Tuesday, October 24, 2017

Realisme Ahmad Tohari, sebuah Kata Pengantar

 


Oleh Indro Suprobo

Cerita-cerita Pendek karya Ahmad Tohari memang memiliki gaya yang unik, yakni selalu berkaitan dengan peristiwa hidup sehari-hari yang nyata, sederhana, menghadirkan orang-orang yang konkret dengan pengalaman yang dapat dijumpai di mana-mana. Orang menyebutnya bergaya realis. 

Salah satu kelebihan dari cerita pendek bergaya realis adalah kesanggupan untuk menarik pembaca memasuki pengalaman nyata yang digambarkannya dan terlibat di dalamnya, seolah-olah pembaca memang berada di antara peristiwa itu dan bertemu dengan orang-orang yang digambarkan dalam cerita itu. Pada gilirannya, ini memudahkan pembaca untuk ikut memasuki keprihatinan, kegembiraan, keharuan, bergulat dengan pertanyaan yang dihadapi tokoh cerita, dan pada akhirnya menemukan nilai yang tersembunyi dalam peristiwa dan cerita. Cerita pendek bergaya realis juga memiliki kelebihan mudah melekat dalam pengalaman pembaca seolah-olah itu merupakan pengalamannya sendiri, dan itu membuka ruang luas untuk menjumput kekayaan nilai yang terhampar dalam peristiwa yang digambarkan.

Menulis karya sastra berjenis realis ini tampaknya bukan sekedar merupakan pi-lihan gaya penulisan, melainkan sebuah luberan dari seluruh pilihan hidup dan tindakan sosial Ahmad Tohari sehari-hari. Memper-hati-kan realitas sosial di sekelilingnya dan terlibat secara konkret di dalamnya, sudah merupakan gaya hidupnya sehari-hari. Semua itu sudah merupakan keterlibatan yang ikhlas sekaligus bersifat imperatif di dalam batin. Dengan demikian, menulis karya sastra dalam bentuk cerpen maupun novel dan keterlibatan konkret dalam realitas sosial merupakan satu tarikan nafas yang tak terpisahkan dan tanpa jarak. Orang Jawa menyebutnya dengan istilah "manjing".

Oleh karena itu, yang khas dari karya-karya Ahmad Tohari adalah aspek kon-tekstualitasnya. Inspirasi sastrawinya berasal dari suatu lingkup yang jelas, terbatas, berhubungan langsung dan dekat, dapat dengan mudah ditemui di dalam peng-alaman, dan bercita-rasa lokal. Namun demikian, seluruh kekayaan nilai yang terkandung di dalamnya senantiasa bersifat universal. 

Melalui kumpulan cerita pendek yang bersifat realis dan kontekstual ini, para pembaca dapat menyelami kegembiraan sederhana, kegelisahan yang nyata, sikap belarasa yang tulus, kemurahan hati yang mengalir ringan, sindiran yang tajam, kelucuan yang cerdas, sekaligus kritik yang gamblang.

Pada bagian akhir, disajikan pula ko-mentar, kritik, dan saran dari para pem-baca terhadap karya-karya ini. Mereka yang menulis komentar, kritik dan saran itu berasal dari beragam kalangan, tak keting-galan para pembaca berusia muda. 


Selamat membaca. 


Wednesday, October 04, 2017

Kita Semua Memiliki Tanggung Jawab Untuk Melakukan Kebaikan – Paus Fransiskus

Dalam salah satu homilinya di Domus Santa Marta, Bapa Paus Fransiskus menyatakan secara tegas bahwa melakukan kebaikan merupakan prinsip dasar yang menyatukan seluruh manusia, mengatasi segala macam perbedaan ideologi, pandangan maupun agama. Prinsip dasar “melakukan kebaikan” ini akan menciptakan “budaya perjumpaan” yang menjadi pondasi paling kokoh bagi perdamaian.

Dalam kisah Injil Lukas 9:49-50 tertulis demikian:
Yohanes berkata,”Guru, kami lihat seorang mengusir setan demi namaMu, lalu kami cegah orang itu, karena ia bukan pengikut kita.” Yesus berkata kepadanya,”Jangan kamu cegah, sebab barangsiapa tidak melawan kamu, ia ada di pihak kamu.”

