Sunday, April 02, 2023

Monumen Religius, Trauma, dan Kekuasaan


 

Oleh Indro Suprobo


Barangkali pantas dipikirkan bahwa pembangunan monumen religius yang tinggi, megah dan besar, tidak selalu mencerminkan perkembangan religiositas yang semakin lembut dan mendalam. Ia justru bisa menjadi penanda kepada sesuatu yang lain, bahkan dapat menjadi tanda dari suatu krisis internal hebat yang sedang dialami oleh pembuat monumen itu. Salah satunya, ia justru menjadi penanda tentang adanya rasa takut terhadap hilangnya perasaan berkuasa, perasaan berwibawa dan sebagainya yang ada di dalam dirinya (fear of the loosing of enjoyment). Boleh dikatakan bahwa sedang terjadi suatu perasaan takut akan hilangnya semua bentuk kapital simbolik yang dimilikinya. Sehingga monumen religius yang besar, megah dan hebat itu justru berfungsi sebagai medium untuk menjagai fantasi tentang perasaan berkuasa, menjagai fantasi tentang langgengnya kapital simbolik yang dimilikinya.

Krisis internal itu bisa jadi merupakan fakta atau realitas yang sungguh-sungguh dijumpai dan dialami, namun tersembunyi atau disembunyikan dari pengamatan publik. Namun dapat juga merupakan fakta atau realitas yang sudah mulai menjamur di banyak tempat dan sedang menjadi perhatian publik. Krisis internal itu dialami karena menjamurnya praksis inkonsistensial di dalam dirinya, suatu praksis yang menunjukkan tidak satunya kata dan perbuatan. 

Krisis internal yang dihadapi ini mengakibatkan munculnya pengalaman traumatik, yakni sebentuk pengalaman emosional tubuh, baik tubuh personal, maupun tubuh institusional, sebagai respon atas pengalaman krisis yang dampaknya dinilai sebagai mengerikan bagi dirinya. Salah satu isi pengalaman mengerikan itu adalah pengalaman kehancuran wibawa simbolik sebagai akibat inkonsistensi yang terjadi di dalam banyak bagian, banyak tempat, di dalam tubuh personalnya maupun tubuh institusionalnya. Dalam konteks pengalaman takut yang traumatik terhadap hancurnya wibawa simbolik dirinya yang mengerikan itu, maka monumen-monumen religius yang hebat, besar dan megah, membuka fasilitas atau medium untuk menjagai fantasi tentang perasaan wibawa atau perasaan berkuasanya. Maka monumen-monumen religius yang besar dan hebat itu sebenarnya merupakan suatu penanda traumatik tentang rasa rakut dan kengerian akan suatu kehancuran atau kehilangan dalam dirinya. Jika demikian halnya, boleh dikatakan bahwa monumen-monumen yang megah itu menjadi artikulasi bahasa traumatik dari suatu tubuh yang sedang mengalami krisis dan kengerian.

Di dalam sebuah negeri yangg dalam waktu lama diasuh oleh orde baru melalui habitus relasi kuasa traumatik antar kelompok, monumen-monumen religius yang sederhanapun, apalagi yang serba hebat dan megah, akan cenderung melahirkan fantasi tentang tercurinya kekuasaan atau kewibawaan (the theft of enjoyment) dalam diri kelompok lain, terutama kelompok-kelompok yang dalam pengalaman historisnya memiliki relasi traumatik paling besar. Dalam konteks ini, kedua kelompok bertemu di dalam dan disatukan oleh satu hal yang sama, yakni perasaan takut yang traumatik. Perasaan takut traumatis yang diartikulasikan dalam bahasa monumental oleh kelompok yang satu, melahirkan perasaan takut dan terancam di dalam diri kelompok lain, karena kehadirannya bisa menggoncang relasi kuasa yang selama ini senantiasa direproduksi satu-sama lain. 

