Saturday, August 27, 2022

Agar Kepenyairan Semakin Merekah

 


Oleh Indro Suprobo, Ons Untoro, Rina Widiastuti


Buku kumpulan Puisi Pulang ke Rumahmu ini merupakan dokumentasi dari karya-karya puisi yang telah dihadirkan dalam ruang digital sanggaragam.org. Puisi yang terkumpul dalam buku ini adalah karya-karya yang telah ditayangkan dalam ruang digital pada masa setahun lalu, yakni dari Juli 2021 hingga Juli 2022. 

Ruang digital Sanggaragam merupakan salah satu rumah bagi para penyair yang menjadi alternatif untuk singgah, berjumpa dengan para penyair lain dari berbagai belahan dunia, saling belajar, saling memperkaya, saling menyapa, mengapresiasi dan berbagi semangat untuk terus-menerus kreatif berkarya. Ruang digital Sanggaragam dimaksudkan sebagai rumah yang senantiasa melahirkan kerinduan bagi para penyair untuk pulang dan merasakan pertumbuhan. Rumah ini digambarkan dan dinamai sebagai Gubug Putih.


Gubug Putih

Potret sebuah rumah, “Gubuk Putih”, berlatar langit biru cerah, tampil menyolok menghiasi sampul buku puisi Sang-garagam edisi perdana ini. Ini adalah sebuah kumpulan puisi karya 40-an penyair dari berbagai kota di Indonesia, perempuan maupun laki-laki, kelahiran tahun ‘50-an hingga 2000-an. Sekumpulan puisi yang dibukukan ini merupakan puisi-puisi yang berhasil dimuat di rubrik Puisi media digital non-profit sanggaragam.org, media yang memberi ruang bagi keragaman: Beragam, Selaras, Lestari. 

Sebagai media yang bertujuan untuk merawat, menyangga, dan menumbuhkan diversitas sebagai sumber kekayaan un-tuk kesejahteraan dan perdamaian, Sanggaragam memuat berbagai jenis tulisan, termasuk dari perspektif sastra, yaitu puisi. Lantas, mengapa “Gubuk Putih”? Sebab, Sanggaragam berumah di Gubuk Putih, dan peluncuran buku kumpulan puisi Sanggaragam berikut pentas pembacaan puisi-puisinya berlangsung di Gubuk Putih. 


Kembali Ke Rumah: Awal Pertemuan

Gubung Putih adalah satu bangunan rumah, yang terdiri dari tiga lantai. Di atas sebuah kolam yang ada di depannya, rencananya akan dibuat panggung, yang bisa digunakan untuk pertunjukan kesenian. Area kolam merupakan am-phytheater, yang disekitarnya tumbuh pepohonan sebagai peneduh area. Disebut Gubug Putih, karena bangunannya berwarna putih.

Sebut saja, Gubug Putih adalah rumah, sebagaimana umumnya rumah yang bisa ditinggali maupun digunakan sebagai kantor. Apalagi Gubug Putih terletak di tengah kam-pung, lebih tepat lagi di tengah dusun, yang lokasinya tidak jauh dari kantor kalurahan. Di belakang bangunan Gubung Putih ada embung desa. Jadi, bisa dikatakan, Gubung Putih berada di daerah subur.

Gubug Putih bukanlah semata sebagai bangunan, melain-kan lebih sebagai rumah bersama dan sebagai ruang interaksi sekaligus distribusi produk kebudayaan dalam formula per-tunjukan, dalam berbagai variasi bentuknya.

Di dalam Gubug Putih, ada satu ruang digital, yang dinamai Sanggaragam.org. Di ruang ini ada rubrik puisi, yang memuat karya penyair dari berbagai kota. Setiap hari Jumat puisi-puisi ditayang di rubrik sastra Sanggaragam, dan setelah satu tahun, di bulan Agustus 2022, puisi-puisi tersebut diterbitkan menjadi buku antologi, dan diluncurkan di Gubung Putih se-bagai rumah bersama untuk saling bersilaturahmi budaya.

Dari 41 penyair yang karya puisinya masuk dalam antologi ini, ada satu puisi berjudul ‘Pulang Ke Rumahmu’, karya Heru Mugiarsa, seorang penyair yang tinggal di Semarang, dan sehari-harinya berprofesi sebagai pengajar di salah satu per-guruan tinggi di Semarang. Judul Puisi tersebut dipilih men-jadi judul buku antologi puisi ini, karena setidaknya bagi kita, judul itu ‘mewakili’ imajinasi kembali ke rumah (bersama), yakni kembali ke Gubug Putih.

