Monday, August 24, 2009

Kebijakan Tentang Kebebasan Berkeyakinan di Indonesia

Oleh Indro Suprobo

Rumusan Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia merupakan sebuah kesepakatan yang dihasilkan setelah melalui perdebatan panjang, keras namun santun oleh minimal dua kubu di kalangan pemimpin pergerakan Indonesia, yakni kubu kaum muslim dan kubu kaum nasionalis. Dalam rapat BPUPKI 19 April 1945 para wakil umat Islam mengusulkan agar Indonesia merdeka mengakomodasi aspirasi umat Islam yang jumlahnya mayoritas dan telah banyak berjuang serta berkorban dalam proses menuju Indonesia merdeka, dengan menjadikan Islam sebagai dasar negara. Usulan ini masih diajukan dalam rapat Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP). Usulan ini ditolak oleh kaum nasionalis seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, dan Soepomo. Akhirnya disepakati rumusan Pancasila sebagaimana diketahui sampai saat ini. Namun demikian kesepakatan ini masih didahului juga oleh proses perdebatan tentang “Piagam Jakarta”. Hasil akhirnya, perwakilan tokoh Islam menerima secara ikhlas dan penuh toleransi rumusan Pancasila tanpa memberlakukan Piagam Jakarta demi menjaga persatuan nasional dan merawat kebersamaan. Usulan lain yang disetujui dalam sidang pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNPI), sebagai parlemen Indonesia sementara, yang diselenggarakan pada tanggal 25-27 November 1945, adalah usulan agar urusan menyangkut kepentingan umat Islam diberi wadah tersendri dalam kementerian. Berdasarkan ketetapan yang dikeluarkan pemerintah pada tahun 1946, Nomor 1/SD, tanggal 3 Januari 1946, secara resmi dilahirkan Kementerian Agama dengan menteri pertama H. Rasjidi B.A. Masa Ideal, Awal Kemerdekaan Suasana awal kemerdekaan merupakan suasana yang kondusif bagi pengembangan pluralisme agama dan keyakinan di Indonesia. Pengalaman terjajah selama puluhan tahun telah membentuk suasana psikologis dan ideologis yang menyatukan para tokoh agama dalam perasaan yang sama dan senasib untuk membangun bangsa dengan meminggirkan kepentingan kelompoknya sendiri. Wahid Hasyim, menteri Agama pada masa Republik Indonesia Serikat, menunjukkan visi inklusifnya melalui program Kementerian Agama yang dirumuskan sebagai berikut: 1. Melaksanakan perubahan corak politik keagamaan dari dasar kolonial kepada nasar nasional 2. Mewujudkan kebulatan dan keseimbangan bangsa Indonesia dengan tidak membedakan kepercayaan dan agama, sesuai dengan tuntutan demokrasi yang sejati 3. Menghidupkan moral masyarakat, terutama dalam pembangunan 4. Membimbing tumbuh dan berkembangnya faham keTuhanan Yang Maha Esa di segala lapangan penghidupan dan bagian masyarakat. Prinsip demokrasi dalam pandangan Wahid Hasyim memberikan orientasi bahwa keberadaan Departemen Agama harus melindungi seluruh hak hidup umat beragama tanpa pandang bulu. Secara tegas ia menyatakan bahwa ”Pemerintah bukanlah pemerintah Islam. Negara Republik Indonesia bukanlah negara Islam dan Kementerian Agama bukan kementerian Agama Islam”. Menurut Wahid Hasyim, negara tidak boleh melakukan propaganda atas nama agama tertentu terhadap agama lainnya, serta tidak boleh melakukan intervensi atas urusan peribadatan rakyat beragama sebagaimana dilakukan oleh pemerintah masa kolonial. Dalam urusan intern agama, pemerintah tidak diperbolehkan untuk campur tangan. Seandainya harus campur tangan, campur tangan itu bukan dalam urusan isi agama melainkan dalam urusan yang bertalian dengan umat atau rakyat beragama sepanjang batas yang dapat dicampurinya. Masih menurut pandangan Wahid Hasyim, umat Islam tidak boleh menggantungkan diri kepada pemerintah. Dalam urusan kegiatan keagamaan, termasuk dalam pembangunan masjid, umat Islam harus mampu membangun sendiri dan tidak boleh meminta bantuan kepada pemerintah. Sebab kalau ini dilayani, pemerintah juga harus melayani urusan pembangunan rumah ibadah umat yang lainnya.[1] Orde Baru memandang Agama Kebijakan tentang kebebasan beragama yang diproduksi oleh pemerintah sangat berkaitan dengan bagaimana negara memandang agama, terutama sejak Orde Baru. Bagi Orde Baru, agama merupakan hal yang sangat penting karena dipandang sebagai kekuatan yang memiliki potensi kedaulatan yang dapat mengancam kekuasaan negara. Kedaulatan (sovereignty) dipahami sebagai sesuatu yang menjadi keputusan paling akhir, keputusan paling tinggi yang diambil oleh seseorang sovereign yang mana dia tidak dapat digugat dan tidak perlu bertanggung jawab kepada siapa pun, lembaga apapun, dan tidak membutuhkan legitimasi dari siapapun selain legitimasi intern dari doktrin itu sendiri atau self-referent.