Friday, August 23, 2013

God is Calling Us through These People

“Tersentak oleh penderitaan ribuan manusia perahu (dari Vietnam) dan pengungsi, saya merasa bertanggung jawab untuk mengirimkan telegram kepada 20 pembesar Serikat Yesus di seluruh dunia. Setelah menceritakan kepedihan hati saya kepada mereka, saya bertanya apa yang dapat mereka lakukan di tiap negara dan dalam Serikat universal, sekurang-kurangnya untuk meringankan beban pengungsi dalam situasi yang tragis ini.” Itulah petikan surat yang ditulis oleh Pater Pedro Arrupe SJ kepada para pembesar Serikat Yesus tertanggal 14 November 1980, yang berisi keputusan untuk memulai Jesuit Refugee Service (JRS). Tragedi “manusia perahu” yang melahirkan JRS sampai saat ini masih berlangsung di lintasan Asia-Pasifik dan menjadi panggilan tiada henti bagi Serikat Yesus untuk menjawab salah satu krisis terbesar zaman ini.

Di dunia saat ini terdapat sekitar 45,2 juta pengungsi lintas batas negara (refugee) pencari suaka (asylum seekers) dan pengungsi internal, menurut badan PBB urusan Pengungsi [Lihat data]

Indonesia kini menampung sekitar 8.000 pencari suaka dan hampir 2.000 pengungsi. Sebagian besar pencari suaka dan pengungsi tinggal di wilayah perkotaan dan terlupakan. Mereka kehilangan hak-hak dasar sebagai manusia yang bebas dan dikriminalisasi sebagai “imigran gelap”.

“Saya bukan penjahat, tetapi mengapa saya dipenjara di tempat seperti ini?” keluh pengungsi yang dikurung di balik jeruji besi Rudenim.

Kehadiran yang Komunikatif
Dalam situasi dunia yang tidak ramah terhadap pengungsi, JRS hadir secara langsung dan personal untuk menemani dan mendengarkan mereka sebagai sahabat. Jalinan persahabatan tersebut membuka jalan bagi JRS untuk melayani para pengungsi dengan membantu memulihkan martabat hidup dan memenuhi kebutuhan manusiawi mereka, baik material maupun spiritual. Hadir sebagai sahabat dan pelayan, JRS membela hak-hak para pengungsi dengan beragam cara. Misi untuk menemani, melayani, dan membela para pengungsi lahir dari kekayaan spiritualitas Ignasian yang menggerakkan orang untuk semakin dekat mereka yang miskin kapabilitas.

Kini JRS Indonesia menemani para pengungsi dan pencari suaka yang dipenjara di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Belawan dan Pasuruan. JRS membantu menumbuhkan dialog yang terbuka antara petugas Rudenim dan para pengungsi agar terwujud perlakuan yang lebih manusiawi bagi para pengungsi.

JRS juga menemani para pencari suaka yang tinggal di tengah masyarakat, seperti di Cisarua. Mereka berasal dari negara-negara di Timur Tengah, Sri Lanka, Myanmar, dan Afrika. Kehidupan mereka rawan akan penyisiran, penangkapan, dan penolakan. JRS membantu mereka agar memiliki akses pada  pelayanan pendidikan dan kesehatan. Selain itu, bersama jaringan pengacara pro bono, JRS mendampingi pencari suaka dalam proses Penentuan Status Pengungsi di UNHCR Jakarta.
Di Yogyakarta, JRS bersama para mahasiswa Universitas Sanata Dharma dan sukarelawan muda lainnya menyelenggarakan kursus bahasa Inggris bagi mereka yang sudah mendapatkan status pengungsi (refugee) dan sedang menunggu negara yang mau menerima mereka.

JRS mengangkat suara dan kisah para pengungsi dan pencari suaka yang mencari keadilan melalui newsletter Refuge yang terbit tiga bulan sekali, website JRS (www.jrs.or.id), film dokumenter, dan penerbitan buku. Diskusi dan dinamika kelompok bersama komunitas Gerejani, mahasiswa, guru, pelajar, dan kelompok kategorial lainnya diselenggarakan untuk menggugah kesadaran bersama akan pentingnya perlindungan bagi para pengungsi.

“Saya meninggalkan anak-anak di Afghanistan. Saya merindukan mereka setiap hari. Saya melakukan semua ini demi keluarga saya karena saya mencintai mereka”, kata salah seorang pencari suaka yang dikejar-kejar oleh tentara Afghanistan dan tidak ingin membahayakan keluarganya.

