Thursday, November 30, 2006

KATETE (Keluarga Tanpa Televisi)

Indro Suprobo Nuansa Pagi…. Pagi itu, begitu bangun dari tidurnya, si Enthung, anak yang baru berumur sekitar 4 tahun langsung menuju ke dapur di mana ayah dan ibunya lagi asyik meracik masakan bahan sarapan. “Hai kalian semua. Selamat pagi!”, begitu sapaannya kepada ayah dan ibunya. Terbiasa dengan suasana egaliter dalam keluarga, si anak pun terbiasa menyapa kedua orangtuanya dengan sebutan “kalian”, atau “kamu”, “aku” dan sejenisnya. Dengan penuh girang ayah dan ibunya membalas “Hai, selamat pagi juga enthung-enthungku”. “Kalian sedang memasak makanan buat aku ya?” lanjutnya ramah “Iya dong, sayang. Ini makanan buat kita semua, supaya sehat”, jawab ibunya. Sebentar si Enthung melihat-lihat bayam, wortel, bawang, kunci, tomat, laos, daun salam dan garam yang sudah siap untuk diolah. Pagi itu, keluarga kecil ini hendak memasak “Bayam yang dibrambang salam”. Makanan sejenis sup tetapi bumbunya tidak “diuleg” melainkan dipotong kecil-kecil lalu direbus. Setelah mendidih, wortel dan bayam dimasukkan kemudian. Segar dan kemepyar. “Ayah, apakah kamu mau menemaniku ke sana?”, tanyanya sambil menunjuk ruang tamu. “Mau. Kamu mau apa di sana?”, jawab ayahnya sambil bertanya balik. “Aku mau didongengi Opi’s”, jawabnya singkat. Ayahnya segera mengikuti si Enthung dari belakang dan menuju ke ruang tamu. Di ruang tamu Enthung duduk di kursi panjang sementara ayahnya duduk di sebelahnya dan membacakan salah satu dari buku dongeng yang bertumpuk-tumpuk di bawah meja tamu. “Opi’s on the airplane” adalah salah satu judul buku dongeng anak berbahasa Inggris yang berkisah tentang pengalaman Opi naik pesawat terbang ketika mengunjungi pamannya di kota lain. “Opi’s on the airplane. Opi naik pesawat terbang”, begitulah ayahnya mulai membaca buku dongeng itu sambil menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Enthung asyik mendengarkan sambil melihat gambar dalam buku itu. Sesekali ia mengajukan pertanyaan. Sesekali ia menyela dengan cerita kecil tentang detail lampu pesawat. Ketika si Enthung menyela dengan cerita tentang detail lampu pesawat, ayahnya kadang-kadang mengajukan pertanyaan lanjut yang langsung dijawab juga oleh si Enthung. Pagi itu, ayah dan anak mengobrol tentang pesawat terbang, berimaginasi, memperluas dongeng dengan cerita tambahan sendiri dan saling mengajukan pertanyaan serta jawaban. Ini hanyalah sepenggal cerita kecil di pagi hari dari sebuah keluarga yang tidak memiliki televisi di rumahnya. Hari Gini Tak punya televisi? Ya, benar. Keluarga kecil ini tak memiliki televisi di rumahnya. Mereka memang memilih untuk tidak memilikinya bukan karena anti kepada televisi melainkan karena ingin mendidik anaknya untuk lebih menggandrungi buku dan aktivitas bercerita lisan. Sesekali, ketika sedang berkunjung ke rumah keluarga, si enthung bisa menonton film anak-anak seperti Dora the explorer, namun begitu film selesai, ayah dan ibunya mengajaknya ngobrol tentang film itu atau melakukan aktivitas lainnya. Pilihan untuk tak memiliki televisi pada jaman sekarang barangkali oleh sebagian besar orang dianggap sebagai hal yang aneh atau tidak wajar. Maklumlah, bagi hampir setiap keluarga, TV sudah merupakan barang murah yang wajib dimiliki dan ditonton sebanyak mungkin waktu. Kebutuhan untuk menonton televisi seolah-olah sudah merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi dan ketika kebutuhan itu tak terpenuhi, seolah-olah dunia menjadi