[2] Kedaulatan ini dalam praktiknya terwujud dalam infalibilitas. Oleh karena itu, agama-agama dikontrol secara ketat. Kontrol terhadap agama oleh negara ini tampaknya merupakan kelanjutan dari model pemerintah kolonial dalam mengatur agama, terutama Islam, sebagaimana direkomendasikan oleh Snouck Hurgronje agar memberikan peluang bagi religious Islam (Islam agama) namun memberantas sampai ke akar-akarnya apa yang disebut sebagai political Islam (Islam Politik). Salah satu contoh paling baik dari potensi agama menjadi sesuatu yang memiliki kedaulatan dan menggoncang kekuasaan yang lain adalah reformasi (atau lebih tepat revolusi) Lutheran yang bukan hanya merupakan revolusi teologis melainkan juga sebuah pendobrakan terhadap kekuasaan politik dan religius the holy Roman Empire yang berpusat di Vatikan. Dobrakan Luther inilah yang pada gilirannya menggerakkan aksi protes kaum petani Jerman. Kebijakan Negara yang membatasi kebebasan berkeyakinan Kebijakan negara yang membatasi kebebasan berkeyakinan dimulai oleh produk pada masa Soekarno yakni Penetapan Presiden No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau penodaan Agama, tertanggal 27 Januari 1965. Penpres ini dikuatkan dengan Undang-Undang No.5 tahun 1969 oleh Orde Baru. Dalam penjelasan Penpres ini disebutkan bahwa agama yang ada di Indonesia meliputi 6 agama yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khong Hu Cu. Namun dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri nomor 477/74054 tertanggal 18 November 1978 dinyatakan bahwa agama yang diakui resmi oleh pemerintah adalah Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Jadi hanya 5 (lima agama). Pembatasan kebebasan berkeyakinan ini terwujud pula dalam pendefinisian tentang agama oleh pemerintah yang sangat sempit dan berbeda dengan definisi yang dikemukakan oleh ilmu-ilmu sosial pada umumnya seperti Durkheim dan Weber. Pemerintah secara sepihak merumuskan agama sebagai sistem kepercayaan yang disusun berdasarkan kitab suci, memiliki ajaran yang jelas, mempunyai nabi dan memiliki kitab suci. Sementara ilmuwan sosial seperti Durkheim memahami agama sebagai sistem keyakinan dan upacara yang mengacu kepada yang suci dan mengikat orang bersama ke dalam kelompok sosial. Weber memahami agama sebagai setiap rangkaian jawaban yang koheren pada dilema keberadaan manusia seperti kelahiran, kesakitan atau kematian, yang membuat dunia menjadi mempunyai makna.[3] Pendefinisian agama oleh negara yang demikian ini meminggirkan kelompok-kelompok agama yang biasanya disebut sebagai kepercayaan atau agama lokal. Secara tegas bahkan Tap MPR no.IV/MPR/1978 tentang GBHN menyatakan bahwa Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama. Tap ini ditindaklanjuti dengan Instruksi Menteri Agama no.4/1978 tentang Kebijaksanaan mengenai aliran-aliran Kepercayaan dan Instruksi Menteri Agama no.14/1978 tentang Tindak Lanjut Instruksi Menteri Agama no.4/1978. intinya menyatakan bahwa Departemen Agama tidak mengurusi persoalan aliran-aliran kepercayaan yang bukan merupakan agama. Lebih tragis lagi, selain tidak dianggap sebagai agama dan dipinggirkan dalam urusan hak-hak sipilnya, agama-agama lokal ini diurus oleh gabungan luar biasa antara Departemen Agama, Kejaksaan, Kepolisian, dan Angkatan Perang. Dalam lingkup Kejaksaan, bagian yang mengawasi agama lokal ini disebut sebagai Pengawas Aliran-aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM). Dalam lingkup Angkatan Perang, bagian yang mengawasi agama lokal ini terdiri dari beberapa tingkat yakni Penguasa Perang Tertinggi (PEPERTI), Penguasa Perang Pusat (PEPERPU), dan Pembantu Pelaksana Penguasa Perang (PEPEKUPER). Dalam konteks ini dapat dibayangkan betapa agama-agama lokal itu ditempatkan seumpama penjahat dan musuh yang mengancam negara sehingga harus dihadapi oleh kepolisian, kejaksaan dan angkatan perang. Pembatasan kebebasan berkeyakinan juga terwujud dalam produk-produk kebijakan yang berisi pelarangan. Kebijakan ini didasarkan pada Penpres No.1/PNPS/1965 yang telah diundangkan pada masa Orde Baru. Pelarangan ini terutama berkaitan dengan aliran-aliran kepercayaan yang berkembang di masyarakat. Beberapa produk itu antara lain[4]: 1. Keputusan Jaksa Agung No.089/DA/10/1971 tentang pelarangan terhadap aliran Darul Hadits, Jemaah