 Ketika pengalaman takut traumatik kedua kelompok ini tak pernah mendapatkan terapi yang baik, ia akan terus berakumulasi karena kedua kelompok akan senantiasa cenderung mereproduksinya di dalam komunitas masing-masing. Peristiwa patung Maria di Kulon Progo, barangkali merupakan salah satu peristiwa yang dapat ditempatkan dalam kerangka ini. 

 Pengalaman-pengalaman traumatik semacam ini dalam sejarah kebudayaan masa lalu, salah satunya dapat ditemukan dalam narasi mitologis tentang menara Babel yang terdokumentasi di dalam kitab suci Perjanjian Lama (Kej 11:1-9). Kisah menara Babel itu, lebih tepatnya dirumuskan sebagai kisah tentang gagalnya pembangunan menara Babel, adalah suatu cerminan dan refleksi dari fantasi traumatik bangsa Israel kuno terhadap monumen religius kerajaan Babilonia. 

Pada sekitar tahun 500an SM, bangsa Israel kuno, terutama yang hidup di wilayah kerajaan selatan, yakni Kerajaan Yehuda, adalah bangsa yang sudah memasuki masa pembentukan monotheisme yang kuat, yakni penghormatan dan keyakinan terhadap satu-satunya kekuatan yang dapat menjamin keselamatan bagi seluruh bangsa, yakni penghormatan kepada Yahweh. Dalam cara berpikir masa itu, keselamatan itu meliputi seluruh aspek kehidupan baik itu ekonomi, sosial, maupun politik. Relasi-relasi politik, termasuk konflik, peperangan, kemenangan perang maupun kekalahan politik, pada masa  itu dipahami sebagai sangat berkaitan dengan relasinya dengan Yahweh. Peperangan antara bangsa Israel kuno dengan bangsa-bangsa di sekitarnya, dipahami juga sebagai peperangan antara Yahweh melawan dewa-dewi sesembahan bangsa-bangsa lain itu. Maka kemenangan maupun kekalahan perang, dipahami pula sebagai kemenangan maupun kekalahan Yahweh terhadap dewa-dewi asing. Atau, dalam cara berpikir yang lain, kekalahan perang adalah hukuman dari Yahweh sebagai akibat dari ketidaksetiaan bangsa Israel dalam praktik peribadatan kepada Yahweh. Maka kekalahan perang adalah akibat dari Yahweh yang tak mau membela mereka dan membiarkan mereka dikalahkan oleh bangsa asing. Atau dipahami juga bahwa Yahweh menghukum ketidaksetiaan mereka melalui tangan bangsa-bangsa asing yang mengalahkannya. Dengan demikian, tema tentang kesetiaan kepada Yahweh menjadi prinsip yang sangat mendasar dan utama demi keselamatan bagi seluruh bangsa.

 Pada tahun 539 SM, kerajaan Yehuda dikalahkan dan dihancurkan oleh tentara Babilonia dan sebagian besar bangsa Israel terutama para elit kerajaan, dibuang di Babilonia dalam jangka waktu yang lama. Pengalaman kehancuran itu sangatlah traumatik bagi mereka, apalagi ketika dalam masa pembuangan itu, sebagaian dari mereka dipaksa menjadi budak yang mengerjakan renovasi maupun pembangunan kuil-kuil atau bangunan tinggi seperti menara yang menjadi tempat ibadah orang-orang Babilonia kepada dewa-dewi mereka, bersama-sama dengan para budak dari bangsa-bangsa lain yang memiliki ragam bahasa yang di antara mereka tak saling mengerti, namun bekerja dalam perintah-perintah penguasa Babilonia. Perasaan hancur ini tentu saja semakin mendalam dan mengerikan bagi mereka. Sudah kalah, merasa terhukum oleh Yahweh karena ketidaksetiaan (atau inkonsistensi iman), dibuang sebagai orang buangan, dan bahkan menjadi budak yang membangun tempat ibadah bagi dewa-dewi asing. Oleh karena itu, bangunan-bangunan ibadah Babilonia yang merupakan kuil-kuil tiinggi dan besar, melahirkan pengalaman traumatik yang mendalam bagi sebagian besar orang Israel yang dibuang ke Babilonia.

