala dan tempat ibadah lain sejenisnya, semakin mampu merangkul sebanyak mungkin hati. 


Hari gini tak punya Tivi?

Oleh Indro Suprobo Kisah awal Perbincangan anak-anak desa di teras rumah sore itu ramai sekali. Hamid, Ayuk, Aji, Abid, Sunca dan Ibra saling berkomentar tentang Jathilan yang baru saja mereka tonton malam kemarin. Kecuali Ibra yang baru berumur 4 tahun dan belajar di playgroup, anak yang lain sudah sekolah di SD sebelah desa. “Eh, aku punya kendang lho. Aku ambil ya. Nanti mas Hamid yang menabuh ya”, kata Ibra mengajukan usul. “Iya, ayo diambil. Nanti Ayuk yang joged ya”, sambung Hamid Lalu terdengarlah suara ketipang-ketipung kendang, diiringi beragam bunyian dari kaleng bekas cat, potongan bamboo, dan mulut-mulut yang menirukan alat musik. Si Ayuk menjoged, menjejak-jejakkan kaki kanannya ke tanah sambil mulutnya bersuara “Cring-cring, cring-cring” menirukan bunyi kelintingan yang biasa dipasang di kaki para penari Jathilan. Seluruh keasyikan anak-anak ini berakhir setelah adzan maghrib dilantunkan oleh takmir. Mereka segera pulang ke rumah masing-masing dan bergegas menuju mushala desa. Cerita kecil ini merupakan kisah nyata yang masih tersisa di sebuah desa di pinggiran utara Jogjakarta. Barangkali, kisah-kisah semacam ini sudah semakin sedikit jumlahnya karena ruang-ruang bermain, beraktivitas bersama, bertukar imajinasi dan berbagi kreativitas di antara anak-anak telah semakin tergusur oleh salah satu bentuk kemajuan teknologi yakni televisi. Aktivitas anak-anak yang sangat dinamis ini, semakin lama semakin terpinggirkan dan digantikan oleh aktivitas baru yakni menonton TV. Bagi sebagian besar orang jaman sekarang, kehadiran TV di dalam rumah seakan-akan sudah merupakan keharusan yang tak boleh ditawar lagi. Kalau sebuah rumah tak memiliki TV, barangkali orang akan berkomentar,”Hari gini kok tidak punya televisi”. Tidak adanya TV di dalam rumah, sudah hampir menjadi hal aneh bagi kehidupan kebanyakan orang jaman sekarang. Pilihan alternatif Ada sebagian kecil orang yang memilih untuk tidak memiliki TV di rumahnya. Beragam alasan melatarbelakangi pilihan ini, salah satunya adalah agar memiliki kesempatan lebih banyak untuk ngobrol bersama anggota keluarga. Mereka yang memilih untuk tidak memiliki TV di rumah tentu saja tidak selalu sama dengan orang yang anti TV. Secara lebih tepat, orang-orang yang memilih untuk tidak memiliki TV di rumah adalah orang-orang yang secara sengaja hendak mengambil jarak terhadap kotak ajaib symbol kemajuan teknologi ini. Pilihan semacam ini termasuk pilihan alternatif. Tanpa mengabaikan manfaat besar yang bisa dipetik dari kehadiran televisi, mereka yang berada dalam kelompok ini pada umumnya sangat menyadari bahwa televise memiliki kecenderungan besar untuk menyerap seluruh perhatian dan energi anggota keluarga yang menontonnya. Masing-masing anggota diserap oleh tontonan yang sedang berlangsung, sehingga relasi individual antara penonton dan tayangan televise itu jauh lebih besar porsinya daripada relasi personal antar anggota yang sedang bersama-sama menonton. Akibatnya, dialog yang terjadi adalah dialog antara televise yang sedang menyampaikan pesan dan penonton yang sedang menyerap pesan dengan segala dinamikanya (confirmative maupun oppositional). Mereka yang memilih untuk tidak memiliki TV di dalam rumahnya, biasanya memiliki kegandrungan lebih besar terhadap pola relasi dialog yang melibatkan lebih banyak pihak. Misalnya dialog yang terjadi antara ayah, ibu dan anak. Dialog yang semacam ini dirasa lebih memberikan makna daripada aktivitas menonton televisi yang menyerap perhatian dan energi mereka. Memperluas ruang bercerita Bagi mereka yang telah memilih untuk tidak memiliki TV di rumahnya meskipun sebenarnya mampu membelinya, telah terasa betapa ruang untuk bercerita dalam keluarga menjadi lebih luas. Ada lebih banyak waktu dalam keluarga yang bisa dimanfaatkan untuk bercerita antara suami dan istri, antara anak dan orang tua, maupun antara anak-anak sendiri. Terbukanya ruang yang lebih luas untuk bercerita ini ternyata sebanding dengan perkembangan kemampuan anak untuk mengungkapkan dirinya. Anak-anak yang terbiasa menikmati ruang luas semacam ini menjadi lebih terbiasa untuk menguraikan gagasan, memaparkan pendapat, menggambarkan imajinasi, menciptakan detail-detail dalam cerita pengalaman, menciptakan perluasan kisah yang kreatif dan semuanya itu merupakan sebuah proses yang sangat produktif. Anak-anak yang terbiasa dengan hal-hal demikian, menjadi lebih terbiasa pula untuk memproduksi pikiran yang orisinil dan kreatif. Karena terbiasa untuk bercerita dan didengarkan, anak menjadi terbiasa pula untuk mengajukan pertanyaan berkaitan dengan hal-hal yang ingin diketahuinya atau yang menimbulkan rasa heran baginya. Pertanyaan atau jawaban yang diajukan seringkali juga menantang orang dewasa untuk berpikir keras menemukan jawaban atau tanggapan. Ibra yang baru berumur sekitar 4 tahun dan tak pernah nonton televise itu suatu kali bertanya kepada kakak pendamping di playgroupnya yang sedang hamil sangat muda. “Katanya di dalam perut Kak Tuti ada adiknya, kok perutnya tidak besar? Mana adiknya?” “Adiknya masih kecil sekali, jadi perutnya juga masih kecil, tapi sudah ada adiknya di dalam perut”, jawab kakak pendamping. “Ooo…itu berarti adiknya masih sel”, komentar si Ibra kemudian. Kakak-kakak pendampingnya terkaget-kaget dengan komentar itu dan akhirnya tertawa dan hanya bisa mengiyakan. “Ya, ya, betul, masih sel”. Pada kesempatan lain, ketika sedang dimandikan oleh kakak pendamping di playgroupnya, si Ibra bertanya “Kak, kenapa kok busa sabunnya berwarna putih?” Tanpa berpikir serius kakak pendampingnya menjawab sekenanya,”Karena sabunnya berwarna putih” “kalau sabunnya berwarna merah, apakah busanya juga berwarna merah?” tanpa Ibra penasaran “Kalau sabunnya berwarna merah, busanya tetap berwarna putih”, jawab kakak pendamping mulai serius berpikir. “Kenapa kok busanya berwarna putih?” tanya Ibra lebih heran lagi. Karena tak mampu menjawab pertanyaan itu, dan butuh jawaban yang serius, akhirnya kakak pendamping itu menyerah dan terpaksa menjawab,”Nanti kamu tanyakan kepada ayah dan ibumu ya” Buku sebagai media alternatif Tanya jawab dan komentar yang demikian ini terjadi karena si Ibra yang tak pernah menonton TV itu lebih akrab dengan buku-buku cerita baik yang fiksi maupun yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan alam dasar seperti dunia binatang, dunia tumbuhan, pengetahuan dasar tentang tubuh manusia dan sebagainya. Bersama dengan orangtuanya, ia lebih terbiasa bercerita dan mendengarkan cerita dari buku tentang perbedaan antara kupu-kupu dan ngengat, tentang mengapa ada serangga yang memiliki belalai panjang dan ada serangga yang memiliki belalai pendek bahkan ada yang tak punya belalai, Karena tak ada TV di rumah, ia lebih terbiasa mendengarkan orangtuanya bercerita tentang bagian-bagian tubuh manusia sambil memperlihatkan gambarnya yang bagus, menggambar sendiri bagian-bagian yang menarik perhatiannya sambil menceritakan ulang nama dan fungsi bagian itu secara sederhana dan mendasar. Semua buku cerita dan buku pengetahuan umum dasar itu disampaikan kepada anak-anak dalam dunia bermain, sambil bermain, dan dinikmati sebagai sebuah permainan yang menggembirakan. Dengan demikian semua itu menimbulkan kesan bagi anak dan membantunya untuk mengingat-ingat dan suatu saat ia bisa menceritakan ulang semua yang berkesan baginya itu kepada orang lain. Beberapa orang yang memilih untuk tidak memiliki TV di rumah, memiliki harapan agar mereka memiliki kesempatan yang lebih untuk menamani anak dalam berakrab-ria dengan buku dan bacaan yang dibutuhkan bagi pertumbuhannya. Harapan lebih jauh adalah bahwa kalau anak sudah terbiasa bercerita, merangkai gagasan dan pikiran secara runtut dan penuh dengan bunga kegembiraan, pada saatnya, ia akan lebih mudah untuk ditemani dalam proses menuliskan seluruh gagasan dan imajinasinya. Kisah akhir Pada suatu malam menjelang tidur, ketika seorang ayah hendak mendongeng sebagai pengantar tidur, anaknya menolak dan mengatakan, “Sekarang ayah diam. Aku mau bercerita tentang bis kota. Dengerin ya”. Lalu si anak bercerita panjang sekali sampai akhirnya baik si anak maupun si ayah terlelap oleh dongeng yang diceritakan itu. Setelah sekian tahun si ayah terbiasa mendongeng kepada anaknya, sekarang ia tak perlu repot lagi karena si anak telah mampu mendongeng sendiri dan mendongeng untuk ayahnya juga. Selebihnya, waktu-waktu bersama dalam keluarga menjadi saat-saat yang penuh kesegaran, dialog, tanya jawab, tawa bersama, dan terlalu berharga untuk dipinggirkan demi sebuah kehadiran kotak ajaib di dalam rumah. Sumber: www.parasindonesia.com, 22 Des 2006