Dalam derita dan harapan pencari suaka dan pengungsi, Allah mengusik hati kita dan memanggil kita untuk berjumpa dengan-Nya, sebagaimana ungkapan iman Pedro Arrupe SJ: ”God is calling us through these people”.

Indro Suprobo

Publikasi awal di JRS Indonesia


Monday, June 17, 2013

Dalam Naungan Sayap-sayap Tuhan

“Dengan kepak-Nya Ia akan menudungi engkau,
di bawah sayap-Nya engkau akan berlindung...
engkau tak usah takut terhadap kedasyatan malam...

Kutipan kitab Mazmur 91:4-5 tentang perlindungan Tuhan ini sungguh-sungguh berdaya dan menjadi nyata dalam kehidupan para Pengungsi dan Pencari Suaka di perbukitan Cipayung, Jawa Barat. Apa yang diyakini oleh penulis Mazmur, dialami juga oleh Pencari Suaka yang terpaksa meninggalkan kampung halaman dan orang-orang tercinta, demi menemukan kehidupan damai yang didamba.

Adalah Otang Sukarna*, lelaki 50 tahun, warga sebuah desa di perbukitan Cipayung, Jawa Barat, yang dengan ketulusan hatinya, menghadirkan ayat Mazmur ini dalam kehidupan sehari-hari. Ia adalah orang desa yang menjadi sahabat bagi para Pengungsi dan Pencari Suaka. Melalui cara-cara yang sederhana dan nyata, ia memotivasi warga desa, ibu-ibu serta anak-anak, untuk bersikap ramah dan bersahabat kepada Pengungsi dan Pencari Suaka yang tinggal di sana. Persahabatan yang tulus dan sikap saling membantu sebagai saudara, adalah keramahtamahan yang nyata, sekaligus wujud perlindungan yang memberi rasa aman bagi mereka.

Ketika di tempat lain Pengungsi dan Pencari Suaka menghadapi penolakan, kecurigaan, stigma negatif, pengusiran dan pengasingan, Otang Sukarna dan warga di desanya justru menawarkan rumah sederhana dan nyaman untuk tinggal, suasana pergaulan yang akrab dan bersahabat, kegiatan bersama yang bermanfaat, dan pertolongan-pertolongan nyata yang membesarkan jiwa.

Para imigran ini adalah orang-orang baik. Mereka bukan penjahat dan tidak berbuat onar. Mereka ke sini untuk mencari rasa aman karena negaranya kacau,” begitu kata Otang memaparkan pemahamannya. Meskipun belum pernah membaca dokumen internasional tentang Pengungsi, ia mampu menggambarkan pemahamannya dalam rumusan paling sederhana dan komunikatif, yang paling mudah diterima dan dimengerti oleh semua warga desa.

Kesadaran Empatik

Otang Sukarna memiliki alasan mendasar mengapa ia bersikap ramah dan bersahabat dengan para Pengungsi dan Pencari Suaka. “Mereka adalah orang-orang yang memiliki anak seperti saya juga. Mereka juga mengalami kesusahan yang sama seperti saya. Jadi sudah semestinya saya bersikap baik dan membantu mereka. Bahkan kalau bisa, saya melindungi mereka karena sama-sama sebagai manusia biasa,” jelasnya. Menyelami, memahami dan membiarkan diri disentuh oleh pengalaman orang lain, adalah sebuah olah kesadaran yang empatik. Kesadaran ini melahirkan keterlibatan yang konkret.

Ketika media massa memberitakan adanya ancaman penolakan dan pengusiran terhadap para Pencari Suaka, Otang Sukarna dan Kepala Desa berkeliling kampung memberikan peneguhan kepada mereka. “Saya berkeliling bersama pak Lurah, mengunjungi mereka satu demi satu dan meyakinkan mereka beserta pemilik kontrakan untuk tidak merasa takut karena di wilayah ini situasinya dijamin aman,” katanya penuh semangat. Bahkan Kepala Desa sendiri menegaskan perlindungannya,”Nanti jika terpaksa memang ada orang luar yang datang ke sini untuk menganggu mereka, suruh mereka semua pindah ke rumah saya. Saya sendiri yang akan melindungi,” lanjutnya menirukan pernyataan Kepala Desa.

Saling Berbagi
Otang Sukarna memiliki cara jitu dan sederhana untuk semakin mempererat hubungan antara warga desa dan Pencari Suaka. Hidup sehari-hari adalah medianya. “Saya sering mengajak mereka untuk ikut menghadiri acara pernikahan dan kematian. Bahkan mereka juga ikut mengangkat keranda jenasah sampai ke makam,” katanya. Hadir dan terlibat dalam kebiasaan-kebiasaan warga adalah tanda, sarana serta wujud kesediaan untuk menjadi bagian. Hal itu membuat hubungan mereka semakin dekat dan akrab. Mereka menjadi bagian dari warga, dan bukan lagi orang asing. “Karena dekatnya hubungan itu, salah satu imigran bahkan dibujuk oleh warga untuk menikah dengan orang sini dan menjadi keluarga mereka,” lanjut Otang.