Melalui peluncuran buku antologi puisi ini, kita bersama kembali ke rumah kebudayaan, dan Gubug Putih adalah rumah kebudayaan itu. Mudah-mudahan, selanjutnya kita akan sering bertemu di rumah ini, untuk bersama menikmati rupa-rupa produk kebudayaan.


Subyek yang Merekah

Beragam tema dari beragam penyair yang berasal dari berbagai daerah, telah mewarnai rumah ini dan menjadi-kannya hidup. Keragaman tema dan gaya kepenyairan yang hadir, menunjukkan betapa para penyair itu merupakan su-byek-subyek otonom yang senantiasa berupaya mencipta waktu dan ruang luang di dalam dirinya, sebagai kesempatan untuk mengambil jarak terhadap seluruh pengalaman harian, membacanya, mencermatinya, menelusurinya, mengenali-nya, menemukan, menjumput serta mengidentifikasi makna-nya, lalu melukiskannya dalam pilihan-pilihan kata berdaya dan membagikannya sebagai sedekah bagi jiwa-jiwa yang se-nantiasa terbuka serta merindu untuk terasah.

Perpaduan antara tersedianya ruang bagi kepenyairan dan gerak kreatif otonom para penyair yang terus mengalir, pada gilirannya menciptakan momen-momen yang melampaui waktu (timeless moment), yakni momen yang senantiasa ter-buka dan memancar bagi setiap subyek untuk melibatkan diri di dalamnya secara intens. Ia menjadi perjumpaan yang produktif dan tak pernah berhenti karena senantiasa mengin-spirasikan gerak kreatif baru untuk terus mencipta, berkarya, dan semakin otonom. 

Semoga perpaduan ini, dalam perjalanan waktu, semakin mampu menjadi perjumpaan yang mengalirkan inspirasi dan energi sehingga para penyair dan kepenyairannya semakin menemukan cahaya cerah yang mendayakan dirinya untuk terus-menerus merekah. 


Tuesday, August 23, 2022

Subyek yang Merekah dan Melampaui

 


oleh Indro Suprobo

Ons Untoro adalah pejalan kaki. Meskipun tidak setiap hari, ia selalu menyempatkan diri untuk berjalan kaki di sore hari, menyusuri ruang-ruang di lingkungan sekitar, lanskap pedesaan atau sudut-sudut perkotaan sambil memaknai waktu sebagai perjalanan diri. Tampaknya, bagi Ons Untoro, berjalan kaki di sore hari bukanlah sekedar praktik jasmani melangkahkan kaki demi kesehatan diri, melainkan juga sebuah praktik simbolik dan rohani, yakni sebuah gerak subyek untuk senantiasa melintas dan melampaui, menyusun pemaknaan hidup tiada henti. Tak mengherankan jika kebiasaan sederhana ini memberinya kesanggupan yang mengasyikkan ketika ia terpaksa harus berhadapan dengan realitas dan pengalaman isolasi mandiri. 

Di masa pandemi, isolasi maupun isolasi mandiri merupakan salah satu metode yang diputuskan oleh otoritas kesehatan dan dipatuhi oleh seluruh warga demi memutus rantai infeksi, menjagai kesehatan dan keamanan komunitas warga, agar virus tidak semakin menyebar dan rumah sakit serta tenaga medis tidak kehabisan daya untuk melayani. 