Qur’an dan Hadits, Islam Jamaah, JIPD, Yappenas dan organisasi serupa 2. Keputusan Jaksa Agung No. Kep-006/B/2/7/1976 tentang pelarangan terhadap Aliran Kepercayaan Manunggal 3. Keputusan Jaksa Agung No. Kep-129/JA/12/1976 tentang Pelarangan terhadap Perkumpulan Siswa-siswa Alkitab/Saksi Yehova 4. Dsb Praktik pengaturan urusan keagamaan dan keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh negara justru merupakan kriminalisasi terhadap agama dan kepercayaan yang bertumbuh dan hidup di masyarakat Indonesia, bukan sebaliknya, perlindungan dan pelayanan sebagaimana diamanatkan oleh dasar negara Pancasila. Salah satu pasal yang dianggap bermasalah dan berpotensi melegitimasi kriminalisasi agama dan kepercayaan itu justru terdapat di dalam UUD 1945 sendiri yang sudah diamandemen, yakni pada pasal 28 J ayat (2) yang berbunyi demikian: ”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis” Barangkali, pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 ini merupakan pembakuan dari Penpres no.1/PNPS/1965 dan Undang-undang No.5 Th 1969. Kalau demikian adanya ini berarti bahwa sejak Orde Baru belum terdapat perubahan cara pandang dan kemauan politik dari pihak pemerintah dalam kaitannya dengan perlindungan, penjaminan dan pelayanan terhadap agama-agama dan kepercayaan yang ada di masyarakat Indonesia. Kebebasan beragama dan berkeyakinan tetap merupakan gagasan yang masih sulit untuk diwujudkan kecuali dengan gerakan-gerakan sosial dan politik yang mampu melahirkan dampak bagi perubahan cara pandang dan perubahan kebijakan. *** [1] Lih. AAGM Ari Dwipayana (et al), Kaji Ulang Posisi Departemen Agama dalam Mengimplementasikan Kewajiban Negara untuk Melindungi Hak-hak Beragama, laporan hasil penelitian KOMNAS HAM dan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), 2005, tidak dipublikasikan. [2] Daniel Dhakidae, “Agama, Politik dan Negara, Perspektif Katolik”, dalam Munir Mulkhan (et al), Agama dan Negara, Interfidei, 2007, cetakan II, hlm.46 [3] MM. Billah, “Kata Pengantar Agama dan Hak Asasi Manusia”, dalam John Kelsay dan Summer B. Twiss, Agama dan Hak Asasi Manusia, Interfidei, 2007, Cetakan II, hlm.xviii-xix [4] AAGN Ari Dwipayana dkk, Kaji Ulang Posisi Departemen Agama, Laporan Penelitian (tidak diterbitkan), Komnas HAM dan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), 2005, hlm.110-111

Wednesday, August 05, 2009

Gerakan Dialog Lintas-Iman sebagai Pendidikan Kritis bagi Keadilan di Indonesia

Oleh Indro Suprobo
Kenyataan tak tersangkal
Yang disebut sebagai Indonesia adalah sebuah ke-Ika-an yang dibangun dalam komitmen dari, oleh dan bagi ke-bhinneka-an yang tersebar luas di seluruh nusantara ini. Sebagai sebuah informasi acak, Indonesia adalah sebuah bangsa yang terdiri dari kurang lebih 300 (tiga ratus) suku bangsa yang berbeda-beda, yang dilengkapi dengan seluruh bahasa dan agama yang menyertainya. Oleh karena itu dapat dibayangkan bahwa sebenar-benarnya, bangsa Indonesia ini paling sedikit memiliki 300 (tiga ratus) agama.[1] Dalam pandangan ini, agama dipahami secara sosiologis dalam dua kategori yakni pertama, sebagai sistem keyakinan dan upacara (ritual-ritual) yang mengacu kepada yang suci dan mengikat orang ke dalam kelompok sosial. Kedua, agama dipahami sebagai setiap rangkaian jawaban yang koheren atas dilema keberadaan manusia yang meliputi kelahiran, kesakitan dan kematian, yang membuat dunia menjadi mempunyai makna.[2] Masing-masing suku bangsa memiliki seperangkat nilai, kebiasaan, aturan hukum dan kearifan-kearifan lain yang membentuk identitas ke-sukubangsa-an (atau identitas kultural) yang masing-masing memiliki hak untuk mengekspresikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Demikianlah akan dijumpai kekayaan dan keanekaragaman kultural di seluruh nusantara ini. Apa yang hidup di wilayah kebudayaan orang-orang Key akan sangat berbeda dengan apa yang hidup di wilayah kebudayaan orang-orang Minang. Apa yang hidup di dalam kebudayaan orang-orang Minahasa berbeda dengan yang hidup dalam kebudayaan orang-orang Banjar. Ke-bhinneka-an itulah yang sejatinya menyusun Indonesia sebagai sebuah ke-Ika-an bangsa. Ke-Ika-an ini bukanlah peleburan keunikan masing-masing identitas kultural menjadi satu kultur dan bukan pula ke-ika-an yang dibangun sebagai dominasi satu kultur tertentu atas kultur yang lain. Ke-ika-an ini adalah sebuah komitmen untuk mengelola hidup bersama dalam semangat kesederajadan demi kebaikan semuanya. Kebijakan dan Tindakan Politik yang Menyangkal
