Tuesday, November 28, 2006
"Tuhan Agamamu Apa?"
Indro Suprobo
Ketika langit di atas rumah masih berwarna kuning kemerah-merahan, si No’e, gadis kecil yang belum genap 7 tahun umurnya itu, sedang menyirami anggrek di halaman rumah bersama embah putrinya, perempuan tua yang sudah genap 70 tahun umurnya. Si No’e kelihatan asyik sekali menikmati aktivitas menyirami bunga itu. Gerak geriknya memancarkan keriangan dan kemanjaan khas anak-anak. Sambil berdiri, tangan kanannya memegangi selang yang memercikkan air ke tanaman, sementara tangan kirinya methentheng di pinggang dan kepalanya agak oleng ke kiri. Bibirnya menyungging senyum sementara matanya memandangi anggrek yang ia sirami. “Cikicikicikicikicikicik……….” begitu bunyi air yang meloncat-loncat bergantian menyentuh tanaman dan jatuh ke tanah.
“Airnya jangan banter-banter ya Nok, ya, supaya bunga anggreknya tidak rontok”, kata embah putri kepada cucunya.
“Segini ini kebanteren nggak mbah, airnya?”, tanya si No’e minta pertimbangan.
“Wo….kebanteren kuwi Nok, cah ayu. Dikurangi sedikit lagi”
“Segini ya mbah?”, tanya si No’e lagi meyakinkan sambil mengurangi daya semprot air.
“Nah, segitu itu pas”, kata simbah.
Pembicaraan mereka terhenti karena masing-masing asyik dengan aktivitas mereka. “Cikicikicikicikicikicicikicikicikicik…..” bunyi air terdengar di antara kediaman simbah dan cucu ini.
Embah putrinya si No’e ini tangannya terampil sekali mencabuti rumput-rumput kecil di dalam pot-pot bunga. Memang tangan yang sekarang keriput itu sejak muda telah terlatih melakukan aktivitas demikian karena sering membantu orangtuanya bekerja di sawah sepulang dari sekolah desa. Tangan itu juga sangat terampil merangkai bunga karena sering dimintai tolong menghias altar untuk keperluan misa di kampusnya ketika masih menjadi mahasiswi fakultas teologi.
“Hi…hi…hi….”’ si No’e tertawa-tawa kecil ketika menyaksikan bunga anggrek yang disiraminya itu mengangguk-angguk lucu.
“Mbah, mbah, lihat mbah, bunga anggreknya mengangguk-angguk!” kata si No’e kegirangan sambil menunjuk bunga yang sedang disiraminya.
“Wah…iya..ya. Bunga anggreknya mengangguk-angguk”, kata embah putri menanggapi kegirangan cucunya.
“Mbah, mbah, bunga anggreknya kok mengangguk-angguk itu kenapa sih mbah?”, tanya si No’e lugu.
Si embah yang mantan guru agama desa itu tercenung sejenak memikirkan jawaban atas pertanyaan cucunya yang polos itu. Kecerdasannya yang dulu terbukti nyata saat mengikuti kuliah teologi selama sepuluh semester dan meraih gelar sarjana dengan predikat cum laude itu sekarang sedang diuji oleh pertanyaan cucunya. Wow, ia menemukan jawabannya!
“Nok, cah ayu, bunga anggrek itu mengangguk-angguk karena mengucapkan terima kasih kepadamu. Ia merasa segar karena disirami air setiap hari. Jadi, ia berterima kasih.”
Si No’e tersenyum senang sambil matanya memandangi bunga yang mengangguk-angguk kepadanya.
“Mbah, mbah, kata bu guru ngaji, orang yang bisa mengucapkan terima kasih itu orang yang baik. Bener nggak mbah?” tanya si No’e lagi.
“Iya dong”
“Kata bu guru ngaji, orang yang baik itu disayangi Tuhan” tanya No’e lagi.
“Iya dong”
“Orang yang disayangi Tuhan itu besok masuk surga ya mbah?”
“Iya dong”
Si No’e diam sejenak, sementara wajahnya tiba-tiba berubah menjadi serius. Si embah putri memperhatikan perubahan wajah itu namun ia diam tanpa pertanyaan sedikitpun. “Cikicikicikicikicikicikicik…” suara air terdengan jelas lagi. Gadis kecil yang sudah sekolah di Taman Kanak-kanak Santa Maria itu sedang mempunyai pertanyaan agak sulit bagi dirinya. Ia disekolahkan di TK St. Maria oleh orangtuanya karena itulah satu-satunya sekolah TK terdekat. Setiap sore, biasanya ia belajar mengaji karena kedua orangtuanya adalah muslim yang saleh. Ibunya dulu beragama katholik, lalu menjadi Islam dan rajin sholat karena menikah dengan suaminya. Sore ini ia tidak mengaji karena libur, guru mengajinya sedang punya hajat menyunatkan anak laki-lakinya.