Peringatan hari keagamaan juga menjadi sarana untuk saling berbagi. Pada peringatan 10 Muharram [Assyura], warga dan Pencari Suaka menyelenggarakan upacara keagamaan bersama. “Bahkan pak Lurah menyumbangkan satu ekor kambing. Mereka senang sekali.”

Pada masa awal kehadiran Pencari Suaka, selama beberapa waktu pernah diselenggarakan kegiatan belajar bahasa Inggris untuk anak-anak. Melalui kegiatan itu warga dan Pencari Suaka dapat saling belajar. Anak-anak belajar bahasa Inggris, sementara para Pencari Suaka belajar tentang kebiasaan hidup sehari-hari. “Wah dulu banyak sekali anak yang ikut belajar bahasa Inggris. Hampir tiga kelas penuh jumlah pesertanya.”

Berkat hubungan yang akrab ibu, tak mengherankan apabila di beberapa sudut jalan atau di dekat warung, terdengar kelakar dan canda tawa antara Pencari Suaka dan warga desa yang sedang mengisi waktu senggang mereka. Otang Sukarna dan warga desa di perbukitan Cipayung, bagaikan sayap-sayap Tuhan yang memberikan keramahan, perlindungan dan rasa aman bagi para Pencari Suaka. Melalui mereka, Tuhan sungguh-sungguh menudungi para Pengungsi dan Pencari Suaka dengan kepak-Nya.***


Indro Suprobo
-----------

* Bukan Nama sebenarnya
Publikasi awal di JRS Indonesia

Friday, May 10, 2013

Keramahtamahan Yang Menyembuhkan

Konflik dan kekerasan bersenjata di berbagai belahan dunia telah melahirkan banyak korban jiwa dan pengungsian. Anak-anak dan orang-orang biasa yang tak bersalah seringkali harus menanggung derita yang sulit dimengerti atau mengalami kematian. Banyak orangtua tersayat jiwanya menyaksikan anak-anak terenggut oleh kekejaman perang. Banyak anak harus mengalami kesepian dan keterasingan karena kehilangan ayah atau ibu yang pernah mendekap mereka dalam kasih sayang. Derita dan kematian yang tampak sia-sia ini menggoreskan luka yang dalam. Mereka yang terpaksa mengungsi, meninggalkan kampung halaman dengan segenap luka yang mereka sandang. Mereka berharap dapat menemukan kehidupan yang damai dan masa depan yang cerah.

            Para Pengungsi merindukan bahwa kisah hidup mereka didengarkan dengan penuh perhatian. Dengan berkisah tentang kehidupan mereka, Pengungsi ingin menyampaikan pesan-pesan kemanusiaan yang mengundang kita untuk bertindak bagi terwujudnya perdamaian dan keadilan secara konkret dan sederhana. Pesan ini akan sampai bila kita bersedia menyambut para Pengungsi dengan keramahtamahan. Adolfo Nicolás SJ menggambarkan keramahtamahan sebagai pancaran nilai kemanusiaan yang mengakui hak seseorang, bukan karena ia adalah bagian dari keluarga, komunitas, ras, atau keyakinan kita, melainkan semata-mata karena ia adalah sesama manusia yang layak diterima dan dihormati.[1]

            Keramahtamahan ibarat menyambut seorang asing untuk tinggal di rumah  yang telah kita bangun untuk seseorang yang kita kasihi.[2]  Dalam keramahtamahan, Pengungsi yang menjadi tamu di negara kita disambut sebagai tamu dan sahabat yang dikasihi. Sambutan yang hangat tersebut membesarkan hati dan membangkitkan semangat hidup yang pernah memudar. Di sinilah, mereka yang terlunta-lunta akibat pengungsian menemukan suasana yang mendorong mereka untuk tumbuh kembali sebagai pribadi yang bermartabat. Keramahtamahan menyalakan rasa saling percaya dan saling hormat yang menuntun “pemilik rumah” dan “tamu yang disambutnya” pada pengenalan yang semakin dalam. Dalam suasana inilah, JRS yang mengalami saat-saat berahmat untuk menyambut Pengungsi, belajar menemukan apa saja yang dibutuhkan para Pengungsi untuk memulihkan martabat hidup mereka.