Manusia Yesus

Oleh Indro Suprobo Di pengasingan yang sunyi dia terlahir. Tersingkir dari kebisingan pertikaian kuasa. Dalam sunyi pula dia dibesarkan Dan saat memasuki kebisingan kerumunan dunia Dia telah mampu membacanya dari kebeningan sunyinya Untuk melawan segala kelicikan manusia dan menjadi kawan bagi mereka yang tersingkir oleh kuasa Kelahiran Yesus adalah tanda reinkarnasi komitmen dalam sejarah kemanusiaan. Masa kanak-kanak telah mendidiknya untuk menjadi akrab dengan pengalaman ketersingkiran, pengasingan, penolakan, ketidakpedulian, kesewenangan, kemiskinan dan penghinaan. Beruntunglah bahwa kedua orangtuanya, Maria dan Yusup, adalah orang-orang yang memiliki komitmen besar terhadap kehidupan. Mereka menyuguhkan cinta, kasih sayang, perhatian, ketulusan, kejujuran, martabat, pengertian, dan rasa hormat dalam keseharian yang detailnya tak sempat terdokumentasi oleh kitab manapun, namun terbaca jelas dalam keseharian Yesus pada masa hidupnya kemudian. Dengan demikian, pengalaman negative kehidupan tak mampu merusak kepribadiannya karena kedua orangtuanya telah sanggup menemani dalam mengolah, mencerna dan memaknai semua itu menjadi kekuatan besar bagi pertumbuhan jiwanya. Keakraban dengan pengalaman negative kemanusiaan, yang dilengkapi oleh pendidikan tentang keutamaan-keutamaan hidup dalam keluarganya, telah menjadi ladang subur bagi tumbuh dan berkembangnya komitmen kemanusiaan dalam diri Yesus. Pergaulannya dengan kehidupan masyarakat sehari-hari telah mengajarinya untuk mengerti apa dan bagaimana ketidakadilan itu terjadi. Sementara aneka ragam kebiasaan bersama kedua orangtuanya dalam keluarga, telah mendidiknya untuk memahami apa dan bagaimana harkat-martabat manusia sepantasnya dijunjung tinggi. Visi yang melawan Yesus adalah seutuhnya manusia seperti orang-orang pada jamannya. Sesuai dengan konteks hidupnya, ia hadir dalam seluruh kewajaran kemanusiaan. Ia makan roti, minum air atau anggur, mengenakan pakaian, gelisah oleh berbagai macam pertanyaan, merasa marah melihat ketidakadilan di depan mata, geram terhadap kelicikan-kelicikan, bersedih oleh pengalaman penderitaan, bersyukur atas segala pengalaman bahagia, dan tertawa karena penghiburan-penghiburan sederhana. Yesus adalah manusia yang beriman juga. Dalam keimanan itulah, barangkali ia berbeda dengan orang-orang pada jamannya. Kedalaman hidup rohani dan spiritual inilah yang membuatnya unik dan dihormati, dan pada masa berikutnya terhitung sebagai salah satu di antara para nabi dalam sejarah kehidupan manusia. Keutuhan kemanusiaan dan kedalaman spiritual telah menuntun perjalanan hidup Yesus kepada kesanggupan menghadirkan visi baru bagi kehidupan. Ketika menyatakan kepada orang-orang sejamannya bahwa Allah adalah Bapa (Abba), pada saat itu pula Ia menawarkan sebuah komitmen kemanusiaan yang sangat radikal. Dalam konteks struktur social dan kebudayaan masa itu, pernyataan Allah adalah Bapa (Abba) merupakan pernyataan perlawanan terhadap kenyataan ketidakadilan yang meluas dan menggelisahkan jiwanya. Ketika Allah dinyatakan sebagai Bapa (Abba), maka setiap manusia adalah anak-anak Allah yang memiliki harkat dan martabat yang sama. Dalam kerangka itu, segala bentuk ketidakadilan, penyingkiran, peminggiran dan pemiskinan kemanusiaan tak lagi memiliki landasan pijaknya. Pernyataan Yesus ini tentu saja tidak pada tempatnya untuk dipahami dalam pengertian denotative biologis, melainkan dimaknai dalam pengertian konotatif spiritual. Konsistensi yang menawan Pilihan Yesus untuk menjadi kawan bagi mereka yang tersingkir dan terpinggirkan dalam kehidupan social-kultural, merupakan wujud dari konsistensi dirinya untuk berkomitmen kepada keadilan dan martabat kemanusiaan. Ia berusaha menolong mereka yang sakit namun tak punya akses terhadap layanan kesehatan. Ia menghormati kaum perempuan dan anak-anak yang hak-haknya terabaikan oleh struktur social dan budaya pada masanya. Ia bergaul dan berkomunitas dengan orang-orang yang mendapatkan stigma dalam kehidupan social dan dengan demikian merehabilitasi hidupnya. Tak segan-segan ia melontarkan kritik tajam kepada mereka yang memanipulasi kedudukan dan kuasa. Semuanya itu dilakukan bukan dalam kemegahan tempik sorai para pengagum, melainkan dijalankan dalam kewajaran keutuhan kemanusiaannya yang mengalir dari kebeningan, keikhlasan dan ketundukan sebagai manusia beriman. Sebagai manusia seutuhnya, tentu saja Yesus tidak luput dari pergulatan batin dalam seluruh proses untuk setia kepada visi dan komitmen dirinya atas kemanusiaan. Ancaman dan terror sebagai akibat dari kata-kata, cara berpikir dan tindakannya, tentu dihadapinya pula, dan ada kalanya semua itu menimbulkan kegentaran hebat dan kekhawatiran. Sebagai manusia, sudah selayaknya apabila ia mempertimbangkan resiko-resiko dari pilihan hidupnya dan senantiasa belajar setia untuk menanggungnya. Sampai akhir hidupnya, Ia telah menunjukkan kepada orang-orang sejaman dan komunitas pendukungnya, sebuah konsistensi pilihan yang menawan. Inspirasi Profetis Manusia Yesus yang peristiwa kelahirannya diperingati pada hari natal, merupakan sumber inspirasi bagi seluruh umat kristiani untuk mereinkarnasi komitmen radikal bagi terbangunnya martabat kemanusiaan. Komitmen manusia Yesus tentulah menjadi komitmen manusia Kristen seluruh dunia. Tantangannya dalam kehidupan dunia sekarang ini sangatlah nyata. Lonceng natal yang berdentang di seluruh penjuru dunia, merupakan panggilan dan peringatan untuk terus berjerih payah mengambil pilihan menjadi kawan bagi saudara yang terpinggirkan, menghormati hak-hak perempuan yang masih cenderung terabaikan, bergaul dan berkomunitas dengan saudara-saudara yang masih menanggung stigma dalam kehidupan social, menyelenggarakan pendidikan murah bagi semakin banyak anak yang tak sanggup membayar, mendahulukan pelayanan kesehatan istimewa kepada lebih banyak orang yang memiliki keterbatasan kesanggupan membiayai diri mereka, dan membongkar segala macam prasangka antar kelompok yang cenderung melahirkan ketidakadilan, Sebagaimana manusia Yesus dilahirkan dalam kesunyian pengasingan, maka kegembiraan perayaan natal sudah semestinya tidak mengabaikan kesedihan, kesulitan hidup dan derita yang sangat nyata di sekitarnya. Dengan demikian, peringatan kelahiran manusia Yesus menjadi jalan menuju kebeningan hati yang semakin menumbuhkan keutuhan kemanusiaan umat kristiani dan menjagai konsistensi dalam mewujudkan visi keadilan bagi kehidupan. Selamat Natal, terutama buat saudara-saudari yang sedang prihatin

Thursday, November 30, 2006

KATETE (Keluarga Tanpa Televisi)

Indro Suprobo Nuansa Pagi…. Pagi itu, begitu bangun dari tidurnya, si Enthung, anak yang baru berumur sekitar 4 tahun langsung menuju ke dapur di mana ayah dan ibunya lagi asyik meracik masakan bahan sarapan. “Hai kalian semua. Selamat pagi!”, begitu sapaannya kepada ayah dan ibunya. Terbiasa dengan suasana egaliter dalam keluarga, si anak pun terbiasa menyapa kedua orangtuanya dengan sebutan “kalian”, atau “kamu”, “aku” dan sejenisnya. Dengan penuh girang ayah dan ibunya membalas “Hai, selamat pagi juga enthung-enthungku”. “Kalian sedang memasak makanan buat aku ya?” lanjutnya ramah “Iya dong, sayang. Ini makanan buat kita semua, supaya sehat”, jawab ibunya. Sebentar si Enthung melihat-lihat bayam, wortel, bawang, kunci, tomat, laos, daun salam dan garam yang sudah siap untuk diolah. Pagi itu, keluarga kecil ini hendak memasak “Bayam yang dibrambang salam”. Makanan sejenis sup tetapi bumbunya tidak “diuleg” melainkan dipotong kecil-kecil lalu direbus. Setelah mendidih, wortel dan bayam dimasukkan kemudian. Segar dan kemepyar. “Ayah, apakah kamu mau menemaniku ke sana?”, tanyanya sambil menunjuk ruang tamu. “Mau. Kamu mau apa di sana?”, jawab ayahnya sambil bertanya balik. “Aku mau didongengi Opi’s”, jawabnya singkat. Ayahnya segera mengikuti si Enthung dari belakang dan menuju ke ruang tamu. Di ruang tamu Enthung duduk di kursi panjang sementara ayahnya duduk di sebelahnya dan membacakan salah satu dari buku dongeng yang bertumpuk-tumpuk di bawah meja tamu. “Opi’s on the airplane” adalah salah satu judul buku dongeng anak berbahasa Inggris yang berkisah tentang pengalaman Opi naik pesawat terbang ketika mengunjungi pamannya di kota lain. “Opi’s on the airplane. Opi naik pesawat terbang”, begitulah ayahnya mulai membaca buku dongeng itu sambil menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Enthung asyik mendengarkan sambil melihat gambar dalam buku itu. Sesekali ia mengajukan pertanyaan. Sesekali ia menyela dengan cerita kecil tentang detail lampu pesawat. Ketika si Enthung menyela dengan cerita tentang detail lampu pesawat, ayahnya kadang-kadang mengajukan pertanyaan lanjut yang langsung dijawab juga oleh si Enthung. Pagi itu, ayah dan anak mengobrol tentang pesawat terbang, berimaginasi, memperluas dongeng dengan cerita tambahan sendiri dan saling mengajukan pertanyaan serta jawaban. Ini hanyalah sepenggal cerita kecil di pagi hari dari sebuah keluarga yang tidak memiliki televisi di rumahnya. Hari Gini Tak punya televisi? Ya, benar. Keluarga kecil ini tak memiliki televisi di rumahnya. Mereka memang memilih untuk tidak memilikinya bukan karena anti kepada televisi melainkan karena ingin mendidik anaknya untuk lebih menggandrungi buku dan aktivitas bercerita lisan. Sesekali, ketika sedang berkunjung ke rumah keluarga, si enthung bisa menonton film anak-anak seperti Dora the explorer, namun begitu film selesai, ayah dan ibunya mengajaknya ngobrol tentang film itu atau melakukan aktivitas lainnya. Pilihan untuk tak memiliki televisi pada jaman sekarang barangkali oleh sebagian besar orang dianggap sebagai hal yang aneh atau tidak wajar. Maklumlah, bagi hampir setiap keluarga, TV sudah merupakan barang murah yang wajib dimiliki dan ditonton sebanyak mungkin waktu. Kebutuhan untuk menonton televisi seolah-olah sudah merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi dan ketika kebutuhan itu tak terpenuhi, seolah-olah dunia menjadi begitu sepi dan menjemukan. Sebaliknya, keluarga kecil itu memang sudah terbiasa tanpa kehadiran televisi dalam hidup hariannya. Saat-saat bersama banyak dilalui dengan bercerita bersama anak, menggambar sambil mendongeng, bertanya jawab dengan anak berkaitan dengan aktivitas di sekolahnya, ngobrol suami-istri atau berdiskusi tentang topic tertentu yang menarik perhatian saat itu. Tak ada istilah kesepian bagi mereka. Barangkali saat-saat yang oleh kebanyakan orang dianggap sebagai kesepian, oleh mereka telah dinikmati sebagai saat hening, wening. Saat dimana hati dan budi bisa lebih cermat-jeli mengeja peristiwa hidup dalam bening. Mencipta ruang imaginasi Keluarga kecil itu sangat menyadari bahwa TV memiliki kekuatan besar untuk menyerap perhatian pemirsanya. Ketika perhatian itu terserap, seluruh energi juga terserap. Akibatnya ia sendiri tak lagi memiliki kekuatan untuk mencurahkan atau memancarkan energi. Nah, agar kemampuan mencurahkan dan memancarkan energi itu lebih besar, keluarga ini memilih media lain yang lebih kondusif untuk hal itu. Buku merupakan pilihan utama sebagai media yang merangsang orang untuk mencurahkan energi. Karena yang dibaca adalah kata-kata, maka otak mendapatkan rangsangan untuk mencipta suasana, mencipta penggambaran, mencipta detail, memperluas nuansa dan sebagainya. Dengan demikian, membaca dan mendongeng adalah aktivitas menciptakan imaginasi yang lebih besar. Oleh karena itu, aktivitas itu merupakan aktivitas yang menciptakan ruang luas bagi imaginasi dan proses kreatif lainnya. Tidak semua buku (dongeng) ada gambarnya. Ketika tak ada gambarnya, orangtua ditantang untuk menciptakan gambaran itu bagi anaknya. Dengan begitu, anakpun mendapatkan rangsangan untuk mengeja gambaran itu. Ketika teks atau narasi dalam buku itu tidak menarik atau terlalu kaku, orangtua memiliki tantangan untuk membuat agar teks atau narasi itu menjadi lebih menarik. Penekanan intonasi, perbedaan cara bersuara, perbedaan mimik atau wajah, disertai ekspresi detail dari mulut, mata, alis, dan gerakan tubuh lain merupakan seni berimaginasi dan berkreasi yang baik dan menyehatkan. Melihat itu, anak akan menciptakan imaginasinya sendiri dan bergembira. Semua itu merupakan sebuah proses kreatif dalam keluarga. Saat-saat bersama menjadi saat untuk berkreativitas. Kebiasaan demikian yang terus-menerus akan mempengaruhi anak untuk terbiasa melakukan proses kreatif, menciptakan ide, memaparkan penggambaran, menyampaikan kisah dari perspektifnya sendiri, dan merangkai suatu narasi dari kekayaan nuansa pribadinya. Menciptakan ruang dialog Aktivitas mendongeng, apalagi sambil melukis, diselingi dengan pertanyaan dan jawaban, diselingi cerita sisipan oleh anak maupun orangtua, merupakan ruang dialog yang sangat berharga. Dalam dialog itu, kebiasaan bertanya, kebiasaan menjawab, kebiasaan memahami jawaban orang lain, kebiasaan memaparkan sesuatu yang sedang dibayangkan atau dipikirkan, mendapatkan tempatnya yang terhormat. Dan yang paling menarik, kebiasaan untuk memaparkan pandangan atau gambaran atau imaginasi yang berbeda mendapatkan kehormatannya. Harapannya, kalau anak sudah terbiasa untuk berdialog, terbiasa untuk bercerita, memaparkan kisah berdasarkan imaginasinya yang bebas dan menggembirakan hati, tidak memiliki ketakutan untuk mengajukan pertanyaan maupun menyampaikan jawaban, pada gilirannya, anak itu juga akan bisa menuliskan apa yang ada dalam pikirannya. Menulis bukan lagi sebuah aktivitas yang berbeban dan berat, melainkan aktivitas yang menggembirakan hati untuk mencurahkan segala isi budi : keprihatinan, protes, dukungan, sanggahan, pertanyaan dan penjabaran komitmen diri. Kejutan yang tak terkira Setelah sekian tahun keluarga kecil ini menjalani kehidupan tanpa kehadiran TV, ada banyak kejutan yang tak terkira dalam kaitan dengan perkembangan si Enthung, anak mereka yang telah berusia sekitar 4 tahun itu. Si Enthung menjadi anak yang mudah sekali bercerita dan memaparkan kisah real maupun imaginasi alias khayalannya sendiri. Ia bisa bercerita panjang sekali dengan urutan yang bagus dan detail-detail yang menarik hati. Ketika sedang terlibat dalam obrolan ayah dan ibunya, ia akan banyak mengajukan pertanyaan yang kadang-kadang membuat orangtuanya harus berpikir keras untuk bisa menjawabnya secara bijak. Atau kadang-kadang ia akan mengajukan protes dalam sindiran pertanyaan yang membuat ayah dan ibunya tertawa terbahak karena kesahihan protes itu. Dan akhirnya, ketika melihat televisi, ia telah memiliki kesanggupan untuk mengambil jarak terhadapnya, tanpa harus anti terhadapnya. Suatu kali, ketika sedang berkunjung ke rumah saudara, ada tayangan film sinetron yang berisi pertengkaran saling memaki antara pasangan suami istri. Si Enthung berkata kepada ibunya, “Ibu tolong matikan TV itu. Aku merasa bising mendengar suaranya. Aku sedang ingin menonton Dora, kok belum ada ya?”. Wah…wah….wah….si Enthung sudah bisa membedakan antara suara dan kebisingan. Barangkali itu merupakan salah satu kecerdasan bermedia. Bising bukan lagi sekedar suara ramai tak beraturan, melainkan suara yang tak lagi diperlukan karena tak bisa berdamai dengan kebutuhan untuk menyelami hening-bening. Hening-bening adalah suasana yang dibutuhkan oleh jiwa untuk bisa lebih produktif mengelola segala bentuk proses kreatif dalam hidup sehari-hari. Kalau anak sudah memiliki kepekaan terhadap hal ini, ia punya modal besar untuk menyelami kedalaman. Nuansa Malam Menjelang tidur, setelah menum segelas susu, si Enthung meminta ayahnya untuk menemani tidur. "Ayah, ayo kamu menemani aku tidur", pintanya. Di kamar tidur, ayahnya berbaring di sebelahnya, sementara si Enthung tidur telentang sambil mendongeng panjang lebar tentang hal-hal yang berkesan baginya sepanjang hari ini dengan segala bumbu imaginasinya. Ia akan bercerita tentang truk tangki atau bis malam dengan detail bentuk kaca spionnya, kenalpot dan lampunya, lengkap dengan percakapan sopir maupun para penumpangnya. Seringkali nama-nama teman-teman sepermainannya akan ikut dilibatkan dalam kisahnya itu. Ia bercerita panjang sekali dengan pernak-pernik intonasinya sampai keduanya tertidur. Pada malam hari, ayah tak perlu banyak cerita karena si Enthunglah yang akan mendongeng untuk mereka berdua. Nah, seandainya tak sanggup dengan model keluarga tanpa telivisi ini, barangkali televisi tetap dipersilakan hadir dalam keluarga, namun dengan memperhatikan permintaan si Enthung kepada ibunya itu : “Ibu tolong matikan TV itu. Aku merasa bising mendengar suaranya. Aku sedang ingin menonton Dora, kok belum ada ya?” Kalau anak-anak seperti Enthung ini semakin banyak jumlahnya, barangkali tidak perlu dengan banyak kritik dan protes, tayangan TV semacam smackdown itu sudah akan ditutup dengan sendirinya sebelum menelan korban.