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, terutama dalam masa pemerintahan Orde Baru, agama merupakan hal yang sanga penting. Agama merupakan hal yang penting sehingga dalam setiap Kartu Tanda Penduduk (KTP) harus dicantumkan agama yang dianut oleh seseorang. Sampai dengan hari ini, hampir semua bentuk formulir pendaftaran, semua surat keterangan, dan berbagai macam surat yang menunjukkan identitas seseorang, hampir selalu dijumpai kolom yang harus diisi dengan agama yang dianut. Orde baru juga merupakan produsen rumah ibadah yang terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Namun kalau agama merupakan hal yang penting di Indonesia, mengapa hanya 6 (enam) agama saja yang diakui oleh negara? Kalau diperkirakan bahwa di Indonesia ini ada 300 agama, lalu bagaimanakah nasib 294 agama-agama yang lain? Apakah hanya 6 (enam) agama itu yang dianggap sebagai memiliki kebenaran? Pertanyaan yang sulit untuk dijawab adalah siapakah yang memiliki otoritas atau kewenangan untuk menentukan kebenaran-kebenaran itu? Dari manakah otoritas untuk menentukan kebenaran itu diperoleh dan mendapatkan legitimasi? Pertanyaan yang juga menimbulkan kebingungan adalah kalau Orde Baru adalah produsen rumah ibadah, mengapa pada masa Orde Baru pula terjadi penutupan, pengrusakan dan pembakaran rumah ibadah terbesar?[3] Perhatikan tabel berikut : Tabel Penutupan, Pengrusakan dan Pembakaran Rumah Ibadah (diambil dari Daniel Dhakidae)
Pertanyaan pertama, berkaitan dengan penetapan 6 agama yang diakui oleh negara dan peminggiran terhadap 294 agama yang lain tampaknya dapat dikaitkan dengan pendefinisian agama secara konseptual oleh pemerintah Indonesia. Berbeda dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial pada umumnya, pemerintah Indonesia merumuskan sendiri pemahaman mereka tentang agama yakni sebagai sistem kepercayaan yang disusun berdasarkan kitab suci, dan oleh karenanya mengandung suatu ajaran yang jelas, mempunyai nabi dan kitab suci.[4] Pengertian tentang agama sebagaimana dirumuskan oleh pemerintah Indonesia ini dalam prakteknya menimbulkan implikasi yang luar biasa terutama terhadap agama-agama yang dipraktikkan oleh beraneka ragam suku bangsa itu. Agama-agama yang dijalankan oleh suku-suku bangsa ini pada gilirannya tidak diakui sebagai agama, dan oleh karenanya, para pengikutnya mendapatkan perlakuan diskriminatif oleh negara. Perlakuan diskriminatif oleh negara terhadap pengikut agama dan kepercayaan suku-suku bangsa (atau agama lokal) ini misalnya terjadi dalam pemenuhan hak sipil para penganut agama-agama lokal tersebut. Contohnya, para pengikut agama lokal ini harus mencantumkan salah satu agama yang diakui oleh negara dalam KTP mereka sebagai pengganti dari agama lokal yang dianutnya, ketika mereka melakukan pernikahan, ketika anaknya lahir dan sebagainya. Pendefinisian agama yang meminggirkan agama-agama lokal ini secara gamblang terumuskan dalam kebijakan Departemen Agama Terhadap Agama Aliran Kebatinan sebagai berikut: ...Bagi bangsa Indonesia kegiatan-kegiatan untuk mencapai keluhuran budi bukan barang baru atau asing lagi. Bangsa Indonesia mempunyai kepercayaan bahwa tindak-laku manusia juga bernilai etis. Pancasila mendorong tercapainya tingkat keseimbangan untuk menuju kebahagiaan itu...Dalam pengertaian seperti ini...Pemerintah tidak melarang adanya aliran-aliran yang menuntun warganya ke arah kematangan jiwa dan keluhuran budi, bahkan mempunyai tempat yang wajar dalam masyarakat Indonesia berdasar Pancasila. Namun, perlu disadari bahwa aliran-aliran kepercayaan yang beratus-ratus jumlahnya di Indonesia bukan agama.[5] Lebih tragis lagi, selain tidak dianggap sebagai agama dan dipinggirkan dalam urusan hak-hak sipilnya, agama-agama lokal ini diurus oleh gabungan luar biasa antara Departemen Agama, Kejaksaan, Kepolisian, dan Angkatan Perang. Dalam lingkup Kejaksaan, bagian yang mengawasi agama lokal ini disebut sebagai Pengawas Aliran-aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM). Dalam lingkup Angkatan Perang, bagian yang mengawasi agama lokal ini terdiri dari beberapa tingkat yakni Penguasa Perang Tertinggi (PEPERTI), Penguasa Perang Pusat (PEPERPU), dan Pembantu Pelaksana Penguasa Perang (PEPEKUPER). Dalam konteks ini dapat dibayangkan betapa agama-agama lokal itu ditempatkan seumpama penjahat dan musuh yang mengancam negara sehingga harus dihadapi oleh kepolisian, kejaksaan dan angkatan perang.