“Mbah, teman-teman di sekolah bilang kalau orang yang masuk surga hanya orang yang mengikuti Tuhan Yesus. Katanya, tanpa Tuhan Yesus orang tidak bisa masuk surga. Betul nggak, mbah?”
Mbah putri yang sarjana teologi itu agak bingung mencari jawaban pas untuk cucunya yang lugu. Lalu, kecerdasannya membantunya untuk menjawab.
“Nok, cah ayu, Tuhan Yesus itu orang baik sekali. Dia suka menolong orang lain. Jadi dia masuk surga. Semua orang yang baik seperti Tuhan Yesus itu disayangi Tuhan dan masuk surga”.
“Orang yang mengikuti Yesus namanya orang kristen ya mbah?”
“Iya”, jawab embahnya singkat
“Kalau orang Islam, masuk surga juga to mbah?”
“Iya dong. Orang Islam khan berdoa kepada Tuhan dan berbuat baik kepada orang lain. Jadi disayangi Tuhan”.
“No’e..! Mau ikut sholat sama ibu nggak?” tiba-tiba suara ibunya si No’e menghentikan pembicaraan mereka.
“Ikut!” jawab No’e.
“Mbah, No’e sholat dulu sama ibu ya mbah”
“Ya, ya, sana sholat dulu biar disayangi Tuhan” jawab simbahnya sambil membereskan selang dan cethok.
Pembicaraan sore itu sangat melekat pada ingatan si No’e, gadis kecil yang belum genap 7 tahun umurnya itu. Malam harinya, ia tertidur pulas karena senang. Wajahnya tenang dan nafasnya teratur sekali. Bintik-bintik keringat menempel di dahinya yang bersih. Ia bermimpi bertemu Tuhan. Dalam mimpinya, Tuhan seperti embah putrinya dan suka menyirami anggrek.
“Tuhan, Tuhan, bunga anggreknya mengangguk-angguk berterima kasih kepada Tuhan karena disirami” kata si No’e cerah sambil menunjuk pada bunga.
“Oh iya. Kamu pinter sekali. Siapa yang mengajari?”
“Embah putri”, jawab si No’e.
“Wah, embah putrimu baik sekali. Senang dong punya embah putri seperti itu” kata Tuhan penuh pengertian.
“Iya, mbah putri baik sekali sama No’e. Tuhan, orang yang baik seperti embah putri besok masuk surga ya?” tanyanya polos.
“Oh tentu. Orang baik seperti embah putrimu pasti masuk surga” kata Tuhan meyakinkan.
“Orang baik seperti Tuhan Yesus juga masuk surga, Tuhan?’
“Oh ya, Tuhan Yesus masuk surga”
“Orang kristen yang mengikuti Tuhan Yesus dan suka menolong orang lain masuk surga juga ya?”
“Iya”
“Orang Islam juga masuk surga?”
“Iya”
“Tuhan, Tuhan itu kristen apa Islam?” tanya si No’e polos sekali.
“Ha…ha…Nok, cah ayu” jawab Tuhan sambil mengusapi kepala si No’e, gadis kecil yang belum genap 7 tahun umurnya itu. “Tuhan tidak punya agama, sayang”.
“Tuhan tidak mengikuti Tuhan Yesus?”
“Tidak”
“Tuhan sholat seperti No’e tidak?”
“Tidak”
“Terus, besok Tuhan masuk surga tidak?” tanya si No’e makin penasaran.
“Iya dong, sayang” jawab Tuhan sambil tersenyum.
“Lho, kok bisa?” tanya si No’e penuh keheranan.
Tuhan tertawa sambil asyik menyirami anggrek, sementara si No’e yang kecil itu terbangun dari mimpinya.***
Judul asli cerpen ini adalah "Lho kok bisa?" (judul dalam edisi teks). "Tuhan agamamu apa?" adalah judul dalam edisi kaos yang sudah dipopulerkan oleh Institut Dian/Interfidei Jogjakarta
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Asyik memang ngobrol soal plurlise dengan mas Indro. Semasa masih satu ruangan dengan dia kita sering bikin guyonan soal keluguan orang yang beragama tanpa tahu alasan kenapa dia harus beragama. Kami merasa cocok kalo ngobrolsoal pluralisme; Saya yang alumni pesantren dengan mas Indro yang jebolan calon pastor. Mas Indro ini kalo soal pluralisme gak perlu diragukan, dia gak koar-koar soal luralisme seperti yang lain, tapi diam dan menjalani. Pluralisme bukan hanya soal berbeda agama atau identitas, tapi yang terpenting pluralisme juga menyangkut perbedaan cara pikir.
Salam
Cak Fu
Post a Comment