Tuesday, November 28, 2006

"Tuhan Agamamu Apa?"

Indro Suprobo Ketika langit di atas rumah masih berwarna kuning kemerah-merahan, si No’e, gadis kecil yang belum genap 7 tahun umurnya itu, sedang menyirami anggrek di halaman rumah bersama embah putrinya, perempuan tua yang sudah genap 70 tahun umurnya. Si No’e kelihatan asyik sekali menikmati aktivitas menyirami bunga itu. Gerak geriknya memancarkan keriangan dan kemanjaan khas anak-anak. Sambil berdiri, tangan kanannya memegangi selang yang memercikkan air ke tanaman, sementara tangan kirinya methentheng di pinggang dan kepalanya agak oleng ke kiri. Bibirnya menyungging senyum sementara matanya memandangi anggrek yang ia sirami. “Cikicikicikicikicikicik……….” begitu bunyi air yang meloncat-loncat bergantian menyentuh tanaman dan jatuh ke tanah. “Airnya jangan banter-banter ya Nok, ya, supaya bunga anggreknya tidak rontok”, kata embah putri kepada cucunya. “Segini ini kebanteren nggak mbah, airnya?”, tanya si No’e minta pertimbangan. “Wo….kebanteren kuwi Nok, cah ayu. Dikurangi sedikit lagi” “Segini ya mbah?”, tanya si No’e lagi meyakinkan sambil mengurangi daya semprot air. “Nah, segitu itu pas”, kata simbah. Pembicaraan mereka terhenti karena masing-masing asyik dengan aktivitas mereka. “Cikicikicikicikicikicicikicikicikicik…..” bunyi air terdengar di antara kediaman simbah dan cucu ini. Embah putrinya si No’e ini tangannya terampil sekali mencabuti rumput-rumput kecil di dalam pot-pot bunga. Memang tangan yang sekarang keriput itu sejak muda telah terlatih melakukan aktivitas demikian karena sering membantu orangtuanya bekerja di sawah sepulang dari sekolah desa. Tangan itu juga sangat terampil merangkai bunga karena sering dimintai tolong menghias altar untuk keperluan misa di kampusnya ketika masih menjadi mahasiswi fakultas teologi. “Hi…hi…hi….”’ si No’e tertawa-tawa kecil ketika menyaksikan bunga anggrek yang disiraminya itu mengangguk-angguk lucu. “Mbah, mbah, lihat mbah, bunga anggreknya mengangguk-angguk!” kata si No’e kegirangan sambil menunjuk bunga yang sedang disiraminya. “Wah…iya..ya. Bunga anggreknya mengangguk-angguk”, kata embah putri menanggapi kegirangan cucunya. “Mbah, mbah, bunga anggreknya kok mengangguk-angguk itu kenapa sih mbah?”, tanya si No’e lugu. Si embah yang mantan guru agama desa itu tercenung sejenak memikirkan jawaban atas pertanyaan cucunya yang polos itu. Kecerdasannya yang dulu terbukti nyata saat mengikuti kuliah teologi selama sepuluh semester dan meraih gelar sarjana dengan predikat cum laude itu sekarang sedang diuji oleh pertanyaan cucunya. Wow, ia menemukan jawabannya! “Nok, cah ayu, bunga anggrek itu mengangguk-angguk karena mengucapkan terima kasih kepadamu. Ia merasa segar karena disirami air setiap hari. Jadi, ia berterima kasih.” Si No’e tersenyum senang sambil matanya memandangi bunga yang mengangguk-angguk kepadanya. “Mbah, mbah, kata bu guru ngaji, orang yang bisa mengucapkan terima kasih itu orang yang baik. Bener nggak mbah?” tanya si No’e lagi. “Iya dong” “Kata bu guru ngaji, orang yang baik itu disayangi Tuhan” tanya No’e lagi. “Iya dong” “Orang yang disayangi Tuhan itu besok masuk surga ya mbah?” “Iya dong” Si No’e diam sejenak, sementara wajahnya tiba-tiba berubah menjadi serius. Si embah putri memperhatikan perubahan wajah itu namun ia diam tanpa pertanyaan sedikitpun. “Cikicikicikicikicikicikicik…” suara air terdengan jelas lagi. Gadis kecil yang sudah sekolah di Taman Kanak-kanak Santa Maria itu sedang mempunyai pertanyaan agak sulit bagi dirinya. Ia disekolahkan di TK St. Maria oleh orangtuanya karena itulah satu-satunya sekolah TK terdekat. Setiap sore, biasanya ia belajar mengaji karena kedua orangtuanya adalah muslim yang saleh. Ibunya dulu beragama katholik, lalu menjadi Islam dan rajin sholat karena menikah dengan suaminya. Sore ini ia tidak mengaji karena libur, guru mengajinya sedang punya hajat menyunatkan anak laki-lakinya. “Mbah, teman-teman di sekolah bilang kalau orang yang masuk surga hanya orang yang mengikuti Tuhan Yesus. Katanya, tanpa Tuhan Yesus orang tidak bisa masuk surga. Betul nggak, mbah?” Mbah putri yang sarjana teologi itu agak bingung mencari jawaban pas untuk cucunya yang lugu. Lalu, kecerdasannya membantunya untuk menjawab. “Nok, cah ayu, Tuhan Yesus itu orang baik sekali. Dia suka menolong orang lain. Jadi dia masuk surga. Semua orang yang baik seperti Tuhan Yesus itu disayangi Tuhan dan masuk surga”. “Orang yang mengikuti Yesus namanya orang kristen ya mbah?” “Iya”, jawab embahnya singkat “Kalau orang Islam, masuk surga juga to mbah?” “Iya dong. Orang Islam khan berdoa kepada Tuhan dan berbuat baik kepada orang lain. Jadi disayangi Tuhan”. “No’e..! Mau ikut sholat sama ibu nggak?” tiba-tiba suara ibunya si No’e menghentikan pembicaraan mereka. “Ikut!” jawab No’e. “Mbah, No’e sholat dulu sama ibu ya mbah” “Ya, ya, sana sholat dulu biar disayangi Tuhan” jawab simbahnya sambil membereskan selang dan cethok. Pembicaraan sore itu sangat melekat pada ingatan si No’e, gadis kecil yang belum genap 7 tahun umurnya itu. Malam harinya, ia tertidur pulas karena senang. Wajahnya tenang dan nafasnya teratur sekali. Bintik-bintik keringat menempel di dahinya yang bersih. Ia bermimpi bertemu Tuhan. Dalam mimpinya, Tuhan seperti embah putrinya dan suka menyirami anggrek. “Tuhan, Tuhan, bunga anggreknya mengangguk-angguk berterima kasih kepada Tuhan karena disirami” kata si No’e cerah sambil menunjuk pada bunga. “Oh iya. Kamu pinter sekali. Siapa yang mengajari?” “Embah putri”, jawab si No’e. “Wah, embah putrimu baik sekali. Senang dong punya embah putri seperti itu” kata Tuhan penuh pengertian. “Iya, mbah putri baik sekali sama No’e. Tuhan, orang yang baik seperti embah putri besok masuk surga ya?” tanyanya polos. “Oh tentu. Orang baik seperti embah putrimu pasti masuk surga” kata Tuhan meyakinkan. “Orang baik seperti Tuhan Yesus juga masuk surga, Tuhan?’ “Oh ya, Tuhan Yesus masuk surga” “Orang kristen yang mengikuti Tuhan Yesus dan suka menolong orang lain masuk surga juga ya?” “Iya” “Orang Islam juga masuk surga?” “Iya” “Tuhan, Tuhan itu kristen apa Islam?” tanya si No’e polos sekali. “Ha…ha…Nok, cah ayu” jawab Tuhan sambil mengusapi kepala si No’e, gadis kecil yang belum genap 7 tahun umurnya itu. “Tuhan tidak punya agama, sayang”. “Tuhan tidak mengikuti Tuhan Yesus?” “Tidak” “Tuhan sholat seperti No’e tidak?” “Tidak” “Terus, besok Tuhan masuk surga tidak?” tanya si No’e makin penasaran. “Iya dong, sayang” jawab Tuhan sambil tersenyum. “Lho, kok bisa?” tanya si No’e penuh keheranan. Tuhan tertawa sambil asyik menyirami anggrek, sementara si No’e yang kecil itu terbangun dari mimpinya.*** Judul asli cerpen ini adalah "Lho kok bisa?" (judul dalam edisi teks). "Tuhan agamamu apa?" adalah judul dalam edisi kaos yang sudah dipopulerkan oleh Institut Dian/Interfidei Jogjakarta