            Keramahtamahan terhadap orang asing seperti Pengungsi adalah wujud nyata sikap pemerdekaan diri (detachment) dari segala rasa lekat tak teratur (inordinate attachments) yang telah menghalangi seseorang untuk menjumpai orang lain dengan seluruh kekhasan pribadinya. Rasa lekat tak teratur itu dapat berupa kecurigaan, rasa tidak aman, stereotype terhadap orang lain, serta anggapan bahwa orang asing adalah “musuh” yang mengancam. Keramahtamahan menjadi jalan pengosongan diri bagi tumbuhnya perdamaian.

            Bagi banyak kebudayaan dan agama, keramahtamahan merupakan nilai dasar. Dalam Islam, Surah An Nisaa’ memerintahkan kaum muslim berbuat baik kepada kerabat, anak yatim, orang asing, dan orang yang sedang melakukan perjalanan (ibnu sabil) [4:36].[3]  Salah satu tradisi Kristen menyatakan,”Jangan lupa memberikan tumpangan kepada orang asing, sebab dengan berbuat  demikian, beberapa orang tanpa diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat” [Surat kepada Orang Ibrani 13:2]. Bahkan, Tuhan sendiri dalam tradisi Kristen menyamakan diri-Nya dengan orang asing yang mengundang keramahtamahan kita: ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan [Matius 25:35]. Taittiriya Upanishad dalam Hindu menyatakan bahwa keramahtamahan ibarat menyambut tamu sebagai yang Ilahi. Dalam agama Yahudi, keramahtamahan (hakhnasat orchim) terhadap tamu atau orang asing merupakan kewajiban.[4]  Ada pula sebuah prinsip yang mendorong penganut Yahudi untuk menerima orang asing yang awalnya dianggap musuh, sebagai sahabat (Eizehu Gibur M’ha’giburim).[5]

            Dunia kita yang menderita sakit akibat perang, konflik, sentimen, kecurigaan, dan stereotyping yang melahirkan Pengungsi, membutuhkan keramahtamahan untuk menyembuhkannya. Semoga penemanan, pelayanan, dan pembelaan JRS bagi para Pengungsi secara langsung, konkret, dan sederhana, dapat menjadi tanda keramahtamahan yang menyembuhkan. Semoga cahaya keramahtamahan melelehkan kebekuan-kebekuan sosial dalam masyarakat yang menolak pengungsi, serta menembus ruang-ruang penting tempat kebijakan politik mengenai Pengungsi diputuskan.


 Indro Suprobo

Publikasi awal di JRS Indonesia

[1] Surat Pater Jenderal Adolfo Nicolás SJ kepada JRS tanggal 14 November 2010 pada peringatan ulang tahun JRS ke-30.
[2] JRS Working Paper, Welcoming the Stranger: Hospitality.
[3] Lih. juga (http://unhcr.or.id/images/pdf/publications/ haksuakasyariah.pdf
[4] JRS Working Paper, Welcoming the Stranger: Hospitality.
[5] Arik Ascherman,”Does Judaism Teach Universal Human Rights?”, dalam Kelly James Clark, Abraham’s Children, Liberty and Tolerance in an Age of Religious Conflict, Yale University Press, 2012, hlm.46-47.

Tuesday, February 12, 2013

Saya Tak Ingin Dihukum Lagi Hanya Karena Rupa dan Agama Saya

Siang itu telepon genggam saya berdering. “Hallo Pak, sekarang ini situasi di Myanmar semakin buruk. Orang Rohingya semakin mengalami banyak kesulitan. Berita terakhir sangat buruk. Kapan kita bisa bertemu?”, demikian suara Mohammad Amir[i] cemas. Pengungsi etnis Rohingya berusia 27 tahun ini telah meninggalkan Myanmar selama hampir 8 tahun.

Kehidupan Muhammad Amir memang tidak pernah mudah namun bulan-bulan belakangan ini ia semakin prihatin dan sedih. Sejak peristiwa kekerasan yang terjadi di Myanmar bulan Juni lalu, Muhammad telah kehilangan kontak dengan keluarganya. “Saya tidak tahu apakah keluarga saya masih hidup saat ini. Yang jelas, satu kakak saya telah melarikan diri ke Bangladesh”, jelasnya. Kedutaan Besar Australia baru saja memberikan surat penolakan atas pengajuan suakanya. Ia merasa semakin cemas dan bingung sampai mengalami gangguan tidur atau insomnia.