Sikap para murid yang menghalangi orang lain untuk berbuat baik dengan alasan bahwa mereka yang berbuat baik itu tidak berasal dari kelompok kita, oleh Bapa Fransiskus dikategorikan sebagai sikap “sedikit intoleran” dan sikap tertutup. Apabila seseorang tidak memiliki dan meyakini kebenaran sebagaimana kita miliki dan yakini, tidak berarti bahwa orang tersebut tidak dapat melakukan kebaikan. Ini adalah pandangan yang keliru. Bahkan orang yang tidak satu pandangan dengan kita, tidak hanya “dapat” melakukan kebaikan, melainkan juga “harus” melakukan kebaikan. Yesus sendiri telah memperluas cara pandang itu bahwa akar dari kesanggupan dan kemungkinan untuk melakukan kebenaran, yang dimiliki oleh semua manusia, adalah proses penciptaan kita sebagai manusia.

“Allah telah menciptakan kita sesuai dengan gambar dan citra-Nya. Kita semua adalah citra Allah, yang melakukan kebaikan. Oleh karena itu di dalam hati kita terdapat perintah dan mandat untuk melakukan kebaikan dan bukan kejahatan. Kita semua memiliki perintah dan mandat itu di dalam hati kita”, kata Bapa Fransiskus.

“Apabila ada seseorang yang mengatakan demikian,’Tetapi dia ini bukan orang Katolik, Bapa. Dia tidak dapat melakukan kebaikan’, maka saya akan menjawabnya,’Ya, dia dapat melakukan kebaikan. Bahkan bukan hanya dapat, melainkan bahwa ia harus melakukan kebaikan. Karena ia memiliki perintah dan mandat di dalam hatinya”, lanjut Bapa Fransiskus.

“Sikap tertutup yang menyatakan bahwa setiap orang yang berada di luar kelompok kita itu tidak dapat melakukan kebaikan, selain merupakan tembok yang membawa kita kepada peperangan, juga merupakan hal yang membawa kita kepada keyakinan keliru bahwa seseorang dapat membunuh orang lain atas nama Tuhan. Dan ini telah kita saksikan dalam perjalanan sejarah umat manusia. Keyakinan bahwa kita dapat membunuh seseorang dalam nama Tuhan adalah sebuah penghujatan kepada Allah sendiri”, lanjut Bapa Fransiskus.

Selanjutnya Bapa Fransiskus menyatakan bahwa Allah telah mengampuni dosa kita semua, setiap orang, tidak pandang bulu apakah ia katolik maupun bukan katolik, apakah ia percaya kepada Tuhan ataukah ia seorang atheis. Semua manusia telah dihapus dosanya oleh Allah tanpa pandang bulu, dan telah diangkat menjadi anak-anak Allah. “Dan kita semua memiliki tanggung jawab untuk melakukan kebaikan. Perintah dan mandat bagi setiap orang untuk melakukan kebaikan ini, saya pikir, merupakan jalan setapak yang indah menuju kepada perdamaian. Apabila kita, masing-masing orang melakukan tanggung jawab kita, jika kita melakukan kebaikan kepada orang lain, sedikit demi sedikit, tahap demi tahap, kita akan bertemu, sehingga kita menciptakan sebuah budaya perjumpaan, yakni sesuatu yang sangat kita butuhkan. Kita harus bertemu dalam upaya melakukan kebaikan. Mereka yang atheis maupun yang percaya, keetika sama-sama melakukan kebaikan sebagaimana diperintahkan dan dimandatkan dalam hati kita melalui proses penciptaan, pada akhirnya akan bertemu.” Kata Bapa Fransiskus.

Di dalam dunia yang semakin harus terbuka terhadap beragam perbedaan dan kemajemukan, orang memang harus percaya kepada prinsip bahwa setiap orang diundang oleh Allah untuk melakukan kebaikan bagi sesama, bagi lingkungan hidup, dan bagi alam raya. Apapun agamanya, apapun ideologinya, semuanya memiliki perintah dan mandat yang sama di dalam hati, yakni melakukan kebaikan. Oleh karena itu, di dalam hidup yang penuh keragaman dan kemajemukan itu, yang paling utama adalah berlomba-lomba untuk melakukan kebaikan.

Melalui sebuah perikop yang sangat singkat dalam Injil Lukas di atas, kita dapat belajar bahwa Yesus sendiri menegaskan sebuah sikap terbuka dan inklusif bahwa setiap orang dapat melakukan kebaikan, bahkan harus melakukan kebaikan, tanpa harus dibedakan apakah ia merupakan bagian dari kelompok kita atau bukan. Yesus sendiri sudah sejak semula menegaskan penolakan terhadap sikap intoleran para muridnya itu, dan mengajak para murid untuk memperluas cara pandang bahwa setiap orang harus melakukan kebaikan. Seandainya setiap orang mengikuti apa yang ditegaskan oleh Yesus itu, apapun agama dan ideologinya, maka dapat dipastikan akan terciptalah budaya perjumpaan, yang membawa kita kepada cita-cita perdamaian.


(Indro Suprobo)