Wednesday, November 08, 2017

Janganlah berhenti berdoa – Paus Fransiskus

Pernyataan Bapa Fransiskus yang disampaikan melalui tweetter ini tampaknya merujuk kepada sebuah perikop dalam Injil Lukas, yakni Luk 18:1-8. Dalam perikop ini Yesus menegaskan kepada para muridnya untuk selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu. Melalui perumpamaan tentang hakim yang tidak baik, Yesus hendak mengatakan bahwa jika hakim yang tidak baik saja akhirnya memberikan pembenaran kepada janda yang terus-menerus datang meminta pembelaan haknya supaya ia tidak merasa terganggu, apalagi Bapa yang di surga, pasti akan membenarkan orang-orang pilihan-Nya yang siang malam berseru kepadaNya tanpa harus mengulur waktu untuk memberikan pertolongan.

Dalam kehidupan sehari-hari, lebih banyak orang berpandangan bahwa berdoa itu sama dengan menyampaikan permohonan kepada Tuhan dan berharap bahwa Tuhan mengabulkan permohonan itu. Jika permohonan itu dikabulkan, maka itulah yang disebut dengan doa yang berhasil. Sebaliknya, jika permohonan yang disampaikan dalam doa itu tidak dikabulkan atau belum dikabulkan padahal sudah selalu berdoa berkali-kali, lebih banyak orang merasa bahwa doa itu tidak lagi berguna. Dalam situasi yang sangat sulit, lebih-lebih jika situasi sulit itu berlangsung dalam waktu yang lama, di mana tampaknya tidak harapan, orang seringkali cenderung berpandangan bahwa doa itu tidak lagi berguna, karena tak ada harapan bahwa permohonan yang disampaikan itu akan dikabulkan oleh Tuhan.

Di kalangan para mistikus, yakni orang-orang yang secara serius dan tekun mendalami kehidupan spiritual, doa tidak semata-mata dipahami sebagai sarana untuk mengajukan permohonan kepada Tuhan sehingga permohonan yang disampaikan itu pada akhirnya dikabulkan. Bagi para mistikus, doa adalah sebuah latihan rohani, perjuangan dan laku spiritual yang terus-menerus dilakukan, dipelajari, dan dijalankan tanpa pernah berhenti pada apa yang disebut sebagai puncak keberhasilan. Doa adalah latihan rohani yang dinamis, selalu harus diperbaharui, selalu harus dilatihkan dalam ketekunan dan disiplin. Dalam latihan rohani itu, yang pertama-tama dilakukan adalah mengucapkan syukur kepada Tuhan atas seluruh anugerah yang telah diterima sampai dengan detik ini. Anugerah kesehatan, anugerah keindahan pagi, anugerah keluarga yang penuh kasih sayang, anugerah persahabatan, anugerah kesanggupan untuk berbagi dan banyak hal lain. Hal yang kedua yang dilakukan di dalam latihan rohani adalah memohon belas kasih Allah dan pengampunan. Dengan demikian, dua hal di dalam doa adalah syukur dan mohon belas kasih. Dari dua hal ini, sejatinya akan mengalir segala macam karunia dan anugerah dari Allah, termasuk kebeningan hati dan budi yang memungkinkan orang mengetahui apa yang sebaiknya disampaikan sebagai permohonan kepada Allah.

Oleh karena itu, ketika orang mengalami kesulitan untuk berdoa, atau merasa tidak melihat harapan dari sebuah doa, bahkan sama sekali tak memiliki keinginan untuk berdoa, sementara Yesus sendiri berpesan agar tidak kita berdoa tanpa jemu, maka satu-satunya hal penting yang harus dilakukan adalah berdiam diri dan mengucapkan dengan mulut, kata-kata ini: “Tuhan terima kasih…Tuhan terima kasih”. Atau, jika sangat sulit untuk mengucapkan kata terima kasih, maka ucapkanlah “Tuhan kasihanilah kami….Tuhan kasihanilah kami”.

Dalam pengalaman banyak orang yang berhasil mengatasi kesulitan dalam berdoa, doa singkat yang berisi “Tuhan kasihanilah kami” merupakan cara jitu yang sangat membantu agar orang akhirnya tetap dapat berdoa, bahkan dalam situasi paling sulit sekalipun. Lakukanlah doa singkat yang berisi ungkapan “Tuhan kasihanilah kami” itu secara berulang-ulang, terus-menerus dilakukan sepanjang waktu seperti orang yang melakukan dzikir. Pada akhirnya, doa singkat itu, akan mengalirkan daya rohani bagi orang yang melakukannya sehingga budi dan hatinya akan sedikit-demi sedikit terbuka dan sanggup mengalami kehadiran Tuhan yang lembut namun dasyat di dalam jiwanya.

Pesan Yesus agar para muridnya berdoa tanpa jemu, sebenarnya hendak menyatakan bahwa Allah yang adalah Bapa kita, sejatinya tak pernah meninggalkan kita, tak pernah tidak memperhatikan kita karena Ia senantiasa hadir dan dekat di dalam jiwa kita, namun kitalah yang seringkali tak sanggup menyingkapkan selubung yang menghalangi budi dan hati kita untuk merasakan dan mengalami kehadiran Allah Bapa yang sangat dekat itu. Kitalah yang merasa jauh, merasa tanpa kehadiran Allah, merasa putus harapan dan sebagainya.  Dalam latihan rohani, situasi seperti itu disebut sebagai desolasi, yakni situasi tanpa penghiburan.

Pesan Yesus agar kita senantiasa bertekun dalam doa, dengan demikian juga hendak menyatakan bahwa, dalam situasi desolasi, dalam situasi tanpa penghiburan, dalam situasi di mana kita merasa bahwa doa itu tak ada gunanya, hendaklah kita tidak melarikan diri dengan memutus doa, memutus komunikasi dan dialog batin dengan Tuhan. Dalam situasi itu, satu-satunya hal yang tetap harus dilakukan adalah membangun komunikasi terus-menerus dengan Tuhan. Sekali lagi, dalam situasi paling sulit, maka berdoalah “Tuhan kasihanilah kami” secara berulang-ulang, terus-menerus, tanpa kunjung putus. Niscaya, daya-daya rohani yang berupa keheningan batin, keterbukaan, ketundukan kepada Allah, kesadaran akan kebesaran Tuhan dan kekerdilan diri, kesadaran sebagai pribadi yang penuh dosa dan kekurangan namun senantiasa dicintai oleh Tuhan, akan mengalir di dalam diri kita, sehingga kita semakin dapat mendengarkan Tuhan yang berbicara di dalam hati kita dan menuntun kita untuk mengambil keputusan-keputusan yang penting dan perlu di dalam hidup kita.

Salah satu gerakan fisik yang dapat membantu jiwa kita untuk tetap terhubung dengan Tuhan pada saat desolasi atau dalam situasi tanpa penghiburan, adalah bersujud dengan dahi sampai menyentuh tanah, sambil berulang-ulang mengucapkan “Tuhan kasihanilah kami”.

Oleh karena itu, tetaplah bertekun di dalam doa, agar daya-daya rohani itu mengalir dalam diri kita, dan Allah sendiri yang memampukan kita untuk merasakan kehadiranNya, dan merasakan anugerah-anugerah yang dilimpahkan kepada kita secara tak terbatas. Hanya di dalam doa yang tak kunjung putuslah, seluruh pilihan tindakan sosial kita akan dijamin berada dalam berkat Tuhan, sehingga melalui pekerjaan-pekerjaan harian kita, kita dapat semakin dapat mengalirkan berkat Tuhan itu kepada sesama.***


(Indro Suprobo)

Tuesday, October 24, 2017

Realisme Ahmad Tohari, sebuah Kata Pengantar

 


Oleh Indro Suprobo

Cerita-cerita Pendek karya Ahmad Tohari memang memiliki gaya yang unik, yakni selalu berkaitan dengan peristiwa hidup sehari-hari yang nyata, sederhana, menghadirkan orang-orang yang konkret dengan pengalaman yang dapat dijumpai di mana-mana. Orang menyebutnya bergaya realis. 

Salah satu kelebihan dari cerita pendek bergaya realis adalah kesanggupan untuk menarik pembaca memasuki pengalaman nyata yang digambarkannya dan terlibat di dalamnya, seolah-olah pembaca memang berada di antara peristiwa itu dan bertemu dengan orang-orang yang digambarkan dalam cerita itu. Pada gilirannya, ini memudahkan pembaca untuk ikut memasuki keprihatinan, kegembiraan, keharuan, bergulat dengan pertanyaan yang dihadapi tokoh cerita, dan pada akhirnya menemukan nilai yang tersembunyi dalam peristiwa dan cerita. Cerita pendek bergaya realis juga memiliki kelebihan mudah melekat dalam pengalaman pembaca seolah-olah itu merupakan pengalamannya sendiri, dan itu membuka ruang luas untuk menjumput kekayaan nilai yang terhampar dalam peristiwa yang digambarkan.

Menulis karya sastra berjenis realis ini tampaknya bukan sekedar merupakan pi-lihan gaya penulisan, melainkan sebuah luberan dari seluruh pilihan hidup dan tindakan sosial Ahmad Tohari sehari-hari. Memper-hati-kan realitas sosial di sekelilingnya dan terlibat secara konkret di dalamnya, sudah merupakan gaya hidupnya sehari-hari. Semua itu sudah merupakan keterlibatan yang ikhlas sekaligus bersifat imperatif di dalam batin. Dengan demikian, menulis karya sastra dalam bentuk cerpen maupun novel dan keterlibatan konkret dalam realitas sosial merupakan satu tarikan nafas yang tak terpisahkan dan tanpa jarak. Orang Jawa menyebutnya dengan istilah "manjing".

Oleh karena itu, yang khas dari karya-karya Ahmad Tohari adalah aspek kon-tekstualitasnya. Inspirasi sastrawinya berasal dari suatu lingkup yang jelas, terbatas, berhubungan langsung dan dekat, dapat dengan mudah ditemui di dalam peng-alaman, dan bercita-rasa lokal. Namun demikian, seluruh kekayaan nilai yang terkandung di dalamnya senantiasa bersifat universal. 

Melalui kumpulan cerita pendek yang bersifat realis dan kontekstual ini, para pembaca dapat menyelami kegembiraan sederhana, kegelisahan yang nyata, sikap belarasa yang tulus, kemurahan hati yang mengalir ringan, sindiran yang tajam, kelucuan yang cerdas, sekaligus kritik yang gamblang.

Pada bagian akhir, disajikan pula ko-mentar, kritik, dan saran dari para pem-baca terhadap karya-karya ini. Mereka yang menulis komentar, kritik dan saran itu berasal dari beragam kalangan, tak keting-galan para pembaca berusia muda. 


Selamat membaca. 


Wednesday, October 04, 2017

Kita Semua Memiliki Tanggung Jawab Untuk Melakukan Kebaikan – Paus Fransiskus

Dalam salah satu homilinya di Domus Santa Marta, Bapa Paus Fransiskus menyatakan secara tegas bahwa melakukan kebaikan merupakan prinsip dasar yang menyatukan seluruh manusia, mengatasi segala macam perbedaan ideologi, pandangan maupun agama. Prinsip dasar “melakukan kebaikan” ini akan menciptakan “budaya perjumpaan” yang menjadi pondasi paling kokoh bagi perdamaian.

Dalam kisah Injil Lukas 9:49-50 tertulis demikian:
Yohanes berkata,”Guru, kami lihat seorang mengusir setan demi namaMu, lalu kami cegah orang itu, karena ia bukan pengikut kita.” Yesus berkata kepadanya,”Jangan kamu cegah, sebab barangsiapa tidak melawan kamu, ia ada di pihak kamu.”

Sikap para murid yang menghalangi orang lain untuk berbuat baik dengan alasan bahwa mereka yang berbuat baik itu tidak berasal dari kelompok kita, oleh Bapa Fransiskus dikategorikan sebagai sikap “sedikit intoleran” dan sikap tertutup. Apabila seseorang tidak memiliki dan meyakini kebenaran sebagaimana kita miliki dan yakini, tidak berarti bahwa orang tersebut tidak dapat melakukan kebaikan. Ini adalah pandangan yang keliru. Bahkan orang yang tidak satu pandangan dengan kita, tidak hanya “dapat” melakukan kebaikan, melainkan juga “harus” melakukan kebaikan. Yesus sendiri telah memperluas cara pandang itu bahwa akar dari kesanggupan dan kemungkinan untuk melakukan kebenaran, yang dimiliki oleh semua manusia, adalah proses penciptaan kita sebagai manusia.

“Allah telah menciptakan kita sesuai dengan gambar dan citra-Nya. Kita semua adalah citra Allah, yang melakukan kebaikan. Oleh karena itu di dalam hati kita terdapat perintah dan mandat untuk melakukan kebaikan dan bukan kejahatan. Kita semua memiliki perintah dan mandat itu di dalam hati kita”, kata Bapa Fransiskus.

“Apabila ada seseorang yang mengatakan demikian,’Tetapi dia ini bukan orang Katolik, Bapa. Dia tidak dapat melakukan kebaikan’, maka saya akan menjawabnya,’Ya, dia dapat melakukan kebaikan. Bahkan bukan hanya dapat, melainkan bahwa ia harus melakukan kebaikan. Karena ia memiliki perintah dan mandat di dalam hatinya”, lanjut Bapa Fransiskus.

“Sikap tertutup yang menyatakan bahwa setiap orang yang berada di luar kelompok kita itu tidak dapat melakukan kebaikan, selain merupakan tembok yang membawa kita kepada peperangan, juga merupakan hal yang membawa kita kepada keyakinan keliru bahwa seseorang dapat membunuh orang lain atas nama Tuhan. Dan ini telah kita saksikan dalam perjalanan sejarah umat manusia. Keyakinan bahwa kita dapat membunuh seseorang dalam nama Tuhan adalah sebuah penghujatan kepada Allah sendiri”, lanjut Bapa Fransiskus.

Selanjutnya Bapa Fransiskus menyatakan bahwa Allah telah mengampuni dosa kita semua, setiap orang, tidak pandang bulu apakah ia katolik maupun bukan katolik, apakah ia percaya kepada Tuhan ataukah ia seorang atheis. Semua manusia telah dihapus dosanya oleh Allah tanpa pandang bulu, dan telah diangkat menjadi anak-anak Allah. “Dan kita semua memiliki tanggung jawab untuk melakukan kebaikan. Perintah dan mandat bagi setiap orang untuk melakukan kebaikan ini, saya pikir, merupakan jalan setapak yang indah menuju kepada perdamaian. Apabila kita, masing-masing orang melakukan tanggung jawab kita, jika kita melakukan kebaikan kepada orang lain, sedikit demi sedikit, tahap demi tahap, kita akan bertemu, sehingga kita menciptakan sebuah budaya perjumpaan, yakni sesuatu yang sangat kita butuhkan. Kita harus bertemu dalam upaya melakukan kebaikan. Mereka yang atheis maupun yang percaya, keetika sama-sama melakukan kebaikan sebagaimana diperintahkan dan dimandatkan dalam hati kita melalui proses penciptaan, pada akhirnya akan bertemu.” Kata Bapa Fransiskus.

Di dalam dunia yang semakin harus terbuka terhadap beragam perbedaan dan kemajemukan, orang memang harus percaya kepada prinsip bahwa setiap orang diundang oleh Allah untuk melakukan kebaikan bagi sesama, bagi lingkungan hidup, dan bagi alam raya. Apapun agamanya, apapun ideologinya, semuanya memiliki perintah dan mandat yang sama di dalam hati, yakni melakukan kebaikan. Oleh karena itu, di dalam hidup yang penuh keragaman dan kemajemukan itu, yang paling utama adalah berlomba-lomba untuk melakukan kebaikan.

Melalui sebuah perikop yang sangat singkat dalam Injil Lukas di atas, kita dapat belajar bahwa Yesus sendiri menegaskan sebuah sikap terbuka dan inklusif bahwa setiap orang dapat melakukan kebaikan, bahkan harus melakukan kebaikan, tanpa harus dibedakan apakah ia merupakan bagian dari kelompok kita atau bukan. Yesus sendiri sudah sejak semula menegaskan penolakan terhadap sikap intoleran para muridnya itu, dan mengajak para murid untuk memperluas cara pandang bahwa setiap orang harus melakukan kebaikan. Seandainya setiap orang mengikuti apa yang ditegaskan oleh Yesus itu, apapun agama dan ideologinya, maka dapat dipastikan akan terciptalah budaya perjumpaan, yang membawa kita kepada cita-cita perdamaian.


(Indro Suprobo)

Wednesday, September 06, 2017

Mengkonsumsi Berita Palsu itu sama saja dengan Mengkonsumsi Kotoran Manusia

Dalam sebuah kesempatan wawancara dengan sebuah Mingguan berita Katolik Belgia, “Tertio”, Bapa Fransiskus menyampaikan keprihatinannya berkaitan dengan peran media dalam menciptakan opini kepada masyarakat. Menurut Bapa Fransiskus, media komunikasi memiliki tanggung jawab yang sangat besar. Peluang dan kapasitas untuk membangun sebuah opini di tengah masyarakat, saat ini berada di tangan media. Media dapat membangun opini yang baik maupun opini yang buruk.
Bapa Fransiskus mengatakan bahwa alat-alat komunikasi merupakan alat untuk membangun masyarakat. Di dalam dirinya, sarana komunikasi diciptakan untuk membangun (bukan menghancurkan), untuk saling bertukar dan berbagi (bukan saling merampas), untuk merajut persahabatan (bukan untuk bermusuhan), untuk merangsang kita semua berpikir menggunakan akal budi (bukan untuk menghasut), dan untuk mendidik (bukan untuk menghancurkan karakter). Pada dirinya sendiri, sarana komunikasi itu bersifat positif. Namun karena kita semua yang menggunakan media dan alat komunikasi itu memiliki kecnederungan terhadap dosa, maka media dan alat komunikasi yang kita gunakan itu juga sangat rentan untuk menjadi bahaya bagi kehidupan bersama.

Media memiliki bahaya untuk digunakan sebagai alat untuk membuat fitnah dan melecehkan orang lain, terutama dalam dunia politik. Media juga dapat digunakan sebagai sarana untuk penghinaan. Bapa Fransiskus mengingatkan bahwa setiap orang memiliki hak atas reputasi yang baik, tetapi barangkali di masa lalu, misalnya sepuluh tahun yang lalu, mereka pernah memiliki masalah dengan keadilan atau masalah dalam kehidupan keluarga. Mengungkit kembali persoalan masa lalu seseorang menjadi perbincangan publik merupakan persoalan yang sangat serius dan berbahaya karena hal itu dapat mengakibatkan kehancuran pribadi seseorang.

Di dalam sebuah fitnah, kita berbohong tentang seseorang. Dalam penghinaan, kita mengumbar dokumen masa lalu tentang keburukan orang lain yang memang benar adanya pada masa lalu, namun hal itu sudah dibayar melalui sebuah hukuman penjara atau denda, atau beragam bentuk hukuman lain. Oleh karena itu, tak ada hak sekalipun bagi orang lain untuk mengumbarnya ke hadapan publik. Ini merupakan perbuatan dosa dan berbahaya.

Bapa Fransiskus mengatakan bahwa salah satu hal yang dapat mengakibatkan sebuah kerusakan besar pada media informasi adalah apa yang disebut sebagai disinformasi, yakni sebuah upaya menghadapi situasi apapun namun hanya dengan mengatakan sebagian dari kebenaran, sementara sebagian kebenaran yang lain dihilangkan. Itulah yang disebut sebagai disinformasi. Karena media hanya memberikan separuh dari kebenaran saja dan mengabaikan kebenaran yang lain, maka informasi yang diberikan itu tidak dapat dijadikan sebagai landasan untuk mengambil keputusan serius apapun. Dalam produksi disinformasi itu, media mengarahkan opini masyarakat hanya kepada satu arah dengan mengabaikan bagian lain yang penting dari kebenaran.

Bapa Fransiskus juga menegaskan bahwa memang media itu harus sangat jelas dan transparan, namun jangan sampai media itu menjadi mangsa dari penyakit coprophilia, yakni sebuah penyakit yang intinya selalu ingin menyampaikan skandal atau menyampaikan hal-hal yang buruk, meskipun hal-hal buruk itu memang terjadi dan benar. Apabila orang sudah memiliki kecenderungan yang sedemikian hebat terhadap penyakit coprophagia, maka ini sudah sangat berbahaya dan seumpama orang yang cenderung mengonsumsi kotoran manusia.

Apa yang diprihatinkan oleh Bapa Fransiskus itu memang pantas mendapatkan perhatian serius. Dunia kita lebih membutuhkan kisah-kisah yang membangkitkan energi positif bagi pertumbuhan pribadi, berkembangnya kasih sayang, meluasnya persahabatan, tersebarnya semangat untuk saling berbagi dan saling mendukung, berseminya semangat perdamaian di antara manusia, terjaminnya rasa aman setiap orang untuk menghadirkan dirinya dengan seluruh latar belakang yang dimilikiinya, sehingga pada akhirnya menumbuhkan gaya hidup yang penuh semangat perdamaian dan keadilan. Media dan alat komunikasi memiliki tanggung jawab besar untuk menciptakan tanah subur bagi semua hal itu dengan menyajikan informasi, berita dan kisa-kisah yang positif dan sehat, serta meneguhkan kehidupan bersama.

Salah satu contoh yang baik dapat diteladani dari kaum remaja di Indonesia. Di tengah membanjirnya berita hoax dan ujaran kebencian melalui media sosial, Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) Sekolah Menengah Atas Kolese Kanisius Jakarta dan Sekolah Menengah Atas Al-Izhar Pondok Labu, Jakarta Selatan, bergandengan tangan untuk bersama-sama mengampanyekan sebuah gerakan di media sosial bertajuk Ragamuda Pluralisme. Para siswa dari SMA Kanisius yang merupakan Yayasan Pendidikan Katolik dan dari SMA Al-Izhar yang merupakan Yayasan Pendidikan Islam di Jakarta, bekerjasama mengajak seluruh anak muda agar tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu SARA dan sebaliknya justru berupaya menjadi agen yang menyampaikan pesan toleransi, keberagaman, pluralisme, perdamaian dan Bhinneka Tunggal Ika.

“Kami ingin menunjukkan bahwa meskipun kami berbeda, kami bersama bisa menyuarakan semangat pluralisme,” kata Kevano, ketua OSIS SMA Kolese Kanisius Jakarta. Sementara Indratono dari SMA Al-Izhar menyatakan,”Bahwa kami berbeda itu sudah merupakan fakta, dan justru kami bisa saling memperkaya dalam kerjasama kami ini. Itulah juga yang kami harapkan dengan anak-anak muda yang lain untuk memperkukuh toleransi, menjaga persatuan bangsa di tengah banyaknya konflik di masyarakat.”

Pantas disyukuri bahwa masih ada banyak anak-anak muda yang memiliki pilihan nilai dan komitmen sebagaimana diharapkan oleh Bapa Fransiskus. Anak-anak muda ini memberikan teladan bahwa media komunikasi maupun media sosial perlu memperbesar peran dalam membangun opini yang positif di tengah masyarakat agar menumbuhkan perdamaian, belarasa, kasing sayang, saling hormat, dan solidaritas. Mengonsumsi dan memproduksi informasi yang sehat akan melahirkan pribadi-pribadi yang sehat dan penuh martabat. ***


(Indro Suprobo)

Thursday, August 24, 2017

Teruslah Berbuat Baik Kepada Siapapun – Paus Fransiskus

Pernyataan ini merupakan salah satu pernyataan yang disampaikan oleh Paus Fransiskus melalui tweetter. Tak ada keterangan lebih lanjut mengenai pernyataannya itu. Oleh karena itu, penulis berupaya menggali konteks yang melingkupinya dan membantu untuk memahami pernyataan itu secara lebih baik dan lebih mendalam.

Salah satu konteks yang tampaknya cocok dengan pernyataan Bapa Suci itu adalah sebuah perikop di dalam Kitab Suci, yakni Injil Lukas 6:27-36. Perikop ini diberi judul “Kasihilah Musuhmu”. Dalam perikop ini, Yesus menyampaikan pesan kepada para murid untuk bermurah hati, sama seperti Bapa adalah murah hati. Kemurahan hati itu diharapkan menjadi nilai fundamental dan karakter dasar bagi setiap orang yang mengikuti Yesus. Nilai fundamental dan karakter dasar ini ditegaskan oleh Yesus dalam pernyataan,”Jika kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosapun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka. Sebab jika kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun berbuat demikian.” (Luk 6:32-33).

Secara lebih positip dan apresiatif, Yesus mengajak para muridnya untuk menunjukkan kemurahan hati itu dalam tindakan nyata yang progresif dengan mengatakan,”Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat. Hendaklah kamu murah hati sama seperti Bapamu murah hati”. (Luk 6:35-36)

Kemurahan hati yang diajarkan oleh Yesus dalam wujudnya yang paling konkret dan progresif yaitu mengasihi musuh, kiranya merupakan langkah radikal untuk memutus rantai permusuhan dan pertentangan, memutus rantai konflik dan dendam, dan menjadi jembatan yang kokoh bagi upaya membangun perdamaian. Kemurahan hati akan mampu menjadi jalan untuk mengubah dunia, yakni perubahan dari dunia yang penuh konflik, peperangan, dan penderitaan menuju kepada dunia yang dipenuhi oleh kasih sayang, pemahaman, perdamaian dan kebahagiaan dalam syukur dan hormat antar manusia.

Di dalam konteks masyarakat Indonesia yang berbhinneka, majemuk dan sangat kaya dengan perbedaan, tidak jarang ditemukan gesekan, tidak sambungnya komunikasi, prasangka bahkan pertentangan yang menimbulkan trauma maupun stigma terhadap mereka yang berbeda. Salah satu cara memperbaiki relasi buruk itu adalah dengan terus-menerus membangun jembatan komunikasi dan dialog yang tiada putus. Nilai fundamental dan karakter dasar yang sangat dibutuhkan untuk memiliki kesanggupan membangun jembatan komunikasi dan dialog tanpa putus itu adalah kemurahan hati. Kemurahan hat, ketika telah menjadi pilihan tindakan yang konkret, akan jauh melampaui apa yang disebut sebagai toleransi. Kemurahan hati adalah sebuah langkah keluar, menjangkau orang lain yang barangkali sangat berbeda, bahkan yang secara nyata telah menunjukkan sikap dan perilaku memusuhi, yakni dengan mengampuni mereka, memahami segala faktor yang mempengaruhi mengapa mereka bertindak demikian, lalu dengan penuh kesabaran menghadirkan kebaikan-kebaikan tulus kepada mereka sambil terus-menerus membuka jembatan untuk saling memahami dan membongkar prasangka, dan lebih dari itu, sanggup, ikhlas dan berani untuk membela mereka ketika hak-hak dasar mereka sebagai manusia mengalami bahaya perampasan. Secara sosial-kultural, kemurahan hati itu terwujud dalam sikap pro-eksistensi.

Sejarah sosial agama-agama pada masa lalu telah mewariskan teladan yang luar biasa berkaitan dengan kemurahan hati ini. Kemurahan hati yang diajarkan dan diteladankan oleh Yesus dan menjadi inspirasi bagi Bapa Fransiskus, ternyata tidak ekslusif merupakan ajaran kristiani, melainkan merupakan ajaran dasar semua orang beriman yang merendahkan diri dan tunduk kepada Allah, Bapa semua orang. Kemurahan hati hanya dapat mengalir di dalam diri mereka yang sungguh-sungguh menundukkan diri di hadapan Allah dan mensyukuri seluruh anugerah Allah yang diberikan tanpa syarat dan tanpa batas, dan dengan ikhlas melakukan segala kebaikan kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan sebagaimana Allah sendiri telah memberikan kebaikan kepada dirinya dan kepada semua orang.

Semoga kemurahan hati itu tumbuh di dalam hati setiap orang di jaman ini, dan menjadi daya untuk mengubah dunia menuju kepada kehidupan yang lebih diwarnai oleh perdamaian, persahabatan dan saling hormat.***

August 24, 2017

(Indro Suprobo)

Saturday, July 01, 2017

Hidup adalah Perjalanan, Jika berhenti, kita akan menghadapi persoalan besar – Paus Fransiskus

Di hadapan para Kardinal di dalam kapel Sistina, Roma, dalam homilinya yang pertama kali setelah terpilih sebagai Paus, Bapa Fransiskus menegaskan bahwa hidup adalah perjalanan. Oleh karena itu, sebagai Umat Allah yang berada dalam perjalanan, Gereja perlu terus-menerus berubah dan memperbaharui diri. Homili Bapa Suci ini dilandasi oleh bacaan kitab suci dari Kisah Para Rasul 2:1-11 yang dibacakan pada Hari Raya Pentakosta.

Kisah Para Rasul 2;1-11 itu menceritakan bagaimana para murid dipenuhi oleh Roh Kudus dan sanggup berkata-kata dalam beragama bahasa namun semuanya dapat memahaminya dalam bahasa masing-masing. Penulis Kisah mengajak para pembaca untuk kembali ke Yerusalem di mana para murid sedang berkumpul. Hal pertama yang pantas diperhatikan adalah adanya suara yang tiba-tiba datang dari langit seperti tiupan angin keras yang memenuhi seluruh ruangan di mana para murid sedang berkumpul. Hal kedua adalah lidah-lidah seperti nyala api yang hinggap pada diri para murid. Suara dan lidah seperti nyala api adalah tanda yang nyata dan jelas yang menyentuh diri para Rasul bukan hanya dari luar melainkan juga dari dalam hati dan pikiran mereka, sehingga mereka mengalami situasi penuh dengan Roh Kudus dan menimbulkan daya luar biasa dalam diri para murid serta menimbulkan konsekuensi yang tak bisa disangkal, yakni mereka semua dapat berbicara dalam banyak bahasa. Akibat lanjutnya, orang banyak yang berasal dari beragam daerah itu berkumpul di sekitar mereka dan dapat saling memahami bahasa yang mereka gunakan. Ini menunjukkan bahwa semua orang itu mengalami sesuatu yang baru dalam diri mereka, yang belum pernah mereka alami sebelumnya.

Dari kisah Para Rasul ini, Bapa Fransiskus merefleksikan tiga hal penting berkaitan dengan karya Roh Kudus, yaitu kebaharuan, harmoni, dan perutusan.

Sesuatu yang baru pada umumnya menimbulkan rasa takut dan khawatir dalam diri kita. Kebaharuan itu seolah memaksa kita untuk keluar dari zona nyaman yang telah terbangun dan berada dalam kontrol kita. Dalam hidup beriman, di mana kita mengikuti panggilan Tuhan, seringkali kita juga membatasi diri pada hal-hal yang sudah aman dan pasti. Kita takut untuk bersikap terbuka dan sungguh-sungguh percaya kepada tuntunan Tuhan, akibatnya seringkali kita tidak terbuka kepada kebaharuan yang ditunjukkan oleh Tuhan melalui Roh Kudus yang menuntun dan membimbing kita untuk mengambil pilihan dan keputusan baru dalam pejalanan hidup. Kita seringkali merasa takut ketika Tuhan mengajak kita untuk mengambil lintasan jalan baru yang berbeda dan meninggalkan jalan lama dengan segala perspektif kita yang sempit, tertutup dan mementingkan diri sendiri. Kita sering mengalami kesulitan dan ketakutan untuk senantiasa terbuka dan sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan, serta mengandalkan pertolongan-Nya. Kita musti berani belajar dari sejarah iman kita bahwa pada saat Tuhan hadir dan menyatakan diri-Nya, Ia selalu membawa kebaharuan dan menuntut kepercayaan kita yang penuh kepada-Nya. Nabi Nuh telah berani meninggalkan semuanya, membangun bahtera dan percaya kepada Tuhan sehingga ia diselamatkan. Abraham berani meninggalkan tanah asalnya dan mengandalkan janji Tuhan. Musa berani meninggalkan Mesir dan bersama Tuhan menuju kepada pengalaman pembebasan. Dan para rasul sendiri yang berani meninggalkan ketakutan mereka untuk keluar dan memberikan kesaksian tentang kabar gembira kepada banyak orang. Kita tak perlu merasa takut karena kebaharuan yang dianugerahkan oleh Tuhan itu akan membawa kepenuhan dan kebahagiaan sejati bagi kita, sebab Tuhan sungguh-sungguh mengasihi kita.

Hal kedua, beragam karunia dan karisma yang berbeda dalam kehidupan Gereja, tak perlu menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan karena itu merupakan karya Roh Kudus, dan oleh Roh Kudus pula, segala macam karunia dan perbedaan itu disatukan dalam harmoni, karena Roh Kudus sendiri pada hakekatnya adalah harmoni, yang menyatukan. Harmoni dan kesatuan itu bukanlah penyeragaman. Karya Roh Kudus menghasilkan beragam karunia dan kharisma yang berbeda dalam Gereja, namun Roh Kudus pula yang menyatukan semuanya itu, namun tidak menyeragamkan dan tidak menciptakan standarisasi. Apabila kita sungguh-sungguh dipimpin dan dipenuhi oleh Roh Kudus, segala keanekaragaman, perbedaan, pluralitas, dan perbedaan, tak akan pernah menjadi sumber pertentangan. Jika kita dapat berjalan bersama sebagai komunio dalam seluruh perbedaan karunia dan kharisma yang sangat kaya itu, itu merupakan tanda nyata bahwa kita berjalan di dalam tuntunan Roh Kudus. Maka sangatlah penting bagi kita untuk senantiasa terbuka kepada Roh Kudus yang sanggup menyatukan kita dalam perbedaan.

Yang ketiga, Roh Kudus adalah jiwa dari perutusan kita. Pengalaman Pentakosta yang terjadi di Yerusalem adalah pengalaman awal yang terus-menerus terjadi sampai dengan hari ini di dalam pengalaman hidup kita. Pengalaman Pentakosta bukanlah pengalaman yang jauh di Yerusalem sana, melainkan pengalaman yang sangat dekat dan berada dalam hati dan budi kita. Yesus pernah berkata,Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya (Yoh 14:16). Ia, Penolong yang lain itu, yakni Roh Kebenaran, akan menganugerahkan keberanian kepada kita untuk terus berjalan di tengah dunia ini dan memberitakan kabar gembira.

Oleh karena itu, seluruh hidup kita adalah sebuah perjalanan, yang harus terus-menerus dilalui dalam keterbukaan dan keberanian, karena kita percaya bahwa Roh Kudus menyertai kita selamanya, menuntun kita, dan menyediakan kebaharuan. Di dalam dan bersama Roh Kudus, seluruh perjalanan kita akan menjadi perjalanan untuk memberikan kesaksian tentang kabar gembira, tentang perjumpaan kita dengan kristus, perjalanan yang selalu terbuka dan mengarah kepada kebaharuan, serta senantiasa ditandai oleh harmoni dan persatuan meskipun dipenuhi oleh begitu banyak perbedaan dan pluralitas.

Perjalanan adalah sebuah seni, maka janganlah terburu-buru supaya tidak mudah lelah. Perjalanan itu sendiri selalu mengandung resiko lelah dan sulit, maka hadapilah. Jangan takut jika suatu saat kita keliru atau terjatuh. Yang paling penting dalam seni perjalanan untuk bertemu Tuhan bukanlah tanpa bersalah atau tanpa jatuh, melainkan jangan pernah takut untuk senantiasa bangkit kembali dan melanjutkan perjalanan.***

(Indro Suprobo)

Saturday, June 10, 2017

Kesanggupan untuk Mendengarkan adalah Landasan Utama bagi Perdamaian


Seperti hari-hari Minggu biasanya, pada tengah hari sebelum menjalankan doa Malaikat Tuhan bersama dengan umat beriman yang hadir di lapangan Santo Petrus, Bapa Fransiskus menyampaikan refleksi atas bacaan Injil pada hari itu, yakni tentang kisah Yesus yang mengunjungi Maria dan Marta dan tentang bagaimana masing-masing perempuan itu memilih cara menyambut kehadiran Yesus. Maria memilih duduk di dekat kaki Yesus dan mendengarkan dia, sementara Marta sibuk dengan banyak urusan rumah tangga untuk menerima Yesus. Marta bertanya kepada Yesus,”Tuan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah ia membantu aku.” Tetapi Yesus menjawabnya,”Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu, Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.” (Luk 10:38-42).

Dalam refleksinya, Bapa Fransiskus menjelaskan bahwa dengan menyibukkan dirinya, Marta telah menanggung resiko melupakan kehadiran tamunya, yakni Yesus sendiri. Menurut Bapa Fransiskus, inilah masalah utamanya. Yang paling utama dalam menyambut kehadiran tamu bukanlah melakukan banyak hal lain seperti melayani, memberi makan, merawat dan sebagainya, melainkan mendengarkan tamu itu. Ketika ada tamu yang hadir, ia perlu disambut sebagai pribadi, lengkap dengan seluruh sejarah dan keunikan dirinya sehingga tamu itu merasa betah berada di rumah itu di tengah-tengah keluarga. Ketika tamu itu diterima dengan sepenuh hati dan didengarkan, ia akan merasa diterima sebagai pribadi yang bermartabat. Dalam bahasa Jawa, istilah yang tepat adalah “diuwongke”. Namun jika tamu itu dibiarkan duduk sendirian sementara kita sibuk dengan banyak hal lain, maka satu sama lain kita akan berada dalam situasi diam, tanpa komunikasi. Bisa jadi sang tamu akan merasa tidak nyaman dan seolah-olah dianggap sebagai batu.

Jawaban yang diberikan oleh Yesus kepada Marta bahwa hanya ada satu hal saja yang perlu, mendapatkan maknanya yang paling penuh ketika mengacu kepada Sabda Yesus sendiri, yakni Firman yang mencerahkan dan menopang seluruh keberadaan kita serta semua yang kita kerjakan. Bapa Paus memberikan contoh,”apabila kita berdoa di hadapan salib, lalu kita berbicara dan terus menerus berbicara, lalu setelah itu kita segera pergi, dengan demikian kita sama sekali tidak mendengarkan Yesus. Kita tak memberikan kesempatan bagi Yesus sendiri untuk berbicara kepada hati kita. Kata kunci yang tidak boleh kita lupakan adalah bahwa sebelum menjadi Tuan dan Guru, Yesus yang hadir di rumah Maria dan Marta, pertama-tama adalah Yesus yang hadir sebagai peziarah dan tamu. Oleh karna itu, jawaban Yesus kepada Marta merupakan hal yang sangat penting. Ketika Yesus hadir sebagai tamu, tak ada hal lain yang lebih penting untuk dilakukan kecuali menerima dia dan mendengarkan dia. Janganlah terlalu sibuk dengan banyak hal lain sehingga kita justru melupakan kehadiran sang tamu. Mendengarkan Dia, merupakan sebuah wujud dari persaudaraan yang membuat sang tamu merasa nyaman serta menjadi bagian dari anggota keluarga, dan bukan hanya sebagai orang yang menginap sementara.

Dalam pemahaman demikian ini, keramahtamahan, yang merupakan salah satu karya belas kasih, dapat dimengerti sebagai sebuah kebajikan yang sungguh-sungguh manusiawi sekaligus kristiani. Dalam dunia sekarang ini, kebajikan semacam ini, sangat rentan untuk dikesampingkan begitu saja. Memang, ada banyak sekali rumah-rumah penginapan untuk menerima tamu, namun di tempat-tempat itu, orang tidak selalu dapat menemukan keramahtamahan yang sejati. Banyak lembaga didirikan untuk membantu beragam jenis penyakit, kesepian, dan keterpinggiran, namun semakin sedikit peluang bagi seorang asing atau orang yang terpinggirkan untuk menemukan orang yang sungguh-sungguh mau mendengarkan dia, mendengarkan kisah hidupnya yang penuh derita. Bahkan dalam sebuah keluarga, di antara anggota keluarga sendiripun, semakin sulit untuk menemukan pengalaman didengarkan dan diterima.

Dalam kehidupan saat ini, banyak orang terlalu sibuk dan terperangkap oleh banyak sekali urusan, bahkan seringkali urusan-urusan yang tidak penting. Kesibukan dan kekawatiran terhadap bayak hal seringkali membuat orang kehilangan ruang untuk sekedar diam, heniing, mendengarkan diri sendiri, mendengarkan orang lain, serta mendengarkan Tuhan. Kesiapsediaan dan kesanggupan untuk mendengarkan memang harus dilatihkan. Menyediakan waktu untuk “silentium” atau untuk hening setiap hari, merupakan latihan yang sangat berharga. Kebiasaan untuk hening, akan membantu orang untuk melatih diri menyediakan ruang bagi yang lain, menyediakan ruang untuk sanggup mendengarkan pasangan maupun anak-anak dalam keluarga, untuk mendengarkan pengalaman orang lain yang berbeda latar belakang dengan diri kita sendiri. Kesanggupan untuk mendengarkan, adalah kesanggupan untuk menerima orang lain apa adanya dengan segala keunikan dan sejarah hidupnya. Dengan demikian, kesanggupan untuk mendengarkan orang lain adalah kesanggupan untuk menciptakan perdamaian di dalam batin sehingga lebih mampu menerima orang lain dalam seluruh martabat hidup yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya.

Henry J.M. Nouwen dalam buku Menggapai Kematangan Hidup Rohani, menyatakan bahwa kesanggupan untuk mendengarkan adalah kesanggupan untuk menyediakan ruang yang ramah di dalam batin sehingga orang lain dapat hadir secara nyaman dan penuh damai. Dengan lain kata, kesanggupan untuk mendengarkan adalah sebuah hospitalitas atau keramahtamahan. Hanya dengan keramahtamahan, seorang pribadi dapat membangun perdamaian sejak di dalam batinnya. Di dalam batinnya tak ada ruang bagi sebuah perasaan terancam meskipun yang hadir itu adalah orang lain yang sangat berbeda dengan dirinya. Itulah tanda lahirnya perdamaian yang hakiki.


(Indro Suprobo)

Tuesday, June 06, 2017

Kita musti berdoa agar meraih kemenangan melalui perdamaian, bukan melalui peperangan

Dalam sebuah perayaan ekaristi untuk mengukuhkan (kanonisasi) tujuh orang suci baru di Basilika Santo Petrus, Bapa Fransiskus menyatakan,”Kita berdoa bukan untuk berlindung di sebuah dunia yang ideal, juga bukan untuk melarikan diri ke dalam ketenangan yang semu dan penuh cinta diri. Sebaliknya, kita berdoa untuk berjuang, dan juga untuk membiarkan Roh Kudus berdoa di dalam diri kita. Karena Roh Kuduslah yang mengajari kita untuk berdoa. Ia menuntun kita dalam doa dan membuat kita sanggup berdoa sebagai anak-anak Bapa”.

Menurut Bapa Fransiskus, santo dan santa adalah orang-orang yang sungguh-sungguh berani menyelami misteri doa. Mereka adalah laki-laki maupun perempuan yang berjuang dengan doa dan membiarkan Roh Kudus berdoa serta berjuang di dalam diri mereka. Mereka berjuang sampai titik akhir, dengan segala daya mereka, sampai akhirnyua mereka mencapai kemenangan. Namun kemenangan itu bukan karena usaha mereka sendiri, melainkan karena kemenangan Tuhan yang ada di dalam diri mereka dan bersama dengan mereka. Oleh karena itu, tujuh orang suci yang pada hari itu dikukuhkan sebagai santo dan santa, juga telah melaksanakan perjuangan iman dan cinta melalui doa-doa mereka. “Itulah sebabnya mengapa mereka tetap kuat di dalam iman, disertai dengan ketabahan dan kemurahan hati”. Melalui teladan para santo dan santa itu, Bapa Fransiskus juga berharap semoga Tuhan juga memberi daya dan kekuatan kepada kita agar menjadi pribadi-pribadi pendoa. Bapa Fransiskus mengajak kita semua untuk setiap saat berseru kepada Tuhan, baik siang maupun malam. Bapa Suci berharap kita semua sanggup menyediakan ruang dalam batin kita dan membiarkan Roh Kudus sendiri berdoa di dalam diri kita, saling mendukung satu sama lain di dalam doa, agar kita semua tetap tegar sampai pada akhirnya, rahmat dan belas kasih Allah sendiri mencapai kemenangan.

Menjadi manusia pendoa bukanlah sebuah kewajiban, melainkan sebuah gaya hidup yang dipilih dan ditekuni hari-demi hari, saat demi saat. Menjadi manusia pendoa membutuhkan latihan, ketekunan, pembiasaan dan disiplin. Dalam suatu kesempatan, Ibu Theresa pernah berpesan,”Berdoalah, justru pada saat dirimu merasa sulit untuk berdoa”. Ini merupakan pesan mendasar bagi kita untuk berlatih tegar dan tekun.

Karena berdoa bukanlah sebuah upaya untuk berlindung di sebuah dunia yang ideal, atau untuk melarikan diri ke dalam sebuah ketenangan yang semu, maka berdoa pada dasarnya dapat dilakukan kapanpun dan di manapun, serta dalam kondisi seperti apapun. Di antara kesibukan kerja, sekolah, di pasar, di tengah keramaian, dalam kerumunan, saat berdiri di depan teras rumah sambil memandang tanaman, di kebun, saat mengerjakan sawah, saat melakukan jogging, dalam perjalanan dan sebagainya. Yang paling utama dari sebuah doa adalah kehendak hati untuk hening lalu menyampaikan sesuatu kepada Tuhan serta, jangan lupa, membiarkan Roh Kudus berbicara dan berdoa dalam diri kita.
Meskipun demikian, dalam hidup kita, ada saat-saat yang dapat disebut sebagai waktu terbaik untuk membiarkan diri masuk ke dalam doa. Waktu-waktu terbaik itu telah dipilih sebagai kebiasaan oleh banyak agama. Saudara-saudari muslim memiliki lima waktu terbaik yang telah menjadi tradisi dan dikenal dengan shalat lima waktu. Tradisi kuno agama kristen dan sampai saat ini masih dijalankan di beberapa biara, memiliki kebiasaan doa brevir tujuh waktu dalam sehari dengan pilihan waktu yang hampir sama dengan tradisi saudara-saudari Muslim. Namun demikian, paling tidak ada tiga waktu terbaik yang sebaiknya dimanfaatkan sebagai waktu hening, supaya batin kita terlatih menjadi manusia pendoa. Tiga waktu hening itu adalah pagi hari sebelum matahari terbit (saat subuh dalam tradisi muslim), tengah hari (saat doa angelus dalam tradisi kristen atau saat dhuhur dalam tradisi muslim), serta sore hari setelah matahari terbenam (saat maghrib dalam tradisi muslim). Waktu-waktu itu akan membantu kita untuk melatih diri dan membiasakan diri menjadi manusia pendoa sehingga, tanpa harus diingat-ingat, diri kita akan memiliki kesadaran praktis (kesadaran yang spontan) untuk melakukan hening dan berdoa pada waktu-waktu itu, seumpama sebuah kebutuhan mendasar yang akhirnya menjadi gaya hidup. Melaluinya, kita akan terbiasa untuk senantiasa berjuang di dalam doa dan membiarkan Roh Kudus berdoa di dalam diri kita dan bersama kita, sehingga kita dapat mencapai kemenangan di dalam Tuhan.