Dalam praktik bermasyarakat selanjutnya, agama-agama lokal ini bukan hanya mengalami diskriminasi dan peminggiran oleh negara, melainkan juga diskriminasi dan peminggiran oleh para penganut agama-agama yang diakui oleh negara (Islam, Katholik, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu). Agama-agama yang mendapatkan pengakuan oleh negara ini pada gilirannya memandang agama-agama lokal sebagai aliran kepercayaan yang statusnya lebih rendah daripada agama-agama yang mendaku dirinya bersifat universal. Secara gamblang, pandangan resmi Gereja Katolik terhadap agama-agama lokal yang terdapat dalam kebudayaan-kebudayaan ini juga bersikap superior (menganggap diri lebih baik) dan merendahkan. Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja (Ad Gentes) artikel 9 menyatakan bahwa: ...Kebenaran atau rahmat manapun, yang sudah terdapat pada para bangsa sebagai kehadiran Allah yang serba rahasia, dibebaskannya dari penularan jahat dan dikembalikannya kepada Kristus Penyebabnya, yang menumbangkan pemerintahan setan serta menangkal perlbagai kejahatan perbuatan-perbuatan durhaka. Oleh karena itu apapun yang baik, yang terdapat tertaburkan dalam hati dan budi orang-orang, atau dalam adat kebiasaan serta kebudayaan-kebudayaan yang khas para bangsa, bukan hanya tidak hilang, melainkan disembuhkan, diangkat dan disempurnakan demi kemuliaan Allah, untuk mempermalukan setan dan demi kebahagiaan manusia....[6] Harus diakui bahwa Gereja Katholik memiliki sikap tidak konsisten dalam memandang agama-agama lain, karena di dalam dokumen yang lain[7] ia bersikap positip, namun dalam dokumen ini ia menempatkan agama-agama lokal dalam terminologi penyakit (disembuhkan), lebih rendah (diangkat) dan tidak sempurna (disempurnakan). Dalam pandangan ini terlihat bahwa otoritas menyembuhkan, mengangkat dan menyempurnakan ada dalam diri Gereja Katholik. Oleh karena itu, dalam istilah teknisnya, agama-agama lokal ini pantas untuk dikristenkan. Pandangan merendahkan agama-agama lokal ini tampaknya tidak berkait dengan pendefinisian agama oleh Pemerintah Indonesia melainkan sudah jauh-jauh hari melekat dalam pandangan Gereja Katholik sendiri sebagai warisan dari etnosentrisme Eropa.
Dalam kerangka relasi antara agama dan negara, secara konstitusional, hak hidup agama-agama atau kebebasan beragama sudah dijamin di dalam UUD 1945, khususnya pasal 28E. Namun demikian, pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 justru memberikan klausul di mana seluruh jaminan kebebasan beragama atau berkeyakinan termasuk jaminan hak asasi manusia lainnya di dalam konstitusi, sangat berpotensi hanya menjadi pasal bisu yang tidak dapat digunakan oleh warga negara untuk melindungi hak-haknya. Pasal 28 J ayat (2) ini justru menjadi pembatasan di luar kelaziman prinsip-prinsip pembatasan hak asasi manusia. Dari pasal inilah dimungkinkan berbagai macam peraturan dan perundang-undangan yang justru mendiskriminasi dan meminggirkan praktik hidup agama-agama dan kepercayaan di Indonesia.[8] Pasal 28 J ayat (2) berbunyi demikian: ”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis” Gerakan Dialog sebagai Pendidikan Kritis
Menimbang realitas kehidupan keagamaan sebagaimana terungkap dalam bagian di atas, gerakan-gerakan dialog lintas-iman di Indonesia pantas mempertimbangkan minimal 3 (tiga) konteks utama. Pertama, konteks relasi antara agama dan negara. Kedua, konteks relasi antara agama yang satu dan agama yang lain. Ketiga, konteks relasi antara agama dan agama-agama lokal atau agama-agama suku. Prinsip utama yang melandasi gerakan-gerakan dialog lintas-iman di Indonesia dalam ketiga konteks tersebut adalah menumbuhkan sikap kritis dan menumbuhkan sikap saling belajar dalam kesetaraan.