Monday, November 27, 2006

Religiositas untuk Anak, Bukan Agama (3)

Indro Suprobo Sewajarnyalah setiap orang menginginkan suatu kejelasan dan kemantaban "kepada siapa ia bergantung dan berserah diri, bersembah pasrah, dan berorientasi kepada apa yang sering disebut sebagai surga. Sungguh ini sangat wajar dan barangkali lebih banyak orang demikian adanya. Kejelasan dan kemantaban itu memang bisa ditemukan dalam agama-agama. Ambillah sebuah contoh, sebagai orang katolik tentu saja seseorang sangat mengharapkan bahwa dalam seluruh hidupnya sebisa mungkin ia menunjukkan kepada orang-orang di sekelilingnya bahwa ia jelas-jelas menggantungkan hidup dan mengarahkan hidup kepada Allah Bapa melalui dan di dalam Yesus kristus (begitulah rumus teologis iman kristen...yang membedakannya dari yang lain). Kebutuhan yang sama tentu juga akan ditularkan kepada anak-anak yang dicintainya sebagai salah satu bukti dan wujud cinta pula, sehingga selanjutnya anak memiliki kebutuhan yang serupa dan orangtua terpanggil untuk memenuhi kebutuhan itu. Demikian pula halnya untuk para pemeluk agama-agama pada umumnya. Dalam pengalaman keseharian, ternyata ada kewajaran yang lain lagi yang dapat kita jumpai. Ada orang yang menjalani hidup ini secara "santai" (mungkin istilahnya kurang tepat juga), yang karena menyadari bahwa ia tidak mengetahui segala pernak pernik hidup yang teramat luas, namun mengakui bahwa sangat mungkin "ada" pernak-pernik itu (surga, neraka dsb), sekaligus mengakui pula adanya bermacam ragam cara berpikir tentang pernak-pernik itu, lalu ia mencoba menikmati saja bermacam ragam kemungkinan itu secara santai dan sungguh-sungguh menikmatinya, meresapinya dan menemukan maknanya. Akibatnya ia tidak memiliki harapan untuk mempertegas mau menggunakan cara berpikir yang mana. Akibat lebih jauhnya juga, ia bahkan tidak mengharapkan surga, namun cukuplah menyembah sujud, menghormat “Yang Tak Terlampaui” itu dan rela nan ikhlas untuk masuk neraka asal berada dalam sikap itu. Ada Rumi, ada Rabiah al Adawiyah. Dalam rumus bahasa arab dan bernuansa agama sikap itu digambarkan dengan "Hasbyallah" atau kurang lebih artinya "cukup Allah" bagiku. Rumus itu tentu saja berada dalam kerangka agama. Dalam aras itu, saya mencoba belajar, tentu dengan segala kegagalan. Aras yang satu ini menarik juga untuk saya pelajari dalam nalar pikiran, dalam pangrasa batin, dan dalam renik-renik tindakan praktis. Ini spiritualitas yang menarik hati dan saya ingin belajar menyelaminya senikmat mungkin. Pada awalnya tentu saja ada banyak halangan dari sisi nalar maupun batin, apalagi dari sisi praksis. Ada banyak pertanyaan mengemuka, ada banyak gugatan dsb. Ada banyak pengalaman mistik yang menarik hati untuk diselami secara real. Dan saya sungguh sedang belajar menyelami beragam pengalaman mistik yang senyatanya tidak hanya berada dalam satu agama saja. Kalau itu bisa memperkaya batin dan hidup rohani pribadi dan berguna untuk praksis hidup (termasuk dalam mendidik anak-anak), dengan senang hati saya menikmatinya. St. Ignatius de Loyola melalui latihan rohani (salah satu mistik kristen) menyatakan agar manusia berlatih dan berusaha "meninggalkan rasa lekat tak teratur". Nah saya bereksplorasi untuk memperluasnya, bagaimana menjalankan semangat atau prinsil "meninggalkan rasa lekat tak teratur kepada salah satu agama". Apakah ini memperkaya rohani atau mengkerdilkan rohani? Tentu awalnya ada banyak keraguan dan bahkan ketakutan, juga pemberontakan batin. Tetapi ternyata setelah berulang kali mencobanya dan belajar.....wah...wah....betapa hidup ini menyediakan kekayaan rohani yang luar biasa harum. Sholat jamaah di mushala desa, misa sederhana di kapel kecil, bajan dan agnihotra di ashram, sujud wening di pendapa sapta dharma dsb...terasa bukan lagi kotak-kotak yang saling terpencil melainkan suatu tanah lapang dengan warna warni aroma yang bisa dihirup dengan bebas dan menyehatkan. Kalau sudah begini, Yesus Sang Junjungan, Al Quran, Mohammad Sang Rasul, injil, santo-santa, para nabi, tritunggal mahakudus, Om dan yang lainnya, bukan lagi kotak-kotak juga melainkan tanah lapang pula. Dalam aras ini, tak ada rumus "tersesat" lagi. Rumus “tersesat” hanya berlaku bagi orang yang mengagungkan “satu kotak” sebagai satu-satunya kebenaran. Tentu ini adalah aras yang lain, yang kebetulan saya sedang belajar memilihnya sebagai sebuah kewajaran yang dibangun. Dalam aras ini pula, saya sangat menaruh tunduk hormat dan syukur penuh ikhlas kepada teman dan saudara dan siapapun yang memilih untuk memiliki ketegasan tertentu dalam arus hidupnya, ada yang menegaskan diri kepada Yesus, ada yang menegaskan diri kepada Al Quran, ada yang lain lagi. Dan saya belajar menegaskan diri menjadi kelana hati. Kalau tidak keliru, ada lagunya di dalam buku madah bakti yang biasa digunakan dalam perayaan ekaristi di gerja katolik: ....kita bagai kelana...di tengah cakrawala....menuju langit suarga......dst

Religiositas untuk Anak, Bukan Agama (2)

Indro Suprobo Ada banyak orang beranggapan bahwa ketika menghadapi kematian – sebuah peristiwa besar yang tidak main-main dalam hidup seseorang – orang pastilah menginginkan agama sebagai kejelasan dasar bagi dirinya yang memberi kerangka dari seluruh pemaknaan atasnya. Saya sendiri menghayati kematian (terutama orang-orang terdekat, tercinta dan pada saatnya nanti kematian saya sendiri) sebagai bagian dari kehidupan yang teramat luas dan agung itu. Oleh karena itu, saya menghayati bahwa hidup tak pernah mati, karena ia luas, agung, dalam, maharangkum, mahaliput, dan abadi. Menghadapi kematian dengan demikian adalah memandang suatu bagian dari keluasan, keagungan, kemaharangkuman, kemahaliputan, dan keabadian. Karena kematian adalah bagian dari kehidupan, maka sikap terdalam menghadapinya tak lepas dari sikap terdalam terhadap kehidupan. Dari banyak kearifan agama-agama maupun kepercayaan, dan kehidupan orang-orang mendalam para pendahulu kita (para nabi, mistikus, santo-santa, solihin-soleha, dan semua mereka yang hanif), sikap terdalam terhadap kehidupan adalah hormat, syukur dan hanif (tunduk). Dalam sikap itu pulalah kematian dihadapi. Agama-agama dan beragam keyakinan di dunia ini dengan caranya masing-masing sesuai konteks sejarah dan kebudayaan yang membentuknya juga mengajarkan, mengajak, memotivasi dan mencontohkan dalam praksis nyata sikap terdalam serupa ini terhadap kehidupan (termasuk di dalamnya kematian). Dan agama-agama hanyalah salah satu dari begitu banyak kearifan kehidupan yang lagi-lagi teramat luas, agung, dalam, maharangkum dan mahaliput itu. Agama-agama adalah bagian dari keluasan dan keagungan itu tetapi ia tak bisa diklaim sebagai satu-satunya kearifan apalagi keagungan itu sendiri. Dalam refleksi personal, dari kedalaman kesunyian batin, dari kebeningan dan keheningan hidup yang saya perjuangkan dari waktu ke waktu (dg segala kesulitan dan kegagalannya) - dalam hal ini pendidikan seminari memiliki andil besar melalui pembiasaan silentium ordinarium, magnum maupun sacrum -, saya menjumput sebutir kelegaan dan niatan yang mendasar bahwa saya akan mendidik diri saya dan anak-anak saya untuk terus-menerus belajar menghayati kearifan-kearifan hidup yang telah tumbuh subur dalam keluasan ini. Oleh karena itu, kebutuhan mendasar adalah menjalankan kearifan itu. Kebetulan agama adalah salah satu atau sebagian dari kearifan itu. Ketika umumnya orang merumuskan "agama harus dijalankan....keyakinan harus dipahami....dan anak-anak membutuhkan itu...", saya merumuskannya dengan "kearifan hidup sepantasnya dijalankan, pemahaman dasar tentangnya sepantasnya dicermati.....dan anak-anak tentulah sangat membutuhkan itu". Namun karena saya menghadapi dunia anak-anak, ketika menemaninya dalam membaca dan mengerti kehidupan ini (termasuk di dalamnya kematian), saya berusaha sebisa mungkin menggunakan nalar dunia anak-anak. Ketika dia menanyakan mengapa pamannya yang masih muda meninggal dunia, saya menjawab dengan mengatakan bahwa paman meninggal dunia karena jantungnya berhenti. Kenapa berhenti? Karena jantungnya mengalami kerusakan dsb. Tak ada jawaban yang berkaitan dengan "karena dipanggil Tuhan", karena jawaban itu tentu saja merupakan konsumsi untuk orang dewasa. (Dan sekali lagi, anak-anak tetaplah anak-anak, bukan orang dewasa berukuran kecil) Ilmu pengetahuan alam, biologi, fisika dan kimia dasar adalah referensi yang sangat berguna untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan yang oleh nalar orang dewasa biasanya dijawab dengan nalar agama-agama. Dunia "bermain dan belajar" anak-anak bukanlah (jadi berbeda dengan) dunia yang hanya sekedar "main-main" karena bermain dan belajar-nya anak-anak adalah medan nyata terdekat bagi religiositas sehari-hari. Dalam dan melalui dunia bermain dan belajar itu, saya menikmati proses menemani anak-anak mengenali kearifan-kearifan hidup terutama sikap hormat kepada kehidupan. Bukankah banyak (tentu tidak semua) permainan anak-anak (terutama di desa entah di gunung, di wilayah pertanian, perikanan-nelayan dsb) sebenarnya merupakan perwujudan dari rasa syukur atas anugerah kehidupan dan rasa hormat terhadapnya? Itu semua, menurut saya, merupakan religiositas sehari-hari. Berkaitan dengan kematian saya sendiri suatu saat nanti, dengan ikhlas hati dan segala ketundukan, saya tidak berkepentingan dengan cara agama apa saya mau diperlakukan. Soal itu merupakan urusan orang yang hidup. Mau dengan cara islam, katolik, kristen beragam aliran, kepercayaan lokal, atau aliran apapun yang mungkin tidak mengalir juga, silakanlah saya manut saja karena semua itu adalah bagian-bagian dari kaya rayanya alam semesta ini. Moga-moga saya akan menghadapi kematian saya sendiri dengan satu sikap: hormat dan tunduk kepada hidup yang luas dan abadi. Moga-moga pula ini boleh disebut sebagai iman dalam teori agama-agama. Lalu, orang yang sangat beragama mungkin bertanya, "Lalu Tuhan ada di manakah Engkau?" Salah satu jawabnya (tentu bukan satu-satunya) mungkin bisa meminjam salah satu judul film "Kejarlah Daku....kau Kutangkap!"