PENOLAKAN di MYANMAR
Di Myanmar, sebagian besar orang Rohingya tidak dapat mengenyam pendidikan. “Orang Rohingya seperti saya punya banyak kesulitan untuk dapat menikmati sekolah. Saya hanya dapat bersekolah sampai kelas 4 SD. Itu pun dimulai ketika saya sudah berumur 10 tahun”, katanya. Ketika menginjak usia remaja, lelaki muda Rohingya pada umumnya akan berhadapan dengan lebih banyak kesulitan dan penganiayaan. “Waktu umur 15 tahun, saya dipaksa oleh pemerintah untuk bekerja sebagai tukang bangunan bagi kantor pemerintah tanpa bayaran”, kenangnya dengan wajah sedih. “Dalam seminggu, saya harus menjalani kerja paksa itu selama 4 hari, dari pagi sampai sore”, lanjutnya. “Waktu istirahat hanya setengah jam, dan apabila ketahuan bahwa saya sedikit beristirahat di sela-sela kerja karena lelah, atau karena kurang cepat dalam bekerja, saya akan mendapatkan pukulan demi pukulan.”

“Ketika badan sudah lelah bekerja paksa di siang hari, saya masih sering dipaksa oleh kepala kampung untuk berjaga malam di pos keamanan di wilayah perbatasan sampai pagi”, keluh Mohammad Amir. Menjaga wilayah perbatasan antara Myanmar dan Bangladesh itu merupakan tanggung jawab petugas keamanan, tetapi mereka seringkali memaksa orang Rohingya untuk menggantikannya.  “Suatu malam, saya sangat lelah sehingga tertidur saat dipaksa berjaga malam. Ketika ketahuan, seluruh badan saya dipukuli dengan menggunakan kayu sampai bagian muka dan kepala saya berdarah-darah. Sakit sekali rasanya”, katanya sedih dan marah. “Saya tidak ingin dianiaya lagi. Maka saya memutuskan untuk pergi”.

“Saya tidak mungkin kembali ke Myanmar. Kalau kembali ke sana hanya ada dua pilihan bagi saya, dibunuh atau dipenjara seumur hidup”, tandasnya. Ia merasa beruntung berada di Indonesia meskipun harapan terbesarnya adalah mendapatkan negara ketiga yang mau menerimanya sebagai warga negara. “Saya sudah mengungsi ke beberapa negara seperti Bangladesh, India, China, Thailand dan Malaysia. Saya naik perahu, naik bus, atau berjalan kaki untuk melintasi negara-negara itu. Di semua negara itu, saya selalu merasa terancam meskipun dapat bekerja secara sembunyi-sembunyi, karena jika tertangkap oleh pihak keamanan, saya pasti dimasukkan ke dalam tahanan atau dibuang. Di Indonesia saya merasa lebih baik. Orang Indonesia itu baik hati, peduli kepada orang Rohingya, mau mengirim orang ke Myanmar, dan bahkan mau berbicara mendalam dari hati ke hati”, akunya.

Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, orang Rohingya merupakan kelompok minoritas paling teraniaya di dunia. Ia merupakan bagian dari 12 juta orang yang tidak diakui kewarganegaraannya di negara manapun di dunia setelah Undang-undang Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982 tidak mengakui orang Rohingya sebagai salah satu kelompok etnis di Myanmar. Tidak adanya pengakuan sebagai warga negara ini membuat orang-orang seperti Muhammad Amir ini tidak dapat memiliki paspor, tidak dapat bepergian atau bekerja secara resmi di negaranya sendiri maupun di negara lain, seolah-olah mereka ini tidak boleh hidup di dunia ini.
Dalam kecemasan, kebingungan dan keprihatinan yang menyelimutinya karena pengajuan suakanya ditolak oleh Kedutaan Australia, Mohammad Amir tetap berusaha membangun harapan baru. “Saya sudah menulis surat kepada UNHCR bahwa saya ingin hidup di New Zealand.” Tentu saja proses ini membutuhkan waktu entah berapa lama lagi. Sambil menunggu dalam ketidakpastian, ia berusaha menjagai satu-satunya harapan untuk hidup secara lebih bermartabat.“Saya sangat rindu untuk dapat hidup seperti orang-orang pada umumnya dan memiliki masa depan yang baik”. Agar waktu penantian ini menjadi lebih berguna dan tidak terasa lama, ia memanfaatkannya untuk belajar bahasa Inggris sebagai bekal bagi masa depannya. Semoga masa depan yang dinantikan itu akan memberinya kesempatan untuk hidup secara aman dan kesempatan untuk kembali membangun harapan dan impian.

Indro Suprobo

[i] Demi perlindungan, nama ini bukanlah nama sebenarnya.

Publikasi awal di JRS Indonesia