Dalam konteks pertama (relasi antara agama dan negara), pantas dipahami bahwa agama-agama di Indonesia tidak hanya dipandang sebagai sistem kepercayaan religius melainkan ditempatkan dalam wacana kekuasaan, maksudnya agama-agama dipandang sebagai kekuatan yang berpotensi mengganggu kekuasaan politik. Oleh karena itu, negara (terutama sejak Orde Baru) mengontrol agama-agama secara ketat. Kebijakan negara untuk mengontrol agama-agama ini merupakan warisan kebijakan kolonial Belanda terhadap agama-agama, terutama Islam, dengan memanfaatkan rekomendasi dari penelitian Snouck Hurgronje yang membedakan Islam dalam dua jenis yakni religious Islam (Islam agama) dan political Islam (Islam politik), di mana Islam agama diberi ruang untuk hidup sementara Islam politik harus diberantas habis.[9] Kontrol negara atas agama-agama ini pada gilirannya menimbulkan prasangka-prasangka di antara agama-agama sendiri karena dinamika kontrol ini tentu saja sangat didasarkan pada hitung-hitungan untung rugi bagi kekuasaan, sehingga ada kalanya kelompok agama tertentu seolah-olah mendapatkan akses luas dari negara sementara agama yang lain mendapatkan akses terbatas.
Dalam konteks ini agama-agama musti bersikap kritis terhadap banyak hal yang diproduksi oleh negara dalam kaitannya dengan agama-agama. Misalnya, agama-agama perlu bersikap kritis terhadap produksi wacana oleh negara tentang berbagai macam gerakan masyarakat berbasis agama yang dinyatakan sebagai ”gerakan pengacau keamanan”, ”gerakan negara Islam”, ”separatisme” dan sebagainya. Berkaitan dengan hal ini banyak sekali kasus yang tidak selesai di tingkat hukum dan menanamkan luka bagi banyak kelompok (kasus Haur Koneng, Tanjung Priok, Warsidi, Dukun Santet).
Dalam konteks kedua (relasi antar agama), pantas dicermati bahwa selama ini telah bertumbuhkembang prasangka-prasangka antar agama. Agama yang satu menilai negatif dan curiga terhadap agama yang lain. Merebaknya isu tentang kristenisasi atau islamisasi adalah ekspresi dari prasangka-prasangka tersebut. Masyarakat Indonesia yang beragama ini telah terkotak-kotak dan terpisah-pisah oleh prasangka sehingga seringkali tidak jujur dan tulus dalam berelasi sosial. Prasangka ini direproduksi bahkan sejak dalam pendidikan keluarga, dilanjutkan dalam pendidikan di sekolah dan seterusnya.
Gerakan dialog lintas-iman adalah gerakan yang membongkar prasangka-prasangka antar agama ini. Gerakan lintas-iman adalah gerakan yang menumbuhkan penilaian dan sikap positip terhadap agama-agama lain, bahkan bersikap pro-eksisten, artinya bukan hanya menerima perbedaan melainkan juga sampai kepada sikap preferential option for the oppressed/poor. Ini merupakan sikap simpatik, empatik dan solider serta mendukung upaya membela kehidupan agama-agama yang lain. Pembongkaran prasangka ini juga merupakan pendidikan kritis (atau saling mendidik secara kritis antar agama) karena merupakan usaha saling membuka diri, saling mengenali perbedaan bahkan sampai pada yang paling krusial, memahami latar belakang dan konteks yang melahirkan perbedaan, memahami konteks peristiwa negatip yang pernah terjadi, dan menumbuhkan komitmen untuk saling membela kehidupan agama-agama. Membongkar prasangka antar agama merupakan pendidikan kritis paling fundamental dan radikal dalam gerakan dialog lintas-iman. Ini biasanya membutuhkan proses yang panjang dan menuntut lebih banyak metode sehingga mencapai sebuah pandangan positip dan empatik antar agama. Membongkar prasangka boleh dianalogikan sebagai membongkar dan menyembuhkan luka-luka batin dalam diri sendiri sehingga dapat menerima diri sendiri dan orang lain secara positip. Membongkar prasangka ini pada umumnya terasa sulit ketika memeriksa dan membongkar hal-hal negatif yang terdapat dalam kelompok agamanya sendiri.