Religiositas untuk Anak, Bukan Agama (1)

Indro Suprobo Barangkali kami merupakan salah satu saja dari sekian banyak orang yang percaya dan mempraktekkan bahwa agama bukanlah satu-satunya melainkan hanya salah satu dari religiositas. Dalam kerangka itu kami menemani anak kami yang baru berusia 4 th untuk tidak terikat kepada salah satu agama. Sampai sekarang, agama anak kami boleh dikatakan tidak jelas. Repotnya, dalam masyarakat yang sangat membutuhkan kejelasan agama ini, kami sering harus berpikir sekian kali ketika ditanya orang tentang agama anak. Ketika periksa di sebuah Rumah Sakit, petugasnya bertanya, “Agama anak anda apa pak?” Saya menjawab, “Agamanya bermain”. Perawatnya bingung. lalu saya tegaskan bahwa dia tidak/belum beragama. "Tapi kolom ini harus diisi pak" katanya. “Ya sudah diisi saja Islam, yang banyak jumlahnya”, begitu jawab saya. Dengan begitu, urusan pengisian formulir agama di rumah sakit lalu selesai. Demikian juga ketika harus membuat kartu keluarga di kelurahan. dengan penuh percaya diri, petugas kelurahan mengisi seluruh data agama dengan "Islam" karena melihat istri saya mengenakan jilbab. Semua itu tidak kami persoalkan dan urusan selesai dengan sangat sederhana. Tetapi dalam aktivitas sehari-hari di rumah dan di sekolah, anak kami memang tidak beragama. Kami sengaja mencari sekolah (play group dan TK) yang tidak ada pelajaran agamanya. Namun kami percaya bahwa tentu saja lingkungan dekat sehari-hari akan membentuk nilai-nilai religiositas bagi anak. Lalu teknik pengenalannya bagaimana? Pertama-tama ini berkaitan dengan sikap dasar kita sendiri sebagai orang tua. Saya dan istri yang kebetulan berbeda latar belakang kebiasaan agama, sepakat untuk tidak mendidik anak dalam koridor agama tertentu, melainkan dalam nilai-nilai religius (dari beragam agama dan prinsip-prinsip nilai hidup). Memang orangtua kami sendiri sering meminta memperjelas agama anak saya dengan agama tertentu. Belumlah menjadi kewajaran bagi mereka apabila seorang anak belum memiliki kejelasan dalam beragama. Namun kami berpendapat bahwa "yang paling jelas, agama anak kami sekarang ini adalah bermain dan bergembira", tidak perlu dimasukkan dalam kotak agama lebih dahulu. Nanti pada saatnya dia akan punya pilihan sendiri. Apapun pilihannya nanti, kami akan mendukungnya. Secara praktis, kepadanya kami memperkenalkan kebiasaan katolik pada saat mengikuti perayaan natal di gereja desa (istri saya yang muslim ikut serta ke gereja) dan pada saat lebaran kami memperkenalkan kebiasaan Islam dengan mengikuti sholat id di masjid pesantren milik keluarga, pada hari peringatan turunnya Krishna, kami memperkenalkannya dengan kebiasaan Hare Kreshna di sebuah asram yang rutin mengundang kami setiap tahun, dan pada kesempatan tertentu kami meperkenalkan dia dengan kebiasaan buddis di vihara dekat selokan mataram jogja. Di rumah, kami sering memutar kidung-kidung religius berbagai agama sambil bermain kendang, kelintingan, gitar dsb. Dan semuanya itu "menggembirakan hati"nya, dan dengan demikian menggembirakan hati kami juga. Yang paling prinsipial dari semua itu adalah menemani anak untuk belajar bersyukur, berharap, bergembira, sabar dalam sulit, hormat pada teman dan orang lain, tidak terbiasa berbohong dsb. Soal berdoa, kami biarkan dia sedang merasa senang dengan cara apa, tetapi yang paling sering adalah mengucap dalam bahasa indonesia sederhana dalam dunia anak-anak. Misalnya, Tuhan terima kasih sudah mendapatkan makanan, semoga sehat. amin. Nah cukuplah itu buat kami. Mau ditambah tanda salib silakan, mau diramu dengan bacaan bismillahirohmannirohim juga boleh. Itu semua hanyalah cara, atau fitur dalam dunia handphone. Kami sengaja tidak memperkenalkan konsep-konsep abstrak terlebih dulu kepadanya. Yang kami kenalkan adalah yang "manusiawi' dulu. Akibatnya, kadang-kadang dia memanggil saya dengan sebutan "Tuhan" tetapi memanggil ibunya dengan sebutan "Allah" (dieja dalam cara bahasa Arab). Saya dan istri tertawa sambil berterima kasih kepadanya. Cukup dengan tertawa karena dia memang sedang bermain-main dan menertawakan "yang serius" dalam agama-agama. Begitulah dunia anak kami. Dia tetaplah anak-anak dan bukan orang dewasa berukuran mini. Untuk menghindari konsep "Tuhan Yesus" yang belum cocok buat anak-anak (menurut kami), kami menggambar sambil mendongeng tentang Yesus sebagai anak tukang kayu yang suka membantu ayahnya membuat meja, kursi, cowek, munthu, gagang pacul dan mobil-mobilan buat anak-anak. Lalu kami mengatakan kepada anak kami,"Yesus adalah orang yang baik dan suka membantu anak-anak membuat mobil-mobilan". Dengan demikian, ia mengenal Yesus sebagai manusia yang baik hati yang pantas diteladani, dihormati dan dijunjung dalam puja dan puji. Dalam cara yang sama, kami perkenalkan dia dengan beragam tokoh lain dari kearifan kehidupan. Barangkali ini merupakan salah satu praksis berteologi dari bawah bersama anak-anak. Diolah kembali dari diskusi panjang dalam sebuah milis

Menerima Pluralitas dan Membangun Moralitas Berkeadilan

Indro Suprobo Dengan segala kerendahan hati dan ketulusan yang serba jujur berjiwa besar, pantaslah diakui bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang berkenyataan plural, kaya kepelbagaian, berornamen perbedaan, dan memiliki banyak ekspresi hidup. Masyarakat Indonesia senyatanya bukanlah masyarakat yang satu dan sama. Kenyataan ini adalah bagian dari wujud kemanusiaan yang wajar sebagai konsekuensi logis dari anugerah keunikan karya penciptaan Sang Ilahi. Konteks ruang dan waktu yang menjadi ladang subur bagi pertumbuhan kehidupannya dalam membangun jati diri kemanusiaannya, bukan pula sebuah kenyataan yang satu dan sama melainkan sejak semula berwujud keragaman. Oleh karenanya, keanekaan atau pluralitas yang menjadi kenyataan hidupnya adalah hal yang tidak dapat disangkal. Kepelbagaian dalam kehidupan yang meliputi kesukuan, kedaerahan, ekspresi bahasa, cara berpikir dan berasa, model hidup bersama, cara memahami dan menghayati Sang Ilahi serta gaya mengekspresikan religiositas adalah kenyataan sekaligus kekayaan hidup masyarakat Indonesia. Kepelbagaian semacam ini dalam kehidupan bersama tidak akan menimbulkan permasalahan sejauh dikelola secara wajar dan senantiasa mencerminkan prinsip keadilan bagi setiap keunikan. Kepelbagaian dan perbedaan mulai menimbulkan permasalahan dalam hidup bersama ketika pengelolaannya melahirkan situasi ketidakadilan bagi sebagian keunikan. Pengelolaan hidup bersama akan melahirkan ketidakadilan ketika motivasi dasar dan tujuannya berujung pada kepentingan terbatas dan mulai menganggap sepi kebutuhan essensial salah satu atau sebagian keunikan dalam masyarakat. Sejarah hidup bersama masyarakat Indonesia telah menunjukkan bahwa berbagai pergolakan dan peristiwa yang melukai harkat dan martabat kemanusiaan selama ini timbul ketika kepentingan terbatas dan tidak adil memasuki wilayah motivasi dan tujuan tindakan sebagian masyarakat yang memiliki kewenangan dan tanggungjawab dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan kehidupan bersama. Wilayah motivasi dan tujuan tindakan adalah wilayah moralitas. Kalau demikian, mengelola kepelbagaian menuntut sikap moral tertentu yakni moralitas berkeadilan. Dalam konteks pengelolaan pluralitas, moralitas berkeadilan dipahami sebagai sikap dasar individu dalam menghadapi pluralitas yang tercermin baik dalam pikirannya, perkataannya maupun dalam tindakannya. Moralitas berkeadilan ini juga berarti menerima kenyataan pluralitas dalam kehidupan, memberi ruang bagi pertumbuhan masing-masing keunikan yang ada, menerima yang berbeda sebagai sesama yang pantas dihormati dan dihargai secara jujur, serta menumbuhkan kesanggupan bagi masing-masing keunikan untuk membangun jati dirinya tanpa diskriminasi. Masyarakat yang membangun hidupnya berdasarkan moralitas berkeadilan adalah masyarakat yang tidak menempatkan dirinya sebagai superior terhadap yang lain melainkan setara serba sejajar dan seharkat-semartabat. Lebih jauh, moralitas berkeadilan semacam ini dapat dibangun dengan cara memahami setiap nalar dari setiap keunikan yang ada dalam masyarakat. Untuk memahami nalar yang bekerja dalam setiap keunikan ini, dibutuhkan sikap lebih lanjut yakni, sikap lintas nalar. Itu berarti berusaha keluar dari nalar keunikannya sendiri dan memasuki nalar keunikan yang lain dan berbeda. Pada umumnya orang menyebut sikap ini sebagai sikap passing over, melintas batas. Peristiwa yang menggores kemanusiaan yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia berkaitan dengan pluralitas beberapa waktu lalu adalah konflik sangat destruktif antar suku dan agama yang menimbulkan korban jiwa tak terhitung banyaknya. Korban jiwa sedemikian banyaknya ini adalah akibat dari tidak adanya moralitas berkeadilan yang telah hidup dalam diri anggota masyarakat yang sebenarnya mempunyai kewenangan dan tanggung jawab untuk mengambil keputusan berkaitan dengan pengelolaan kehidupan bersama yang plural. Kepentingan-kepentingan terbatas yang sonder keadilan telah bekerja dalam nalar individu-individu yang menjalankan peranan strategis di tengah masyarakat baik itu sebagai penentu kebijakan, para pendidik baik formal maupun informal, tokoh masyarakat dan sebagainya. Nalar berkepentingan terbatas sonder keadilan ini telah bekerja secara sistematik dalam kesadaran masyarakat dalam waktu yang sedemikian panjang. Akibatnya nalar ini seakan-akan menjadi hal yang sah dan wajar untuk hadir dalam kehidupan bersama. Pada gilirannya, masyarakat yang senyatanya adalah plural dan terdiri dari beragam keunikan lalu menjadi tidak terbiasa atau tidak memiliki kesanggupan untuk bersikap lintas nalar, lintas keunikan. Persoalan yang nyata dan mendasar dalam kehidupan masyarakat yang plural ini membutuhkan siasat yang relatif jitu untuk mengatasinya. Salah satunya adalah menguatkan pendidikan masyarakat untuk menerima pluralitas dan mengelolanya secara lebih dewasa dan adil. Untuk itu, mendesaklah usaha untuk membuka konteks-konteks historis berkaitan dengan konflik yang terjadi dalam masyarakat kita terutama konflik antar suku dan agama. Perlu pula dibuka kearifan-kearifan yang sebenarnya secara potensial telah dimiliki oleh masyarakat sendiri dalam mengelola pluralitas ini namun telah dipolitisir oleh mereka yang memiliki kepentingan terbatas dan tidak adil. Sharing pengalaman dari mereka yang telah secara jujur dan ikhlas berjerih payah membangun pergaulan inklusive dalam konteks pluralitas ini juga pantas diungkapkan sebagai contoh alternatif mengelola kehidupan yang beragam dan penuh perbedaan. Kejujuran dan ketulusan untuk bertatap muka, kehendak baik untuk duduk bersama merumuskan persoalan-persoalan ketidakadilan yang menimpa hidup bersama serta menemukan simpul-simpul kerja bersama dalam menegakkan keadilan merupakan kebutuhan mendesak yang tak bisa lagi ditolak. Pada saat yang sama, teramat pentinglah kemandirian dan sikap kritis terhadap segala yang bisa (menganggap diri) menjadi otoritas, karena dari sanalah segala kemungkinan manipulasi, indoktrinasi dan konstruksi nalar tak berkeadilan dapat mengalir secara pasti meskipun perlahan. Sumber: www.usc-satunama.org, Jumat 9 September 2005