Isolasi atau isolasi mandiri adalah proses pembatasan aktivitas bagi warga atau pribadi, terutama mereka yang sudah terinfeksi atau dimungkinkan terinfeksi. Isolasi adalah sebuah proses mengurangi kebebasan diri sehingga ia tak dapat terekspresi sebagaimana kebiasaan sehari-hari, terutama demi kesehatan dan keamanan orang lain yang belum terinfeksi. Istilah kerennya, isolasi atau isolasi mandiri adalah sebuah kastrasi atau pengebirian sebagian kenikmatan (jouissance) dalam rupa pengebirian sebagian kebebasan dalam berbagai macam hal demi terjaminnya hasrat kesehatan dan kebebasan orang-orang lainnya (the other). Isolasi yang merupakan kastrasi ini mengakibatkan seseorang merasa mengalami kekurangan (lack) sekaligus menciptakan hasrat (desire) untuk senantiasa mencapai pengalaman kepenuhan. Pada titik ini, isolasi telah mengakibatkan subyek meng-alami situasi terpecah. Pada satu sisi ia terkastrasi, mengalami kekurangan karena menganggap dirinya tak memiliki kebebasan akibat telah dikebiri melalui isolasi. Pada sisi lain ia memiliki hasrat yang mendalam untuk memiliki kebebasan yang terkebiri itu. Isolasi adalah sebuah pengalaman traumatik yang menjadikan subyek menghadapi kenyataan bahwa di satu sisi ia menemukan dirinya berada dalam situasi "tidak utuh" (lackness), namun di sisi lain ia mendambakan keutuhan  yang meng-hasilkan kenikmatan (jouissance).

Bagi sebagian orang, pengalaman isolasi mengakibat-kan depresi, yang terekspresikan ke dalam beragam perilaku seperti murung, mudah marah, protes terhadap situasi, menolak situasi yang membatasi, menyalahkan orang lain, tidak enak makan, sulit tidur (insomnia), mudah gelisah dan sering merasa lelah. Bagi sebagian orang lain, isolasi tak berdampak apapun. Mereka tetap dapat menikmati waktu dan ruang mereka apa adanya dan rileks meskipun harus membatasi sebagian aktivitas yang biasanya dapat mereka lakukan. 

Ons Untoro tidak berada dalam dua situasi itu. Ia berada dalam situasi ketiga. Tampaknya, baginya, isolasi tidak mengakibatkan munculnya anggapan bahwa ada sebagian kebebasan yang terkebiri atau terkastrasi sebagaimana dirumuskan oleh lingkungan  atau struktur sosial pada umumnya. Ia keluar dari kesadaran yang ditanamkan itu, dan memproduksi kesadaran mandiri bahwa sebagai subyek ia tidak sedang terkastrasi, me-lainkan sedang memilih cara memaknai ruang dan waktu secara berbeda dengan seluruh kebebasan yang tetap ada dalam dirinya dan mengarahkannya kepada satu aktivitas produktif yakni membaca dan menulis puisi. Pilihan tindakan Ons Untoro ini barangkali boleh disebut sebagai pilihan tindakan radikal karena ia keluar dari semua anggapan yang pada umumnya dirumuskan oleh lingkungan bagi dirinya dan mengambil pilihan produktif berupa aktivitas membaca dan menulis puisi. Tindakan radikal ini paling tidak tampak dalam dua puisi yang ditulisnya, yakni puisi berjudul "Katanya" dan puisi berjudul "Membaca Buku", saya kutipkan berikut ini:


Katanya

Katanya omicron terbuat dari batuk dan flu

Aku bilang, isoman ramuan imajinasi dan puisi

Di kamar di antara buku aku meramu penuh rindu........


Membaca Buku

...................

Membaca isoman mengisi waktu

Selepas 10 hari berlalu, sehat menemu

Siapa tahu terbit buku baru


Dalam dua kutipan puisi itu, tampak jelas bahwa Ons Untoro membangun makna baru tentang isoman, bukan sebagaimana dirumuskan oleh orang pada umumnya, bukan sebagai pengebirian kebebasan melainkan sebagai ramuan imajinasi dan puisi, yang ia ramu penuh rindu di kamarnya di antara buku-buku. Tujuan akhirnya tiada lain adalah menerbitkan buku baru. Ia melompat keluar dari kotak identifikasi simbolis yang dipaksakan oleh struktur sosial. Ia memilih identifikasinya sendiri dan menikmatinya sebagai keaslian dirinya dan merdeka.

Melalui pilihan tindakan ini, Ons Untoro menjadi subyek yang melampaui pengalaman isolasi. Melalui pilihan tindakan ini pula, ia memilih menjadi subyek yang merekah dan otentik. Tak mengherankan jika isolasi yang harus dijalaninya tak menghalanginya untuk tetap menjadi dirinya sendiri apa adanya dan produktif. 

Ons Untoro memang pejalan kaki sejati. Ia adalah subyek yang senantiasa merekah dan berusaha melam-paui. Buku kumpulan puisi ini adalah hasilnya sekaligus bukti.