Karena proses membongkar prasangka merupakan proses saling belajar terus-menerus untuk saling mendewasakan diri, maka proses ini membutuhkan adanya komunitas atau jaringan pertemanan yang relatif kontinyu. Dibutuhkan sebuah komunitas basis yang memfasilitasi perjumpaan terus-menerus karena melalui perjumpaan inilah proses saling belajar dan membongkar itu dapat berlangsung. Dalam bahasa teknis Gereja Katholik, proses ini membutuhkan sebuah communio, paguyuban, atau ecclesia dalam arti yang luas.
Dalam koteks ketiga (relasi antara agama dan agama-agama lokal), pantas dicermati apa yang disebut sebagai multikulturalisme. Multuralisme di sini dipahami sebagai realitas (praktik) sekaligus sebagai etika (ajaran). Sebagai realitas atau praktik, multikulturalisme dipahami sebagai representasi yang produktif atas interaksi di antara elemen-elemen sosial yang beragam dalam sebuah tataran kehidupan kolektif yang berkelanjutan. Sebagai sebuah etika atau ajaran, multikulturalisme dipahami sebagai spirit, etos dan kepercayaan tentang bagaimana keragaman atas unit-unit sosial yang berciri privat dan relatif otonom itu, seperti etnisitas dan budaya, semestinya dikelola dalam ruang-ruang publik sehingga semuanya mendapatkan hak yang adil untuk mengekspresikan diri.[10] Dengan demikian multikulturalisme merupakan praktik sekaligus ajaran tentang bagaimanakah kelompok-kelompok etnik Pidie, Mandailing, Manado, Serui yang beragama Islam, Hindu, Khonghucu, Budha, Protestan, Katolik atau yang berkepercayaan Pangestu itu semua mampu hidup berdampingan dalam sebuah habitat sosial yang memberi tempat bagi terpeliharanya identitas lokal dan kepercayaan partikularnya masing-masing, sekaligus memberi kesempatan bagi sebuah proses terjadinya integrasi sosial, politik, budaya, dan ekonomi di tingkat nasional dan global.
Ini berarti bahwa agama-agama yang diakui oleh negara musti mengembangkan praktik dan ajaran yang menempatkan agama-agama lokal sebagai setara dan sederajad karena masing-masing memiliki hak untuk hidup dan berkembang serta memiliki potensi sangat besar untuk menyumbangkan keadaban bagi kehidupan masyarakat. Idealnya, semua agama besar yang ada di Indonesia ini memiliki empati untuk memperjuangkan agar agama-agama lokal mendapatkan pengakuan oleh negara dan mendapatkan jaminan pemenuhan atas hak-haknya sesuai dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia Universal yang kovenannya diakui oleh Perserikatan Bangsa Bangsa dan telah diratifikasi oleh pemerintah.
Seluruh proses pendidikan kritis yang dijalankan di dalam gerakan dialog lintas iman ini boleh dikatakan sebagai sebuah gerakan konsientisasi (conscientization) dalam istilah yang dikembangkan oleh Paulo Freire. Menuju Spiritualitas dan Pemerdekaan
Gerakan dialog lintas-iman ujung-ujungnya sebenarnya merupakan gerakan bersama untuk mengembalikan fungsi profetis-kenabian agama-agama dalam kehidupan masyarakat. Ini merupakan gerakan mengembalikan agama-agama untuk senantiasa bersikap kritis terhadap kehidupan, termasuk terhadap kecenderungan dirinya, atau meminjam istilah teknis spiritual yang digunakan oleh St. Ignatius de Loyola, gerakan ini merupakan upaya melepaskan diri dari rasa lekat tak teratur agama-agama itu sendiri. Gerakan dialog adalah gerakan saling belajar, saling mendewasakan, saling menemani, saling memperkaya, saling mempertajam, dan saling memperdalam spiritualitas yang menjadi gerak dasar, atau roh dari agama-agama di dunia ini. Gerakan dialog lintas-iman adalah gerakan untuk senantiasa belajar menjadi manusia beragama yang tidak sombong, sabar, rendah hati dan adil. Ketika orang-orang beragama telah dapat memasuki ranah spiritualitas ini, mereka akan dapat menyelami spiritualitas agama-agama yang berbeda dan menemukan bahwa ternyata tak ada satupun yang hilang dalam semuanya itu kecuali prasangka dan kebodohan diri sendiri. Dengan demikian, orang-orang beragama akan menjadi lebih mampu bersikap wajar dan santai dengan banyak perbedaan, menikmatinya sebagai khasanah kehidupan yang kaya dan memperkaya dirinya, dan menemukan betapa ada begitu banyak alternatif untuk mendekati dan menjumpai Tuhan yang mahakaya dan tak dapat dibatasi oleh klaim-klaim kebenaran agama-agama.