Wednesday, October 11, 2006

Penantian Sumarni

Indro Suprobo “Aku sehat walafiat. Sementara ini aku berpindah-pindah dari persembunyian yang satu menuju persembunyian yang lain karena situasinya tidak terlalu aman. Jangan kawatir. Ada banyak orang yang membantu. Moga-moga, lebaran nanti, aku bisa pulang untukmu dan anak-anak tersayang” Surat teramat pendek dan ditulis tangan itu masih terawat bagus dan selalu disimpan oleh Sumarni. Setiap malam menjelang lebaran, ketika takbir dilantunkan beribu-ribu orang, Sumarni selalu membaca ulang surat dari suaminya itu. Entah sudah berapa ribu kali Sumarni membacanya. Surat itu diterimanya pada suatu hari menjelang lebaran lima tahun yang lalu. Lebaran kali ini, untuk kesekian kalinya, Sumarni membacanya lagi. Suaminya belum juga pulang ke rumah. Tangisnya sudah kering. Yang tersisa hanyalah kesedihan dan kerinduan teramat dalam. Tenggorokannya selalu terasa sangat sakit setiap kali ia membacanya. Sebenarnya, suaminya adalah orang biasa-biasa saja, bukan orang penting dan terkenal. Bukan orang yang punya pengaruh. Ia juga bukan orang kuliahan. Setelah tamat SMA ia pernah bekerja sebagai kernet angkutan, lalu diajak pamannya membantu sebagai kuli bangunan kalau ada permintaan orang untuk membangun rumah. Dari hasil membantu pamannya itulah ia mencoba menabung dan bisa membuat warung kecil di dekat sekolahan. Warung itu berukuran 2 x 3 meter dan terbuat dari papan. Kebetulan tanah yang ditempati itu milik pakdhe Jumingin yang menawarinya untuk dimanfaatkan. Dulu, di warung itulah Sumarni dan suaminya berjualan makanan dan minuman. Ada nasi bungkus, tempe kemul, tahu kemul, bakwan, pisang goreng, bakmi goreng, arem-arem, jenang, wajik, kue corobikan, martabak, ondhe-ondhe, teluk bayur, dan kerupuk. Semuanya titipan orang. Dari setiap makanan, Sumarni dan suaminya mendapatkan laba 50 rupiah. Untuk minumannya, mereka membuat sendiri. Modalnya adalah teh, gula dan minyak tanah untuk kompor. Labanya lumayan juga. Setiap hari rata-rata habis tiga sampai lima ceret teh. Pembelinya kebanyakan anak-anak sekolah dan orang-orang yang lewat menuju ke pasar karena sekolahan itu kebetulan terletak di pinggir jalan menuju ke pasar. Sekarang ini, Sumarni berjualan sendirian. “Mbok tidak usah berangkat mas, kita jualan saja seperti biasanya”, kata Sumarni mengingatkan suaminya yang mau pergi bergabung dengan orang-orang kuliahan di kota untuk berdemonstrasi menuntut perbaikan situasi ekonomi dan politik yang semakin tidak peduli kepada orang-orang kesrakat seperti dia. “Nggak papa, wong cuma dua hari. Besoknya lagi aku sudah ikut jualan seperti biasanya”, jawab suaminya meyakinkan. “Aku sebenarnya kawatir kalau nanti ada apa-apa di sana mas”, kata Sumarni cemas. “Temannya banyak kok, nggak usah kawatir. Besoknya juga sudah pulang”, tegas suaminya. Itulah percakapan terakhir antara Sumarni dan suaminya, lima tahun yang lalu. Dua hari setelah suaminya berangkat, di koran-koran dan berita televisi dikabarkan bahwa telah terjadi kerusuhan yang menelan banyak korban jiwa. Toko-toko dibakar. Jalanan ditutup. Orang-orang ditangkap, dipukuli. Ada yang ditendangi dan diinjak-injak. Ada yang diculik dan tidak diketahui lagi nasibnya. Sejak itu, suaminya tak pernah pulang. Informasinya tidak pernah jelas. Beberapa orang yang sekolah di kota mengatakan pernah bertemu suaminya dan sering ikut kumpul-kumpul dalam beberapa pertemuan. “Suami sampeyan itu sering ikut pertemuan dan diskusi teman-teman. Dia disukai teman-teman karena suka ngomong yang konkret soal kesulitan masyarakat kecil”, kata salah seorang pemuda sedesa yang kuliah di kota. Informasi terakhir yang tersimpan hanyalah surat yang dititipkan lewat salah seorang anak sekampung yang sekolah di kota itu. Surat itulah yang selalu dibacanya pada saat ia mengharapkan kehadiran suaminya, terutama pada saat menjelang lebaran. Sumarni sudah tidak tahu lagi harus melacak ke mana. Semua hasilnya nol. Tak ada yang tahu. Nasibnya tak jelas. Hanya surat dan warung tempat ia berjualan sehari-hari itulah kenangan terakhir dari suaminya. Malam ini, suara takbir mengalun di mana-mana. Di televisi, di radio, di jalan-jalan, di masjid dan mushola. Beribu-ribu orang melantunkannya. Banyak orang kelihatan berwajah gembira. Banyak keluarga mengalami bahagia karena berkumpul dan bertemu semua saudara. Sumarni duduk di pinggir ranjang sambil melipat mukena seusai sembahyang. Ia membetulkan letak rambutnya ke belakang lalu mengikatnya dengan kain. Terdengar ia menarik nafas panjang dan berat. Surat yang baru saja dibacanya sebelum sembahyang, diletakkannya di atas kasur. Dua anaknya tertidur pulas di tempat tidur. Yang barep sudah hampir delapan tahun umurnya, sementara yang kedua baru enam tahun. Sumarni memandangi wajah kedua anaknya secara seksama. Keduanya memang lebih mirip ayahnya. Hidung si barep agak mancung seperti ayahnya. Tetapi mata dan bibirnya lebih mirip dia. Telinganya mirip ayahnya. Sementara anak kedua, hidungnya mirip dia tetapi alis dan bibirnya lebih mirip ayahnya. Ketika memandangi kedua anaknya, Sumarni merasakan kehadiran suaminya yang sangat dekat. *** “Wah, besok kalau sudah besar lengannya kekar seperti aku”, kata suaminya sambil mengusap-usap lengan si barep yang lagi tidur. “Yang paling mirip itu bentuk dagunya lho mas. Semua orang, begitu melihat dagunya langsung mengatakan kalau dia mirip ayahnya”, jawab Sumarni. Sumarni lalu memegang dagu suaminya sambil berkomentar “Ini lho mas, ada semacam garis dan lekukan di sini, persis khan? Lihat itu”. “Nah kalau adik ini tangannya mirip banget ibunya, bentek-bentek”, tanggap suaminya mengomentari anaknya yang kedua. “Yah, bentek-bentek tidak apa-apa ya dik ya. Yang penting suka bekerja keras biar tidak menjadi orang yang manja dan bergantung pada orang lain”, sergah Sumarni. Keduanya lalu terdiam sambil mengusap-usap kepala anaknya lalu memijat lembut kaki anaknya. Suasana malam lebaran itu terasa tenang dan membahagiakan. Lantunan takbir terus menggema. “Marni, malam ini aku ingin meminta maafmu”, kata suaminya tiba-tiba memecah ketenangan mereka. Sumarni kaget dengan kata-kata itu. “Memangnya kenapa?”, tanya Sumarni serius “Aku meminta maafmu secara khusus malam ini, karena aku merasa bahwa sampai dengan hari ini, aku belum dapat memberimu kebahagiaan sebagaimana kamu pikirkan pada waktu-waktu lalu sebelum kita menikah”, jawab suaminya. Sumarni bangkit dari tidurnya lalu bergeser melewati kedua anaknya yang tertidur dan berbaring mendekati tubuh suaminya. “Kenapa berkata begitu mas? Aku merasa bahagia. Memang ada beberapa keinginan yang tak tercapai dan situasi tidak menentu yang kita hadapi. Tapi aku merasa cukup bahagia meskipun kita tetap harus terus berusaha memperbaiki situasi kita”, kata Sumarni sambil perlahan-lahan memeluk suaminya. “Kita memang sering kekurangan dan kadang-kadang harus berhutang untuk menutupi kebutuhan mendesak. Aku merasa belum terlalu bekerja keras sehingga situasi ini kita hadapi. Laba yang kita peroleh dari warung kita memang lumayan, tetapi kita masih harus mengusahakan yang lain supaya ada tambahan karena kalau mengandalkan warung saja tentu tidak cukup. Mungkin kalau aku bekerja lebih keras, kamu tidak perlu mengalami situasi yang seperti ini. Aku meminta maafmu sungguh-sungguh”, kata suaminya, sementara matanya kelihatan menerawang ke langit-langit. “Mas, kamu sudah berusaha bekerja keras. Aku melihat sudah ada banyak perubahan dalam dirimu dan aku merasa bersyukur. Aku merasa bahagia bahwa kamu sudah berusaha membuat perubahan untuk situasi hidup kita meskipun mungkin masih bisa lebih keras lagi. Aku juga akan mencoba mencari tambahan usaha yang lain untuk mencukupi kebutuhan kita”, jawab Sumarni meyakinkan. “Aku merasa kamu orang yang bertanggung jawab dan mau berusaha mengatasi kesulitan-kesulitanmu sendiri untuk kebaikan kita”, lanjutnya. Keduanya lalu berpelukan dan menarik nafas panjang. Lantunan takbir terdengar lagi. *** Sumarni merasakan kakinya kesemutan, lalu meluruskannya sambil berbaring di samping kedua anaknya yang pulas. Surat dari suaminya dipegangnya dan dibacanya sekali lagi. Percakapan malam lebaran yang terakhir kali itu teringat kembali dan terasa sangat nyata baginya. Lelah. Dan akhirnya tertidur. Matanya terpejam dalam penantian dan pengharapan yang panjang. Esok paginya, lebaran berlalu seperti biasanya. “Aku telah memaafkanmu sebelum kau memintanya, dan kini aku merindukan kebesaran hati untuk menerima semua misteri yang belum kupahami ini. Aku tak tahu apakah masih mungkin mengharapkanmu pulang”, bisiknya dalam hati sambil menyusuri jalan pinggiran sawah yang luas bersama kedua anaknya selesai shalat Id di lapangan desa.*** (Sleman, 3 Desember 2002. Dipersembahkan kepada semua orang yang hilang di negeri ini, dan tak pernah ditemukan kembali)

Rekonsiliasi Kultural Agama-agama, Sebuah Pengalaman Lokal

Indro Suprobo

Dari Pengakuan-pengakuan Kecil 

 Suasana maghrib di rumah doa semua agama yang terletak di pinggir kali dan diteduhi oleh rimbunan bambu di kompleks Balai Budaya Sinduharjo Jogjakarta, menjadi begitu wening dan khusuk oleh wewangian dupa dan lantunan kidung-kidung Hindu yang didaraskan oleh anak-anak muda berbagai agama. Agnihotra, itulah nama sebuah upacara doa Hindu yang dilakukan oleh anak-anak muda itu untuk mengawali week-end bongkar prasangka pada tanggal 6-7 Maret 2002. Semua yang hadir, baik yang beragama Islam, Katolik, Hindu, Budha, Kristen maupun Sapta Dharma, menyatukan hati memaknai pergantian hari dalam lantunan doa-doa pujian Hindu, menyembah Sang Hyang Widhi dan mengenang para suci. 

 Dalam week-end sederhana itu, 30-an orang muda berbagi pengalaman kecil namun nyata berkaitan dengan relasi antaragama. Menceritakan pengalaman pribadi, mencermati kisah orang lain, dan mengakui realita sederhana di antara mereka, menjadi aktivitas utama membongkar prasangka. Yuli, seorang anak SMA kelas tiga yang menganut kerohanian Sapta Dharma mengungkapkan kisah lucu namun menggelitik kesadaran keberagamaan. 

“Saya sekolah di SMA kelas tiga. Pada saat pelajaran PPM (dulu bernama PMP), guru menerangkan soal keyakinan. Karena bicara soal keyakinan, guru saya memberikan contoh keyakinan Sapta Dharma. Saya merasa pemahaman dia tentang Sapta Dharma tidak sama dengan yang saya hayati. Keterangan yang dia berikan di kelas itu menyinggung perasaan saya dan saya merasa dianaktirikan. Oleh karena itu saya mengajukan pandangan saya tentang Sapta Dharma yang berbeda dengan pandangan guru saya itu. Dia lalu bertanya soal agama saya. Saya menjawab bahwa saya tidak beragama melainkan menganut kerohanian Sapta Dharma. Sejak itu dia bersikap lain terhadap saya dan sebagai hadiahnya, saya mendapatkan nilai 6 untuk pelajaran PPM. Sementara untuk pelajaran agama yang formal diajarkan di sana, saya mendapatkan nilai 9” 

Perlakuan serupa dialami oleh Preh, seorang mahasiswi perguruan tinggi swasta di Jogjakarta, yang juga penganut Sapta Dharma. “Saya mendapatkan kuliah agama di kampus saya. Banyak agama dikenalkan dan masing-masing penganut agama di kelas diwajibkan untuk mempresentasikan hal-hal berkaitan dengan agama masing-masing. Ketika mempresentasikan aliran kepercayaan yang saya anut, saya merasa direndahkan oleh dosen. Dosen mengatakan bahwa kepercayaan adalah jiplakan dari agama” 

 Pengakuan Yuli dan Preh ini menunjukkan bagaimana ia mendapatkan perlakuan berbeda karena ia tidak beragama, melainkan menganut suatu kerohanian. Perlakuan yang dirasakannya sebagai “menganaktirikan” dan “merendahkan” itu dialaminya dalam bangku pendidikan dan terjadi di ruang kelas. Perlakuan yang dialami oleh Yuli dan Preh itu dilakukan oleh guru atau dosen yang berbeda agamanya. 

Lain lagi pengakuan yang diutarakan oleh Wayan, seorang mahasiswa Hindu Bali. Ia mengungkapkan bahwa dalam agamanya sendiri, ia mengalami perlakuan “disingkirkan” oleh teman-teman seagamanya sendiri. “Pergaulan itu ada di mana-mana, tidak hanya ada di Ashram Gandhi (asrama untuk mahasiswa Hindu). Di komunitas Hindu, ada orang yang menyingkirkan teman sesama Hindu yang suka bergaul dengan agama lain. Ini saya alami sendiri. Bahkan upacara doa Agnihotra yang kita lakukan di sini, sangatlah sulit untuk bisa dilakukan di dalam kuil Hindu karena dianggap tidak lazim. Saya merasa sangat dihargai karena lagu-lagu pujian Hindu dinyanyikan di sini. Bahkan lagu Sarwa Dharma dinyanyikan secara lebih bagus oleh teman-teman Duta Voice yang beragama kristen. Saya menghargai mereka. Ini jujur dan tidak dibuat-buat” 

Pengalaman yang menarik dialami juga oleh Ryo, seorang pemimpin koor mudika. Pengalaman ini terjadi dalam suatu latihan koor untuk persiapan acara pra-paskah yang bernuansa pertobatan. “Dalam sebuah latihan koor mudika, saya membacakan terjemahan syair pertobatan Abunawas dalam bahasa Indonesia. Syair itu dirasa cocok dengan tema pertobatan masa pra-paskah dan teman-teman mudika merasa tertarik dengan syair itu. Mereka lalu bertanya,”Syair itu berasal dari Santo siapa?” Kepada teman-teman mudika saya mengatakan bahwa syair itu berasal dari seorang Santo di daerah Timur Tengah. Santo itu orang Arab dan bernama Abunawas. Anehnya, ketika saya menyanyikan syair itu dalam bahasa aslinya, yakni bahasa Arab (Ilahiy lastu lil firdausi ahlan...), sebagian besar teman mudika itu lalu berubah perangai wajahnya. Apakah ada yang salah dari syair ini? Mereka belum siap menerima syair ini. Ternyata, bahasa yang berbeda mempengaruhi orang dalam memberikan sikap meskipun kandungan isinya sama.” 

 Pengakuan-pengakuan kecil ini bukanlah sekedar peristiwa-peristiwa yang terserak tanpa kaitan satu sama lain, melainkan merupakan ekspresi-ekspresi yang konsekuens dari arus besar kesadaran beragama masyarakat Indonesia pada umumnya. Kesadaran beragama manakah yang mengakibatkan timbulnya pengakuan-pengakuan semacam itu? 

Mencermati Kesadaran Beragama dalam Masyarakat 

 Jika ditelusuri lebih jauh, pengakuan Yuli dan Preh menunjukkan bagaimana perlakuan diskriminatif dialami oleh agama-agama atau keyakinan lokal sebagai akibat dari dominasi negara terhadap kehidupan beragama. Negara yang telah menentukan definisi agama di Indonesia, membatasi hanya ada 5 agama yang secara formal diakui yakni Islam, Hindu, Budha, Kristen dan Katolik. Agama-agama yang lain yang mungkin sudah hidup dan berkembang dalam religiusitas lokal tidak diakui sebagai agama melainkan sebagai aliran kepercayaan. Perlakuan diskriminatif yang dialami oleh Yuli dan Preh dilakukan oleh mereka yang kesadaran beragamanya dibentuk oleh dominasi negara ini. Sikap terhadap Yuli dan Preh ini dilakukan oleh mereka yang mengamini definisi agama sebagaimana diformulasikan oleh negara yang di dalamnya dirumuskan kriteria-kriteria formal seperti kitab suci dan nabi. Itulah kesadaran beragama yang pertama, terserah mau disebut apa. 

 Pengakuan yang diungkapkan oleh Wayan dan Ryo menunjukkan fenomena kesadaran beragama yang dibentuk oleh dominasi elit agama atas umatnya. Dominasi elit agama ini berkaitan dengan penafsiran atas ajaran dan praksis keagamaan dalam kelompok agama sendiri maupun berkaitan dengan penafsiran atas ajaran dan praksis keagamaan kelompok agama lain.

 Kedua bentuk dominasi ini, baik yang dilakukan oleh negara atas agama maupun yang dilakukan oleh elit agama atas umatnya, pada gilirannya menumbuhkan relasi ketergantungan dalam kehidupan beragama. Sikap masyarakat terhadap ekspresi religiusitas di sekitarnya lalu berada dalam ketergantungan ini dan dengan demikian tidak mandiri. Dominasi negara atas agama selanjutnya melahirkan istilah sinkretisme dan dikenakan kepada masyarakat yang secara formal memeluk agama tertentu namun sekaligus melaksanakan praksis-praksis agama lokal yang telah lebih dahulu dianutnya. Istilah sinkretisme inipun sebenarnya menjadi ekspresi dominasi negara atas agama yang berfungsi sebagai rambu-rambu penjaga “kemurnian” identitas keagamaan sekaligus sebagai hukuman terhadap alternatif religiositas yang dikategorikan “menyimpang”. Akibatnya, masyarakat beragama yang berada dalam ketergantungan terhadap negara ini pun mengekspresikan sikap mereka terhadap “alternatif religiositas” di sekitarnya dengan sikap “anti”, “menjauhi”, “menganggap lebih rendah”, “menilai tidak murni”. Lebih hebat lagi, alternatif religiositas yang dipilih oleh sebagian masyarakat di banyak lokalitas itu dianggap oleh masyarakat beragama sebagai “tidak memiliki kesucian” atau “tidak membawa kepada keilahian” sehingga tidak mungkin menjadi jalan untuk menyucikan kehidupan dan mengangkat hidup kepada keilahian. Sikap yang diekspresikan oleh guru dan dosen beragama terhadap Yuli dan Preh dapatlah dikatakan sebagai sikap superior agama-agama formal atas agama lain yang dikategorikan sebagai kepercayaan.

 Dominasi elit agama atas umat beragama membawa bentuk ketergantungan yang lain. Kehidupan beragama masyarakat lalu ditentukan oleh cara berpikir, pandangan dan sikap elit agamanya. Cara berpikir umat beragama terhadap agamanya dan terhadap agama lain juga dipengaruhi oleh cara berpikir elit agamanya. Oleh karena itu, sebagian besar umat beragama “kurang berani” berbeda sikap dan cara pandang terhadap agama sendiri maupun agama lain karena tergantung kepada elit. Sikap ketergantungan ini sangat berpengaruh pada bagaimana masyarakat beragama itu menyelesaikan konflik dan memaknai perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam kehidupan beragama. Pengakuan Wayan dan pengalaman Ryo menjadi contoh konkret. 

Menjalankan Alternatif Religiositas

Analisis yang dikemukakan di atas tentu saja hanyalah salah satu analisis dari sekian ragam analisis terhadap kehidupan beragama masyarakat Indonesia. Oleh sekelompok anak muda di Jogjakarta, analisis ini dijadikan dasar untuk menentukan pilihan sikap dan tindakan berkaitan dengan kehidupan beragama. Formulasi yang dikemukakan adalah beragama secara dewasa, melepaskan ketergantungan terhadap segala bentuk otoritas dan menceburkan diri dalam eksplorasi religiositas yang mandiri dengan prinsip saling menemani. Formulasi ini secara konkret dijalankan melalui sebuah komunitas yang berdasarkan pengalaman kesejarahannya, secara sadar memilih untuk menghindari bentuk kemapanan organisasi dengan segala hierarkinya. Formulasi ini juga dijalankan melalui sebuah komunitas yang secara sadar menghindari batas-batas keanggotaan dan menghindari senioritas-yunioritas. Akibatnya komunitas ini menjadi sangat terbuka, siapapun boleh bergabung dan meninggalkan komunitas sesuai dengan kemantaban pertanggungjawaban pilihan pribadinya. Masing-masing pengalaman dan kesejarahan religiositas diberi ruang yang sama dan menjalankan prinsip saling menemani.

 Dalam menjalankan alternatif religiositas, komunitas ini mengambil pilihan metodis membongkar prasangka yang diwujudkan dalam tiga kelompok aktivitas yakni silaturahmi dan week-end, ekplorasi musik spiritual, dan belajar bersama. Semua bentuk aktivitas ini dipikirkan, dibicarakan dan dijalankan bersama-sama tanpa ada otoritas superior yang mengawalnya. Satu-satunya pengawal adalah kejujuran, ketulusan dan keyakinan kepada kebaikan-kebaikan yang mungkin dicapai. 

Silaturahmi dan Week-end

Yang dilakukan dalam silaturahmi ini bukanlah sekedar berkunjung dan bercakap-cakap, melainkan berdialog melalui pengalaman. Semua anggota komunitas belajar mengalami “yang berbeda” dan “yang lain” yang selama ini dianggap tidak boleh dialami. Silaturahmi ini barangkali boleh disebut sebagai passing over, menyelami yang lain dan yang berbeda. Contoh konkretnya, semua anggota komunitas belajar mengalami doa agnihotra yang bertradisi Hindu, atau belajar mengalami perayaan ekaristi (misa) di gereja katolik, atau belajar mengalami ritus-ritus Sapta Dharma maupun tradisi meditasi Budha. Dalam week-end, seluruh pengalaman silaturahmi ini beserta dengan segala reaksi pribadi yang terjadi, direfleksikan, diceritakan dan dibicarakan bersama dalam suasana pertemanan yang jujur dan terbuka.

Eksplorasi Musik Spiritual

Eksplorasi musik spiritual adalah kesenian yang dipilih sebagai media lain untuk berdialog, menyelami tradisi-tradisi seni religius yang berbeda-beda dan menghantar setiap pribadi kepada pengalaman religius yang kaya. Eksplorasi musik spiritual ini berisi permainan musik berbagai tradisi religius yang ada di masyarakat baik yang dikategorikan sebagai agama maupun bukan agama (oleh negara), kidung dan syair-syair religius, narasi-narasi religius maupun seni gerak yang mengekspresikan pengalaman religiositas. Semua anggota komunitas menjalankan kesenian ini sebagai media untuk mengekspresikan dan menyelami beragam pengalaman religius yang ada.

Belajar Bersama

Belajar bersama merupakan aktivitas kajian dan dialog lintas disipliner sebagai upaya mengembangkan wacana agama dan membantu masing-masing pribadi memberikan pertanggungjawaban atas pilihan alternatif religiositasnya kepada masyarakat. 