begitu sepi dan menjemukan. Sebaliknya, keluarga kecil itu memang sudah terbiasa tanpa kehadiran televisi dalam hidup hariannya. Saat-saat bersama banyak dilalui dengan bercerita bersama anak, menggambar sambil mendongeng, bertanya jawab dengan anak berkaitan dengan aktivitas di sekolahnya, ngobrol suami-istri atau berdiskusi tentang topic tertentu yang menarik perhatian saat itu. Tak ada istilah kesepian bagi mereka. Barangkali saat-saat yang oleh kebanyakan orang dianggap sebagai kesepian, oleh mereka telah dinikmati sebagai saat hening, wening. Saat dimana hati dan budi bisa lebih cermat-jeli mengeja peristiwa hidup dalam bening. Mencipta ruang imaginasi Keluarga kecil itu sangat menyadari bahwa TV memiliki kekuatan besar untuk menyerap perhatian pemirsanya. Ketika perhatian itu terserap, seluruh energi juga terserap. Akibatnya ia sendiri tak lagi memiliki kekuatan untuk mencurahkan atau memancarkan energi. Nah, agar kemampuan mencurahkan dan memancarkan energi itu lebih besar, keluarga ini memilih media lain yang lebih kondusif untuk hal itu. Buku merupakan pilihan utama sebagai media yang merangsang orang untuk mencurahkan energi. Karena yang dibaca adalah kata-kata, maka otak mendapatkan rangsangan untuk mencipta suasana, mencipta penggambaran, mencipta detail, memperluas nuansa dan sebagainya. Dengan demikian, membaca dan mendongeng adalah aktivitas menciptakan imaginasi yang lebih besar. Oleh karena itu, aktivitas itu merupakan aktivitas yang menciptakan ruang luas bagi imaginasi dan proses kreatif lainnya. Tidak semua buku (dongeng) ada gambarnya. Ketika tak ada gambarnya, orangtua ditantang untuk menciptakan gambaran itu bagi anaknya. Dengan begitu, anakpun mendapatkan rangsangan untuk mengeja gambaran itu. Ketika teks atau narasi dalam buku itu tidak menarik atau terlalu kaku, orangtua memiliki tantangan untuk membuat agar teks atau narasi itu menjadi lebih menarik. Penekanan intonasi, perbedaan cara bersuara, perbedaan mimik atau wajah, disertai ekspresi detail dari mulut, mata, alis, dan gerakan tubuh lain merupakan seni berimaginasi dan berkreasi yang baik dan menyehatkan. Melihat itu, anak akan menciptakan imaginasinya sendiri dan bergembira. Semua itu merupakan sebuah proses kreatif dalam keluarga. Saat-saat bersama menjadi saat untuk berkreativitas. Kebiasaan demikian yang terus-menerus akan mempengaruhi anak untuk terbiasa melakukan proses kreatif, menciptakan ide, memaparkan penggambaran, menyampaikan kisah dari perspektifnya sendiri, dan merangkai suatu narasi dari kekayaan nuansa pribadinya. Menciptakan ruang dialog Aktivitas mendongeng, apalagi sambil melukis, diselingi dengan pertanyaan dan jawaban, diselingi cerita sisipan oleh anak maupun orangtua, merupakan ruang dialog yang sangat berharga. Dalam dialog itu, kebiasaan bertanya, kebiasaan menjawab, kebiasaan memahami jawaban orang lain, kebiasaan memaparkan sesuatu yang sedang dibayangkan atau dipikirkan, mendapatkan tempatnya yang terhormat. Dan yang paling menarik, kebiasaan untuk memaparkan pandangan atau gambaran atau imaginasi yang berbeda mendapatkan kehormatannya. Harapannya, kalau anak sudah terbiasa untuk berdialog, terbiasa untuk bercerita, memaparkan kisah berdasarkan imaginasinya yang bebas dan menggembirakan hati, tidak memiliki ketakutan untuk mengajukan pertanyaan maupun menyampaikan jawaban, pada gilirannya, anak itu juga akan bisa menuliskan apa yang ada dalam pikirannya. Menulis bukan lagi sebuah aktivitas