Dalam pengalaman yang demikian ini, seorang katolik tidak akan merasa kehilangan apapun ketika ia dapat mengucapkan doa alfateha dalam bahasa Arab ketika menghadiri kenduri kampung karena inti dasar doa itu persis dan serupa dengan doa Bapa Kami yang diajarkan oleh Yesus atau Isa binti Miryam. Demikian pula seorang muslim tak merasa terganggu ketika dari corong mushala desa diputar kidung requiem untuk mendoakan warga yang meninggal dunia lalu dilanjutkan dengan lantunan ayat suci Al Qur’an yang intinya serupa dan sama. Bahasa dan hal-hal lain yang berbeda dapat disikapi secara kritis dan wajar tanpa menghalanginya untuk memasuki inti terdalam dari agama-agama yang berbeda.
Pembiasaan untuk dapat memahami dan menyelami spiritualitas agama-agama yang berbeda ini mau tidak mau dimulai sejak dalam kehidupan keluarga-keluarga, dilanjutkan dalam kehidupan lingkup sekolah, dan lingkup masyarakat. Pembiasaan semacam ini akan membentuk sensitivitas lintas-iman dalam diri seseorang sehingga ia tidak akan dengan mudah membentuk stigma atau steretipe negatif terhadap yang lain dan yang berbeda.
Dalam ranah pengalaman spiritualitas bersama inilah, orang-orang beragama yang berbeda-beda dapat dengan penuh komitmen menyatakan kesanggupan untuk membangun dan membela kehidupan yang damai, adil dan jujur, terutama dalam upaya pemerdekaan sesama dari segala belenggu pemiskinan, pembodohan, prasangka dan kekerasan. Upaya pemerdekaan sesama dari segala belenggu tak mungkin dapat dilakukan apabila setiap orang tidak berkomitmen untuk memerdekakan dirinya dari belenggu-belenggu yang sama. Semoga kita semua semakin menemukan kearifan di kedalaman spiritualitas agama-agama.
________ [1] Lih. Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru, Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm.513-514 [2] MM. Billah, ”Kata Pengantar Agama dan Hak Asasi Manusia”, dalam John Kelsay dan Sumner B. Twiss, Agama dan Hak Asasi Manusia, Interfidei, 2007, hlm.XVIII-XIX [3] Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru, Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm.515 [4] MM. Billah,”Kata Pengantar Agama dan Hak Asasi Manusia” dalam John Kelsay dan Sumner B.Twiss, Agama dan Hak Asasi Manusia, Interfidei, 2007, hlm.XIX-XX [5] Lih. “Kebijakan Departemen Agama Terhadap Agama Aliran Kebatinan”, Kompas, 13 Maret 1972 sebagaimana dikutip oleh Daniel Dhakidae. [6] R. Hardawiryana, SJ (Penerj), Dokumen Konsili Vatikan II, Dokumentasi dan Penerangan KWI & Obor, 1993, Cet. Kedua, hlm.413, cetak miring oleh Indro Suprobo. [7] Lih. Dokumen Nostra Aetate sebagai Pernyataan Konsili Vatikan II tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama bukan Kristiani. [8] Lih. Laporan Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2008, Berpihak dan Bertindak Intoleran, Publikasi Setara Institute, Januari 2009, hlm.83-92 [9] Namun demikian, pada masa kolonial, agama katholik juga merupakan agama pinggiran atau paria, yang tidak terhitung. Ini merupakan perpanjangan dari situasi orang katolik di negeri Belanda yang memang terpinggirkan dan terbelakang. Jadi kalau mengukur keterbelakangan orang Belanda di negeri Belanda, lihatlah orang katoliknya. Di Hindia Belanda, orang katolik ditindas oleh Protestan Calvinis Belanda. Maka kaum katolik di Hindia Belanda mengalami hal yang sama seperti dialami oleh kaum Islam, yakni tertindas. Perubahan baru terjadi sekitar abad 20 ketika Partai Katolik di Belanda meraih kemenangan dan menguasai parlemen. Lihat Dhaniel Dhakidae, ”Agama dan Negara Tinjauan Teologi Politik, Perspektif Katolik” dan Th. Sumartana,”Agama, Politik dan Negara, Perspektif Agama-agama Abrahamik”, keduanya dalam Abdul Munir Mulkhan dkk, Agama dan Negara, Perspektif Islam, Katolik, Buddha, Hindu, Konghucu, Protestan, Interfidei, 2002, hlm.29-44 dan 125-137 [10] Bdk. Daniel Sparinga, “Multikulturalisme, Dari Pembiaran dan Ko-eksistensi Menuju Pro-eksistensi”, dalam Suhadi Kholil (Ed), Diskriminasi di Sekeliling Kita, Interfidei, 2008, hlm.3-5