Pengalaman traumatik tentang ketidaksetiaan, inkonsistensi, kekalahan perang, kehancuran, dan pembuangan ini terproyeksikan di dalam bangunan yang tinggi dan besar, yakni menara Babel. Kisah kegagalam pembangunan menara Babel yang terdokumentasi dalam Kitab Suci Perjanjian Lama itu, berdasarkan penelusuran sebagian ahli sebenarnya baru ditulis pada sekitar tahun 400-an, pasca peristiwa pembuangan Babilonia itu. Tradisi yang menulisnya, sekelompok pujangga dan editor yang menulis narasi itu, lalu menempatkannya di dalam kisah yang seolah-olah peristiwanya itu terjadi pada jaman Musa, yakni pada jaman formasi iman dan kesatuan bangsa dalam monotheisme Yahwis. Kisah itu ditulis dengan maksud untuk meneguhkan tentang pentingnya kesetiaan dan monotheisme terhadap Yahweh agar seluruh keselamatan bangsa itu mendapatkan jaminan. 

Oleh karena itu, dalam kisah tersebut, pembangunan Menara Babel dilukiskan sebagai sebuah kegagalan manusia dalam membangun menara yang tinggi, di mana Yahweh mengacaubalaukan bahasa mereka sehingga satu sama lain tak saliing memahami. Dalam kisah ini, tercermin dua hal mendasar yang dialami oleh bangsa Israel kuno. Pada satu sisi, menara Babel mencerminkan pengalaman traumatik bangsa Israel kuno tentang kehancuran, kekalahan, dan pembuangan akibat ketidaksetiaan atau inkonsistensi. Di sisi lain, penggagalan pembangunan menara Babel mencerminkan fantasi tentang kekuasaan Yahweh terhadap dewa-dewi asing. Dalam konteks ini, narasi tentang kegagalan pembangunan menara Babel, menara traumatik yang melahirkan perasaan hancur dan kengerian itu, berfungsi untuk menjagai fantasi bangsa Israel tentang perasaan berkuasa, yang ditubuhkan di dalam kekuasaan Yahweh terhadap dewa-dewi asing. Menara Babel, yang melahirkan pengalaman traumatik itu, lalu ditempatkan sebagai simbol kesombongan manusia yang harus dihancurkan, yang dalam ketaksadaran bangsa Israel kuno dihayati sebagai kesombongan kekuasaan kerajaan Babilonia terhadap mereka.

Menara Babel dalam kisah ini berfungsi sebagai simbol yang melahirkan fantasi tentang tercurinya kekuasaan dan wibawa bangsa Israel oleh kekuasaan Babilonia, dan penggagalan pembangunan menara Babel itu pada girilirannya menjadi penanda yang menjagai fantasi tentang perasaan berkuasa dan wibawa bangsa Israel atas bangsa-bangsa lain, yang ditubuhkan dalam kekuasaan dan wibawa Yahwe atas dewa-dewi asing.

Dengan begitu, tampaknya menarik apa yang dinyatakan oleh para bijak bahwa religiositas yang mendalam itu biasanya justru terwujud di dalam praksis keadilan dan kasih sayang, bukan pada kemegahan dan kehebatan monumental. Surat Al Maidah:8 menyatakan,"Berlakulah adil, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa". Sementara Injil menyatakan,"...yang Kukehendaki adalah belas kasihan, bukan persembahan" (Matius 9:13). Keadilan, kasih sayang dan belas kasihan itu sebenarnya dapat terwujud jika masyarakat semakin sanggup belajar dan terus mengupayakan agar relasi-relasi kuasa traumatik yang selama ini direproduksi, dapat semakin ditransformasikan menjadi relasi demokratik pro-eksistensial. ***

No comments: