Thursday, February 22, 2018

Imperialisme Ilmu-Ilmu Sosial di Indonesia

Sebuah catatan yang diolah dari diskusi bersama DR. Revrisond Baswir dan Max Lane di MAP Corner UGM, Selasa 21 Februari 2018


Bagi Soekarno dan Mohammad Hatta, serta kaum pergerakan pada masanya, imperialisme dan kolonialisme adalah anak kandung dari kapitalisme yang sangat menyengsarakan banyak warga bangsa di seluruh dunia. Bagi kaum pergerakan pada masa itu, termasuk bagi Soekarno dan Mohammad Hatta, untuk dapat mendorong semangat dan cita-cita mencapai kemerdekaan sekaligus melawan imperialisme dan kolonialisme itu, tidak ada pilihan ideologi lain kecuali sosialisme. Oleh karena itu, kaum pergerakan pada masa itu sangat giat dan bertekun untuk membaca, mempelajari dan menghidupkan prinsip-prinsip sosialisme itu di dalam peri kehidupan masyarakat. Tidak mengherankan jika setelah berhasil mencapai kemerdekaan pada tahun 1945, dengan beberapa
kelemahan dan kesulitan yang masih tetap dihadapi sebagai akibat dari hasil Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949 di mana Indonesia masih harus menerima kehadiran perusahaan asing, dan mewarisi hutang Pemerintah Hindia Belanda kepada Amerika, Mohammad Hatta menulis sebuah buku berjudul “Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia” dan diterbitkan oleh Penerbit Djambatan pada tahun 1953. Orientasi ekonomi politik para pendiri bangsa adalah terbangunnya sebuah negeri dengan watak dasar sosialis karena banyaknya kecocokan, salah satunya adalah watak gotong royong. Pancasila dan UUD 1945 yang dirumuskan sebagai landasan kehidupan berbangsa itupun merupakan manifestasi dari watak dasar sosialisme yang secara nyata tercermin dalam lima sila dan secara sangat tegas terumuskan dalam Pasal 33 UUD 1945.

Watak sosialisme sebagai semangat dasar perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme yang menyengsarakan banyak warga bangsa itu tetap hidup dan semakin dikembangkan termasuk dalam membangun relasi dan aliansi dengan negara-negara yang masih berada dalam ancaman imperialisme dan kolonialisme. Hal ini terwujud dalam perhelatan Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung, yang melahirkan citra tentang gerakan bangsa-bangsa penentang imperialisme dan kolonialisme dengan istilah “The Emerging Forces”. Tentu saja, gerakan ini dianggap sebagai ancaman bagi negara-negara kapitalis yang telah mendapatkan keuntungan besar dari praktik kolonialisme selama ini. Indonesia menjadi salah satu negara yang mengancam dan pantas untuk dijadikan target “proses pelumpuhan”. The Emerging Forces ini harus dilumpuhkan dan ditundukkan menjadi “market” bagi seluruh produk kapitalisme baik secara material maupun secara ideologis.

Proses pelumpuhan secara ideologis ini dilakukan dengan banyak cara, salah satunya adalah dengan membaca peta kekuatan masyarakat Indonesia, menyelami basis suprastruktur ideologis yang membentuk kerangka berpikir dan menentukan pilihan tindakan masyarakat Indonesia. Dengan demikian, peta-peta dan cara pembacaan itu akan membantu untuk menemukan strategi
pelumpuhannya yang efektif. Jeanne S. Mintz, adalah salah seorang yang memiliki peran penting dalam proses itu. Ia adalah tenaga ahli di Pentagon dan seorang analis politik-ekonomi bagi pemerintah Hindia Belanda di Pengasingan, dan tenaga ahli senior di Special Operations Research Office di Washington. Ia berhasil membuat peta kekuatan dan kerangka ideologis masyarakat Indonesia dan pada akhirnya tertuang dalam sebuah buku yang diterbitkan pada bulan Januari tahun 1965, berjudul “Mohammed, Marx and Marhaen. The Root of Indonesian Socialism”. Delapan bulan setelah penerbitan buku ini, kekuatan sosialisme di Indonesia benar-benar dilumpuhkan dan dikuburkan baik melalui aparatus ideologis maupun melalui kekerasan, yakni dalam tragedi Oktober 1965, yang menorehkan trauma bagi banyak generasi kemudian.

Setelah penghancuran dan penguburan seluruh kekuatan sosialisme di Indonesia pada tahun 1965, sejak 1967, seluruh aparatus ideologis maupun aparatus negara di Indonesia bekerja melancarkan jalan bagi kapitalisme dan neokolonialisme, sampai sekarang. Sejak itu, seluruh proyek ekonomi Indonesia menggunakan kerangka dasar pemikiran ekonom Walt Whitman Rostow yang terkenal dengan bukunya yang berjudul “The Stage of Economic Growth, a non-Communist Manifesto” dan terbit pertama kali pada tahun 1960, diterbitkan oleh Cambridge University Press. Tak mengherankan jika seluruh tahapan pembangunan yang disebut sebagai Repelita dan Pelita, seluruhnya menggunakan kerangka berpikir tentang tahap pertumbuhan ekonomi Rostow ini.

Sejak itu, hampir di seluruh universitas di Indonesia, dikembangkan ilmu-ilmu ekonomi yang sejalan dengan ideologi kapitalisme, dalam beragam bentuk dan cabangnya, disertai dengan proses lanjutan penghancuran gagasan sosialisme melalui segala macam penanaman stigma terhadapnya. Maka banyak kebijakan negara yang diproduksi untuk mengabdi bagi kepentingan itu. Tak ketinggalan, diproduksi pula beragam ilmu sosial lain yang menjadi aparatus ideologis bagi kepentingan itu. Bahkan sebenarnya, ekonomi yang diajarkan di universitas-universitas di Indonesia saat ini boleh disebut bukan sebagai ilmu, melainkan sebagai propaganda neokolonialisme. Propaganda ekonomi neokolonial itu bahkan sudah sampai pada taraf melahirkan “radikalisme” dan “fundamentalisme”, sudah hampir menjadi sama dengan agama. Akibatnya, ketika Indonesia meratifikasi kovenan HAM ekonomi, sosial dan budaya (ekosob), di samping HAM sipil dan politik, seorang ekonom internasional menyatakan bahwa “hak asasi manusia di bidang ekonomi itu tidak ada, karena hak asasi manusia di bidang ekonomi itu adalah produk orang-orang komunis”.

Oleh karena itu, sejak berkuasanya Soeharto, sistem ekonomi yang dijalankan di Indonesia adalah sistem ekonomi yang inkonstitusional karena tidak sesuai lagi dengan amanat konstitusi Indonesia, terutama pasal 33 UUD 1945.

Proses penghancuran dan penguburan sosialisme di Indonesia melalui kekerasan tahun 1965, mengakibatkan Indonesia tidak lagi memiliki aktor perubahan yang berasal dari rakyat itu sendiri. Kekuatan-kekuatan gerakan rakyat yang mencoba berpikir tentang perubahan dan alternatif sudah akan langsung dihadapi dengan beragam stigma dan bahkan kekerasan. Akibat lanjutnya adalah semakin berkurangnya pemahaman generasi muda tentang sejarah masa lalu. Selain karena berhadapan dengan aparatus negara maupun aparatus ideologis, segala bentuk informasi sejarah telah berada dalam kontrol kekuasaan.

Dalam situasi hidup di tengah-tengah neokolonialisme semacam ini, yang harus dilakukan adalah merawat gagasan-gagasan dasar yang telah diusung oleh kaum pergerakan dan para pendiri bangsa. Membaca gagasan-gagasan itu dari karya-karya mereka pada masa lalu dan dari seluruh bacaan pendukung yang tersedia pada masa kini menjadi hal yang sangat penting. Semuanya itu dilakukan hanya untuk satu tujuan yakni menegakkan konstitusi, yakni menegakkan prinsip-prinsip Pancasila dan UUD 1945 yang telah dirumuskan dan diperjuangkan oleh kaum pergerakan dan para pendiri bangsa ini dalam nafas dan watak sosialisme Indonesia, demi mencapai cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam keyakinan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpim oleh hikmat/kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

Pekerjaan ini tentu akan mengalami kesulitan karena yang terus akan dihadapi adalah aparatus ideologis kapitalis-neokolonial yang telah sedemikian kuat, dan tentu saja kekerasan yang digunakannya. Ini akan menjadi pekerjaan yang tidak ringan karena pada saat ini, Indonesia sudah bukan lagi menjadi salah satu “the emerging forces” sebagaimana dicita-citakan dan dirintis oleh Soekarno dan Hatta, melainkan cenderung menjadi salah satu “the emerging market” bagi negara-negara kapitalis besar dan kuat. Seluruh perilaku ideologis maupun ekonomisnya cenderung mengarah kepada apa yang didakwahkan oleh W.W. Rostow, yakni “the mass consumption”.


Catatan reflektif:
Yang pantas diwaspadai bersama oleh bangsa Indonesia saat ini adalah selalu munculnya pola-pola adu domba menggunakan peta-peta yang telah dituliskan oleh Jeanne S. Mintz, yakni adu domba antara kekuatan “Mohammad” atau Islam, “Karl Marx” atau sosialisme, dan “Marhaen” atau kelompok miskin pedesaan. Adu domba itu juga dapat diperluas dalam kerangka “antar agama”, “antar etnis”, dan “antar kelas”. Seluruh produksi wacana tentang “kebangkitan komunisme”, “bahaya kristenisasi/islamisasi”, “pribumi/non-pribumi” adalah sebuah konstruksi tentang nalar konfliktual untuk memperlemah “persatuan” masyarakat Indonesia karena neokolonialisme itu terlalu kuat dan terlalu dasyat untuk dihadapi jika tanpa “persatuan” yang merupakan “the emerging force”. Apa yang dimaksud dengan “the emerging force” ini tidak hanya dalam manifestasi material berupa kekuatan militer, persenjataan dsb, melainkan juga dalam manifestasi ideologis-kulturalnya yakni “cara berpikir dan pemahaman mendasar tentang cita-cita sosialisme Indonesia” sebagaimana secara gamblang dituliskan oleh Mohammad Hatta dan secara final telah tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945.

Pengembangan sosialisme Indonesia itu harus dipahami sebagai sesuatu yang “sama sekali tidak sama” dengan bangkitnya komunisme, sebagaimana selalu dimunculkan sebagai isu politik terutama menjelang pemilu atau menjelang proses klarifikasi atas tragedi kemanusiaan terbesar 1965. Karena sosialisme Indonesia secara final telah termanifestasi dalam landasan ideologis dan landasan konstitusional, Pancasila dan UUD 1945. Dalam kerangka itu pula, seluruh studi/kajian/diskusi filosofis, sosial, kebudayaan, maupun ekonomis tentang tema-tema sosialisme pantas ditempatkan sebagai upaya untuk menggali spirit dasar Pancasila dan UUD 1945 demi mencapai cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tidak dicurigai sebagai upaya menggulingkan dasar negara dan landasan konstitusional bangsa karena seluruh landasan itu telah dibangun oleh kaum pergerakan dan para pendiri bangsa dengan darah dan air mata.

Pada saat ini, telah banyak berkembang ilmu-ilmu sosial kritis yang berlandaskan pada kerangka pemikiran Marx disertai dengan sikap kritis dan inovasi kontekstual yang sangat bermanfaat bagi pengembangan sikap kritis terhadap cara bekerjanya ideologi kapitalisme dan neoliberalisme di dalam cara berpikir masyarakat. Ilmu-ilmu itu seringkali disebut sebagai post-marxis maupun post-strukturalis. Michel Foucault, Pierre Bordieux, Derrida, Antonio Gramsci, adalah beberapa pemikir yang dapat disebut di antaranya. Semuanya menyediakan sikap kritis untuk membongkar cara bekerjanya ideologi dominan di dalam struktur ketidaksadaran manusia. Dalam ranah dunia pendidikan, ada juga Paulo Freire yang memberikan wawasan tentang filsafat manusia, konsep arkeologi kesadaran manusia, dan pendidikan sebagai proses politik. Mempelajari ilmu-ilmu itu, dipadukan dengan spiritualitas agama-agama, akan sangat membantu masyarakat untuk “membebaskan diri” dari belenggu neokolonialisme “sejak dalam pikiran”. ***

(Indro Suprobo)