yang berbeban dan berat, melainkan aktivitas yang menggembirakan hati untuk mencurahkan segala isi budi : keprihatinan, protes, dukungan, sanggahan, pertanyaan dan penjabaran komitmen diri. Kejutan yang tak terkira Setelah sekian tahun keluarga kecil ini menjalani kehidupan tanpa kehadiran TV, ada banyak kejutan yang tak terkira dalam kaitan dengan perkembangan si Enthung, anak mereka yang telah berusia sekitar 4 tahun itu. Si Enthung menjadi anak yang mudah sekali bercerita dan memaparkan kisah real maupun imaginasi alias khayalannya sendiri. Ia bisa bercerita panjang sekali dengan urutan yang bagus dan detail-detail yang menarik hati. Ketika sedang terlibat dalam obrolan ayah dan ibunya, ia akan banyak mengajukan pertanyaan yang kadang-kadang membuat orangtuanya harus berpikir keras untuk bisa menjawabnya secara bijak. Atau kadang-kadang ia akan mengajukan protes dalam sindiran pertanyaan yang membuat ayah dan ibunya tertawa terbahak karena kesahihan protes itu. Dan akhirnya, ketika melihat televisi, ia telah memiliki kesanggupan untuk mengambil jarak terhadapnya, tanpa harus anti terhadapnya. Suatu kali, ketika sedang berkunjung ke rumah saudara, ada tayangan film sinetron yang berisi pertengkaran saling memaki antara pasangan suami istri. Si Enthung berkata kepada ibunya, “Ibu tolong matikan TV itu. Aku merasa bising mendengar suaranya. Aku sedang ingin menonton Dora, kok belum ada ya?”. Wah…wah….wah….si Enthung sudah bisa membedakan antara suara dan kebisingan. Barangkali itu merupakan salah satu kecerdasan bermedia. Bising bukan lagi sekedar suara ramai tak beraturan, melainkan suara yang tak lagi diperlukan karena tak bisa berdamai dengan kebutuhan untuk menyelami hening-bening. Hening-bening adalah suasana yang dibutuhkan oleh jiwa untuk bisa lebih produktif mengelola segala bentuk proses kreatif dalam hidup sehari-hari. Kalau anak sudah memiliki kepekaan terhadap hal ini, ia punya modal besar untuk menyelami kedalaman. Nuansa Malam Menjelang tidur, setelah menum segelas susu, si Enthung meminta ayahnya untuk menemani tidur. "Ayah, ayo kamu menemani aku tidur", pintanya. Di kamar tidur, ayahnya berbaring di sebelahnya, sementara si Enthung tidur telentang sambil mendongeng panjang lebar tentang hal-hal yang berkesan baginya sepanjang hari ini dengan segala bumbu imaginasinya. Ia akan bercerita tentang truk tangki atau bis malam dengan detail bentuk kaca spionnya, kenalpot dan lampunya, lengkap dengan percakapan sopir maupun para penumpangnya. Seringkali nama-nama teman-teman sepermainannya akan ikut dilibatkan dalam kisahnya itu. Ia bercerita panjang sekali dengan pernak-pernik intonasinya sampai keduanya tertidur. Pada malam hari, ayah tak perlu banyak cerita karena si Enthunglah yang akan mendongeng untuk mereka berdua. Nah, seandainya tak sanggup dengan model keluarga tanpa telivisi ini, barangkali televisi tetap dipersilakan hadir dalam keluarga, namun dengan memperhatikan permintaan si Enthung kepada ibunya itu : “Ibu tolong matikan TV itu. Aku merasa bising mendengar suaranya. Aku sedang ingin menonton Dora, kok belum ada ya?” Kalau anak-anak seperti Enthung ini semakin banyak jumlahnya, barangkali tidak perlu dengan banyak kritik dan protes, tayangan TV semacam smackdown itu sudah akan ditutup dengan sendirinya sebelum menelan korban.

1 comment:

Unknown said...

salut...mas

aku bermimpi juga punya keluarga kecil yang tidak terdidik oleh media elektronik yang lebih mengutamakan rating..