Rekonsiliasi Kultural yang Tak Terduga

Setelah kurang lebih selama dua tahun menjalani alternatif religiositas, komunitas ini menemukan pengalaman-pengalaman rekonsiliatif baru yang tak pernah dipikirkan sebelumnya. Sebagian besar orang yang terlibat di dalamnya mengalami perubahan sikap dalam berelasi dengan agama lain. Sikap-sikap curiga, khawatir atau takut dan kaku yang pada awalnya terjadi, telah berubah menjadi sikap santai dan serba percaya diri. Pertanyaan dan perbincangan mengenai perbedaan-perbedaan yang umumnya dianggap tabu untuk dibicarakan karena dikhawatirkan bisa menyinggung keyakinan agama, justru menjadi pertanyaan dan perbincangan yang dominan dan semuanya itu dilakukan dalam kesantaian pertemanan yang serba terbuka. Orang-orang muda dari berbagai agama ini sekarang menjadi lebih akrab dengan berbagai ritual agama yang sebelumnya dianggap sebagai “perbuatan yang harus dihindari”. Boleh diungkapkan di sini bahwa mereka yang pada masa SMA pernah sangat antusias melemparkan bom molotof di gereja Kotabaru, sekarang menjadi sangat antusias untuk mengikuti ibadat Minggu Palma, Trihari Suci Paskah dan Natal meskipun sehari-harinya mereka tetap menjalankan sholat lima waktu. Mereka yang selama masa kecilnya mengalami pengalaman buruk dengan semua yang berbau Islam dan menganggap Islam sebagai musuh yang senantiasa menolak kehadiran mereka, sekarang dengan penuh ketulusan bisa membagikan pengalaman bahwa sholat maghrib setiap hari merupakan meditasi yang nikmat dan membawa kebeningan batin meskipun misa di gereja setiap Minggu tetap menjadi ungkapan kekristenannya. Atau seorang pemuda yang selama sekian tahun sangat wasis sebagai takmir masjid, tidak lagi merasa canggung untuk melantunkan kidung pujian Hindu dalam upacara ritual di gereja. Ada pula seorang mahasiswa teologi kristen yang dengan gembira sempat memilih untuk berjilbab dalam hidup hariannya karena menurutnya, berjilbab adalah sebuah jalan kesederhanaan yang menuntut konsekuensi dalam banyak hal. Ada pula seorang teman Hindu yang telah dinyatakan lulus karena mampu melaksanakan “sujud” dalam ritual Sapta Dharma secara tulus. Sudilah pula kiranya diterima dalam kebesaran hati, jika seorang pria kristen telah menikahi perempuan muslim dalam sebuah upacara suci yang dipimpin seorang kyai, dan selanjutnya memilih upacara ritual Hindu untuk memaknai sebuah tradisi mitoni, mendoakan sang calon bayi. 

 Orang-orang muda dalam komunitas ini tidak lagi merasa canggung atau khawatir atau bahkan takut disebut sinkretis karena berbagai macam ritual agama yang telah biasa dialaminya ternyata merupakan ekspresi-ekspresi kultural yang tetap mampu membantunya memasuki pengalaman religius dan memasuki ketundukan di hadapan Sang Maha Besar yang satu dan sama. Ternyata, tak ada satupun pengalaman religius yang hilang ketika ia memasuki tradisi-tradisi yang berbeda-beda itu. Bagi orang-orang muda ini, stigma sinkretisme dipahami sebagai ungkapan kepentingan kekuasaan yang mengalami ketakutan akan kehilangan kewibawaan dan loyalitas. Ketika substansi agama telah dicoba untuk diselami dan dialami dalam kerendahan hati, formalisme agama tidak lagi ditempatkan sebagai hal yang utama meskipun tetap diakui sebagai hal yang berharga. Tak mengherankan ketika ditanya “Anda beragama apa?”, mereka justru akan celingukan untuk menjawab sambil tertawa, “Semacam beragama”.

 Empati dan rasa solidaritas terhadap orang lain yang mengalami diskriminasi akibat agama yang dianutnya, ternyata tumbuh lebih besar dan nyata. Mereka yang mengalami diskriminasi dalam menjalankan keyakinan agamanya, diberi ruang untuk mengungkapkan pengalaman diskriminatif itu, diperhatikan, diterima, ditemani dan dibantu untuk menghadapi pengalaman itu. Empati dan solidaritas ini tumbuh justru ketika sikap kritis terhadap agama, termasuk agamanya sendiri, mengemuka sebagai kesadaran bersama. Dengan tulus hati mereka mengakui bahwa agama tidak sepenuhnya suci karena selalu pernah terlibat dalam hal-hal yang tidak manusiawi, dan dalam sejarah selalu pernah menumpahkan darah. 

Pengakuan akhir

Seluruh perjalanan dan rekonsiliasi kultural yang terjadi ini, sesungguhnya tak pernah menjadi rencana. Semuanya berjalan begitu saja, bertemu tanpa dipaksa, bersama belajar tanpa merasa dikejar-kejar, menemukan lalu dibagikan, menjadikannya sebagai kebiasaan, didiskusikan sambil menemukan pertanggungjawaban, diyakini dalam kerendahan hati dan dijalankan dengan penuh harapan. Tak ada pastor dan tak ada kyai, tak ada pendeta maupun bikhu dan bikhuni. Semuanya dipikirkan dan dijalankan sendiri tanpa dominasi dan otoritas yang mengawasi. Seluruh pertanyaan dan kegelisahan budi, diolah dan ditekuni dalam saling menemani.

(Tulisan ini pernah disampaikan dalam Seminar Nasional Pribumisasi Islam : Negara, Agama dan Kebudayaan Menuju Desentralisasi dan Rekonsiliasi, Hotel Indonesia Jakarta, 24 Mei 2002, yang diselenggarakan oleh Desantara Jakarta)

Tuesday, October 10, 2006

Sinetron dan "Image Alternatf" bagi Perempuan

Indro Suprobo Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, kehadiran televisi sudah seperti sebuah keharusan yang tak bisa ditolak lagi. Salah satu tayangan yang menarik minat begitu banyak permirsa adalah sinetron. Serial film televisi yang berdurasi pendek namun sambung-menyambung ini selalu saja dinantikan kehadirannya oleh pemirsa, terutama oleh kaum perempuan yang sehari-harinya sangat akrab dengan pekerjaan domestik kerumahtanggaan. Sinetron dapat ditonton sambil melakukan pekerjaan rumah tangga seperti seterika, memasak, mencuci, dsb. Menjadi lebih menarik lagi apabila sinetron ini ditonton secara beramai-ramai sambil sesekali berkomentar atas tokoh-tokoh yang dihadirkan. Begitu pentingnya kehadiran televisi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia itu sampai-sampai sebuah keluarga muda yang hendak mencari pekerja rumah tangga mengalami kesulitan luar biasa karena di rumahnya tak ada televisi. Tak seorangpun yang mau menjadi pekerja rumah tangga dalam keluarga itu karena keluarga itu tak memiliki televisi. Barangkali, pernyataan Karl Marx yang terkenal bahwa agama telah menjadi candu, sekarang ini bisa diperluas dengan pernyataan bahwa televisi telah menjadi candu. Namun benarkah televisi telah menjadi candu? Untuk sebagian orang barangkali benar, namun untuk sebagaian orang lagi barangkali juga tidak benar. Untuk sebagaian orang yang telah menjadikan televisi sebagai candu, pantaslah diperhitungkan peringatan Sunardian Wirodono yang menulis buku “Matikan TV-Mu! Teror Media Televisi di Indonesia, yang diterbitkan oleh Resistbook pada tahun 2005. Buku yang sangat laris itu memaparkan dampak-dampak buruk dari media televisi yang tayangannya ditelan mentah-mentah sebagai barang konsumsi yang nikmat. Memang, sebagai sebuah media, televisi bisa menjadi alat bagi kekuasaan untuk mengontrol masyarakat dari beragam aspek baik itu ekonomi, politik, kebudayaan, hukum, sampai pada selera terhadap jenis makanan tertentu. Televisi sebagai alat kekuasaan bisa menjadi media untuk mengatur cara berpikir tentang banyak hal yang tentu saja sesuai dengan keinginan cara berpikir kekuasaan. Pada masa orde baru ada tayangan yang dimaksudkan untuk menciptakan cara berpikir masyarakat mengenai bagaimana menjadi warga Negara yang ideal dan bagaimana sebuah keluarga merupakan unit paling kecil bagi pembentukan individu warga Negara yang ideal ini. Idealisme tentang warga Negara itu tentu saja sesuai dengan yang diinginkan oleh orde baru di mana suami dan ayah adalah seorang kepala keluarga dan isteri adalah pendamping suami dengan segala konstruksi relasi laki-laki dan perempuan yang patriarkhal. Dalam sinetron-sinetron yang ditayangkan oleh televisi Indonesia, perempuan cenderung digambarkan sebagai seorang yang lemah, tidak mandiri atau tergantung kepada suami atau keluarga besar, rentan terhadap tindakan kekerasan dan pelecehan, emosional, dan pasif. Sementara figure perempuan yang sebaliknya, yakni yang mandiri, bisa mengambil pilihan atas hidupnya, memiliki aktualisasi diri di luar urusan domestik, cenderung ditempatkan sebagai perempuan yang tidak ideal. Itulah imaginasi yang diproduksi oleh sinetron berkaitan dengan perempuan Indonesia. Namun demikian apakah semua perempuan Indonesia yang menikmati dan menggandrungi tayangan sinetron ini menangkap begitu saja pesan yang diproduksi oleh sinetron sebagai sebuah idealisasi bagi dirinya? Hasil penelitian Pam Nilam atas perempuan di Bali yang menonton sinetron, menunjukkan hal lain. Para perempuan Bali yang diteliti oleh Pam Nilam itu memang merupakan kaum perempuan yang sangat gandrung kepada sinetron dan selalu setia menantikan kehadiran sinetron itu dalam hidupnya setiap hari. Tak ada waktu yang dikorbankan untuk tidak menonton sinetron yang dinantikan. Namun ketertarikan mereka terhadap sinetron ini bukan karena mereka menyetujui pesan tentang figure perempuan sebagaimana diproduksi oleh sinetron, melaikan karena mereka melihat bahwa penggambaran tentang perempuan oleh sinetron itu sangat sesuai dengan situasi real hidup sehari-hari kaum perempuan di Bali dan menjadi media representasi keprihatinan mereka atas situasi itu. Konteks social dan budaya masyarakat Bali telah menempatkan perempuan dalam situasi yang tidak mengenakkan bagi perempuan sendiri. Dengan demikian, sinetron sangat digemari karena ia menjadi wadah bagi pengungkapan keprihatinan konkret kaum perempuan Bali atas situasi hidup mereka setiap hari. Lebih jauh lagi, figure perempuan yang tidak berorientasi kepada segala macam urusan domestik dan ditempatkan oleh sinetron sebagai figure perempuan yang buruk, justru dipilih oleh kaum perempuan penonton sinetron di Bali sebagai figure alternative yang mungkin untuk diusahakan oleh mereka sebagai perlawanan terhadap situasi hidup sehari-hari. Dengan demikian, dalam kasus ini, pesan yang diproduksi oleh sinetron itu justru dimaknai secara berbeda oleh kaum perempuan Bali. Pesan itu dibengkokkan, bahkan dipatahkan dengan makna yang baru oleh kaum perempuan Bali. Meminjam istilah Stuart Hall, kaum perempuan Bali penonton sinetron televisi Indonesia itu telah melakukan suatu oppositional reading atas pesan yang diproduksi oleh sinetron. Kemampuan untuk melakukan oppositional reading yang dimiliki oleh kaum perempuan Bali ini telah melahirkan suatu “image alternative” bagi idealisasi perempuan di Bali. Image alternative itu merupakan imaginasi perlawanan terhadap imaginasi dominan yang berlaku dalam konteks sosial kultural setempat. Tak mengherankan apabila tayangan sinetron ini juga mendapatkan kritik keras dari kaum laki-laki karena di luar kontrol produser sinetron, tayangan itu justru menumbuhkan sikap kritis dan alternative kaum perempuan atas kehidupan mereka sehari-hari. Tentu saja ini merupakan kritik perempuan atas relasi patriarkhis yang berlaku dalam konteks setempat dan mengguncang wibawa patriarkhis kaum lelakinya. Dalam kasus sebagaimana dipaparkan oleh Pam Nilam sebagai hasil penelitiannya ini, televisi tidak dapat disebut sebagai candu bagi kaum perempuan di Bali yang sehari-harinya sangat gandrung kepada tayangan sinetron. Tentu saja, latar belakang social, kebudayaan, pendidikan dan sebagainya merupakan faktor yang mempengaruhi bagaimana pemirsa televisi menyikapi pesan yang diproduksi oleh media. Kaum perempuan di Bali mampu melakukan perlawanan makna atas pesan yang diproduksi oleh media. Kalau demikian, peringatan Sunardian Wirodono yang berbunyi “Matikan TV-mu” juga telah dimaknai secara berbeda oleh sebagian kaum perempuan penonton sinetron di Bali. Mereka telah mematikan pesan yang diproduksi oleh sinetron, dan menghidupkan pesan yang lain yang mereka produksi sendiri.*** Sumber: Pam Nilam, Gendered Dreams: Women Watching Sinetron (Soap Operas) On Indonesian TV, Indonesia and the Malay World, Vol.29, No.84, 2001