Doa yang mengalir dari batin kita setiap saat, akan menjadi kekuatan untuk memilih cara-cara yang damai dalam mengupayakan kehidupan bersama. Manusia pendoa adalah manusia yang selalu berhasil meraih kedamaian di dalam batinnya dan kedamaian itu mengalir dalam seluruh pikiran, ucapan dan tindakan sehari-hari menyangkut banyak hal dalam kehidupan, tanpa kontradiksi. Seumpama sebuah bejana, manusia akan mencipratkan apapun yang di dalamnya. Jika bejana itu berisi air jernih, maka air jernih itulah yang akan terciprat dari dalamnya. Jika bejana itu berisi air keruh, maka air keruh itu pula yang terciprat dari dalamnya. Maka jika batin manusia itu berisi kedamaian, maka kedamaian itu pulalah yang terciprat dari dalamnya. Kedamaian itu akan mengalir ke dalam pikiran, ucapan maupun tindakan, baik dari sisi cara maupun isinya.  

Karena bukan merupakan pelarian diri ke dalam ketenangan semu, maka doa sekaligus merupakan sebuah pergulatan batin manusia dalam keprihatinan-keprihatinan sosial. Tidak mengherankan jika, ketika melakukan doa angelus di siang hari, Bapa Fransikus mengajak seluruh umat beriman yang hadir untuk berdoa bagi upaya melawan kemiskinan dunia. “Marilah kita menyatukan segala kekuatan moral dan ekonomi untuk berjuang melawan kemiskinan, yang telah merendahkan dan membunuh begitu banyak saudara dan saudari kita, melalui pelaksanaan kebijakan yang serius tentang keluarga dan kaum pekerja”. Karena menurut Bapa Suci, setiap orang memiliki hak atas standard hidup  yang layak bagi kesehatan dan kebaikan dirinya maupun keluarganya. “Marilah kita mempercayakan seluruh intensi doa kepada Perawan Maria, terutama doa-doa tulus dan terus-menerus demi perdamaian”, kata Bapa Fransiskus menutup doanya.


(Indro Suprobo)

Thursday, March 09, 2017

Berteologi Sosial melalui Cerpen dan Narasi

 


Oleh Indro Suprobo

Kumpulan Cerpen dan Narasi Fiksional Historis yang diterbitkan dalam buku kecil dan sederhana ini sebenarnya merupakan media bagi penulis untuk menuangkan percikan-percikan gagasan, sikap, pilihan dan posisi pemikiran teologi sosial penulis sendiri. Percikan pemikiran teologi sosial dalam rupa cerita pendek dan narasi fiksional historis yang terbentang dari tahun 1999 sampai dengan 2017 ini merupakan keprihatinan dan komitmen penulis terhadap nilai-nilai kemanusiaan, perdamaian, dan keadilan. Memang tulisan-tulisan dalam buku kecil ini tidak diurutkan menurut usianya melainkan diurutkan secara acak saja. Jika ditelusur dari usia tulisan, tulisan paling tua adalah Cerita Pendek berjudul "Tuhan Agamamu Apa?" yang dimaksudkan sebagai upaya membongkar ketertutupan dan kemapaman cara beragama sebagian masyarakat, atau cara sebagian masyarakat memikirkan agama, yang cenderung mendaku bahwa kebenaran tunggal hanya ada di dalam keyakinan yang dimilikinya. Sementara, tulisan paling muda adalah narasi fiksional berjudul "Suatu Senja di Cleveland", yakni sebuah narasi fiksional reflektif tentang praksis tradisi pendidikan yang dianalisis dengan menggunakan prinsip-prinsip Appreciative Inquiry.

Yang dimaksud dengan Narasi Fiksional Historis dalam buku kecil ini adalah sebuah kisah ciptaan yang diproduksi dengan memanfaatkan informasi dan data yang real dan historis yang diperoleh dari beragam sumber. Narasi Fiksional Historis merupakan media yang dipilih untuk menyampaikan percikan gagasaan dan pemikiran penulis agar cara penyampaian itu menjadi lebih menarik, melibatkan pengalaman emosional, menghidupkan imajinasi, dan diharapkan menjadi cara yang efektif untuk memfasilitasi pembaca terlibat di dalam pengalaman. 

Penuangan gagasan dan percikan pemikiran teologi sosial dalam bentuk cerita pendek dan narasi fiksional historis ini sangat dilatarbelakangi oleh metode studi teologi yang dijalani oleh penulis sendiri, yakni sebuah metode teologi kontekstual yang berprinsip "berteologi melalui pengalaman nyata". Dalam metode teologi semacam itu, orang yang menjalankan teologi atau orang yang berteologi, harus benar-benar masuk dalam pengalaman, secara nyata "mengalami sendiri" situasi konkret yang dihadapi itu, mencermati seluruh kompleksitas persoalan yang ditemukan, menyusun peta dan analisis sosial, serta menjalankan refleksi teologis, dan akhirnya menyediakan alternatif tesis atau prinsip teologis dari pengalaman nyata itu untuk mendorong pilihan tindakan konkret. Cara berteologi semacam ini merupakan sebuah jalan teologi yang terlibat dan mau tidak mau, berpihak juga. Metode berteologi dari pengalaman pada gilirannya akan melahirkan jalan teologi keterlibatan.

Cerita pendek dan narasi fiksional historis, merupakan media yang menarik untuk dipilih sebagai media berteologi. Cerita dan narasi menyediakan ruang keterlibatan imajinatif yang dapat membantu melahirkan pertanyaan menghadapi situasi konkret, menantang setiap pribadi untuk memberikan jawaban dan sikap yang mandiri dan bertanggung jawab, mendorong setiap orang untuk bergumul secara serius dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai hidup yang mendasar yakni kemanusiaan, perdamaian, keadilan, kejujuran, hormat terhadap seluruh ciptaan, dan menjagai prinsip dan nilai tersebut dalam sebuah konsistensi yang bermartabat. 

Barangkali bolehlah dikatakan bahwa bagi penulis, menulis cerita pendek dan  narasi fiksional historis adalah sebuah cara alternatif untuk berteologi, terutama menjalankan teologi sosial kontekstual. Teologi sosial kontekstual menjadi prioritas pilihan karena merupakan jalan teologi yang dinamis, yang menantang, mengevaluasi dan mendorong teologi yang bersifat dogmatis, untuk selalu merumuskan kembali dirinya dan senantiasa terbuka kepada kehidupan yang jauh lebih luas daripada dogma-dogma itu sendiri. Mengapa demikian? Karena di dalam kehidupan yang dinamis itulah Tuhan bekerja. Maka pantaslah dikatakan bila Tuhan adalah Pekerja. Jika Tuhan adalah Pekerja, maka sepantasnya manusia tidak berdiam diri, melainkan terus bekerja dan berteologi!

Semoga cerita-cerita pendek sederhana dan narasi-narasi fiksional historis yang disajikan dalam buku kecil ini dapat menjadi teman dialog bagi para pembaca dan melahirkan gagasan serta pilihan tindakan produktif di tengah kenyataan kehidupan yang semakin tak memungkinkan untuk bersikap netral. Selamat membaca.